Rabu, Februari 27, 2008

rembulan rasa amarah

rembulan biru di peraduan


semalam, datang sekuntum rembulan menyapaku dalam peraduan sepi
ia bergegas menawarkan mimpi
segera kulucuti sehelai-sehelai lapis pakaian di tubuhnya
kulihat sinar memancar benderang menyilaukan mata
aroma wangi menyeruap menusuk-nusuk dinding dadaku
riuh kurasakan mengalir di sekujur tubuhku
laiknya anak sungai tak muat menampung banjir bah di alurnya


aku melonjak tak kuasa menahankan benturan-benturan
di dinding-dinding pikiranku
kulihat rembulan meliuk binal menggoda
tapi aku tetap tak kuasa menyentuhnya
kuisyaratkan ia mendekat ke wajahku
lantas kurapatkan mulut ke pendengarannya
tapi bicara tak hendak meluncur dari bibirku
tersangkut duri-duri pita suara sendiri


segera kuisyaratkan ia lekas pergi
dan sekejap cahaya biru melesat ke luar lewat jendela membentur daunnya
terburai memenuhi sekujur kamarku


malam itu kuhabiskan waktu dalam lelap
berselimut kebiruan perasaan hingga fajar terbit menyala merah marah
di ufuk langit timur...




sekuntum rasa tertinggal


tiada perlu kusesali apa yang tak kuasa tergapai
karena kulihat malam tak menyisakan apapun menjelang pagi
hanya senoktah embun di pucuk-pucuk dedaun


tanganku boleh meraih yang disukai tapi jiwaku tak hendak
mulutku mampu melontarkan apa yang ingin dilesapkan pada udara
tapi keinginanku tak mau


jiwaku tak bercita mempertahankan apa yang telah berkeinginan melangkah
pergi menjauh
hatiku tak berangan tinggi meraih apa yang memang tak hendak memilikinya
tapi satu yang termohon dalam diri ini
tinggalkanlah sekuntum rasa agar ku tak dilalap sepi...




amarah dalam secangkir kopi


saat perjalanan pulang ke rumah kos
sore kemarin, tak kunyana hujan mendadak tumpah ruah ke bumi
tanpa aba-aba dan tanda bahaya sebelumnya kecuali langit muram nestapa
tubuh mendadak basah kuyub seperti kecebur kali


segera kubikin secangkir kopi penawar dingin badan dan pikiran
tapi segera pula jengkel menyeruap dalam benakku
karena buku-buku ikutan bermandi air hujan
abjad-abjad dan tanda baca juga gambar di dalamnya
menggigil kedinginan


kubikin tumpah marah ke dalam secangkir kopi yang masih kepanasan itu
kopi berombak sejenak lalu meruah berbulir-bulir di lantai kamar dingin
mirip diobrak-abrik amarah seekor cecak yang terkubang di dalamnya karena
ingin mencicipi lezat dan manisnya
petang hari sebelumnya...



Tepian Kali Bedadung, lewat tengah malam 25 Februari 2008

Minggu, Februari 24, 2008

Tuhan, Agama & Kekerasan

Ada sepasang kakek-nenek yang hidup di sebuah rumah kecil di tengah ladang di tepian sungai Bedadung, di kampung kelahiranku. Mereka masih ada hubungan kekerabatan denganku. Sang kakek, yang punya nama Jamal, adalah saudara kandung nenekku. Saya kerap datang mengunjunginya tatkala ada waktu senggang. Mbah Jamal, begitu saya biasa memanggilnya, adalah orang yang masih menganut kepercayaan Jawa kuno, sekalipun ia juga mengenal dan mengamalkan beberapa ajaran Islam. Barangkali ia bisa disebut sebagai “kaum abangan”—meminjam istilah Clifford Geertz—yaitu orang yang mengenal agama (Islam) namun masih mengamalkan tradisi dan ajaran-ajaran kuno Jawa. Setahu saya, ia tak pernah bersembahyang lima waktu, meski ia mengikuti tradisi-tradisi Islam yang lain, seperti puasa Ramadhan dan merayakan Lebaran.

Pernah saya bertanya, kenapa ia tak mau menunaikan salat. Tapi saya tak mendapatkan jawaban yang jelas darinya, kecuali: “belum ada keinginan,” begitu jawabnya singkat. Tapi di lain sisi, mbah Jamal adalah orang yang rendah hati dan sangat perhatian kepada orang lain, lebih-lebih kepada sanak keluarganya. Setiap kali saya datang mengunjunginya, ia selalu berwejang kepadaku mengenai nilai-nilai luhur yang mesti dijunjung tinggi dalam hidup ini. Kerendah-hatian, kehati-hatian, hampir selalu ia pesankan kepadaku untuk senantiasa diamalkan dalam mengarungi hidup ini. Mbah Jamal juga selalu mengajarkan kepadaku lafal do’a-do’a dalam bahasa Jawa kuno. Ia selalu mengingatkan saya untuk tak lupa melafalkan do’a-do’a itu setiap hendak melakukan aktifitas apapun. Agar tidak tergelincir dalam hidup, agar terhindar dari marabahaya, dan selalu dalam lindungan Sang Mahakuasa, begitu pesannya pada saya—menekankan arti penting do’a-do’a itu. Tapi karena mungkin saya adalah tipikal manusia yang nyaris sepenuhnya bercorak pikiran modern, maka saya merasa amat kesulitan untuk melaksanakan petuah-petuah yang diberikannya itu.

Anti-agama

“Agama adalah candu,” kata Marx. “Kalau satu orang mengalami delusi (waham) maka ia adalah gila. Tapi delusi yang diidap banyak orang, itulah agama,” sindir para pengikutnya. Barangkali itu adalah luapan kemuakan mereka terhadap praksis agama yang justru melanggengkan penindasan dan ketimpangan di tengah-tengah masyarakat, bukan mencerahkan dan membebaskan manusia dari segala penyakit sosial yang menderanya. Tentu saja banyak orang tak setuju dengan keyakinan kaum atheis-komunis itu. Kalau praksis agama menyimpang, maka yang patut dipersalahkan adalah manusianya, dan bukan agamanya yang mesti dilucuti. Manusia butuh agama sebagaimana ia butuh makan dan minum. Agama adalah kebutuhan naluriah dan mendasar dalam diri manusia. Sebagaimana hasil riset Danah Zohar dan Ian Marshall, yang menemukan adanya “God Spot” di dalam otak manusia, spiritualitas adalah kecenderungan dasariah manusia—yang mustahil untuk diingkari. Manusia adalah makhluk yang senantiasa rindu akan nilai-nilai transendental, yang akan menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang tak kasat mata: sesuatu yang ilahiah. Dan manusia akan selalu berusaha menggapainya melalui berbagai cara.

Memang, pada dasarnya spiritualitas berbeda dengan agama. Spiritualitas bersifat abstrak. Ia adalah pengalaman rasa di dalam diri manusia. Sedangkan agama adalah salah satu perwujudan dari spiritualitas. Ia nyata dan memiliki seperangkat nilai-nilai tertentu, dan biasanya melembaga. Namun demikian, dalam pengekspresiannya, spritualitas membutuhkan agama sebagai wadah dan metodenya. Tanpa agama, manusia tentu akan kebingungan mengekspresikan spiritualitasnya tersebut. Dalam peradaban masa lampau, di mana banyak masyarakat belum mengenal agama, tidak jarang spiritualitas diekspresikan melalui cara-cara yang justru menistakan (ke)manusia(an), seperti misalnya: mengorbankan nyawa manusia sebagai persembahan/tumbal bagi para dewa. Untuk itulah, agama dibutuhkan sebagai sarana dan petunjuk bagi manusia dalam mengekspresikan kerinduannya terhadap sesuatu yang transendental dan tak kasat mata itu (spiritualitas).

Citra paradoksal agama

Namun begitu, ada fenomena lain yang menyimpang dari tujuan awal manusia dalam beragama (dalam mengekspresikan spiritualitasnya). Jika tujuan awal manusia dalam beragama adalah karena ingin menyalurkan kerinduannya terhadap nilai-nilai spiritual yang luhur dan abadi, maka dalam praksisnya tak selamanya hal itu berhasil dicapai oleh setiap orang. Dalam sejarah peradaban manusia, tak selamanya agama (di)tampil(kan) sebagai nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Adakalanya agama justru adalah sesuatu yang garang dan mengancam. Di tangan para ekstremis dan fundamentalis, agama berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Agama diusung dengan langkah penuh marah. Asma Tuhan diteriakkan dengan nada penuh kebencian. Kebesaran Tuhan disebut-sebut dengan tangan yang mengepal, dengan mulut yang mengobarkan api kemarahan. Agama hendak diperjuangkan, bukan didakwahkan. Berjuang tentu sulit untuk meninggalkan cara-cara kekerasan, baik dengan tangan maupun lisan, dan juga senjata. Sementara berdakwah lebih—dan hanya—mengutamakan pendekatan kemanusiaan, pendekatan hati, yang santun dan mulia. Sementara agama adalah nilai-nilai luhur yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan spiritual di dalam diri manusia, pantaskah ia diperjuangkan (baca: dipaksakan)?

Di tangan para ekstremis dan fundamentalis, dari agama mana pun, citra agama bukan lagi sebagai mata air jernih dan menyejukkan sebagaimana disuri-tauladankan oleh para Nabi, puluhan abad silam. Sebaliknya, ia berubah menjadi api yang membakar, menjadi senjata yang menggilas dan membunuh. Dalam keimanan para ekstremis, agama tak hendak diletakkan di dalam diri manusia, melainkan di atasnya. Agama hendak ditampilkan sebagai tiran, sekalipun ia diteriakkan sebagai “tuhan”.

Saya jadi teringat ungkapan kontroversial Gus Dur. “Tuhan tak perlu dibela,” katanya. Kalangan fanatis pun sempat ‘kebakaran jenggot’ oleh statemen itu. Barangkali Gus Dur, seperti juga kita, tak habis pikir dengan sikap agresif kalangan fanatis yang menempuh cara-cara destruktif untuk “membela” Tuhan (dan agama). Kita bisa melihat contoh kasus yang terjadi belum lama ini perihal keberadaan aliran Al-Qiyadah, juga Ahmadiyah, yang dianggap sesat oleh MUI. Dalam pemberitaan media, kita bisa saksikan bagaimana reaksi orang-orang fanatis terhadap para pengikut kedua aliran tersebut. Mereka dipukuli hingga babak belur dan berdarah-darah, rumah dan tempat ibadahnya pun ada yang dibakar. Beginikah cara orang “membela” Tuhan dan agama? Dengan memukuli dan menyakiti, tanpa perikemanusiaan, mereka yang dianggap menodai agama dan menentang Tuhan? Kalau demikian, benar kata Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela. Karena “tuhan” telah menjelma jadi tiran, yang menindas dan menggilas, lewat tangan para ekstremis dan fanatis.

Kalau memang sulit untuk meneladani akhlak mulia para Nabi, karena terpaut jarak waktu yang terlampau jauh, barangkali para ekstremis, fanatis dan fundamentalis itu perlu berkaca kepada orang-orang seperti mbah Jamal di atas, yang tak pernah meneriakkan kata “agama” dan “Tuhan” tapi sesungguhnya menyimpan erat keduanya di dalam dirinya, dan diterjemahkannya lewat tindak laku rendah hati dan penuh kasih kepada sesama makhluk. Ya, Tuhan (dan agama) tak perlu ‘dibela’, tapi diejawantahkan, dalam laku mulia dan terpuji... [ ]

Wahyu Puspito S. / 23 Februari 2008

Sabtu, Februari 23, 2008

Republik yang (di)robek



Republik ini dirobek-robek bukan oleh kaum separatis Aceh dan Papua.

Republik ini dirobek-robek bukan oleh tindakan culas Malaysia ataupun Singapura.

Tetapi oleh orang-orang yang kita percaya dan kita amanati untuk mewakili kita dalam mengelola negara.


Hati saya terketuk untuk membikin tulisan (atau puisi, barangkali) di atas setelah membaca sebuah artikel di kolom opini harian Jawa Pos/Indo Pos terbitan hari ini (23/02) berjudul Sihir Lapindo yang ditulis oleh Agoes Ali Masyhuri. Paragraf pertama tulisan pengasuh Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Sidoarjo, itu saya kira cukup menyentuh hati. Bernada mirip sebuah puisi. Berikut saya kutipkan utuh paragraf pertama itu:


“Di tengah-tengah pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, carut marutnya perekonomian, kubaca tanda kedustaan, merobek republik ini. Keluhan dan jerit terdengar nyaring di segala sektor kehidupan masyarakat Porong, Jawa Timur, tentang adanya upaya sejumlah anggota DPR yang memutarbalikkan fakta sebenarnya semburan lumpur Lapindo.”


Sang penulis artikel tentu saja sedang mengungkapkan jerit penderitaan puluhan ribu masyarakat porong yang sedang ‘dianiaya’ oleh semburan lumpur panas dari tambang gas milik pengusaha terkaya republik ini, Aburizal Bakrie, yang punya duit dan aset lebih 50 Triliun rupiah. Jerit nestapa ribuan manusia itu rupanya masih kurang nyaring dan kurang menunjukkan nuansa duka di hati para pejabat republik ini, terutama para anggota dewan yang katanya terhormat itu, lebih-lebih di hati tuan Bakrie dan para anggota kartel bisnisnya.


Agar jerit nestapa itu terdengar lebih nyaring lagi, dan ekspresi kedukaan ribuan manusia—yang sesungguhnya sudah menyentuh titik nadir itu—bertambah muram lagi, maka dibikinlah serangkaian upaya—yang dalam hal ini dilaksanakan oleh tim BP2LS DPR yang diketuai oleh Soetardjo Soerjoguritno, salah satu wakil ketua dan tetuo parlemen kita. Dan rupanya, upaya yang dilakukan oleh tim pimpinan mbah Tarjo itu cukup jitu dan menunjukkan hasil memuaskan. Lewat serangkaian “pengamatan” dan “kajian ilmiah” di lapangan, tim yang berjumlah 29 orang itu mendapatkan “kesimpulan” yang cukup membuat rakyat, terutama puluhan ribu korban lumpur, merasakan pengalaman suspense dan surprise layaknya menonton sinema horor di bioskop. Apa lacur, dengan Pede-nya, tim pimpinan mbah Tarjo itu “berkesimpulan” bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah murni gejala alam, bukan akibat kesalahan Lapindo. Itu fakta “ilmiah”, kata mereka.


Dan mendengar kesimpulan yang dibacakan di gedung dewan itu, para tikus pun bersorak girang penuh kemenangan... di sawah-sawah, di gudang-gudang, dan terutama sekali yang di gedung-gedung, lebih-lebih di gedung dewan itu sendiri. Lantas bagaimana dengan kucing-kucing? Kucing-kucing tentu saja melongo, tersudut tanpa daya, sedih dan merana. Mereka tersungkur dalam putus asa melihat tikus-tikus memperoleh kemenangan gilang-gemilang.


Temuan “ilmiah” tim itulah yang sempat membuat para korban lumpur beberapa hari lalu sampai mengusung keranda mayat, seperti diliput pemberitaan media. Entah ditujukan kepada siapa keranda kematian itu sebenarnya. Tapi itu hanyalah acara teatrikal semata. Ekspresi paling dalam dari manusia-manusia yang secara sangat sistematis dan terencana dipinggirkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita tahu, kematian adalah puncak kedukaan bagi manusia, luruhnya semua harapan, lebih-lebih harapan yang paling akhir. Maka kita bisa memafhumi, seperti apa kira-kira duka nestapa yang sedang dipikul oleh puluhan ribu manusia warga Porong, Sidoarjo, itu. Nestapa yang dengan amat ‘cerdik’ dan ‘kreatif’ dikonstruksi oleh para “wakil rakyat” itu, tak terkecuali wakil puluhan ribu korban itu sendiri.


“Di tengah-tengah pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, carut marutnya perekonomian, kubaca tanda kedustaan, merobek republik ini....”


Agoes benar. Republik ini dirobek-robek bukan oleh kaum separatis Aceh dan Papua, tetapi justru oleh orang-orang yang kita percaya dan kita amanati untuk mewakili kita dalam mengelola negara. Republik ini dirobek-robek bukan oleh tindakan culas Malaysia ataupun Singapura, karena tindakan dua negara tetangga itu justeru menyadarkan kita semua betapa berharganya republik ini. Republik ini dirobek-robek justru oleh para cerdik cendekia, oleh orang-orang yang lebih lihai dari tupai dan lebih licin dari belut dalam bermanuver politik, namun telah tertular wabah perangai pemilik pes. Ya, republik ini telah dirobek-robek! Dan kita patut berduka untuk itu... [ ]


23 Februari 2008




Nostalgia Hujan

dan kisah buku yang membikin bodoh


Abjad pertama dari ribuan butir huruf dan tanda dalam tulisan ini kutatahkan bersamaan dengan butiran-butiran hujan yang mulai turun mengguyur kotaku.
Sebelumnya, saya berdiri di atas balkon lantai dua rumah kosku yang menghadap ke pekarangan belakang rumah. Di sana saya menatap ke arah timur. Seratusan meter dari tempatku berdiri ada sungai Bedadung yang berkelok dari utara ke barat. Di seberangnya sana, berderet rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah kos para mahasiswa/i. Dan di seberang sana pula-lah berdiri bagunan beton kampusku, lengkap dengan segenap gairah dan problematika sivitasnya.

Hujan makin mengganas hingga tempiasnya menerpa tubuh dan wajahku. Saya bergegas masuk ke dalam kamar. Segera kuambil posisi duduk di depan komputer dan mulai menari-narikan jemari tanganku di tuts-tuts kibor. Dalam ruang dan waktu tersebut, pikiranku juga menari-nari, meliuk-liuk untuk menemukan segala apa yang hendak kutuliskan di sini. Saya bingung hendak menuliskan apa-apa saja kali ini. Ada banyak gagasan dan kegalauan yang berseliweran di dalam benakku, saling berebutan dan memaksaku untuk menuliskannya satu per satu. Tapi saya hanya punya dua tangan dengan sepuluh batang jari, jadi mana mungkin saya sanggup menumpahkan semua ide dan galau itu ke dalam ruang putih tak beratap ini, secara lengkap dan tuntas.

Seringkali saya mendapati perasaan diri yang makin limbung dan linglung setiapkali menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Setiap buku yang saya lahap lembar demi lembarnya, juga setiapkali menghabiskan satu dua jam untuk membuat satu tulisan di dalam helai-helai kertas virtual komputer ini, saya mendapati diri malah merasa semakin bodoh dan tak tahu apa-apa. Setiap pengetahuan baru yang kudapati di dalam buku, dan setiap gagasan juga kegalauan yang berhasil kutumpahkan dalam catatan ‘membosankan’ seperti ini, malah membuat saya merasa makin banyak saja hal-hal yang tak dan belum kuketahui. Tak pernah saya mendapati diri merasa makin pintar dan berilmu tatkala mengkatamkan satu atau dua buku dalam waktu dua kali duapuluh empat jam. Sebaliknya, buku-buku itu malah menunjukkan pada saya hal-hal baru yang samasekali belum kuketahui, dan acapkali terasa jauh dari jangkauan kemampuan saya. Juga setiap tulisan yang berhasil saya pahatkan di dalam ruang global tak bersekat ini, semakin mengembangbiakkan lebih banyak lagi gagasan dan kegalauan di dalam benak dan isi kepalaku. Ahh, saya makin merasa bodoh dan pusing saja jadinya...

Saya memandang ke sekeliling ruangan kamarku. Ada puluhan buku yang kutata rapi berderetan di lantai dan kusandarkan di dinding kamar. Ada sekira lima puluhan buku berbagai bidang kajian, termasuk beberapa novel, yang berbaris rapi layaknya para serdadu sedang berupacara itu. Di rumahku (rumah ibu-bapakku tepatnya) masih ada seratusan judul buku lagi yang kubariskan rapi di rak, dan sebagian besarnya sudah kukatamkan. Total, hingga saat ini, saya pernah membeli sekitar seratus lima puluhan buku, sebagiannya ada yang dipinjam teman dan belum pernah kembali hingga detik ini. Seingatku, lebih dari seratus judul buku yang pernah kupinjam dari teman dan juga dari perpustakaan. Jadi kalau dijumlah, ada sekitar 250-300 biji buku yang pernah kubaca, tapi itu belum termasuk buku-buku yang pernah saya baca saat masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. Saya tak ingat lagi secara detil buku-buku apa saja dan berapa jumlahnya yang pernah saya baca saat masih menjadi anggota komunitas berseragam itu. Yang jelas, dari sekian ratus buku yang pernah saya baca itu, saya tak merasa mendapati diri yang makin pintar dan konfiden. Sebaliknya, saya justru terdampar pada “teritori asing” di mana saya merasa tak banyak tahu tentang apa-apa yang semestinya saya ketahui dan kuasai. Ahh, mungkin benar ungkapan “semakin banyak yang kau ketahui, akan menunjukkan kepadamu lebih banyak lagi yang tak kau ketahui.” Dan karena itulah saya menjadi semakin bodoh saja rasanya.

Saya teringat kurun waktu enam tahun yang lewat, tatkala saya menjadi siswa (yang tak maha) di jurusan kimia Unibraw—PTN paling terkemuka di kota dingin Malang. Ada seorang dosen yang mengampu mata kuliah Biologi Dasar—saya lupa namanya. Ia bertubuh ceking dan selalu berpenampilan sederhana, malah terkesan mirip seorang seniman. Baju dan celananya jauh dari kesan necis, lusuh malahan menurutku. Kalau orang yang tak mengenal dia, mungkin akan mengiranya sebagai pegawai administrasi kampus. Setahuku, dia ke kampus mengendarai mobil Willy’s bikinan tahun tujuhpuluhan. Di ruang kuliah, ia bicara sekedarnya saja, terkadang juga bercerita tentang pahit manisnya menjadi tenaga pengajar di Indonesia seperti yang ia alami. Namun siapa sangka kalau ternyata dosen satu ini menyandang titel Doktor dari universitas Bonn di Jerman sana. Saya segan dan tak berani bertanya buku apa saja dan berapa banyak yang sudah dilahapnya. Pada waktu itu saya menganggapnya sebagai dosen aneh, karena jebolan doktoral Jerman namun penampilannya malah mirip tukang kebun. Padahal saya lihat dosen-dosen lain yang cuma lulusan Magisteral dari perguruan-perguruan tinggi kampungan di Indonesia saja berpenampilan necis dan punya mobil lumayan mentereng. Di depan mahasiswanya pun master-master kampungan ini selalu menepuk dada dan bicaranya bergemuruh (belakangan saya anggap gaduh, malah). Saya enggan untuk menanyakan kepada dosen-dosen saya itu berapa banyak dan buku apa saja yang sudah dituntaskannya. Cukup saya ingat-ingat peribahasa lama, “Air beriak tanda tak dalam. Air tenang menghanyutkan.”

Rasanya saya mesti segera mengakhiri tulisan ini sebelum hujan di luar sana berhenti tumpah. Saya ingin bernostalgia dengannya, mengangkat kembali kenangan akan hujan: “dulu sekali, semasa kecil, saya selalu tumpah ruah bersama teman-teman sebaya, di jejalanan desa, membentangkan kedua tangan, menengadahkan wajah ke langit, membuka-nutup mulut, mencumbui hujan...”

WPS,

Tepi Kali Bedadung, Januari 2008

Jumat, Februari 22, 2008

ruanglapang-ku...














Semalaman saya tak tidur. Tiga jam lamanya, mulai 23.00 WIB, saya mengutak-atik ruanglapang ini. Maklum, blog ini baru saya bikin beberapa hari lalu, jadi masih belum begitu sempurna. Sebelumnya, saya aktif mempublikasikan tulisan di blog friendster dalam setahun terakhir ini. Ada sekira enampuluhan biji tulisan yang telah terpajang di sana. Karena ingin “berekspansi” melapangkan ruang, saya bikinlah blog ini. Saya pilih nama adress-nya: ruanglapang. Dan semalaman itu, saya sibuk memperbaiki tampilan dan aksesorinya. Mengedit posting-posting terdahulu, juga memposting beberapa tulisan baru. Ada lebih 30 biji tulisan yang telah saya posting di bulan ini saja. Memang, kebanyakan adalah tulisan lama, yang sebelumnya saya publikasikan di blog friendster. Namun demikian, beberapa di antaranya harus saya revisi dan edit lagi, serta saya kasih “sentuhan” sana-sini agar lebih perfect dan enak dibaca.

Seperti lazimnya orang yang punya barang baru, pasti ia amat sayang dan perhatian dengan barang barunya itu. Demikian pula saya terhadap ruanglapang ini. Namun, saya akan terus berupaya merawatnya, dan memperbaruinya setiap saat, agar saya tak pernah bosan dan hilang perhatian terhadapnya, hingga kapan pun jua. Oh, ruanglapang-ku, tempatku menuang pikiran dan perasaan, mengalirkan intuisi, inspirasi dan juga emosi...

22/02/2008


Kamis, Februari 21, 2008

Menulislah !

If You want to keep Your sanity, You’ll teach yourself to write. Kalimat tersebut saya temukan dalam kata pengantar novel Surat Cinta Dari Kairo karangan Luna Syahrazade. Jika ingin menjaga kesegaran pikiran dan mentalmu maka menulislah, begitu saya mengartikan kalimat itu. Saya sangat mengamininya, terlebih saya telah membuktikannya sendiri bahwa kalimat itu bukanlah omong kosong ataupun sekedar kata-kata mutiara usang. Saya telah membuktikan sendiri, betapa besar pengaruh positif yang diberikan pada kesegaran pikiran dan mental oleh aktivitas menulis. Menulis dan membaca adalah dua aktivitas yang saling berkorelasi positif. Semakin banyak membaca akan membuat kita semakin mahir dalam menulis. Sebaliknya, semakin banyak menulis akan mendorong kita untuk semakin banyak lagi membaca.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, menulis bisa jadi adalah sesuatu yang sangat rumit dan sulit untuk dilakukan. Hal ini dapat dipahami mengingat bagi masyarakat kita, aktivitas membaca terlanjur dianggap membosankan dan nirfaedah. Membaca diidentikkan dengan kemalasan, karena saat membaca, orang hanya duduk diam, kadang juga sambil tidur-tiduran. Membaca dianggap sebagai prilaku asosial (orang yang gemar membaca dianggap sebagai orang yang enggan bersosialisasi). Bagaimana pun juga, kebanyakan masyarakat kita sampai saat ini memang masih miskin apresiasi terhadap tradisi aksara, dan lebih antusias pada tradisi wicara. Jangankan masyarakat awam yang hanya menamatkan pendidikan dasar, orang yang pernah mencicipi bangku perguruan tinggi saja masih banyak yang belum memiliki apresisi memadai terhadap budaya baca.

Sebagai bagian dari masyarakat yang berkarakter seperti saya sebutkan di atas itu, kegemaran membaca dan menulis pada diri saya kadang membuat saya malah merasa tertekan. Seolah-olah saya mendapati diri menjadi makhluk asing, yang menyimpang dari karakter dan budaya umum masyarakat. Saya menjadi seperti teralienasi, karena terlampau berbeda dengan kecenderungan umum. Namun demikian, saya paksakan diri untuk tetap bertahan dan tidak meninggalkan kegemaran membaca dan menulis. Bagaimana pun juga, saya menemukan dari aktivitas menulis yang saya lakukan, sebuah energi positip yang diserap oleh pikiran dan menjadi semacam ”unsur hara” yang menyuburkan kreatifitas pikiran dan meyegarkan mental. Dan sungguh teramat disayangkan kalau saya sampai menyerah begitu saja pada kecenderungan umum masyarakat yang menomorbututkan aktivitas dan budaya baca.

Sebenarnya kegandrungan saya untuk menulis merupakan hal yang wajar mengingat sejak kecil saya termasuk book aholic atau philobiblic alias pecandu/pecinta buku. Sejak masih duduk di bangku SD, saya sudah keranjingan dengan aktivitas membaca, dan hingga saat saya kuliah S1 sekarang ini saya semakin keranjingan dengan hampir semua tema bacaan. Kecanduan membaca itulah yang pada akhirnya mendorong saya untuk menggoreskan tinta di atas kertas (dan kini mengetuk-ngetukkan jemari tangan pada papan kibor komputer). Mula-mula menulis catatan harian di buku diari, kemudian berlanjut menulis puisi. Dan kini, saya kecanduan untuk menuliskan segala hal—apapun yang terlintas di benak dan pikiran saya. Selagi ada kesempatan dan cukup energi, saya tak segan-segan menuliskan apa saja, sepanjang tidak melanggar norma-norma dan tata susila yang berlaku di masyarakat.

Pernah ada seorang kawan yang mengeluh, “Kenapa skripsi itu harus ditulis, sebenarnya langsung saja dipresentasikan secara lisan kan lebih enak, tidak membuang-buang kertas dan lebih meringankan beban mahasiswa?” Saya kurang tahu persis apakah kawan saya itu memang tak punya cukup waktu untuk menuliskan skripsinya, sehingga ia sangat menginginkan skripsi yang cukup disampaikan secara lisan. Tapi yang jelas, saya kurang setuju kalau kita dijauhkan dari pengenalan keterampilan menulis. Ini bukan karena saya punya kemampuan untuk menulis dan sekaligus punya banyak waktu untuk melakukannya. Namun ada hal yang lebih penting dari sekedar ‘mencorat-coret’ kertas dalam aktivitas menulis. Menulis, sebagaimana melukis, pada dasarnya adalah mengalirkan pikiran kita, menuangnya ke dalam lembaran demi lembaran. Kita tahu bahwa air yang sehat adalah air yang senantiasa mengalir, sedangkan air yang tak bergerak akan menjadi sarang penyakit, kotor dan berbau tak sedap. Demikian pula dengan pikiran. Ketika ia diam tak bergerak maka ia akan dipenuhi oleh aneka macam penyakit yang mengancam kesehatan mental. Pikiran butuh dialirkan, dituangkan. Dan via tulisan, pikiran akan mengalir secara lebih baik dibandingkan menuangkannya lewat wicara. ”Saat menulis, aku bisa berpikir lebih baik daripada saat berbicara,” ungkap Jostein Gaarder dalam novelet Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.

Saya yakin, pada dasarnya semua orang bisa menulis, asalkan ia pernah dan suka membaca. Memang, menulis, sebagaimana juga kemampuan lain, terkait erat dengan talenta yang notabene bersifat terberi (given). Tapi itu tidak berarti bahwa seseorang yang merasa ataupun dianggap tak memiliki kecenderungan bakat menulis maka ia tak akan pernah bisa menulis. Bakat itu pun juga menuntut untuk diasah lewat latihan secara kontinyu. Dan saya yakin bahwa setiap orang memendam bakat apapun, termasuk menulis, di dalam dirinya—sekecil apapun itu. Asalkan punya kemampuan untuk mengeja kata (membaca), saya yakin menulis bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan.

Dan mengingat-ingat kembali ucapan kawan saya di atas, saya jadi berpikir, bagaimana seandainya sejarah dan pengetahuan cukup disampaikan secara lisan, dan tak usah diabadikan dalam bentuk tulisan? Ah, bisa jadi saat ini kita akan tetap berada dalam masa pra-sejarah—masa yang sering diidentikkan dengan periode uncivilized society—kalau saja tak ada satu manusia pun yang menggoreskan penanya (atau apapun jenis alat tulis lainnya) di dinding-dinding goa, di atas serpihan kayu dan batu, di helai-helai kulit binatang, di lembaran-lembaran daun lontar, di halaman-halaman buku, serta di ruang-ruang lapang dunia maya ini. Karena itu, menulislah... [*]



Idealisme vs Pragmatisme

Dalam sebuah obrolan ringan di sebuah warung kopi bersama beberapa rekan kuliah beberapa malam lalu, saya mendapati keluh kesah sebagian rekan mengenai progresi ke depan selepas menanggalkan baju toga pasca acara wisuda nanti. Sebagian rekan itu bingung hendak bekerja apa dan di mana nantinya. Saya kira, sindrom pesimisme seperti yang diidap kawan-kawan saya itu bukanlah sesuatu yang aneh dan langka saat ini. Kita tentu sudah mafhum dan maklum bahwa kini ijazah sarjana bukan lagi sebuah “kartu garansi” bagi gilang gemilangnya hari depan sebagaimana puluhan tahun silam. Sudah menjadi pemandangan umum saat ini, begitu banyak sarjana yang keleleran tak kebagian kesempatan kerja. Jangankan bersikukuh dengan idealisme yang digenggam kuat-kuat tatkala masih berstatus mahasiswa, bersikap pragmatis pun belum tentu dapat mendatangkan kemudahan dalam memburu kesempatan memperoleh sandaran hidup yang layak.

Kenyataan tersebut tentulah amat menggiriskan bagi banyak mahasiswa yang saat ini sedang berkutat dengan wacana-wacana keilmuan di bangku kuliah. Sementara di bangku kuliah kita mempelajari wacana-wacana kritis (Marxisme, misalnya), di depan sana telah menunggu tantangan mahaberat yang tanpa belas kasihan akan menggilas dan menghempas siapa pun yang tak hendak berkompromi dengannya. Tak sedikit sarjana yang semasa kuliahnya begitu lantang meneriakkan pemberontakan terhadap kemapanan dan segala bentuk status quo, pada akhirnya mesti angkat tangan dan tunduk kepada kenyataan yang berkebalikan dengan obsesi dan idealismenya.

Ah, entahlah. Mungkin memang idealisme tak musti diharapkan bakal terwujud secara bulat-bulat. Paling tidak, ia sudah memberikan corak dan warna lain dalam diri kita: kesadaran kritis. Dengan idealisme, kita bukan lagi “zombie” yang hidup bergentayangan, yang memeluk erat pragmatisme dan kosong dari ide-ide kritis—sekalipun pada akhirnya ideal yang kita impikan itu harus terberai oleh ganasnya realitas yang kita hadapi. Bagi kita, yang cuma sebutir debu, yang tak punya cukup kuasa untuk melawan arus besar peradaban yang menerjang apa saja yang hendak melawannya, membangun ide(al) dan berusaha mewujudkannya semampu daya, saya kira sudah cukup. Tak perlu berharap berlebihan, tapi juga tak perlu pesimistis dengan ide(al) sendiri. Karena, bukankah sebagian realitas pada awalnya juga adalah sebuah ide(al)? [ ]

21 Februari 2008

The Work Aholics

“Orang yang terlalu sibuk sangat jarang bisa mengubah pendapatnya,” demikian ujar Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan ungkapan kiasannya, “Tuhan telah mati”.


Mungkin ada benarnya juga ungkapan sang filsuf tersebut. Orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas tak akan lagi memiliki waktu untuk merenungkan jengkal demi jengkal, detik demi detik, kehidupan yang telah dilewatinya. Seorang pecandu kerja (work aholic) amat jarang memiliki kesempatan untuk berpikir introspektif, menelusuri dunia pikiran dan bathinnya sendiri guna menemukan apa yang sekiranya masih salah atau sekedar kurang tepat dalam hidupnya untuk kemudian diubah dan diperbaiki. Orang yang terjebak dalam rutinitas dan aktivitas mekanistis—yang teramat sedikit memberikan ruang bagi ide dan pemikiran kreatif-inovatif—tak ubahnya sebuah mesin. Ia bergerak dan terus bergerak semakin kencang tanpa memiliki kesadaran kritis atas segala yang telah ia kerjakan. Ia hanya menjalani kewajiban, tanpa dapat menikmati setiap detik aktivitasnya dengan pikiran dan kesadaran yang terbuka dan kritis. Kehendaknya sudah tak lagi berpangkal pada pertimbangan nalar akal sehat, melainkan telah berpindah ke dalam ruang naluriah yang sulit untuk dikendalikan. Ia tak lagi punya otoritas atas sikap perbuatannya, karena ia telah menjadi sub-ordinat dari instingnya sendiri. Dan bukankah sisi paling gelap dan misterius pada diri manusia yang sulit untuk dipahami dan dikendalikan—sebagaimana didiagnosa oleh Freud—tak lain adalah naluri/pikiran bawah-sadar? Singkatnya, manusia yang hanya sibuk dengan rutinitas dan hilang kemampuan kritisnya untuk mempertanyakan pada diri sendiri atas segala sikap perbuatannya, pada dasarnya ia telah masuk dalam dunia gelap, ruang misterius, yakni alam naluriahnya sendiri. Di situ ia akan menjadi ’budak’ dari pikiran bawah-sadarnya sendiri.


Seandainya dibuat perumpamaan, orang yang terjebak dalam rutinitas ibarat orang yang masuk ke supermarket dengan membawa segepok uang tunai. Ia comot setiap barang yang terlihat menarik tanpa mempertimbangkan asas kemanfaatan (utility) dari barang tersebut. Asalkan kelihatan menarik maka diambil saja, toh ia membawa uang dalam jumlah berlimpah. Sampai suatu ketika, saat ia tak lagi memiliki uang, baru akan ia sadari bahwa di antara barang-barang yang dibelinya, terdapat barang yang tak bermanfaat dan tak dibutuhkan. Sementara itu, barang yang memiliki manfaat sudah tak bersisa lagi saat masih dibutuhkan, sementara uang sudah habis untuk dapat membelinya lagi. Muncullah sesal yang sesungguhnya bisa dihindari seandainya ia mau berpikir kritis di sela-sela aktivitas yang dijalaninya.


Semasa duduk di bangku SMA dulu, saya punya teman wanita yang tergolong seorang pecandu kerja. Ia aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Saya sampai berpikiran begitu hebatnya teman satu ini. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan aktivitas-aktivitas di sekolah. Mulai dari OSIS, PMR, Pramuka, sampai olah raga bela diri ia ikuti dengan sangat antusias. Pada awalnya saya kagum dengan ketangguhan dia, apalagi ia adalah seorang wanita, suatu fenomena yang tak biasa dan langka dalam masyarakat kita. Meski semua itu membutuhkan banyak pengorbanan, termasuk dengan menelantarkan prestasi akademisnya, namun kawan ini begitu menikmati segala aktivitasnya yang menurut saya amat melelahkan—dan mungkin juga menjenuhkan. Dan barangkali karena kekaguman itu akhirnya saya berusaha mendekati dia, bermaksud mengenal lebih dekat pribadinya, karena sebenarnya saya juga penasaran dengan dia, penasaran dengan kehebatan dan spiritnya yang meluap-luap dalam menjalani rutinitasnya sehari-hari.


Sampai pada titik tertentu saya mendapati kenyataan bahwa kawan tersebut bisa dikatakan seorang yang keras kepala. Ia selalu bersikukuh dengan pendapat dan sikapnya sendiri, dan sulit untuk menerima kritik dan saran dari orang lain. Setiap kali ada orang yang mengritik, ia tanggapi dengan antipati, kejengkelan, dan tak jarang juga ngambek. Kalau dikatakan bahwa wanita itu berasal dari tulang rusuk Adam, yang apabila bengkok maka harus diluruskan dengan cara halus dan lembut, saya jadi berpikir apakah itu juga berlaku bagi kawan satu ini. Kalau orang yang keras hati itu di lain sisi juga memiliki kelembutan hati, setahu saya orang yang keras kepala samasekali sulit untuk bisa tersentuh oleh suatu kritik yang datang dari orang lain. Orang keras kepala senantiasa bertahan dengan pendapatnya sendiri yang melekat kuat-kuat dalam alam bawah sadarnya (sub-consciousness), dan tak memiliki “jarak pandang” yang cukup untuk dapat mengamati segala tingkah lakunya sendiri secara obyektif. Saat nasi sudah menjadi bubur, barangkali ia baru akan sadar bahwa ia sedang menanak nasi. Dan lucunya lagi, biasanya bubur itu akan dibuang begitu saja, bukannya dimanfaatkan agar bisa menggantikan fungsi nasi untuk mengisi kekosongan perutnya.


Akhirnya, bukan maksud saya untuk mengusik apalagi menyindir Anda semua yang termasuk dalam kategori work aholic. Saya sekedar mengungkapkan unek-unek dan pemikiran saya pribadi yang samasekali tak bebas dari khilaf dan kesalahan. Toh kebenaran mutlak, saya yakin, tak ada di dunia ini. Yang ada hanyalah kebenaran nisbi, dan itupun tak ada orang yang memegang “hak paten” dan “lisensi”nya. Setiap orang punya hak dan peluang yang sama untuk mendapatkan, memiliki, meyakini dan mengungkapkan kebenaran (yang nisbi) itu. [ ]


07 September 2007

Menertawakan Hidup















Sekali waktu kita perlu buat menertawakan hidup, menertawakan lakon diri sendiri di pentas dunia ini. Tertawa itu perlu sebagaimana menangis juga berguna. Konon, orang yang tak bisa tertawa akan mudah terserang tegangan syaraf, mengakibatkan penyakit jantung hingga stroke. Apa sebab kita butuh tertawa dan menertawakan diri sendiri? Karena hidup penuh dengan ketidakpastian, penuh kisah derita nestapa, penuh ketidakadilan, penuh ujian—kata orang beriman, dan penuh yang lain-lain yang tak bisa disebut satu per satu karena saking banyaknya.


Coba tengok para buruh pabrik, nelayan, petani, pedagang kaki lima di negeri ini. Bagaimana bisa orang-orang yang bekerja membanting tulang bermandi keringat dan kadang juga memeras otak seharian masih hidup serba kekurangan? Di lain sisi, orang yang tak banyak mengeluarkan energi, yang lebih banyak duduk di belakang meja, dan sesekali menggelar pertemuan-pertemuan dengan relasi, menerima pendapatan yang melimpah ruah.


Konon, memang kerja dengan otak plus selembar ijazah perguruan tinggi bonafit akan dihargai berpuluh beratus kali lipat dibanding yang cuma mengandalkan tenaga dan keterampilan semata, apalagi tanpa ijazah memadai. Sekedar contoh, pegawai lapangan PLN menerima gaji tak lebih dari satu juta, sementara sang direktur digaji sekitar seratus lima puluh juta! Tukang kebun di kompleks gedung DPR diupah 500 ribu sebulan, sementara para anggota dewan yang katanya terhormat itu mengantongi bayaran 60 juta—itu belum termasuk tunjangan, komisi, dan aneka jatah lainnya yang jumlahnya juga jutaan. Adilkah? (Ah, silakan Anda jawab sendiri dengan terlebih dahulu bertanya pada perasaan sendiri). Dan marilah kita tertawa untuk itu semua… menertawakan para pelaku sandiwara ketidakadilan itu, dan menertawakan diri sendiri karena cuma bisa melongo menyaksikan kekonyolan tersebut…


Coba tengok juga tragedi manusia Indonesia di negeri seberang. Hampir tiap hari kita dengar kabar berita para TKW yang menjadi korban penganiayaan majikannya, para TKI yang menjadi buron aparat berwenang setempat karena tak memiliki dokumen resmi alias ilegal. Sementara di lain sisi, pemerintah yang kita pilih lewat pemilu dengan biaya triliunan rupiah, dan yang setiap bulannya kita gaji puluhan juta per kepala, ternyata juga tak banyak berbuat apa-apa guna mencari solusi buat saudara-saudara kita yang musti bekerja di negeri rantau untuk menyambung nafas keluarganya itu. Lucu kan? Maka tertawakan saja kekonyolan pemerintah kita itu, dan tertawakan pula diri sendiri karena cuma bisa mengelus hati…


Sedikit mengintip realitas di luar sana, kita akan tahu kekonyolan yang diperbuat oleh pemerintah AS di Afghanistan dan Irak. Berdalih ingin memburu Osama sang dedengkot Al Qaeda, dan beralasan menghukum Irak karena tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal, digempurlah dua negeri itu. Setelah ribuan nyawa sipil tak berdosa melayang, sementara Osama dan senjata pemusnah massal tak pernah ditemukan, AS pun mencari-cari alasan lain. Padahal, seperti kebanyakan orang tahu, motif perang tak lain dan tak bukan adalah ekonomi: perekonomian AS akan lesu jika military industrial complex-nya tak berproduksi dan senjata-senjatanya tetap mangkrak di dalam gudang karena tak ada perang; juga minyak dan kekayaan alam di kedua negeri tersebut yang menggiurkan untuk dihisap. Ini juga lumayan lucu, kan?


Dan masih banyak tragedi-tragedi lain umat manusia yang tak kalah seru dan lucu yang juga perlu ditertawakan. Maka tertawalah selagi masih ada kesempatan untuk tertawa, karena bisa jadi suatu saat nanti akan muncul diktator baru, yang menjadikan negara sebagai leviathan, serupa monster menakutkan, yang besar kemungkinan akan melarang rakyatnya bertingkah macam-macam, bahkan sekedar tertawa saja akan dikenai pasal subversif karena dianggap bisa mengancam stabilitas keamanan nasional. Lucu kan?...


Panggung sandiwara, 19 Sept 2007


Senin, Februari 18, 2008

Small is Beautiful...

Ada seorang penjual nasi pecel di sebuah pasar kecil di pinggiran kota yang juga dekat dengan kampus almamaterku. Ia biasa dipanggil Bu Mansur. Entah namanya sendiri siapa. Mansur adalah nama suaminya yang sejak tujuh tahun lalu telah almarhum. Tempatnya berjualan adalah sebuah petak warung berukuran 3x4 meter persegi. Pelanggannya adalah para abang becak dan anak-anak sekolah di sekitarnya, juga beberapa mahasiswa yang indekos di dekat pasar tersebut—saya salah satunya. Ia berjualan dari pukul 10 pagi hingga jam 3 sore. Saya dan kawan-kawan serumah kos biasa “sarapan siang” di sana. Harga sepiring nasi pecel plus segelas es teh cuma 2000-2500 perak. Dengan nominal sebesar itu—atau sekecil itu, lebih tepatnya, di tengah laju inflasi sembako yang melejit sejak akhir 2007—perut sudah bisa bertahan selama enam jam dari sergapan rasa lapar. Dari sepetak warung nasi pecelnya yang dijalankan sejak akhir tahun tujuhpuluhan itulah, Bu Mansur bertahan hidup dan membesarkan anak-anaknya. Tahun 2002 lalu, bahkan ia berangkat menunaikan ibadah haji.

Bu Mansur adalah potret kesederhanaan, kesabaran dan keuletan pelaku ekonomi negeri ini. Ia mewakili kesahajaan jutaan pedagang kaki lima, pengusaha warteg dan seluruh pelaku ekonomi mikro di seantero negeri kepulauan ini. Pernah sekali saya bertanya, kenapa tak memperbesar warungnya untuk meraih laba yang lebih besar. Ia jawab: dari warungnya yang kecil itu saja ia sudah merasa berkecukupan dalam hidup, kenapa harus menghendaki lebih. Tersirat dalam kata-katanya: ia ingin berbagi kesempatan dan rizki dengan sesama. Saya pun terheran-heran dan sekaligus kagum. Di tengah iklim persaingan usaha yang kian memanas akhir-akhir ini, Bu Mansur—juga para pelaku ekonomi kecil lainnya—dengan segenap kelegawaannya berani membatasi hasrat dan keinginannya sendiri. Kenyataan demikian tentu saja amat kontras dengan perilaku (pemilik) bisnis besar yang menghalalkan segala cara untuk menggelembungkan modal dan asetnya, tak terkecuali dengan menggusur semua pesaingnya lewat segala cara, yang sah maupun ilegal.

Saya mencoba berandai-andai. Kalau saja para pelaku bisnis besar di negeri ini, juga di seluruh dunia, punya kesadaran dan pola pikir seperti Bu Mansur, Pak Man, Bang Ucup, dan para pelaku usaha mikro lainnya, mungkin kondisi peradaban manusia tak akan sampai berada dalam jurang ketimpangan sosial-ekonomi yang tak terjembatani seperti saat ini. Lihatlah betapa kekayaan para (segelintir) konglomerat negeri ini dihasilkan lewat cara yang—kerapkali—sangat menyayat hati: eksploitasi alam dan (penyingkiran) manusia. Kita boleh bangga punya Aburizal Bakrie yang pengusaha terkaya di negeri ini—dengan aset lebih 50 Trilyun—dan sekaligus menteri sosial itu. Namun tidakkah hati kita teriris melihat betapa terlantarnya puluhan ribu manusia yang menjadi korban luapan lumpur di Sidoarjo, yang diakibatkan kecerobohan dan keserakahan salah satu unit usaha milik klan tuan Bakrie itu?

Kita bisa bayangkan, berapa jumlah manusia yang tergusur dan tersungkur oleh keberadaan bisnis-bisnis besar waralaba macam “mekdi”, “kentaki”, “danking donat”, indomart, dan aneka macam konglomerasi usaha lainnya. Kemunculan bisnis jaringan raksasa macam itu sekilas memang kita mafhumi sebagai bentuk pergerakan maju zaman (baca: tuntutan zaman) di tengah arus deras modernisasi gaya hidup, terutama yang melanda kaum perkotaan. Bahkan usaha macam itulah yang kerap menjadi lokomotif gerbong-gerbong peradaban modern kita saat ini. Di lain sisi, kita menganggap unit-unit usaha tradisional macam kaki lima dan aneka usaha mikro lainnya sebagai “sisa-sisa dunia lama” yang tak sanggup mengafirmasi dan mengikuti tren pergerakan zaman. Namun pernahkah kita menyadari, bahwa eksistensi usaha-usaha kecil—seperti warung nasi pecel Bu Mansur itu—sesungguhnya adalah sebuah oasis di tengah kelamnya peradaban materialistis-kapitalisme zaman ini? Ada nilai-nilai kearifan nan luhur yang tetap dipertahankan oleh para pelaku bisnis kecil tersebut: semangat kesederhanaan dan kesahajaan, serta semangat keberbagian (kesempatan dan rizki) dengan sesama. Ia adalah sebuah katarsis bagi peradaban kontemporer kita yang kusut masai dan dipenuhi ancaman disintegrasi kohesi masyarakat global. Ia adalah sebuah jalan lapang bagi terciptanya masyarakat egaliter yang terhindar dari jurang menganga kesenjangan sosio-ekonomi. Ia adalah praksis menuju tatanan masyarakat adil, makmur dan merata. Ia adalah sebuah metode sederhana namun manjur, yang tak perlu teoritisasi pelik dan rumit ala Marxisme, dan jauh dari nuansa kekerasan serta pertumpahan darah seperti dicitakan kaum komunis-marxis via revolusi proletarian.

Namun di dalam sebuah dunia bercorak kapitalistik saat ini, mengharapkan peran usaha kecil sebagai sokoguru perekonomian nasional, tidakkah itu sebuah bentuk utopia baru? Di tengah gempuran gelombang dahsyat kapitalisme global yang bersemayam dalam tubuh korporasi-korporasi multinasional (MNCs) dan lembaga-lembaga internasional hegemonik seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, mengharapkan kesederhanaan dan kesahajaan perilaku ekonomi, tidakkah itu sebentuk mimpi di siang bolong?

Sebagi bangsa yang “ber-pancasila” dan “ber-UUD ’45”, jelas-jelas digariskan dalam kedua “manuskrip” tersebut, bahwa bangunan kenegaraan kita—including ekonominya—dilandasi semangat kebersamaan dan keberbagian—dalam keberbagaian. Maka sudah selayaknyalah, usaha kecil-menengah di negeri ini diberi perhatian lebih dan serius agar kelak bisa menjadi pilar-pilar yang tangguh dalam menopang eksistensi bangsa dan negara. Dan ini bukanlah sebuah fatamorgana—paling tidak, ia adalah sebuah alternatif: sebuah jalan moderat di tengah ekstrimitas ekses negatif yang diakibatkan oleh membabi butanya laju modernisasi ala kapitalisme dewasa ini. Bagaimana? []

WPS, 04 Februari 2008.






Pengemis & Demokrasi

.: sebuah parodi

Di suatu sore, beberapa hari lalu, di salah satu konter fotokopi sekitar kampus almamaterku, ada seorang tua berumur sekira tujuhpuluhan tahun yang meminta uang kepada para pengunjung di sana. Saya awasi pengemis tua itu berpindah dari satu pengunjung ke pengunjung lain sambil berbicara yang tak begitu jelas suaranya. Lantas tiba gilirannya ia mendatangi saya yang saat itu sedang berdiri antri menunggu giliran fotokopi. Ia bicara lirih dan suaranya agak tertahan-tahan di tenggorokannya. Saya tak begitu paham apa maksud dari kata-katanya itu, karena ia bicara dalam bahasa madura sedangkan saya orang jawa yang tak menguasai bahasa orang-orang saudara sesuku Trunojoyo dan Pak Sakerah itu. Lantas saya ulurkan tanganku dengan menyodorkan dua kepeng duit recehan masing-masing bernominal duaratus perak. Tapi pengemis tua itu bukannya lekas beranjak pergi dari hadapanku, malahan ia kembali berkata-kata. Saya paksakan menyimak kata-katanya, yang selain tetap dituturkan dalam bahasa madura juga tetap dengan suara yang kabur. Akhirnya saya menyadari bahwa orang ini sedang komplain kepada saya. Saya dengar ia mengucapkan kata “sebu”, yang setahu saya berarti: seribu. Rupanya pak tua ini tak mau cuma saya kasih duit empat ratus perak, ia minta seribu. Saya turuti permintaannya. Kuraih dompet di dalam saku dan sejurus kemudian kuserahkan selembar uang ribuan kepadanya. Ia pun langsung bergegas pergi selepas menerima duit seribu dari tanganku itu. Dan yang membuat saya agak geli, duit empatratus rupiah yang kuberikan terdahulu tak dikembalikannya. Dan tak mungkinlah saya memintanya lagi, tak sebanding dengan malu yang musti kutanggung seandainya saya nekat memintanya kembali (emangnya bayar karcis, minta kembalian segala, he-he-he..). Rupanya seorang pengunjung di dekatku juga mengeluhkan sikap pengemis tua yang ngarani dalam meminta-minta itu. Nampaknya ia juga ‘ditarget’ uang seribu rupiah oleh pengemis tua tersebut.

Terus terang saya merasa iba bercampur jengkel kepada pengemis tua itu. Ada rasa kasihan dalam diri saya melihat orang seuzur itu harus menjual dan menggadaikan sisa-sisa hidup dan kehormatannya dengan menjadi peminta-minta. Barangkali memang hanya itulah jalan rezeki satu-satunya yang ia miliki. Namun begitu, harusnya sebagai pengemis ia bersikap “profesional”, begitu keluh saya dalam hati. (Aha, adakah pengemis yang kenal dengan konsep profesionalisme? Bahkan kaum “kerah putih” saja banyak yang tak profesional). Profesional yang saya maksudkan bagi pengemis adalah menerima dengan lapang hati berapa pun nominal duit yang diberikan kepadanya oleh si pemberi, dan juga ikhlas apabila sekali-dua ada orang yang tak mau memberinya barang serupiah pun. Bukannya malah meminta dengan nominal yang ia tentukan sendiri, dan memprotes jika si pemberi mengulurkan uang dengan nominal yang tak sesuai dengan yang ia minta. Kalau begitu, apa bedanya pengemis dengan preman di pasar dan terminal, ha? Soal kekerasan? Bahkan protes karena dorongan egoistik itu pun sudah merupakan bentuk kekerasan: silent violence, kekerasan tak bersuara—meminjam terminologi Rieke Diah Pitaloka.

Fenomena peminta-minta di lingkungan perkotaan memang sudah menjadi kelumrahan di negeri ini; sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tak hanya di kota saya yang kecil, di metro Surabaya apatah lagi Jakarta, pengemis muncul bak cendawan di musim penghujan. “Ada gula, ada semut,” begitu kata pepatah lama. Di mana ada kemakmuran, di sanalah orang berduyun-duyun untuk ikut mencecapi manisnya hasil pembangunan. Barangkali ini juga salah satu “efek rembesan ke bawah” (trickle-down effect) dalam rangka pemerataan kue pertumbuhan ekonomi—seperti yang digembar-gemborkan kaum liberal dan neoliberal di balik kedok pembangunan dan globalisasi. Hanya saja fenomena pegemis itu tentu saja luput—atau malah sengaja diluputkan—dari identifikasi mereka dalam teoritisasinya. (Tak mungkin lah kaum intelek pengusung dan pembela nekolim itu bersedia dengan legawa menyebutkan dalam teorinya: “mengemis adalah salah satu cara/metode pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi model pasar bebas.” Mustahil, sekalipun dalam pikiran mereka menyadarinya. Gengsi, tau! Begitu olok-olok seorang kawan tempo hari.)

Selain di pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya, pengemis juga banyak bergentayangan di area kampus. Bahkan saya kerap menemui pengemis berusia muda dan paruh baya. Mereka yang seharusnya sanggup untuk membanting tulang memeras keringat ternyata juga ikut-ikutan menjadi pengemis. Lantas apa sudah tak adakah kesempatan kerja atau jalan penghidupan lain buat mereka selain menjalani profesi nista itu, tanya saya dalam hati. Di sebuah negeri yang konon gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo dan bahkan “tongkat dan batu pun tumbuh jadi tanaman” (seperti dilagukan Koes Plus), kenapa orang musti menjadi peminta-minta untuk menyambung hidupnya? Bahkan pula, tak sedikit di antara para pengemis itu adalah anak-anak usia pra-sekolah dan sebagian berusia di bawah sepuluhan tahun, bahkan ada beberapa yang balita (Anda pernah melihatnya sendiri tentunya). Tunas-tunas bangsa yang duapuluh-tigapuluh-empatpuluh tahun lagi punya hak dan kewajiban untuk turut menahkodai perjalanan bangsa mengarungi peradaban, tak luput juga terjerembab dalam jurang nista. (cuihh!—kali ini saya kembali bicara soal bangsa, soal negara: sesuatu yang bagi saya amat muluk-muluk dan—tentu saja—absurd! Sumpah! Tapi sungguh terpaksa, ada yang ‘menggoda’ di sana untuk saya tuliskan di sini.)

Aih, bukankah saat ini pun bangsa kita sudah dipimpin oleh kalangan pengemis? Pengemis dalam wujud dan rupa yang lain tentu saja. Pengemis yang tak berpenampilan lusuh, bermuka kusut atau pun berpakaian compang-camping seperti laiknya pengemis pada umumnya. Melainkan pengemis dalam strata yang teramat tinggi dan dihormati—tentu saja karena titel dan posisinya. Pengemis yang bahkan kaum cendekia kritis macam Joseph Stiglitz dan Hernando De Soto pun sampai terheran-heran dengan prilaku dan jalan pikiran mereka. Konon kaum cendekia seperti Stiglitz dan De Soto itu tak habis pikir dengan perilaku sebagian pemimpin negara-negara Dunia Ketiga, apatah lagi Indonesia, yang kerap mengeluhkan minimnya modal finansial untuk melaksanakan agenda pembangunan (baca: modernisasi) di negaranya. Padahal, seperti kita tahu, Dunia Ketiga adalah gudangnya sumber daya alam (raw material) mulai dari rempah-rempah hingga minyak bumi. Mereka kerap meminta-minta dengan sangat kepada negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk dikucuri dana segar dalam jumlah berlimpah. Tentu saja kucuran utang itu tidak gratis, “there is no free lunch”—sebuah satire tentang beratnya konsekuensi yang musti ditanggung oleh negara pengutang. Dan tentu saja imbalannya adalah menghambakan diri dengan serendah-rendahnya kepada sang pemberi utang, dengan cara melayani semua kepentingan mereka yang disodorkan kepada kita. Sementara mengemis utang, para pemimpin itu malah memiliki perilaku yang sungguh tidak mencerminkan bahwa mereka adalah pemimpin negara yang miskin finansial dan terbelakang dari peta percaturan ilmu pengetahuan dan teknologi. Anda sudah tahu sendiri tentunya, bagaimana glamournya kehidupan para pemimpin kita—seperti yang ‘kebetulan’ tertangkap sorot kamera media massa. Kalau Anda ingat kasus skandal seks/perselingkuhan salah seorang pentolan legislatif/DPR pusat, Yahya Zaeni, dengan artis dangdut Maria Eva, pada 2007 lalu, jangan lupa bahwa itu hanyalah sebuah “pucuk mungil” dari “gunung es” yang ‘kebetulan’ muncul ke permukaan. Di bawah pemukaan, tentu Anda bisa bayangkan sendiri seperti apa keadaannya. (Saya tak kuasa menuliskannya. Silahkan direka-reka sendiri...)

Kalau Singapura para pemimpinnya hidup sederhana dan bersahaja, sementara pada tahun lalu di Jepang dua orang menteri mati bunuh diri karena dituduh melakukan korupsi, maka di ”negara pancasila” ini justru orang bisa jadi pemimpin kalau ia gemar berfoya-foya, mengobral uangnya, dan—tentu saja—tak punya lagi deposit rasa malu. Orang yang masih punya rasa malu dan tak suka mengobral uangnya, jangan sekali-kali bermimpi bisa menjadi pemimpin di negeri ini, bahkan sekedar menjadi lurah atau kepala desa sekalipun tak bakalan kesampaian. Sumpah! Begitu kata seorang tetangga tempo hari saat ngerasani kejelekan nasibnya sendiri. Ia maju sebagai salah satu kandidat dalam kontestasi pemilihan kepala desa (pilkades) beberapa tahun lalu, dan tentu saja ia hanya menduduki posisi juru kunci karena modalnya “cuma” selembar ijazah sarjana tanpa menyediakan uang berlimpah-ruah. Dan ironisnya, ia dikalahkan oleh seorang kandidat yang hanya lulusan Kejar paket B (pendidikan setara SMP di masa Orba) namun punya modal sawah puluhan hektar luasnya.

Kalau pengemis berpakaian compang-camping, berpenampilan lusuh seperti yang sering kita lihat di jalan-jalan, di pasar, dan di area kampus, mungkin membuat kita merasa risih bahkan jijik, karena mereka mengganggu keyamanan dan pemandangan. Namun pernahkah kita menyadari bahwa substansi pengemis yang melekat dalam diri orang-orang di dalam gedung legislatif, eksekutif dan yudikatif di negeri ini sesungguhnya menyimpan bahaya yang tak kepalang tanggung besarnya bagi nasib dan masa depan orang-orang se-negara? Pernahkah kita menyadari bahwa seorang penjual gorengan di Jakarta yang mati gantung diri beberapa hari lalu, seperti yang diberitakan media itu, sesungguhnya ia adalah korban dari sebuah kebijakan negara (khususnya dalam bidang ekonomi) yang dicetuskan oleh para pemimpin yang bermental pengemis? Bahkan kalau suatu kali kita, Anda dan saya, merasa diri mendapati nasib buruk dalam upaya pemenuhan kebutuhan materi, padahal sudah merasa maksimal berbuat dalam segala hal, jangan lupa bahwa kita adalah juga seorang warga negara yang tak bisa lepas dari jerat kebijakan menghambakan diri kepada kapital(is) asing—kebijakan yang tentu saja hanya dicetuskan oleh para decision maker bermental pengemis. Orang yang merdeka dan masih punya harga diri, sudah barang tentu tak akan melahirkan kebijakan sehina itu.

Menyadari kondisi bangsa yang kian tersuruk pada titik nadir seperti saat ini, adakalanya saya merasa “iri hati” dengan bangsa Iran yang punya Ahmadinejad, Venezuela dengan Chavez-nya, juga Bolivia yang dipimpin Evo “el commandante” Morales. Anda tahu tentu saja, bahwa tiga negara tersebut adalah “setan kecil” (menurut pandangan Amerika Serikat dan sekutunya) yang selalu menentang “kewibawaan” negeri Paman Sam tersebut. Tiga negara itu adalah “ancaman” baru bagi AS, di samping ”ancaman” dua “setan besar”, yakni Rusia dan China. Tapi pasca runtuhnya Komunisme—dan tentu saja usainya Perang Dingin—saya tak lagi percaya bahwa apa yang dikatakan “buruk” oleh AS memang demikian adanya. Saya justru beranggapan sebaliknya. Bahwa yang dipandang buruk oleh AS sesungguhnya adalah baik, dan yang dikatakan baik oleh mulut Bush sesungguhnya adalah buruk. Logika yang sederhana namun cukup untuk menelanjangi kebusukan agenda kepentingan pemerintahan Bush terhadap negeri-negeri yang punya kelimpahan kekayaan alam macam negara-negara Timur Tengah, Amerika Latin, dan—tentu saja—Asia Tenggara (Indonesia di urutan teratas, tentunya!). Karena perkataan Bush, setahu saya, tak lain adalah retorika seorang penjajah—mewakili kaum penjajah, begitu lebih tepatnya. Adakah perkataan yang dilontarkan kaum penjajah itu punya nilai kebenaran bagi pihak yang dijajah? Dan tidakkah itu semua adalah retorika dan muslihat yang memperdaya—muslihat srigala kepada sekawanan domba?!

Saya, juga Anda barangkali, layak untuk berharap memiliki pemimpin yang masih punya muka dan sanggup menegakkan batang lehernya di hadapan (kepentingan) pihak asing. Kalau saat ini Iran, Venezuela dan Bolivia punya figur yang “garang” dalam menghadapi segala keculasan, kerakusan dan kedurjanaan “sang kaisar” (baca: pemerintahan Bush dan sekutu Eropanya), maka siapa yang saat ini dipunyai Indonesia? Barangkali kita masih bisa menghibur diri dengan masa lalu, karena kita pernah punya Soekarno yang “ksatria” dan “jantan” bahkan sanggup menggertak Barat dengan bentakannya yang terkenal: “go to hell with your aids!” Atau Soeharto yang, meski agak condong ke Barat, masih punya sedikit pendirian dan harga diri (ingat, ia pernah membubarkan IGGI—konsorsium negara-negara pemberi utang kepada Indonesia—karena dinilai terlalu mencampuri urusan domestik Indonesia).

Barangkali satu-satunya yang kita punyai saat ini—tak lain dan tak bukan—hanyalah demokrasi. Ya, itulah satu-satunya buah reformasi ‘98. Selebihnya tak ada. Malah, sayangnya, kita banyak kehilangan (terlalu banyak yang raib dari tanah kita, begitu maksud saya) pasca Reformasi ’98. Menjelang satu dasawarsa demokratisasi di negeri ini, apa saja buah yang telah kita petik selain privatisasi—istilah halus dari swastanisasi dan asingisasi—BUMN, liberalisasi (baca: kapitalisasi) pendidikan, kian menumpuknya hutang luar negeri akibat paket simalakama IMF, meratanya korupsi dari pusat ke daerah bahkan hingga ke pelosok desa (yang kini dilakukan “di atas meja”, bukan lagi hanya sekedar “di bawah meja” seperti di era Orba dulu. Bahkan tak jarang mejanya juga ikut diembat!), dan makin lemahnya pemerintah kita di hadapan kepentingan asing? Kebebasan berbicara, ya, tentu saja. Dan karena itulah saya bebas menulis yang pedas-pedas dan penuh kritik dan cemooh seperti ini, yang tentu tak akan mungkin saya lakukan seandainya rezim otoriter masih bertahta di negeri ini. Tapi dari hari ke hari, bukan simfoni indah yang dihasilkan oleh banyak mulut—terutama di panggung VVIP politik nasional—melainkan suara gaduh, riuh dan ribut. Dan saya berhak untuk merasa muak dengan itu semua. Kebanyakan rakyat kecil tak butuh berbicara, bahkan sebebas-bebasnya sekali pun, tapi perlu kebutuhan primer dan sekunder yang terjangkau oleh kemampuan dan daya belinya. Lantas kebebasan berekspresi, sudah barang tentu. Dan karena itu saya jadi punya hak untuk berekspresi seminor apapun dalam tulisan ini. Tapi sayangnya, dengan kebebasan itu pula, banyak ”jurnalis murahan” menerbitkan media massa yang memajang foto nyaris bugil wanita di majalah/koran/tabloid yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan, hingga anak-anak kecil pun bebas melihat dan membelinya. (Anda yang mengaku sebagai pejuang feminisme dan kesetaraan gender, mohon rembug suara dalam masalah yang menimpa kaum hawa ini. Mohon tunjukkan suara kritis Anda dalam masalah eksploitasi seksualitas wanita oleh media). Inikah yang kita dambakan dari angin Reformasi sepuluh tahun silam? Rasa-rasanya, kian hari kita bukannya bangkit dari keterpurukan tapi justru makin jatuh tersungkur tanpa daya. Dan soal reformasi dan demokra(tisa)si, rasa-rasanya bukanlah kita yang menuai hasil dan manisnya. Kita hanya mendapati pahit dan jelaganya. Lantas siapa yang telah mencuri semua keuntungannya dari kita? Ah, siapa lagi kalau bukan pihak kapitalis asing dan para komprador domestiknya.

Ah, sudahlah, saya pusing menyadari bahwa kini para pengemis sudah bermetamorfosis menjadi bentuk dan rupa yang amat sangat sulit dikenali lagi. Dan demokrasi yang kita idam-idamkan sejak Reformasi ‘98 hingga kini buahnya tak lain adalah “demokrasi kosmetik”, demokrasi adu jotos dan jor-joran korupsi, demokrasi berbuah simalakama—democrazy, lebih tepatnya. Ah, saya pusing, pusing...

Saya butuh melihat laut... []

WPS, 14 Februari 2008

NB:“Hepi Va(k)lentin De...”



Let’s Be Narcist !

Jangan buru-buru terkecoh dengan judul di atas. Saya tak hendak mengajak orang lain untuk menjadi seorang pemuja diri. Saya tak ingin siapa pun menjadi seorang narsis.


Saya pernah melihat tulisan yang saya jadikan judul di atas itu terpampang di sebuah cermin di salah satu sekretariat UKM di kampusku. Saya tersenyum geli saat itu. Apa maksud dan tujuannya, pikirku kala itu. Saya tak tahu pasti apakah persuasi itu ditulis dengan serius atau sekedar dimaksudkan sebagai olok-olok, atau mungkin guyonan semata. Juga persuasi itu diberi tafsiran seperti apa oleh sang penulisnya, saya tak begitu paham. Apakah maksudnya mengajak orang untuk mencintai diri sendiri saja (sebagaimana makna harfiah narcism) atau mungkin mengajak orang untuk merias wajah serta rambut dan memperhatikan penampilan diri seindah mungkin, agar tidak memalukan di hadapan orang lain. Karena tulisan spidol hitam itu terpampang di salah satu sudut sebuah cermin rias yang tergantung di dinding sekretariat UKM, saya pikir tafsiran yang kedua itulah yang relevan untuk maksud tulisan tersebut (apalagi cermin itu kan bukan kepunyaannya si Narcissus). Dan saya tak berani membayangkan seandainya tafsiran yang pertama yang dimaksudkan si penulisnya. Ihh... ngeri, pikirku.


Narsisme sudah bukan lagi wabah baru saat ini. Ia telah menjadi endemis yang merajalela semenjak beberapa tahun lalu, terutama di kalangan remaja dan kawula muda. Vektor yang mengusung virus berbahaya itu tak lain adalah televisi dengan tayangan sinetron-sinetron remaja yang mulai populer semenjak pergantian milenium lalu. Dalam waktu sekejap, wabah narsisme melanda golongan remaja dan kawula muda. Televisi, lewat lakon-lakon sinetron picisan, memang menjadi media yang ampuh dalam memutar haluan moral belia-belia bangsa: membujuk mereka untuk lebih mengabdi pada egonya daripada mengutamakan kepentingan orang banyak; menghancurkan nilai-nilai budaya tradisional yang sarat dengan keluhuran moral; dan mengajari mereka cara hidup yang hanya berkutat pada masalah perut dan “bawah perut”.

Sebagaimana kita tahu, kisah-kisah di dalam sinema elektronik (sinetron) remaja hampir selalu berkutat pada soal-soal yang serba dangkal—dan nakal: “cinta monyet”, hura-hura pesta, dunia mistik dan klenik (yang murahan), dan banyak lagi yang lainnya. Seting tempat juga tak jauh-jauh dari mall, rumah mewah, dan segala sudut kota yang banyak membuai orang ke dalam mimpi-mimpi kosong. Bahkan ketika mengambil lokasi syuting di sekolah dan kampus, kehidupan yang ditampilkan bukanlah teguhnya semangat anak-anak muda yang menuntut ilmu, melainkan peristiwa yang sangat dangkal dan terkesan sangat murahan: “cinta monyet” antara siswa dan gurunya, perseteruan antar siswa karena memperebutkan pasangan, siswa yang mengusili gurunya, dan masih banyak lagi.


Beberapa tahun terakhir ini, stasiun televisi memang getol berebut menyajikan tayangan sinetron-sinetron ngepop dengan segmentasi remaja dan kawula muda, demi mendongkrak angka rating (dan otomatis juga pendapatan iklan). Pada akhirnya, insan-insan media hiburan itu mau tak mau musti menyerahkan diri menjadi “budak” pasar. Soal efek buruk yang diakibatkan oleh karya-karya tersebut, tak menjadi soal buat mereka. Seorang empu tak bisa dimintai pertanggungjawaban atas penyalahgunaan senjata yang dibuatnya oleh orang lain, begitu kira-kira kilah mereka membela diri. Kalau demikian maka kita juga tak punya hak untuk memintai pertanggungjawaban korporasi-korporasi raksasa (MNCs) seperti Monsanto dan Bayer, misalnya, atas bahan-bahan kimia berbahaya yang mereka produksi secara besar-besaran, yang telah memerosotkan kualitas lingkungan ekologis dan kesehatan manusia, karena toh yang menggunakannya adalah para petani (yang tak tahu apa-apa soal bahaya bahan-bahan kimia). Apa memang demikian harusnya, pikirku. (Ah, mungkin saya terlalu berlebihan. Apa hubungannya narsisme dengan pestisida?)


Saya jadi teringat kata-kata seorang teman yang sekarang telah mendahului saya menjadi sarjana. Ia pernah berkata: nanti kalau sudah punya anak, aku tak akan menaruh televisi di ruang keluarga, agar tak membahayakan pertumbuhan anakku. Si teman saya itu mungkin sudah paham betul betapa berbahayanya seorang anak bermain-main dengan “kotak ajaib” itu (malah ada yang bilang “kotak pandora” alias “kotak bencana” untuk menyebut televisi), apalagi bila tanpa pengawasan orang tua. Mungkin juga ia tak rela anak-anaknya nanti tumbuh menjadi “generasi sinetron” atau “generasi picisan”—seperti dalam kisah-kisah sinetron—karena bad influence televisi.


Dan mengingat-ingat kembali tulisan di kaca rias itu, saya kembali merasa geli tergelitik. Belakangan saya tahu kalau yang menulisnya ternyata adalah juga salah satu anggota UKM tersebut, dan saya kenal dia. Apa mungkin teman itu seorang penggemar berat sinetron, tanya saya dalam hati. Kenapa tak menulis Let’s be beauty atau Let’s be handsome saja di cermin itu, agar tak menimbulkan salah pengertian dan mis-interpretation bagi yang membacanya, pikirku. Ah, saya jadi makin merasa geli saja dengan perbuatannya itu. Ada-ada saja kawan sealmamater saya itu...


Let’s be (inner) beauty/handsome !


11 Januari 2008