Minggu, Maret 29, 2009

nyanyi sunyi

Di suatu sore yang gelap, di mana langit tertutup oleh awan hitam yang mengandung berjuta-juta ton air dan siap tumpah ke bumi, seorang kakek tua berjalan pelan meyusuri lereng-lereng gunung dengan dua tumpuk kayu bakar diikat menggantung di kedua ujung sebatang kayu panjang yang ia pikul di pundak kanannya, dan sesekali dipindahkannya ke pundak kirinya ketika pundak kanan terasa letih. Kakek itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek warna hitam yang telah lusuh dan berlubang di sana sini karena usang diterjang usia. Nampak jelas kulitnya, dari kaki hingga wajahnya, berwarna coklat kehitaman—pertanda telah sekian hari bahkan sekian tahun terbakar terik matahari. Sesekali langkah kakek tua itu terhenti, bertetirah sejenak mengendapkan semua lelah di sekujur tubuhnya, juga letih di kedua pundaknya. Sebentar kemudian ia teruskan kembali ayunan langkah kakinya menyusuri jalan setapak menurun di lereng gunung itu. Sesampainya di sebuah kelokan, ia berhenti lagi. Kali ini diturunkannya beban yang menggelantung di pundaknya itu, kemudian ia mengambil posisi duduk bersandar pada sebatang pohon jati tua. Sejurus kemudian tangan kanannya mengulur meraih sebotol air yang ia selipkan di atas tumpukan kayu bakar di depannya itu. Air yang sengaja ia bawa sebagai bekal untuk mengusir haus yang kerap melilit dan mencekik tenggorokannya tatkala keringat mengucur deras keluar dari tubuhnya, baik karena terik matahari maupun oleh tenaga yang ia peras untuk memotong dahan-dahan pepohonan jati sebagai kayu bakar. Diteguknya air mentah yang diambil dari sumber mata air yang mengalir tak jauh dari gubugnya itu. Dua teguk air dirasa olehnya sudah cukup untuk membebaskan tenggorokannya dari rasa haus, toh saat itu hujan hendak turun sehingga cuaca tak terasa begitu panas. Kakek tua itu terdiam untuk sekian lama, duduk termangu—entah apa yang sedang ia pikirkan.
Menyadari ia yang sedang duduk tetirah bersandar pada sebatang pohon, aku yang berada tak jauh dari tempatnya segera beranjak menghampirinya. Kugendong di pundakku senapan angin yang sejak siang tadi kupergunakan untuk berburu burung di hutan jati itu. Lalu kuayunkan langkah kakiku ke arah kakek tua yang masih belum beranjak dari duduk tetirahnya itu. Kusapa ia:
“Selamat sore, Kek.”
Lantas aku segera mengambil posisi duduk di sampingnya, tanpa permisi kepadanya sebelumnya. Pikirku ini adalah hutan kepunyaan semua makhluk yang tak perlu aku meminta izin kepada siapa pun, termasuk kakek tua itu, untuk sekedar duduk bertetirah mengendapkan lelah di sekujur tubuhku.
“Selamat sore. Dari mana Kau, nak?” tanya kakek tua itu dengan tatap pandang lurus ke depan, seolah ia bicara pada kekosongan, atau bertegur kepada pepohonan di hadapannya, dan tiada nampak menaruh peduli pada keberadaanku di sampingnya.
“Tiada. Hanya sekedar berburu burung. Menghabiskan waktu senggang, mengusir penat yang menggelayuti pikiranku,” jawabku sesopan mungkin, sambil menolehkan pandanganku ke arah wajah kakek tua yang rambutnya telah dipenuhi uban itu.
“Kenapa kau habiskan waktu senggang untuk menghabisi nyawa-nyawa yang juga memiliki hak hidup sepertimu, dan semestinya kau taruh hormat kepada mereka?” dengan tenang ia lontarkan pertanyaannya itu. Sebuah tanya yang membuatku terkaget-kaget. Ada sebuah tamparan keras di dalam dadaku. Sejenak aku terdiam memikirkan pertanyaannya, juga jawaban yang hendak kuberikan. Lalu kulontarkan jawaban itu:
“Tapi binatang disediakan untuk kehidupan manusia. Malah sebagiannya disediakan untuk menjadi bahan santapan manusia. Sebagai sumber gizi dan tenaga agar manusia bertahan hidup tanpa harus memangsa sesama manusia seandainya tiada binatang yang boleh dimakan,” jawabku sambil menaruh senapan di tanganku ke atas rerumputan yang tumbuh liar di hutan itu. Lalu kembali kutolehkan pandanganku tepat ke wajah kakek tua di sampingku itu. Ada segurat senyum muncul di bibirnya. Senyum yang agaknya mengandung cibiran atas kata-kata yang baru saja kulontarkan kepadanya. Sejenak kemudian ia bereaksi, melemparkan tanggapan atas perkataanku yang ia dengar itu. Ujarnya:
“Tapi manusia tiada pernah kenyang dengan bahan makanan yang melimpah sekalipun. Perut manusia memiliki batas untuk menampung makanan, tapi keinginannya tidak. Kebutuhan manusia memiliki tapal batas yang jelas, namun hasratnya senantiasa menerawang jauh ke seberang lautan, juga melambung tinggi ke atas langit yang tak berbatas. Manusia dapat mencukupi kebutuhannya, namun tak kuasa menahan hasrat dan keinginan sendiri. Manusia senantiasa tetap butuh sesamanya untuk dimangsa agar ia tetap bertahan hidup. Dan tidakkah engkau saksikan, wahai anak muda, tiap hari darah manusia tumpah entah di banyak tempat, karena memperebutkan kesempatan hidup yang berlebih-lebihan, karena ia diperbudak oleh hasrat dan keinginannya, oleh nafsu berkuasanya dalam segala hal. Kalaulah itu tak dilakukan dengan menumpah darah, biasanya dengan cara menguras, menindas, memeras dan merampas, baik tenaga maupun hak-hak sesamanya. Sudah menjadi semacam kutukan alam ketika manusia hidup di antara manusia-manusia lainnya, maka di situlah terjadi saling mangsa memangsai, saling bunuh dan melukai, saling rampas dan peras—saling tumpas!.”
Kata-katanya itu disampaikan dengan suara yang bergeletar, laiknya sebuah gunung berapi memuntahkan lahar di perut bumi lewat lubang kepundannya. Sementara matanya menerawang jauh ke langit, seolah hanya di sanalah terdapat ketenangan, bukan di muka bumi yang dipenuhi angkara murka, penuh sesak oleh laku durjana manusia.
“Tapi bukankah ada serangkaian hukum, baik yang dicipta Tuhan maupun bikinan manusia sendiri, yang diperuntukkan mengatur hidup manusia agar tercapai kemaslahatan dan kedamaian di dunia? Agar kehidupan berada dalam keteraturan dan harmoni?”
Aku lemparkan pertanyaan bernada protes itu kepadanya. Kulihat ia masih menerawangkan pandangan ke langit yang mulai bergemuruh itu, pertanda hujan akan segera tumpah. Ia terdiam sekian detik lamanya, lantas mulai menanggapi:
“Hukum hanyalah rangkaian abjad yang tak memiliki kekuatan barang sedikit pun untuk mencegah apalagi menghukum kejahatan manusia. Ia adalah benda mati. Hukum membutuhkan manusia untuk menggerakkannya agar ia tak diam membisu serupa berhala. Sedangkan sasaran hukum tak lain adalah manusia itu sendiri. Lalu bagaimana bisa obyek hukum sekaligus menjadi pelaksana hukum, kecuali akan terdapat begitu banyak penyimpangan di dalamnya. Tak peduli itu hukum buatan Tuhan, lebih-lebih bikinan manusia sendiri.”
Kakek tua itu menolehkan muka kepadaku. Sementara aku hanya terdiam memikirkan kata-katanya yang sederhana namun menghentakkan kesadaranku akan segala apa yang selama ini kuyakini dan kupegang kuat-kuat. Serasa aku terlempar pada sebuah teritori asing yang tiada kukenali sejengkal pun. Aku merasa terasing oleh kata-kata yang baru saja dilontarkannya itu. Ujarannya yang sekelumit namun menggeletar, laiknya sesabet halilintar di petala angkasa yang sedang bermuram durja oleh awan hitam pekat.
“Tiadakah engkau saksikan hai anak muda, sejarah manusia sudah diwarnai pelanggaran hukum oleh Adam, sang manusia pertama itu. Yaitu ketika ia makan buah larangan di surga karena rayuan Hawa, isterinya sendiri, yang sebelumnya telah terbujuk oleh muslihat iblis. Tapi karena saat itu Tuhan masih memegang langsung kekuasaan atas hukum yang ia berlakukan bagi Adam dan seluruh anak cucunya kelak, maka Adam dan Hawa diusir-Nya dari surga dan diturunkan ke dunia dalam keadaan tercerai berai satu sama lain. Tatkala Adam dan Hawa berjumpa kembali dan kemudian beranak-pinak di dunia, kekuasaan atas hukum sudah tak lagi dipegang oleh Tuhan. Manusia dititahkan untuk mengurusi dunia dan dirinya sendiri, termasuk memegang kekuasaan atas hukum yang diberlakukan bagi dirinya sendiri. Sejak saat itu hukum tak lagi lurus. Ia menjadi bengkok karena sifat dasar manusia yang selalu mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan hak orang banyak. Hukum bisa dijalankan secara lurus tatkala ia berada di tangan segelintir orang-orang terpilih, terutama para utusan Tuhan. Selebihnya, ia hanya menjadi alat penindasan pihak yang berkuasa terhadap orang banyak yang berada di dalam kekuasaannya. Sejarah manusia dipenuhi oleh penyimpangan hukum, tak peduli buatan Tuhan, pun bikinan manusia sendiri. Di sana darah tertumpah di mana-mana. Dan keadilan, juga kemaslahatan, yang dicita-citakan umat manusia tak kunjung terwujud, kecuali hanya sekejap mata tatkala datang para utusan Tuhan dan tampilnya segelintir orang-orang berjiwa mulia. Sebaik dan sesempurna apapun hukum, ia harus berhadapan dengan tabiat manusia yang cenderung gila kuasa. Kesempurnaan dan kemuliaan hukum akan menjadi naas di tangan kebanyakan manusia.”
Kakek tua terdiam, sejenak kemudian menoleh ke arahku. Tangannya mengambil sebotol air sisa yang telah diteguknya tadi, kemudian menawarkannya kepadaku. Berkata ia:
“Minumlah, barangkali engkau haus. Ini air yang mengalir dari sumber mata air di lereng, dan belum tersentuh oleh api.”
Kuulurkan tangan kananku mengambil sebotol air itu dari tangannya, lalu kuteguk sekali dua untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Ada kesejukan mengalir perlahan dari tenggorokan menuju rongga dadaku dan berakhir di dalam perutku—kesejukan siraman air bumi itu.
“Lalu apa guna manusia hidup di dunia ini kalau ia tak bisa keluar dari situasi kehidupan yang berdarah-darah, penuh penindasan dan perampasan, sementara hukum hanyalah benda mati yang butuh bantuan tangan manusia untuk menggerakkannya guna ditegakkan di tengah umat manusia sendiri? Tidakkah ini sebuah lelucon berlebihan yang Tuhan ciptakan di pentas dunia fana ini?” tanyaku sambil menyerahkan kembali sebotol air kehidupan itu. Ia ulurkan tangan kanannya menyambut botol air dari tangan kananku. Sejenak ia terdiam, menunduk menekuri tanah berumput hijau lebat yang ia duduki, kemudian berujar:
“Ya, ada benarnya kalau engkau mengatakan hidup ini adalah sebuah lelucon. Dan itu berarti Tuhan memiliki selera humor yang manusia tiada mampu menandinginya. Tapi sayangnya lelucon bikinan Tuhan adalah sebuah tragedi bagi umat manusia, karena di dalamnya manusia saling bunuh, saling tindas dan saling memangsa satu sama lain. Dan selera humor Tuhan tiada lain adalah jalan tragika bagi manusia, juga segala makhluk di muka bumi ini. Tapi aku tak menganggap hidup sesederhana itu. Tentunya dunia lebih dari sekedar panggung sandiwara. Dan Tuhan menciptakannya tak sekedar dengan selera humor semata.”
Suaranya mulai terdengar parau di telingaku. Mungkin karena menanggungkan beban letih di tubuhnya. Seolah ia sebuah perahu yang telah mengarungi ribuan mil perjalanan melanglang samudera, menderita pukulan berjuta gelombang dan mulai oleng oleh sapuan badai. Terlihat ia berjuang keras mengumpulkan tenaga dan pikirannya, kemudian menyambung kata-katanya:
“Dunia dicipta oleh-Nya dengan penuh kesungguhan, sekalipun mungkin nampak olehmu sebagai lelucon. Ada begitu banyak rahasia yang tersembunyi dan tetap tinggal sebagai misteri di balik tabir kehidupan ini. Sebagian telah dibukakan-Nya lewat sabda-Nya sebagaimana tertulis di Kitab Suci yang dibawa oleh utusan-Nya, yakni para nabi. Sebagian lagi diserahkan pada akal manusia untuk membukanya sendiri. Untuk itu manusia dibekali akal pikiran. Namun demikian, misteri itu tiada pernah tertuntaskan oleh akal manusia, sekalipun telah berusaha digali ribuan tahun lamanya. Dan soal ini janganlah engkau tanyakan lebih jauh kepadaku. Tiada sanggup aku menjawabnya.”
Aku diam terpaku mendengar dan memikirkan untai demi untai perkataannya itu. Kukumpulkan kesadaran pikiranku untuk menyimak kata demi kata yang terucap dari mulutnya itu. Kemudian aku bertanya:
“Lantas apa kiranya yang membuatmu menjauh dari keramaian manusia, menepi dari pagan kehidupan dan menjalani hari demi harimu seorang diri di tengah rimba pepohonan dan satwa ini?”
Aku melihat ia kembali tertegun setelah kulemparkan pertanyaan tersebut kepadanya. Nampak ia seperti menanggungkan perih di kedalaman dadanya, berjuang untuk bertahan dari hantaman gelombang yang menerjang dinding batinnya. Mungkin pertanyaanku itu telah menghempaskannya pada sebuah jengkal kehidupan yang dulu pernah dilaluinya, di mana ada kepahitan di sana, seperti yang kini nampak di raut mukanya. Ada ingatan yang sengaja ia pendam dan hendak dilupakan, namun tanpa ia duga mencuat kembali dalam kesadarannya oleh secuil pertanyaanku tadi. Sejenak kemudian ia menjawab:
“Panjang ceritanya. Tiada sesederhana yang kaubayangkan. Kalau engkau ingin mengetahui alasan-alasan kenapa aku memilih menjalani hidup jauh dari keramaian, dan bukan hidup berkumpul dengan anak dan istriku, memadu kasih dengan sanak keluarga, dan membaur dengan masyarakat—yang tentu sebelumnya aku mesti menaruh kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan hukum dalam mengatur perikehidupan manusia.”
Ia menelan ludah setelah mengucapkan kalimatnya itu. Seperti ada kegetiran yang hendak ia telan kembali ke dalam tubuhnya, bersama air ludahnya. Sedetik kemudian ia menyambung kalimatnya:
“Hujan akan segera ditumpahkan oleh langit yang kelihatannya sudah lelah menanggung beban air sekian bulan lamanya. Segeralah engkau pulang, anak muda. Dan lain waktu datanglah ke gubugku. Akan aku ceritakan kepadamu alasan-alasan kenapa aku memilih hidup jauh dari orang banyak.”
Kakek tua itu mengakhiri perkataannya sambil perlahan beranjak dari duduknya. Ia angkat pikulan kayu bakar itu, dan kemudian bergegas pergi meninggalkanku, meninggalkan rimba tempat ia mencari bahan nyala api kehidupan. Tak lama berselang, rintik hujan mulai turun mengguyur pepohonan di hutan yang sedari tadi setia menunggu sumber penghidupannya itu. Aku pun bergegas menuruni lereng menuju ke tempat di mana sepedaku berada, tak jauh dari tempat di mana aku dan kakek tua tadi bercengkrama. Sejurus kemudian segera kukayuh sepeda itu melesat meninggalkan hutan, menuju jalan raya sekilo meter dari sana, dan segera kupercepat lajunya di jalan raya agar lekas sampai di rumahku.
-februari 2008

Minggu, Maret 15, 2009

petilan (1)

“Satu di antara takhayul yang paling umum dan paling tersebar luas adalah: seolah-olah setiap orang mempunyai ciri-ciri watak tertentu, seolah-olah ada yang dinamakan orang baik, jahat, pandai, bodoh, bersemangat, apatis, dan sebagainya. Sebetulnya manusia tidaklah demikian. Kita dapat mengatakan bahwa seseorang lebih sering baik ketimbang jahat, lebih sering pandai daripada bodoh, lebih sering bersemangat ketimbang apatis, atau sebaliknya. Tetapi tidak benarlah kalau kita katakan orang yang satu baik atau pandai, sedang yang lain jahat atau bodoh. Manusia seperti sungai: airnya di mana-mana sama dan airnya tetap yang itu-itu juga, tetapi ada air yang sempit, yang cepat alirannya, yang lebar, yang tenang, yang jernih, yang dingin, yang keruh, atau yang hangat airnya. Begitu juga manusia. Setiap orang menyimpan benih segala ciri kemanusiaan di dalam dirinya; kadang ia menampakkan ciri yang satu dan kadang yang lain...”

  • Leo Tolstoi, dalam novel Kebangkitan

Senin, Maret 09, 2009

neraka

Sebelum mengenal cerita tentang surga, saya sudah mendengar ikhwal neraka. Saat berumur enam tahun, saya menyimak seorang guru ngaji bertutur cerita kepada para santrinya soal Hari Pembalasan. Neraka, kata sang guru, adalah tempat bagi manusia untuk menebus segala kesalahannya saat hidup di dunia. Sementara sorga adalah balasan bagi amal baik manusia. Di hari pembalasan, tiap orang akan ditimbang amalnya. Bila condong ke kanan, ia akan dimasukkan ke sorga. Sebaliknya, jika doyong ke kiri, ia akan dijebloskan ke neraka.

Dalam kobaran api yang panasnya sungguh tak terbandingkan, cerita sang guru dengan khidmat, tiap orang dihukum sesuai perbuatan buruknya. Para pencuri akan dipotong tangannya, lalu tangan itu kembali utuh hanya untuk ditebas kembali. Begitu seterusnya tanpa kesudahan. Sementara para pezina akan dipotong alat kelaminnya bagi yang lelaki, dan ditusuk besi runcing nan merah membara untuk yang perempuan. Juga ini berlangsung terus-menerus dalam kurun waktu yang entah sampai kapan. Para pembohong dan munafik akan dipotong lidahnya kemudian diguyur cairan timah panas persis di batok kepalanya hingga luruhlah semua daging tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dan tinggal menyisakan belulang. Ini pun berlangsung tanpa kesudahan di tengah-tengah jilatan sang api abadi. Sementara mereka yang gemar memakan barang haram akan dilemparkan ke dalam sungai nanah sembari dijaga sebuah cemeti yang siap melecut untuk menenggelamkan mereka kembali pabila ada yang berusaha menepi dan mentas. Dan ini pun berlangsung dalam kurun waktu yang tak terhitung lamanya. Neraka itu, masih dalam cerita sang guru, juga dihuni binatang-binatang buas macam kalajengking dan ular berbisa yang siap-sedia meneror tiap orang yang dijebloskan ke sana.

Betapa mengerikan bahkan untuk sekedar dibayangkan!

Belakangan hari, saat duduk di bangku kelas dua SD, saya mendapati buku stensilan lusuh di lemari bibiku. Judulnya tak lain adalah Siksa Neraka. Isi ceritanya kurang lebih sama dengan yang pertama kali saya dapati dari guru ngajiku. Hanya di sana dilengkapi ilustrasi agar lebih jelas bagi pembaca dalam menangkap paparan ceritanya. Saya pun makin begidik saat membaca dan menghayati tiap-tiap gambar yang ada di dalamnya. Berhari-hari lamanya pikiran saya tenggelam membayangkan betapa mengerikannya siksa neraka. Sejak saat itu saya pun, meski masih amat belia untuk berpikir banyak soal agama, dilanda ketakutan akut. Alih-alih membayangkan tuhan sebagai sosok yang pengasih dan penyayang bak seorang ibu, saya justru menghayati tuhan sebagai sosok patriark yang kejam dan semena-mena persis sang maharaja lalim.

James Joyce, novelis kenamaan Irlandia, turut menggambarkan siksa neraka dalam novel semi-otobiografisnya, A Portrait of the Artist as a Young Man. Di sana Joyce menggunakan bahasa yang seakan-akan hendak ditujukan untuk meneror pembacanya. Berikut saya petilkan sebagian:

Siksaan terakhir yang paling dahsyat dari segala siksaan di tempat yang mengerikan itu adalah keabadian neraka! Oh, sungguh kata yang mengerikan dan menakutkan. Keabadian! Pikiran manusia yang seperti apa yang dapat memahami ini semua? Meskipun rasa sakit di neraka dulu tidaklah begitu mengerikan jika dibandingkan dengan sekarang, tetapi rasa sakit akan benar-benar nyata saat siksaan itu ditakdirkan untuk berlangsung selamanya. Tetapi, di samping rasa sakit itu tiada pernah berhenti, pada saat itu juga, sebagaimana kalian ketahui, rasanya sangat kuat dan tak dapat ditanggulangi, terus bertambah hingga tak tertanggungkan. Menanggung rasa sakit karena sengatan serangga selama-lamanya saja sudah bisa menjadi siksaan yang mengerikan. Lalu bagaimana rasanya jika harus menerima siksaan yang berlipat-lipat sakitnya di neraka selamanya? Selamanya! Tidak setahun atau seabad, tapi selamanya. Coba bayangkan arti ucapan mengerikan ini. Kalian sering kali melihat pantai. Betapa bagusnya butir-butir pasir itu! Dan betapa banyak butir pasir yang dibutuhkan untuk menjadi segenggam pasir yang diambil anak kecil saat bermain. Kini, bayangkan segunung pasir satu juta mil tingginya, menjulang dari bumi hingga ke langit yang terjauh, dan satu juta mil lebarnya, membentang dari ruang yang terpencil, dan satu juta mil tebalnya: bayangkan gundukan besar partikel pasir yang tak terhitung jumlahnya dilipatgandakan dengan jumlah daun yang ada di hutan, tetes air di samudera luas, bulu-bulu pada burung, sisik-sisik pada ikan, bulu-bulu pada binatang, atom di udara bebas: dan bayangkan pada akhir setiap satu juta tahun seekor burung kecil datang ke gunung itu dan membawa pergi sebutr pasir dari sana dengan paruhnya. Berapa juta abad yang dibutuhkan burung itu untuk memindahkan, bahkan cuma satu kaki persegi pasir dari gunung itu, berapa banyak eon abad untuk memindahkan seluruh gunung itu. Namun pada akhir rentang tahun yang sangat panjang itu kita masih belum bisa menyebutnya sepersekian kejap dari keabadian. Saat berbilyun-bilyun dan bertrilyun-trilyun tahun itu telah berakhir, kita tahu bahwa itu masih belum dikatakan sebagai awal keabadian. Dan jika gunung itu muncul dan tenggelam sesering terbit dan tenggelamnya bintang di langit, atom di udara, tetes air di lautan, daun di pepohonan, bulu pada burung, sisik pada ikan, rambut pada binatang, pada akhir setiap kemunculan dan kesirnaan gunung yang luasnya tak terukur itu tak bisa dikatakan sekejap dari keabadian telah berakhir, bahkan pada saat itu, pada akhir setiap masa sepanjang itu, setelah eon waktu yang bisa membuat kita pusing meski hanya memikirkannya saja, kita belum bisa mengatakan bahwa keabadian telah dimulai!”

Siksa nan abadi – betapa mengerikannya bahkan untuk sekedar dibayangkan!
Sementara saya mendapati uraian panjang kisah neraka, cerita ikhwal sorga yang saya dengar tak lebih dari “negeri yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan dihuni para bidadari yang selalu dalam keadaan suci”. Betapa terasa banal dan binal imajinasi para patriark dalam menggubah kisah sorga tersebut.

Kini saya berpikir, apa gunanya agama turut menyertakan “ancaman” siksa neraka dan “iming-iming” kehidupan surga dalam paket ajarannya di dalam kitab suci. Banyak orang yang pada akhirnya membaca kisah-kisah itu secara harfiah. Dan tak sedikit pula dari mereka yang kemudian menjadi picik pikirannya sehingga terjebak dalam militansi dan fanatisme buta dogma agama. Dalam hal ini, fundamentalisme tumbuh subur dalam tiga agama Ibrahimiyah yang memang mendendangkan syair surga dan neraka dalam kredo-kredonya.

Mungkinkah manusia kelewat bengal dan bebal untuk diajar dengan kebijaksanaan, sehingga para nabi mesti menggubah kisah surga dan neraka untuk memberadabkan hidup? Tapi bila itu alasannya, alangkah absurd dan lancutnya ia karena betapa pun kisah itu kemudian diimani orang ramai, manusia tetap saja bebal, bengal, dan jagal...[]

Sabtu, Maret 07, 2009

ponari

- coba memblejeti borok modernitas

Ponari adalah sebuah fenomena unik. Namanya menjadi pemberitaan media massa nasional semenjak puluhan ribu orang berbondong-bondong mendatanginya guna mencari kesembuhan bagi aneka rupa penyakit yang mereka derita. Tak ayal lagi, bocah kelas tiga SD di sebuah pelosok desa di kabupaten Jombang ini seperti menjadi “juru selamat” dadakan. Rangkaian kisahnya berawal dari petir yang menyambarnya di suatu sore saat ia bermain-main di tengah guyuran hujan; namun nyawanya selamat. Setelah selamat dari sambaran petir, ia justru menuai tuah. Konon, sebuah batu keramat ia dapatkan persis setelah petir menyambar tubuhnya.

Dari berbagai kesaksian para pasien, kisah penyembuhan oleh Ponari bukanlah isapan jempol belaka. Tiga orang tetangga saya memberikan testimoni ikhwal kesembuhan berbagai penyakit yang semula di deritanya. Seorang tetangga menderita reumatik dan asam urat, seorang menderita hernia, seorang lagi mengidap kanker kandungan. Mereka mengaku sembuh setelah meminum air yang dicelupi batu keramat Ponari. Sekilas terdengar mengada-ada, memang. Namun menganggap kesaksian para pasien sebagai kebohongan dan kenaifan hanya karena terdengar tak masuk akal adalah sebuah ketidakarifan. Kita tahu, modernitas dengan rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologinya bukanlah satu-satunya jawaban bagi segala problematika umat manusia.

Paradoks modernitas
Adalah sekelompok ilmuwan lintas disiplin yang tergabung dalam Madzhab Frankfurt yang mula-mula berusaha membeberkan paradoks modernitas. Horkheimer, Marcuse dan Adorno adalah yang paling masyhur dalam kelompok ini. Pokok pemikiran mereka kurang lebih demikian: Janji kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dibawa oleh modernitas adalah sebuah mitos. Ilmu pengetahuan, yang bercorak positivistis/mekanistis semenjak Newton dan Descartes di abad enambelas, alih-alih menyelamatkan peradaban manusia justru menjerumuskan umat manusia ke dalam kubangan penderitaan. Ilmu pengetahuan membawa watak totaliter yang inheren di dalam dirinya. Setidaknya kolonialisasi Eropa atas Asia, Afrika, dan Amerika, serta dua perang besar di abad ke duapuluh adalah contoh gamblang watak totaliter ilmu pengetahuan positivistis yang menjadi motor penggerak modernitas. Ilmu pengetahuan telah menjelma seperti tiran; ia hendak meniadakan liyan di luar dirinya sembari menahbiskan diri sebagai “satu-satunya yang patut bagi umat manusia”. Ia menjelma sebuah metanarasi yang menganggap narasi-narasi lain sebagai inferior.

Jean Francois Lyotard, pemikir posmodern Perancis, juga turut mengumandangkan peruntuhan metanarasi demi memberi jalan bagi narasi-narasi kecil untuk turut ambil bagian dalam membangun peradaban manusia. Hal yang sama juga didendangkan Jacques Derrida yang mengajak kita untuk menertawakan dan membongkar arogansi logosentrisme Pengetahuan Barat melalui pementasan Dekonstruksi. Logosentrisme, ujar Derrida, telah menutup kesempatan bagi para liyan (the others) untuk turut bersuara.

Teoretisi Madzhab Frankfurt menilai ilmu pengetahuan positivistis bersifat ahistoris. Ia mengabaikan sejarah/pengalaman umat manusia yang telah berlangsung ribuan tahun lamanya. (Karena bersifat ahistoris inilah ilmu pengetahuan menjadi totaliter dan tiranik serta “durhaka”.) Maka modernitas pun tak ayal lagi menggiring manusia pada keterasingan akut; manusia terisolasi dari hakikat kemanusiaannya, teralienasi dari pengalaman sejarah kemanusiaannya.

Erich Fromm, seorang psikoanalis yang juga bergabung dalam Madzhab Frankfurt, menyebut modernitas sebagai biang segala penyakit sosial dan politik dewasa ini. Masyarakat modern, kata Fromm, adalah masyarakat yang atomistis (teralienasi dari lingkungannya) yang membuat jiwanya kesepian dan rentan. Interaksi sosialnya hanya dibangun terbatas pada kesamaan kepentingan: perjumpaan di tempat kerja, di jalan, di mall, dsb. Ini menjadikan interaksi manusia modern minim kedekatan emosional. Manusia modern merasa hidup sendirian meski berada di tengah-tengah orang lain, sementara pikirannya terfokus mengejar karir dan kerap dilanda kekhawatiran akan hari depan.

Dengan demikian, sudah selayaknya kita tidak menjadikan kisah batu keramat Ponari sebagai bahan olok-olok. Di kalangan masyarakat Barat yang notabene lebih maju dalam berbagai aspek kehidupan, mistisisme dari Timur seperti Yoga, Meditasi, Budhisme dan Sufisme, telah menjadi tren dalam beberapa dekade belakangan ini. Di sana orang berusaha mencari ketenangan batin, kebahagiaan, dan penyembuhan bagi penyakitnya yang tak tertangani oleh pengobatan medis. Sekedar contoh lain, tiap tahun jutaan orang Eropa berziarah ke makam Jalaludin Rumi di Turki dan para mistikus besar lainnya di India dan Tibet guna menggali pengalaman spiritual yang tak mereka dapati dalam cara beragama yang konvensional.

Mistisisme bukanlah lawan rasionalisme; ia adalah sebuah jalan lain bagi manusia untuk memeluk hakikat eksistensinya...[]

a l o n e

saya sedang menikmati kesendirian bersama hujan
karena engkau telah melupakanku
mengabaikanku..

mungkin saya hanya sebutir debu
terinjak kakimu tanpa kau sadari ada-ku..

saya merindukan engkau memelukku
namun berpaling sejenak pun engkau tidak
hanya derai hujan membasuh tubuhku
memandikan jiwaku..

sungguh saya rindu kamu
betapa pun jahatnya engkau
saya tak bisa membenci api meski ia membakar
karena ia juga menerangi
juga menghangatkan..

saya sungguh merindumu..

Senin, Maret 02, 2009

“angon”

- tut wuri handayani

Menyimak kisah bocah penggembala domba bernama Santiago dalam novel Sang Alkemis karya Paulo Coelho, juga hikayat John si Gila gubahan Kahlil Gibran, membuat ingatan saya terlempar pada petilasan masa belasan warsa silam.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar dulu saya berkawan akrab dengan Joni, Nurkholik, dan Edi. Joni adalah seorang penggembala kambing. Sepulang sekolah, ia langsung bergegas menggembalakan kambingnya yang berjumlah tujuh ekor di tanah persawahan tak jauh dari rumahnya. Tak jarang, sepulang sekolah, saya dan dua kawan lainnya ikut serta menemani Joni menggembalakan kambingnya seraya bermain layang-layang atau mandi di kali. Sebagai anak-anak desa, sungai dan layang-layang adalah dua hal yang sanggup memberikan keceriaan pada kami di siang hari. Apalagi saat itu keberadaan televisi masih amat terbatas, hanya segelintir orang kaya saja yang memilikinya. Masa itu juga belum ada permainan ala “Dunia Simulacra” seperti yang kini disuguhkan Sony dengan PlayStation-nya. Maka, hanya layang-layang dan sungai yang menjadi perekat persahabatan dan ajang mencari keceriaan.

Joni tipikal anak periang meski sedikit temperamental. Ia juga gemar membual dan membikin olok-olok yang membuat kami semua kagum pada keliaran imajinasinya. Tapi yang paling membuat kami berkesan adalah sifat “angon” yang ada dalam dirinya. Di sekolah ia adalah ketua kelas kami. Meski sosok yang sedikit temperamen, ia cukup toleran kepada keberagaman watak dan perilaku siswa-siswi sekelas. Ia hanya tegas dan bertanggungjawab, tak pernah memaksakan kehendak biarpun ia punya banyak inisiatif bagi kemajuan kelas kami. Mungkin bukan kebetulan bila ia adalah penggembala kambing dan seorang ketua kelas. Sifat “angon” mungkin menjadi benang merah di antara dua predikat yang disandangnya itu.

Pernah suatu hari seekor kambingnya memisahkan diri dari kawanannya. Hingga senja memerah di ufuk barat, kambing itu tak lekas kembali. Joni pun bingung mencarinya ke sana-kemari. Mestinya saat senja seperti itu, ia sudah bisa pulang ke rumah dan lekas memandikan badan untuk kemudian berangkat menimba ilmu agama di surau dekat rumahnya. Namun hingga suara adzan magrib bergema dari pengeras suara masjid di seberang areal persawahan, kambing itu tak kunjung ditemukannya. Baru setelah hari benar-benar gelap, kambing itu didapatinya kesasar di tengah ladang tebu, tak jauh dari areal persawahan. Lantas digiringnya sekawanan kambingnya itu pulang. Ia sendiri mengikuti sembari mengawasi dan membimbing mereka menyusuri jalan menuju rumah.

Menjadi penggembala mungkin sudah semestinya memiliki sifat “angon”. Tak salah kiranya bila semboyan lembaga pendidikan di negeri ini adalah: Tut Wuri Handayani. Semboyan itu diambil dari ucapan Ki Hajar Dewantara: “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya kurang-lebih demikian: di depan memberi suri tauladan, di tengah membangunkan kehendak, di belakang “angon” (membimbing dan mengawasi). Lembaga pendidikan (baca: para pendidik) haruslah memiliki jiwa “angon” kepada para anak didiknya. Mereka sejatinya adalah para penggembala yang mesti mengawasi dan membimbing anak didiknya dalam bertumbuh-kembang menjadi insan yang berharkat dan bermartabat. Lembaga pendidikan bukanlah “mesin cetak” yang berfungsi melakukan indoktrinasi nilai-nilai tertentu demi menghasilkan manusia yang seragam dalam berpikir dan bertindak. Indoktrinasi jelas tidak selaras dengan semboyan Tut Wuri Handayani; ia tak lain adalah fasisme pendidikan. Kita mafhum: fasisme hanya menganggap manusia tak ubahnya lempung yang bisa dicetak menurut satu selera tertentu para pemegang kuasa.

“Angon” juga bisa berarti menunjukkan jalan, bukan memaksakan jalan...[]

Minggu, Februari 22, 2009

obituari sebuah blog

- buat ann

Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kangen untuk membaca tulisan-tulisanmu. Atau sebenarnya telah sejak lama aku kangen pada tulisan-tulisanmu namun baru sekarang aku mengungkapkannya lewat catatan ini. Ya, semenjak kau hapus blogmu beberapa bulan silam, serasa ada sesuatu yang terenggut dariku. Sejujurnya, dan kurasa kau telah tahu itu, aku adalah salah satu pengunjung rutin blogmu, pembaca setia catatan-catatanmu. Aku ingat kau pernah bilang dalam sebuah komentar anonim pada salah satu catatan di ruang ini: ngeblog akhirnya menjadi sekedar pamer tulisan. ingin dibaca. ingin dilihat. ingin dimengerti. ingin dikagumi. Itukah alasanmu mengakhiri keberadaan blogmu dan berhenti menulis? Ataukah, seperti pernah kau akui sendiri, karena tulisan-tulisanmu yang selalu emosional? Lalu apa salahnya dengan semua itu? Aku hanya suka membacai catatan-catatanmu, dan merasa kehilangan di kala kau telah memutuskan untuk mengakhirinya.

Aku tak pernah tahu bagaimana menulis yang ideal dan sempurna, menjadi penulis yang ideal dan sempurna, menjadi blogger yang ideal dan sempurna, tanpa sifat-sifat “negatif”. Sebagaimana aku juga tak pernah tahu bagaimana menjadi manusia yang ideal dan sempurna, tanpa sifat-sifat “negatif”. Kau bilang bahwa kau cacat, tak-sempurna; tapi adakah manusia yang tak-cacat dan sempurna? Aku hanya menganggapmu unik dan istimewa. Dan cerita-cerita yang kau suarakan dalam catatan-catatanmu adalah juga cerita-cerita milik banyak orang yang tak sempat dan tak sanggup menyuarakannya dalam tulisan.

Aku sendiri tetap menulis dan memposkannya di blog ini, dan aku tak tahu apakah dengan begitu aku sekedar pamer tulisan, ingin dibaca, ingin dilihat, ingin dimengerti, dan ingin dikagumi. Juga aku tak tahu apakah semua itu memang memalukan untuk terus dilakukan. Aku hanya ingin menulis dan menulis, lantas memajangnya dalam blog ini. Selebihnya, tak terlalu kupersoalkan.

Mungkin aku memang seorang grafomania, bukan manusia yang ideal dan sempurna; juga tak seistimewa kau yang mampu untuk terus berupaya membungkam segala yang tak-ideal dan tak-sempurna di dalam diri manusia.

Aku rindu cerita-ceritamu...[]