Jumat, Maret 28, 2008

dunia tanpa minyak

Hari-hari terakhir ini harga minyak dunia melangit, menembus tapal-batas seratus dolar amrik per barel.


Negara-negara importir kelabakan. Negara-negara pemilik minyak juga kena- imbas gejolak ekonomi global akibat melonjaknya harga minyak, sekalipun mereka juga meraup miliaran dolar gelembung harga minyak.


Yang paling bernasib mengenaskan adalah negara-negara teri macam indonesia, yang duit belanja tahunannya sangat terbatas, sementara deposit minyaknya telah defisit.


Negara-negara teri ini meski gigit jari, sementara tak punya minyak dalam jumlah banyak, kebutuhan minyaknya malah kian melonjak seiring giatnya upaya industrialisasi demi menggenjot statistik pertumbuhan makro-ekonomi.


Maka konsumsi minyak meski dibatasi ketat-ketat. Rakyat meski mengencangkan ikat pinggang sembari melonggarkan ikat kaki. Kendaraan bermotor harus lebih sering digarasikan, dan kaki harus lebih banyak digerakkan. Jalan kaki wajib digalakkan.


Tapi khusus indonesia, benang kusut tak hanya berasal dari kelangkaan minyak. Indonesia juga didera kelangkaan daya listrik. Ketersediaan setrum nasional berada dalam kondisi minus sepuluh persen. 1500 juta watt tak terpenuhi dari kisaran kebutuhan 15 milyar watt.


Indonesia terancam gelap, tak hanya masa depannya, tapi juga malam-malamnya. Konon karena kelangkaan pasokan batu bara bagi sebagian pembangkit setrum itu, dan yang terang juga karena mesin-mesin diesel sebagian pembangkit tak dapat lancar beroperasi akibat harga minyak yang melambung.


Coba, mari kita berandai-andai, membayangkan bagaimana jadinya bila nanti, suatu saat, minyak menjadi sesuatu yang langka, terutama di negeri ini, atau minimal tak terbeli akibat harganya yang, misalnya, berlipat dua-tiga-empat dari sekarang, sementara income kita tak banyak bertambah.


Dulu, sampai tahun enampuluhan, harga minyak cuma di kisaran satu dolar amrik per barel. Sampai dengan lima warsa silam, harga minyak masih di bawah 6o dolar amrik per barel. Kini, telah menembus level 100 dolar.


Saya punya bayangan: kelak, suatu saat nanti, lima-sepuluh tahun lagi, mungkin kita sudah harus bepergian tak lagi menggunakan kendaraan bermotor, melainkan naik sepeda onthel, kuda dan andong. Karena, ya itu tadi, harga minyak selangit, tak lagi 100 dolar melainkan 200, 300, atau 400 dolar per barelnya, sementara income per kapita kita masih tetap di kisaran 1000 dolar amrik per tahunnya, seperti saat ini, dan, celakanya lagi, sepeda motor dan beberapa jenis mobil kan hanya bisa pakai bensin, dan tak bisa pakai biodiesel.


Mungkin dan masuk akal gak, ya?

28 Maret 2008

Rabu, Maret 26, 2008

kecoa & (poli)tikus

HAMPIR setiap pagi, tatkala hendak membuang residu metabolisme di dalam perut, saya selalu dibuat jengkel oleh ulah puluhan ekor kecoa yang ‘berpesta-pora’ di dalam kakus. Mereka, para kecoa itu, mungkin memang sudah ditakdirkan untuk hidup di tempat-tempat nan jorok (dan jujur saja, WC di rumah kos saya memang agak sedikit kumuh—walaupun tak sejorok WC-WC umum seperti yang ada di terminal, stasiun dan tempat-tempat umum lainnya).

Kejengkelan saya pada kecoa-kecoa itu, nyaris sebanding dengan kejengkelan saya terhadap para pemimpin dan politisi-politisi kita yang gemar melakukan akrobat politik murahan. Tiap kali mendapati berita di media massa yang memuat riuh-rendah dan kegaduhan di pentas politik nasional, pikiran saya langsung ngeres—teringat pada ulah gerombolan kecoa di dalam WC rumah kos saya itu.

Malah ada yang bilang, panggung politik itu persis kakus, terutama WC umum. Keduanya sama-sama jorok dan menebarkan aroma tak sedap. Karena itu, tak mengherankan bila dulu ada seorang tokoh nasional yang coba-coba masuk gelanggang politik, dan setelah satu-dua tahun berselang ia keluar dari sana dengan citra diri yang belepotan aneka kotoran: tuduhan Bulog-gate, Brunei-gate, Aryanti-gate dan banyak gate yang lain lagi.

Pendapat (atau olok-olok, tepatnya) lain mengatakan bahwa politikus itu mirip popok bayi. Makin sering diganti, makin baik. Karena itu, dulu presiden pertama kita pada awalnya didukung oleh semua elemen bangsa karena kecemerlangan gagasan-gagasannya, terutama saat ia masih menjadi tokoh pergerakan nasional. Tapi, lantaran terlampau lama duduk di kursi kepresidenan, ia pun jadi lupa diri. Dari pribadi yang dikagumi oleh banyak tokoh-tokoh bangsa lainnya, ia berubah menjadi pribadi yang banyak menuai kritik dan bahkan antipati dari mantan rekan-rekan seperjuangannya. Ia berubah menjadi megalomania alias gila-kuasa. Kala itu, wapres-nya pun sampai mengundurkan diri karena ia dinilai telah melenceng jauh dari cita-cita awal berbangsa dan bernegara. Puncaknya, sang presiden itu dijatuhkan melalui serangkaian “kudeta gelap”—kudeta yang hingga kini masih belum jelas siapa sebenarnya otak/aktor-intelektual yang mendalanginya.

Demikian pula yang terjadi dengan presiden kedua kita, yang naik-tahta lantaran pintar dan lincah mendulang untung dari peristiwa “kudeta gelap” itu, nasibnya ternyata juga tak jauh berbeda dengan pendahulunya itu—kalau tidak justru lebih tragis. Setelah 32 tahun duduk manis di singgasana republik ini, ia pun dilengserkan dengan iringan suara caci-maki rakyatnya di seantero negeri.

Mungkin saja, dua presiden terdahulu kita itu memang tak begitu menyadari bahwa pemimpin/politisi memang tak ubahnya popok bayi: semakin lama tak diganti, akan kian jorok dan belepotan kotoran—menjijikkan!

Ah, saya terlampau ngelantur, barangkali ... (?)


26/03/2008

Bush & 4.000 Tumbal

MINGGU malam waktu Irak, empat serdadu Amerika menjemput ajal lewat ledakan bom, menggenapi jumlah mayat rekan-rekannya (yang meregang nyawa di Irak) yang sebelumnya “cuma” 3.996 menjadi genap 4.000—tak kurang, tak lebih. Sedangkan yang cedera—ringan dan berat—tak kurang dari 29.000 serdadu (KOMPAS 25/03). Sementara dari pihak rakyat Irak, hingga saat ini, konon lebih sejuta jiwa telah menjadi korban pertikaian sektarian semenjak invasi AS digelar di negeri 1001 malam itu, lima tahun silam—20 Maret 2003, tepatnya.

Di negeri Uncle Sam sendiri, suara rakyat menuntut diakhirinya penjajahan kian menguat. Barack Obama, kandidat capres dari Partai Demokrat, kini berada di atas angin karena salah satu program yang ia tawarkan dalam kampanyenya adalah mengakhiri invasi negaranya di Irak.

Sementara itu, di White House, mungkin saja Paman Bush sedang merenungi nasibnya sambil menggigiti kuku-kuku jemarinya karena harus menelan pil pahit berupa caci-maki rakyatnya yang telah mafhum dengan kebohongan telanjangnya; kebohongan yang dikreasi dengan amat ceroboh oleh dinas intelejennya (CIA) dan diotaki oleh “kartel kekuasaan”nya (yakni kaum hawkish)—yang dulu menyatakan adanya kepemilikan senjata pemusnah massal oleh rezim Saddam Hussein dan kemudian ditindak-lanjuti dengan invasi bertopengkan Operation Iraqi Freedom ke negeri yang sebenarnya sudah sekarat akibat kekalahan telak dalam Perang Teluk 1991 silam itu.

Tapi, bisa jadi, bagi Bush dan kaum hawkish di lingkaran kekuasaannya, jumlah 4.000 mayat serdadunya—yang meregang nyawa di Irak itu—bukanlah angka yang luarbiasa—dan tak perlu diinsafi ketragisannya. Karena Bush tahu, bahwa dulu ketika menggelar perang di Vietnam (1964-1973) jumlah serdadu negaranya yang tewas mencapai angka 58.000 jiwa—jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan jumlah serdadu yang menjadi tumbal kekuasaan Bush saat ini. Kehilangan serdadu sebesar itu, yang pada akhirnya memaksa para Yankee itu angkat kaki dan membiarkan kaum komunis Vietnam Utara menguasai seluruh daratan Vietnam, rupanya tak membuat Bangsa Hollywood itu kehilangan muka di pentas dunia. Dengan amat cerdiknya, ditutupilah kekalahan itu dengan dongeng tokoh Rambo; dongeng hasil kreasi para pekerja Hollywood, yang akhirnya berhasil menggalang opini publik dunia—lewat layar film—untuk tetap mengagumi kedigdayaan Amerika.

Barangkali pula, bagi Bush dan para kolega-kuasanya, angka 4.000 mayat Yankee itu masih teramat kecil bila dibandingkan keuntungan materi dan prestis yang telah dan masih akan ditangguknya dari bumi Irak dan juga seluruh belahan dunia. Minyak Irak, tentunya, sudah berada dalam kuasa para saudagar dari negeri Bush. Kontrak untuk rekonstruksi Irak ke depan, juga telah ditandatangani oleh perusahaan-perusahaan konstruksi AS. Tapi benarkah AS akan mengeruk keuntungan materi berlimpah-ruah sebagai buah dari invasi itu? Joseph Stiglitz, ekonom terkemuka AS peraih Nobel Ekonomi tahun 2001, mengalkulasi biaya invasi ke Irak itu akan mencapai tiga triliun dolar, seperti ia beberkan dalam buku terbarunya yang berjudul The Three Trillions Dollar War.

Maka, dengan cara seperti apa—dan dengan kompensasi berbentuk apa—biaya sebesar itu akan diganti (dari bumi Irak)? Cukupkah dari minyak dan kontrak rekonstruksi saja? Entahlah. Yang jelas, rakyat AS-lah yang kini mesti memikul beban biaya invasi yang samasekali tak kecil itu. Biaya tiga triliun dolar ditambah 4.000 mayat serdadunya sendiri yang sudah hampir pasti akan terus bertambah itu, ternyata tak kunjung membuat Bush dan kaum hawkish jera, sekalipun rakyat AS telah nyaris frustasi.

Akhirnya, saya hanya ingin melayangkan simpati dan empati baik bagi rakyat Irak maupun kepada rakyat AS yang telah menjadi korban kebijakan agresif dan destruktif rezim paranoid dan gila-perang George Walker Bush. Tumbal 4.000 nyawa serdadu AS dan lebih sejuta nyawa rakyat Irak itu adalah bukti dan sekaligus “saksi abadi” keculasan dan kerakusan rezim Bush. [ ]

25/03/2008

Selasa, Maret 25, 2008

Tuhan & Orang gila

- tuhan bertanya -

konon, di sana, di alam pasca-dunia

tuhan tak bertanya kepada manusia

"apa nama agamamu?"


kabarnya, di sana, di akhirat kelak

tuhan hanya bertanya pada semua manusia

"apa saja t'lah kau perbuat di dunia

hai anak-cucu adam?"


dan aku gembira bukan buatan

kala mengetahui bahwa

tuhan bukanlah pemerintah kota ataupun negara

yang kerap mendiskriminasi warganya

berdasarkan huruf-huruf yang tertata di KTP-nya.



- protes orang gila -

di suatu malam

ada orang gila menggerutu pada kegelapan

ia berkata-bicara dalam suara lantang

"kenapa kau cipta kepala dengan isi yang tak sama?"

"kenapa kau cipta kulit dengan warna berbeda?"

"kenapa pula kau cipta agama dengan banyak nama?"

"semua itu membikin dunia jadi ajang pertengkaran!"


"huh!!!" ia mengumpat penuh jengkel

si gila terdiam mendekam

memikirkan kata-bicaranya sendiri semenit lalu

di bawah pohon sawo ia masih mendekam terdiam


'pukk!' sebutir sawo busuk menimpa kepalanya.


( TKB,23mrt’08 )


Sabtu, Maret 22, 2008

Misteri Sebuah Kunci


Kemarin, seorang rekan dibikin pusing oleh sebuah kunci. Begini ceritanya:

Rekan itu datang ke rumah kos saya pada sore hari, kira-kira pukul 15.00 WIB. Nah, satu jam berselang, ia berniat untuk pulang. Tapi alangkah sialnya bagi dia, kunci sepedamotornya tiba-tiba raib entah ke mana. Dicarinya kunci itu di seluruh sudut rumah kos, tapi tak kunjung ditemukannya juga. Akhirnya saya pun ikut turun-tangan membantu mencarinya. Kami cari dengan teliti di setiap jengkal rumah, di kamar mandi, di setiap sudut kamar, di bawah karpet ruang tamu, di halaman depan, di bawah buku-buku, bahkan di seluruh saku baju yang dikenakannya. Hampir setiap benda yang ada di dalam rumah tak luput kami geledah satu per satu, tapi kunci itu tak kunjung ditemukan. Lebih empat jam lamanya kami mencari-cari kunci itu, laiknya bermain petak-umpet, tapi kunci tetap tak diketemukan. Saya pun berhenti mencari, sedikit prustasi dan juga geli. Rekan saya pun nampaknya juga merasa putus asa dan dilanda kejengkelan yang tak terperikan akibat kelalaiannya sendiri. Bayangkan, lebih empat jam lamanya dihabiskan untuk mencari sebuah kunci yang raib tak jelas rimbanya, dan hasilnya nihil. Kunci itu seolah-olah menjelma gaib dan misteri.

Dan inilah kisah yang menjadi inti dari misteri kunci itu:

Setelah lebih empat jam ikut mencari kunci yang raib itu, saya berniat untuk pergi membeli nasi di warung kaki-lima. Tapi karena melihat rekan saya itu sedang tergolek tak berdaya di ruang tamu (mungkin meratapi nasib yang menimpanya), saya jadi tak tega untuk meninggalkannya. Saya pun bergegas masuk kembali ke dalam kamar saya. Di dalam kamar, saya melihat ada satu buku yang tergeletak di atas kasur. Buku itu pun saya ambil untuk saya taruh di tempatnya semula. Dan alangkah terkejutnya saya, kunci itu ternyata ada di bawah buku tersebut. Padahal saya ingat dengan pasti, selama lebih empat jam pencarian, seluruh isi dan sudut kamar saya juga tak luput dari penggeledahan. Bahkan seluruh buku yang ada di dalam kamar itu seingat saya juga sudah digeledah satu persatu dan kemudian saya tata rapi di tempatnya semula. Setiap jengkal kasur juga tak luput saya geledah. Bagaimana bisa kunci itu tertindih sebuah buku yang cuma setebal 150-an halaman di atas kasur dan luput dari penggeledahan?! Saya jadi berpikir-pikir, apakah satu buku itu tadi memang benar-benar luput dari penggeledahan selama empat jam lebih, atau mungkin ada misterium yang menyertai raibnya sebuah kunci itu?

Begitu saya beritahu, rekan saya itu pun juga terkejut bukan main. Sepanjang waktu pencarian, ia juga sudah bolak-balik masuk ke dalam kamar saya dan turut menggeledah segala benda yang ada di dalamnya. “Ada yang gak beres ini, pasti!” katanya dengan penuh yakin, membuat bulu kuduk saya jadi berdiri. Apalagi saat itu adalah Jum’at malam. “Ah, paling-paling ya memang buku itu tadi luput dari perhatian kita,” saya coba meyakinkan dia dan juga diri saya sendiri, sekalipun sebenarnya saya tetap berpikiran bahwa ini semua memang benar-benar unbelieveable. “Tidak masuk akal samasekali !” sekali lagi rekan saya itu protes, entah kepada siapa. Dan saya hanya tersenyum geli sambil merenung-renung, memikirkan kisah sebuah kunci yang telah membikin akal-sehat manusia (akal-sehat saya dan rekan saya, khususnya) perlu dan layak untuk ditertawakan—karena ketololan yang bersemayam di antara kejeniusan di dalamnya. (Anda juga sudah tahu, mungkin, bahwa si Einstein itu selain manusia super-jenius ternyata juga orang yang super-pikun dan kadang malah nampak bak orang gila. Seringkali ia pulang dari kampusnya menuju arah yang berlawanan dengan letak rumahnya, sementara sepeda-onthelnya tanpa disadarinya kerap ia tuntun—bukan dinaiki.)

Ah, saya kini sadar, manusia memang seringkali dibuat tak berdaya oleh hal-hal kecil yang—dengan sengaja—dianggapnya sepele. Sesuatu yang kita anggap remeh-temeh acapkali justru menyembunyikan dan menyimpan sesuatu yang besar di dalamnya. Seperti-halnya seekor kuman yang bersemayam di dalam tubuh, ia bisa bikin kita lebih menderita dibandingkan seekor gajah yang mengamuk di pekarangan rumah kita (ha ha... mungkin saya terlampau mengada-ada...).

Tapi soal kisah kunci itu, bisa jadi tengarai rekan saya itu benar. “Ada yang coba membalikkan penglihatan indera kita,” katanya. Ada stranger yang terlibat, begitu mungkin maksudnya. Ah, entahlah... []


23/03/2008

Selasa, Maret 18, 2008

rokok, korupsi, ‘em-en-si’

Semalam, saya tersedak oleh seremah tembakau yang menghambur ke tenggorokan dari pangkal sebatang rokok yang saya sedot lewat mulut. Saya jengkel seketika pada rokok kretek tak berfilter itu, sejengkel saya pada diri sendiri yang tak kunjung bertobat dari adiksi fisis dan psikis terhadap batangan nikotin jahanam itu. Saya tahu dengan pasti (lewat berita di koran, tentunya), di negeri ini tahun 2007 lalu saja lebih seratus triliun rupiah (sekali lagi: lebih Rp. 100.000.000.000.000,-) dibelanjakan masyarakat untuk beli rokok. Ya, untuk: R-O-K-O-K !!! Masyarakat itu tentu saja termasuk saya di dalamnya, sekalipun budjet rokok tiap bulan—dengan amat terpaksa dan berat hati—saya batasi agar tak lebih dari seratus ribu rupiah (Rp. 100.000,-). Tapi angka seratus ribu itu bukanlah nominal yang kecil bagi anak muda, yang belum becus cari duit sendiri, seperti saya. Apalagi saya bukan anak pejabat ataupun “putra mahkota” konglomerat, tentu duit senilai itu bukan main manfaatnya andai saja saya bisa mengonversinya untuk kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih penting dan berguna (significant others need, begitu kira-kira bahasa kerennya). Sekali lagi: seratus ribu per bulan. Itu adalah garis demarkasi yang saya bikin sendiri, dan haram hukumnya untuk saya langkahi—kecuali saya sedang ketiban rejeki dari langit.


Kalau saya tak salah ingat, bangsa kita ini adalah “pembakar duit” nomor tiga sedunia, setelah China dan Amerika. Ini adalah sebuah “prestasi” besar tentunya, karena India yang penduduknya empat kali lebih banyak dari kita ternyata masih kalah, masih di bawah kita. India juga kalah sama Amrik, tapi itu wajar mengingat bangsa sedulur Uncle Bush itu memang kaya raya—bahkan paling tajir sejagad raya. Lah, bangsa kita yang PDB perkapita-nya saja masih di bawah India, bisa mengalahkan negeri Bollywood itu apa bukan prestasi besar namanya? Kita adalah the great champion! Itulah prestasi agung yang layak kita pamer dan banggakan di forum-forum dunia selain prestasi agung lainnya, yakni jawara korupsi—nomor dua setelah Bangladesh. Dalam pertandingan di cabang korupsi, bisa jadi tahun ini kita akan merengsek dari posisi runner up ke tahta tertinggi; kita akan jadi juara sejati! The real champion !!! Kita akan permalukan negeri pecahan Pakistan itu, dan kita buat berdecak kagum dunia internasional dengan prestasi bertabur gengsi itu—kampiun korupsi! Itu semua tentu akan membawa manfaat buat kita, bagi bangsa ini, karena nama Indonesia akan dikenal dan dikenang oleh bangsa-bangsa di seluruh Planet Bumi.


Kembali ke soal rokok. Angka seratus triliun rupiah konsumsi rokok nasional itu sudah barang tentu akan digenjot habis-habisan oleh para juragan rokok dan juga pemerintah. Karena, dari angka seraksasa itu pemerintah juga ikut mendulang untung yang tak kepalang tanggung besarnya. Dari omset sebesar itu (lebih seratus triliun), para konglomerat penjaja batangan racun itu telah menyetor hampir empat puluh triliun rupiah ke kas APBN 2007. Sekali lagi: hampir Rp. 40.000.000.000.000,- !!! Sekalipun angka itu tak sampai separuh dari nilai cicilan utang luar negeri kita di tahun yang sama, yakni sebesar sembilan puluh triliun rupiah, bagaimanapun juga nilai itu sudah jauh berlipat-lipat besarnya bila dibandingkan total setoran pajak plus royalti dari Freeport dan Newmont bila digabungkan. Soal efek negatif, baik perusahaan rokok dan perusahaan tambang asing (MNC), keduanya sama-sama merugikan. Kedua sektor itu sama-sama membunuh secara perlahan-lahan—sekalipun dalam jangka pendek keduanya juga dirasa amat menolong keuangan negara yang kembang-kempis akibat manajemen pemerintahan yang amburadul plus maraknya epidemi “tikus” di seantero negeri. Asal tahu saja, perusahaan rokok kita sampai saat ini masih menjadi raja di negeri sendiri—maharaja, malahan. Saat ini, dua dari lima orang terkaya di negeri ini adalah juragan rokok—satu dari Kediri, satunya lagi dari Kudus. Layak-lah kita berharap, suatu ketika nanti bangsa kita akan menghuni posisi numero uno sejagad dalam tingkat konsumsi rokok. Kita akan libas Bangsa Hollywood dan juga Negeri Tirai Bambu (yang tirai bambu-nya kini mulai lapuk itu) seperti halnya dalam waktu dekat ini kita akan bikin Knock Out negeri miskin Bangladesh dari posisi juara I Korupsi. Yakinlah, we’re the champion !


Anjritt, kini mulut saya mulai meradang lagi minta rokok. Saya jengkel, saya jengkel... [siapa kiranya di antara rekan-rekan peselancar samudera maya yang punya tips-tips ampuh untuk membebaskan seorang perokok dari adiksi akut batangan jahanam itu, mohon sumbang sarannya, ya, please... saya tunggu, sungguh!] Saya jengkel, swear, saya tak membual ...

18/03/2008


Selasa, Maret 11, 2008

rasatanya

[?]

aku ditertawai oleh sunyi

sebab ingkari rasa sendiri

serupa bunga tak kenali wangi

padahal aroma itu milik diri

bodohkah aku naifkah daku

hanya membisu diam membeku

tak hiraukan kembang di taman bungaku

yang merekah memohon dipangku

aku malah pura-pura lupa di mana waktu ke mana lalu

hanya termangu-mangu dirundung ragu

malam kujelajah dengan moda transportasi

yang disebut orang sebagai mimpi

kutemukan diri terjaga dalam kesal

karena malam hanya dipenuhi bual

tapi adakah rembulan tahu

bahwa ia dikagumi sesosok matahari

yang sembunyi di balik tubuh bumi

bahkan mungkin karena malu

tapi siapa sangka siapa kira

kalau rasa kadang malah menyiksa

bukan semata ketika ia tak dieja

kepada siapa yang menguncupkannya

tapi memanglah demikian hakikat rasa

ia menyimpan bahagia juga membawa serta duka

di telapak tangannya

lantas kenapakah rasa mesti dijelmakan dalam bait-bait kata

tak lebih praktiskah ia diujar lewat wicara

karena konon di sana ada medan energi juga aura

dibanding tatahan abjad dan tanda yang serupa berhala

kuberi alasan: bahwa rasa bukanlah komoditi

di mana orang menjual-membeli demi alasan untung rugi

tapi rasa adalah sebuah misteri

antara nyata dan khayali

dan ia hanya utuh bila dihayati

tapi kubantu engkau juga diri sendiri

untuk lebih bisa mengenali

dengan memahatkannya di sini

juga agar ia senantiasa abadi

paling tidak sebagai prasasti

tapi sedari tadi aku berbicara lewat perantara abjad mengenai rasa

tanpa menyebut gerangan rupa dan bentuknya

bertanyakah engkau apakah ia

tapi kukira tak perlu ia dieja

bahkan dengan abjad dan juga tanda

biarlah ia menjadi tanya menjelma maya

buatmu juga bagi diriku jua

dan tahukah engkau satu perkara

bahwa pria tak berkutik mulutnya di hadapan wanita

pabila ia sungguh-sungguh menghimpun rasa

di palung-palung batinnya

sekalipun tak sedikit jua dari mereka

mampu meluluhkan banyak wanita

karena menghadapi rasa

manusia tak lebih kokoh dari jejaring laba-laba

[??]

ada sekuntum rasa menggelantung manja di tangkai jiwa

yang tak kunjung luruh ditiup angin malam

bahkan ia menari lemah gemulai

menggoda hasrat 'tuk mendekap memetiknya

adakah rasa mesti dicurah-tumpahkan

laksana samudera mengirim ribuan ombak menyerbu pantai

sedang sang pantai nampaknya terdiam seribu bahasa

hanya menampung curahan hati yang mendatanginya

malam-malamku diserbu rindu

pada seorang yang tak kunjung datang

seolah ia di rantau orang di tanah seberang

rinduku kian menderu menggebu

tapi dalam malam jua aku dapati keindahan

karena di sana kutemukan keheningan

keheningan yang buatku adalah momen ekstasi diri

momen kontemplasi dan introversi

melongok menengok ke pedalaman diri

dan aku terbelah dalam malam

antara ekstasi diri dan diserbu rindu

aku jengah !

(11/03/'08)

[???]

Dalam temaram

Kuterdiam

Mengadu pada malam

Menggali jawab ragam tanya trivial:

Siapakah aku?

Darimana asalnya dunia?

Mengapa harus ada hidup?

Mengapa pula meski ada akhir?

Dst ...

Agama menyajikan aneka jawaban

Beratus utusan didatangkan Tuhan

Buat menjelaskan hakekat dunia dan kemanusiaan.

Namun manusia selalu jauh dari puas

Dan terus merangkai awan

Memilin jawaban

Dengan bahasa dan pemahaman sendiri.

Mungkin benar,

pencarian menggebu

berujung kegilaan.

Cukuplah menata bata demi bata

Tanpa hasrat kelak

‘kan jadi sebuah kuil.

Seekor nyamuk mendarat di kuping

Menginterupsiku.

(Feb ’08)

Senin, Maret 10, 2008

Ablasi Skripsi


Dalam bulan-bulan terakhir, terutama pekan-pekan terakhir, ini saya dibikin mumet bin pusing oleh sebuah “proyek pamungkas” khas mahasiswa semester lanjut yang disebut SKRIPSI. Begitu banyak enerji dan waktu yang mesti saya curahkan dan kerahkan untuk memikirkan dan menuliskannya agar saya lekas memperoleh selembar ijasah dan juga titel SARJANA. Tapi, mungkin, karena selama ini saya tak sepenuh hati mengerjakannya, proyek itu hingga kini masih tertahan di chapter pertama. Saya, nampaknya, masih harus bongkar-pasang konsep dan teori-teori. Dan semua itu rasanya membikin saya makin malas (dan bahkan muak) saja untuk segera menyelesaikannya. Berhadapan dengan si skripsi itu, saya merasa terperangkap dalam sebuah “momen inersia”—kelembaman. Hidup jadi bergerak melambat, begitu kira-kira maksunya. Saya, rasa-rasanya, hanya berputar-putar seperti orang bingung tak tahu jalan dan tak punya peta ketika menyusuri sebuah “labirin” metropolitan.

Tapi, untungnya, ternyata saya tak sendirian. Ada beberapa rekan yang “senasib- sepenanggungan” dengan saya. Bahkan, ada seorang rekan yang skripsinya ‘dipeti-eskan’ hampir dua warsa lamanya. Bukan karena ia sibuk dengan urusan lain yang, sepengetahuan saya, lebih urgen, seperti bekerja atau berorganisasi, misalnya, melainkan karena malas juga.

Entah kenapa saya jadi merasa enggan dan segan untuk menjadi seorang penyandang titel sarjana. Di saat tidak sedikit orang bermimpi untuk menjadi sarjana, bahkan beberapa orang harus menempuh “jalan pintas”, seperti memalsu ijasah (seperti dilakukan beberapa oknum calon legislatif kita), saya justru berpikiran sebaliknya. Inilah yang disebut paradoks—kecenderungan yang berlainan dengan kecenderungan umum.

Bisa jadi selama ini saya terlampau menghayati filosofi “isi jauh lebih penting daripada kulit”, atau “don’t judge the books just from its cover” sehingga membuat saya “buta mata” bahwa “dunia” hanya mau menghargai status dan titel yang tersemat di depan-belakang nama pemberian orang tua. Apalagi di negeri ini, sepemahaman saya, orang baru akan menjadi terpandang hanya kalau ia punya segudang gelar dan setumpuk ijasah, tanpa peduli relevansinya dengan kapabilitas dan kapasitas otaknya. Inilah yang dinamai ironi—sesuatu yang bertentangan dengan yang semestinya.

Terus terang, sedari kecil saya tak menyimpan dalam kepala saya cita-cita untuk menjadi seorang sarjana. Dulu, semasa kecil, saya bercita-cita ingin menjadi seorang pengusaha atau petani—yang sukses dan multimilioner tentu saja. Tapi karena seiring berjalannya waktu membuat saya punya kemampuan menelaah keadaan di sekitar, saya pun akhirnya ambil keputusan: mesti putar haluan. Saya melihat realitas di sekitar, di mana para tetangga saya kebanyakan adalah petani, yang amat menggiriskan hati. Sebagai petani, orang-orang sekampung saya hidup serba pas-pasan dan peroleh imbalan materi yang amat tak sebanding dengan enerji dan waktu yang mereka curahkan untuk ‘berjibaku’ di ladang dan di sawah. Ini juga merupakan ironi.

Lantas saya terpaksa dengan berat hati mesti berupaya agar bisa menjadi “orang kantoran”, dan untuk itu saya mesti kuliah, tak bisa tidak—kecuali kalau saya bersedia menjadi satpam atau ClS alias cleaning service. Dan kini, saya hampir menuntaskan separuh jalan untuk menjadi bagian dari “white-collar”—eksekutif (itu pun kalau punya nasib mujur di separuh perjalanan terakhir—perburuan lowongan kerja).

Tapi, rupa-rupanya, godaan kerap dan rajin mendatangi orang-orang yang pikiran dan hatinya senantiasa diliputi kabut kebimbangan dan kegamangan—seperti saya ini. Setelah saya nyaris melampaui “garis finish” untuk putaran pertama, lulus kuliah dan jadi sarjana, maksudnya, saya malah sempat-sempatnya berpikiran lain. Saya membayangkan diri bisa menjadi seperti Bill Gates yang “Dancing Out” dari Harvard University (perguruan tinggi paling wahid sejagad raya) dan kemudian malah berhasil menjadi orang terkaya sedunia dengan timbunan nominal lebih 50 Miliar US-dolar yang ‘diproduksi’ Microsoft Cooperation miliknya. Betapa indah dan menggetarkan kisah hidup si putus kuliah yang berani ‘berjudi’ dengan nasib itu—dan melawan kecenderungan umum, tentu saja. Gates sukses dengan jalannya sendiri, berjaya dengan pola pikirnya sendiri, dan dengan melawan tradisi dan keyakinan kebanyakan orang. Karena bayang-bayang (atau khayalan, barangkali) itulah, skripsi saya akhirnya jadi terablasi—mengalami pengausan/pengusangan. Dan memang, kisah-kisah seperti yang diukir indah oleh orang-orang macam Bill Gates itu kerap menjadi ilham/inspirasi bagi banyak orang.

Namun, akhirnya, saya tahu pasti, dan saya percaya seyakin-yakinnya, bahwa apa yang saya bayangkan itu probabilitasnya nyaris bernilai nol—kecuali kalau saya mampu berkelit-kelit menembus peluang dalam sisa desimal probabilitas itu, yang tentunya amat berbelit-belit (seperti tarif panggilan seluler saat ini, barangkali). Sulit bagi saya, yang tak punya kelebihan apa-apa dan juga tak cukup memiliki nyali, untuk melawan “hukum sosial” yang ada. Juga, rupa-rupanya, kedua orangtua dan sanak keluarga di rumah, sangat menginginkan saya untuk bisa dan segera menjadi seorang sarjana. Barangkali, itu karena selama ini belum ada satu pun anggota keluarga besar saya yang punya titel sarjana, sehingga maklum dan wajar bila akhirnya saya-lah orang pertama yang harus menyediakan diri untuk jadi tumpuan harapan. Dan, barangkali pula, mereka menginginkan saya agar lekas berdikari dan segera memberikan cucu bersama anak gadis yang telah mereka persiapkan untuk jadi istri saya—segera, nanti, setelah saya lulus kuliah dan berpenghasilan sendiri. (Yang terakhir ini sungguh-sungguh saya harapkan, karena, betapa bodohnya saya, hingga kini ternyata saya tak becus untuk mencari pacar dan calon istri buat diri sendiri. Agak ironis, memang, tapi begitulah the true story of me, hikzz... hikzz...)

In the end, karena hal-hal itulah, pastinya, kini saya berketetapan hati, sebulat-bulatnya tekad, untuk menjadi seorang sarjana—dengan terlebih dulu menuntaskan skripsi itu, tentunya. I’d being a son of village, but I’ll becoming SAR-JA-NA !!! ha, ha ... [ ]

10/03/2008



Republik Bilbor


Dalam rentang waktu satu-dua tahun terakhir ini, sepengamatan saya, di kota saya yang kecil, Jember, bermunculan proyek pembangunan papan iklan berukuran raksasa yang melintang di jejalanan utama di dalam—dan sebagian lagi di periferi—kota. Ada tidak kurang dari sepuluh buah papan iklan super jumbo yang kini telah terpasang di ruas-ruas jejalanan utama kota. Untuk ukuran kota Jember yang skala luas dan tingkat keriuhannya tak sampai seperseratus ukuran Megapolitan Jakarta, tak lebih dari sepersepuluh ukuran Metropolitan Surabaya, saya kira jumlah papan iklan berukuran gigantik itu sudah luarbiasa.

Fenomena keberadaan papan iklan gigantik yang kian menjamur itu tak bisa terlepas dari makin menggeliatnya nafsu pertumbuhan ekonomi yang nyaris sepenuhnya bertumpu pada sektor industri yang umumnya juga berskala ukuran super besar—lebih-lebih dari segi kapitalnya. Pemasang iklan paling banyak adalah perusahaan rokok besar dan operator seluler. Dan memang dua sektor bisnis itulah yang kelihatannya paling menggeliat pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir ini, karena mencakup segmen yang teramat luas dan produknya telah menjelma menjadi kebutuhan primer hampir sebagian terbesar populasi bangsa ini.

Saya lantas bertanya-tanya, kalau di kota kecil macam Jember saja papan iklan berukuran super jumbo telah mencapai jumlah lebih dari sepuluh buah, lantas berapa jumlah papan iklan berukuran serupa dan yang berukuran jauh lebih besar lagi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya? Dan maklum karena saya belum pernah berkeliling Jakarta dan Surabaya, saya hanya bisa membayangkan bahwa jumlahnya sangat bisa jadi puluhan-ratusan kali lipat dibanding yang ada di Jember ini. Mungkin sekali wajah mega/metropolitan itu, seperti kerap terlihat dalam tayangan televisi, hampir sepenuhnya bercorak bilbor—kota bilbor.

Lantas apa kiranya yang menjadi motif utama pemerintah kota memberikan izin pembangunan papan iklan raksasa itu? Saya yakin semua orang sudah paham, bahwa satu-satunya alasan itu tiada lain adalah ekonomi, dalam rupa penerimaan pajak—salah satu tumpuan dan pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah. Berhadapan dengan uang, pemerintah kita, yang notabene lemah finansial (di samping rapuh kualitas SDM-nya) akibat maraknya korupsi dan kolusi di semua strata jabatan, sudah barang tentu tak mampu lagi untuk mengelak. Aspek keindahan pemandangan kota adalah urusan nomor belakangan, apalagi aspek keamanan dan kenyamanan para pengguna jalan—sudah barang tentu menjadi pertimbangan kesekian. Maka, tak perlu heran bila saja nanti, lima-sepuluh tahun menjelang, wajah kota-kota di Indonesia telah sepenuhnya bercorak bilbor—menjadi kota bilbor. Ruang-ruang publik (public spheres) di dalam kota akan berganti sepenuhnya menjadi ruang promosi dan ruang pamer. Dan ke manapun mata memandang, yang akan kita jumpai adalah rimba bilbor berisi mega-stimuli hasrat (meng)konsumsi. [ ]

10/03/2008

Sabtu, Maret 08, 2008

Siti Jenar

Siti Jenar adalah sosok yang eksis di antara dua alam: sejarah dan legenda; kenyataan dan rekaan. Ia adalah putra semata-wayang Resi Bungsu, sang pemangku takhta kerajaan Cirebon Girang. Sebagai putra mahkota pewaris tahkta, Jenar justru tumbuh sebagai pribadi yang melawan tata aturan dan istiadat kerajaan. Ia jengah dan bosan tinggal di dalam keraton, dan lebih suka menghabiskan hari-harinya berkelana ke hutan-hutan dan ke pelosok-pelosok kampung untuk bergaul dengan sebayanya dan berdiskusi tentang pokok-pokok Ketuhanan dan kemanusiaan—inti ajaran agama. Maka sang ayahanda pun muntab pada tingkah polah anak satu-satunya itu. Ia marah besar. Jenar muda dianggap telah membangkang. Hingga pada suatu ketika, Jenar muda dipanggil menghadap sang ayahanda, dan kemarahan Resi Bungsu ditumpahkan dalam sebuah kata-kata kelam bertuah: kutukan. Jenar muda dikutuk menjadi seekor cacing.

Bertahun-tahun lamanya cacing jelmaan Siti Jenar hidup di tepian sebuah telaga, hingga datanglah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga—sepasang guru-murid yang juga merupakan para Waliyullah penyebar Agama Islam di tanah Jawa. Melalui tangan kedua orang itu, cacing jelmaan Siti Jenar dikembalikan menjadi sosok manusia utuh kembali. Jenar-pun kemudian diangkat menjadi murid dan diperkenalkan kepada pokok-pokok ajaran Islam.

Tapi Jenar adalah sosok “pemberontak” sejati, mirip Socrates. Ia selalu bertanya dan mempertanyakan aturan-aturan dan pokok ajaran baku agama, dan tak pernah puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan guru-gurunya, para Wali itu. Hingga pada titik kulminasi ‘pemberontakan’nya, ia mendeklarasikan sebuah paham agama yang disebutnya “Manunggaling Kawula Gusti”—serupa dengan “Ana Al-haq”-nya Al-Hallaj, sufi persia yang dihukum mati karena keyakinannya yang dianggap menabrak tradisi dan ajaran-ajaran baku dan mapan Agama Islam.

Serupa dengan nasib Socrates yang dipaksa minum racun oleh penguasa Athena, juga Al-hallaj yang musti mengakhiri hidup di tiang gantungan penguasa Dinasti Abbasiyyah, Jenar juga diancam hukuman mati oleh penguasa Demak Bintoro—pusat penyebaran Islam di tanah Jawa. Raden Patah, sultan penguasa kerajaan Demak, mengutus para Wali dan beberapa punggawa keraton untuk mendatangi dan ‘menginsyafkan’ si pelaku “subversif” itu—Siti Jenar. Bahkan mereka diperintahkan untuk membunuhnya apabila Jenar dinilai tidak mau bersikap kooperatif. Sebelum solusi final, yakni hukuman mati, ditempuh, para Wali sempat terlibat perdebatan panjang mengenai pokok-pokok ajaran yang saling berlainan pemahaman itu. Di akhir cerita, Siti Jenar bersedia menerima final solution para Wali, tapi ia tak ingin mati di tangan siapa pun. Maka ia pun menempuh jalan kematiannya sendiri. Dengan duduk bersila sembari memejamkan mata, ia melakukan ritual gaib yang dalam sedetik kemudian membuat nyawanya terlepas dari raga. Siti Jenar pun menggapai ajalnya tanpa perantara tangan siapa pun juga. Ia menjemput ajal dengan caranya sendiri. Konon, jenazahnya memancarkan cahaya putih berkilauan dan membuat para Wali akhirnya mafhum akan keyakinan yang ditempuh Siti Jenar selama ini.

#

Manunggaling Kawula Gusti” atau paham kemenyatuan manusia sebagai hamba dengan Tuhan Sang Penciptanya, dalam kacamata ajaran Islam yang baku dan konvensional dianggap sebagai sebuah puncak kedurhakaan manusia. Paham itu dianggap menyalahi dan keluar dari bingkai hukum syariat, dan melecehkan ke-Maha-an Tuhan yang samasekali mustahil untuk disamai oleh makhluk-Nya.

Tapi benarkah Tuhan yang dimaksudkan oleh manusia, juga Tuhan yang dimaksudkan oleh Jenar dan para Wali yang berbeda pendapat dengannya, adalah Tuhan dalam Entitas yang sesungguhnya—Tuhan dalam artian yang utuh dan sepenuhnya terpahami oleh akal-budi manusia? Di sinilah sebetulnya pokok yang terluputkan oleh pihak Jenar dan juga oleh para Wali yang berseberangan pendapat dengannya dan pada akhirnya berkehendak menghukumnya. Tuhan dalam jangkauan pemahaman nalar/akal budi/rasio manusia sudah barang tentu tak sama dengan Tuhan yang sesungguhnya. Pikiran manusia memiliki keterbatasan yang amat sangat dalam menjangkau wilayah ke-Tuhan-an. Pikiran dan pemahaman manusia hanya mampu menjangkau sedikit sekali sifat-sifat dan Entitas Tuhan. Sembilan puluh sembilan sifat Tuhan yang terjangkau oleh pemahaman manusia, sebagaimana termaktub dalam Asma’ul Husna di dalam Ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, hanyalah sebagian kecil dari sifat-sifat Tuhan. Itu berarti, Tuhan dalam pikiran dan pemahaman manusia tak lain dan tak bukan hanyalah setitik teramat kecil dari hakekat Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan dalam ke-Esa-an dan ke-Utuh-anNya sudah barang tentu tak terjangkau dan tak terpahami oleh pikiran manusia. Dengan demikian, Tuhan tak dapat dan tak akan pernah bisa ‘dilecehkan’ oleh siapa pun juga, termasuk oleh paham “Manunggaling Kawula Gusti” Siti Jenar.

Maka Tuhan yang dimaksudkan Jenar, juga Tuhan yang dipahami oleh orang-orang yang berseberangan paham dengannya, pada dasarnya adalah dan hanyalah Tuhan “yang tak utuh”. Tuhan yang sesungguhnya, yang Utuh dan Total, adalah Tuhan yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia—dan samasekali tak terdefinisikan. Dan paham “Manunggaling Kawula Gusti” sesungguhnya adalah sesuatu yang amat absurd dan mustahil, sebagaimana juga penghukuman terhadap Jenar juga adalah sesuatu yang absurd, karena Tuhan samasekali tak tergapai oleh manusia... []


08/03/2008


Senin, Maret 03, 2008

Meler Seluler


Milenium ketiga ditandai adanya salah satu tren baru dalam rangka menghubungkan manusia melalui sebuah jalinan komunikasi instan dan realtime, yakni tren seluler(isme). Barangkali ini juga merupakan salah satu buah dari sebatang pohon kehidupan sekuler. Sebagaimana kita tahu, perkembangan yang lesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diawali dari benua putih Eropa sejak zaman renaissance dan segera disusul kemudian dengan enlightment era ratusan tahun silam, bisa dimungkinkan karena adanya pemisahan antara urusan agama dan perkara dunia, pembebasan nalar rasio dari ruang iman. Selama Abad Pertengahan—yang sering disebut sebagai darkness era—praktis akal manusia Eropa lumpuh terkungkung oleh dominasi buta iman/agama melalui tangan penguasa gereja. Singkat kalimat: tanpa sekulerisme, hampir nihil probabilitas dunia kita saat ini berada dalam era selulerisme.

Abad 21 adalah abad informasi dan komunikasi, slogan retoris bernada narsistis para pengusaha dan pakar Information Technology (IT). Dalam abad ini, setiap orang bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu kejadian yang sedang berlangsung di belahan lain bola bumi. Di zaman ini pula, setiap orang dapat melakukan komunikasi dengan orang lain yang berada ribuan kilometer jauhnya semudah ia berbicara dengan rekan ngobrol di hadapannya. Maka aforisma klasik “dunia tak selebar daun kelor” baru menemukan bukti kebenarannya paling banyak justru di zaman ini, bukan di abad lampau. Di era IT inilah, dunia telah mengalami reduksi ruang dan waktu dalam tingkat amat menakjubkan (atau malah mengkhawatirkan, seperti kata para filsuf kontemporer macam Baudrillard cs?). Dan selulerisme adalah salah satu jalan dan metodenya—selain virtualisme (televisi dan internet).

Di abad seluler ini, nyaris semua orang tanpa kecuali (minus yang kere alias miskin mutlak) tenggelam dalam pusaran gelombang sinyal telepon genggam seluler alias ‘hape’. Bukan hanya orang kota saja yang saat ini dapat menikmati layanan seluler, karena menara BTS operator seluler juga sudah bertebaran di pelosok-pelosok desa bak jamur di musim hujan. Sedangkan harga sebiji ponsel kelas low end, kini tak lebih mahal dari harga sekarung 50 kg beras kualitas paling jelek. Maka tak heran bila di pasar desa saya, ada salah satu operator pendatang baru di negeri ini yang mendirikan stan untuk memajang paket dagangannya berupa ponsel cantik plus starter pack produknya dengan harga 199 ribu perak (bahasa angka eufimistis khas bisnis dari nominal 200 ribu). Stan promosi dan penjualan milik operator itu berada di kiri-kanan stan sayur mayur dan lauk pauk. Dan rupa-rupanya, barang dagangan itu laris manis diserbu pembeli. Orang membeli ponsel kini laiknya membeli sepasang sandal jepit saja, pikir saya.

Masih ada banyak lagi cerita menarik dan agak ganjil seputar gaya hidup berponsel di negeri ini (barangkali juga di seluruh dunia). Pernahkah Anda mengamati para abang becak yang kini juga tak sedikit di antara mereka telah membekali diri dengan piranti komunikasi ajaib itu? Saya sering melihat para abang becak sedang asik memijit-mijit keypad ponsel sambil tiduran di becaknya. Entah siapa yang sedang ia kirimi SMS. Mungkin bininya di rumah yang sedang memasak, dan isi SMS-nya barangkali juga berkutat seputar masakan itu. Atau bisa jadi ia sedang ber-SMS-an dengan salah satu pelanggan becaknya. Bukankah sangat masuk akal kalau saat ini armada becak bisa dihubungi oleh para pelanggannya melalui SMS atau telepon laiknya memanggil armada mobil taksi, atau semacam pemesanan tiket airline?

Di desa saya yang berada di tepian laut selatan Jawa, ada seorang kakek limapuluh tahunan yang juga tak luput dari wabah meler seluler. Jangan dibayangkan si kakek ini adalah orang kantoran, atau petani kaya paling tidak. Ia cuma seorang buruh tani alias kuli sawah, dan pekerjaan sampingannya adalah sebagai pencari rumput untuk makan ternak sapi milik orang kaya yang dititipkan kepadanya. Ia juga tak punya anak atau saudara di tanah seberang, atau relasi penting yang musti sering-sering dihubungi. Nampaknya wabah meler seluler membuat si kakek yang tak cukup punya antibodi memadai ini akhirnya harus membeli sebuah ponsel seharga 300 ribu perak. Dan saya pernah mendapati cerita menggelikan dari seorang rekan yang akrab sebagai sesama “Damarwulan” dengan si kakek separuh abad lebih itu. Cerita rekan saya: di tengah-tengah kerjanya mencari rumput, si kakek ini kerapkali menelepon rekan sesama pencari rumput yang masih berada satu desa hanya untuk bercanda dan menanyakan: “di mana kamu?”, “apakah di situ ada banyak rumput?”, “apakah kamu sudah memperoleh banyak rumput?”. Untuk ber-SMS tentu saja ia tak mau karena tak praktis dan bertele-tele. Dan bisa jadi ia memang tak paham bagaimana cara mengetik dan mengirimkan SMS. Masih menurut rekan saya: tak kurang 50 ribu perak yang dihabiskan oleh si kakek itu untuk belanja pulsa setiap bulannya.

Sedangkan di kota-kota, lebih-lebih di metropolitan, konon anak-anak SD juga sudah dibekali ponsel oleh orangtuanya. Entah di mana letak signifikansi sebuah ponsel di tangan anak-anak yang bahkan membuang ingusnya sendiri saja mungkin masih belum becus.

Berdasarkan data hingga akhir tahun lalu, jumlah nomor aktif ponsel di negeri ini saja sudah menembus angka seratus juta. Kalau diasumsikan bahwa satu orang memiliki satu buah ponsel (sekalipun ada beberapa orang yang punya ponsel lebih dari satu) maka itu berarti hampir setengah jumlah populasi bangsa ini sudah terkoneksi dalam selulerisme. Dan kalau melihat angka pertumbuhan pengguna yang konon mencapai 20 persen, maka dalam tempo lima tahun ke depan bisa jadi semua orang di negeri ini (minus balita) sudah memiliki minimal satu biji ponsel.

Kalau kita amati perkembangan ladang bisnis seluler selama dua-tiga tahun terakhir di negeri ini, ada banyak operator baru yang bermunculan. Bahkan ada salah satu klan bisnis terbesar di negeri ini yang sebelumnya bergerak di sektor usaha asap nikotin alias rokok, kini banting setir dengan mendirikan operator seluler setelah sebelumnya menjual aset perusahaan rokoknya kepada sebuah korporasi multinasional rokok terbesar sejagad raya dari negeri “Paman Bush”. Ialah Sampoerna Group yang menjual aset pabrik asap nikotinnya senilai hampir 20 Triliun kepada Phillip Morris dan kemudian menggeluti bisnis seluler dengan bendera perusahaan Sampoerna Telecom (tak perlu disebutkan nama produknya karena saya tak sudi berpromosi).

Bejibunnya jumlah operator seluler secara otomatis juga membuat perang memperebutkan konsumen juga menjadi kian seru dan panas. Ongkos jasa seluler yang ditawarkan tiap-tiap operator kepada pengguna dan calon pengguna menjadi amat kompetitif dan ramah-kantong. Tak satupun operator seluler di negeri ini yang tak ugal-ugalan dalam membanting tarif jasanya. Ongkos layanan seluler yang sepuluh tahun lalu masih setinggi langit, kini sudah menyentuh level desimal per menitnya (bahkan per panggilan). Sekalipun tarif bernominal desimal itu diikuti syarat dan ketentuan khusus (seperti “berlaku setelah menit pertama” misalnya), bagaimana pun juga itu sudah menandai sebuah revolusi harga yang sangat mencengangkan dan nyaris tak terbayangkan sebelumnya. (Jenis revolusi yang disambut penuh suka cita terutama oleh kalangan berduit pas-pasan, dan tingkat antusiasmenya melebihi hingar-bingar revolusi proletarian kaum kere Komunis-Marxis di abad lalu.)

Dengan revolusi tarif itu, kini siapapun bisa melakukan pembicaraan seluler sampai telinga panas dan mulut serak hanya dengan modal seribu-duaribu perak. Kian murahnya tarif layanan juga merupakan stimulus ampuh bagi pertumbuhan layanan seluler di negeri ini, sekalipun biasanya dipromosikan dengan cara “tipu-tipu” oleh divisi marketing operator (misalnya: menuliskan angka tarif nol koma sekian dengan ukuran raksasa, sementara keterangan syarat dan ketentuan berlaku-nya ditulis dalam ukuran abjad yang amat kecil dan sukar dilihat bahkan dengan dua mata melotot).

Kalau saja mbah Graham Bell, sang perintis jalan komunikasi telepon itu, sempat menyaksikan fenomena ini dari dalam liang kuburnya, mungkin ia akan berusaha bangkit ke dunia ini lagi untuk ikut berebut mencicipi manisnya kehidupan seluler, begitu kelakar seorang rekan tempo hari. Ya, betapa enak dan indahnya hidup di sebuah dunia di mana berbicara dengan orang-orang di tanah seberang semudah bercengkrama dengan tetangga sebelah rumah, mengirimkan sepucuk surat/pesan sejauh ribuan kilometer semudah melemparkan kulit kacang ke muka teman ngerumpi di hadapan kita. Semua itu bisa terjadi hanya dengan sebuah ponsel dalam genggaman tangan.

Sekalipun seluruh fragmen fenomena selulerisme (dan juga virtualisme) itu mengandung implikasi negatif di hampir segala aspek kehidupan manusia, seperti diurai panjang lebar oleh para filsuf kontemporer, namun indikasi umum menunjukkan bahwa selulerisme disambut dengan penuh suka cita oleh jutaan-miliaran orang di seantero planet ini. Tua-muda, kaum kaya maupun golongan marginal, warga kota dan juga masyarakat desa, kalangan berpendidikan maupun yang buta aksara (tapi tak buta angka), semuanya tak luput dari jangkitan epidemi meler seluler—sebuah epidemi yang nikmat dan dinikmati.

***

Itulah satu fragmen ”lukisan indah” (meski bertabur ironi) dunia selulerisme kita abad ini. Sebagaimana sekulerisme, selulerisme juga mampu dan telah memikat banyak orang untuk turut serta mencicipi cita-rasa dan ”keindahan” di dalamnya—sekalipun pada akhirnya juga tak sedikit yang musti terkubang ironi di sana. []

03/03/2008



Sabtu, Maret 01, 2008

Inisial H.U.H. [sekuntum (r)asa yang luruh]


Di sejengkal pagi yang cerah hari ini, secara ‘kebetulan’ aku berjumpa dengan seorang wanita rekan sekolahku di SD belasan tahun lalu. Saat itu aku mengayuh sepeda MTB-ku memasuki areal perpustakaan kampusku. Tanpa kunyana sebelumnya, ia yang punya inisial H.U.H. itu kulihat sedang memarkir sepeda motornya di lahan parkir perpustakaan tersebut. Aku menoleh beberapa detik ke arahnya sambil mereka-reka ingatanku demi memastikan bahwa aku tak sedang berhadapan dengan orang lain yang bukan rekan kumaksudkan itu. Sementara ia setahuku tiga kali melirak-lirik ke arahku, barangkali juga untuk memastikan siapa aku yang ia temui tanpa sengaja, pagi hari ini. Maklum, jarak antara aku dan dia saat itu terpaut kira-kira lima meter jauhnya. Aku memarkir sepeda MTB-ku lurus dengan titik koordinat Y tempat ia memarkir sepeda motornya, namun dengan koordinat X yang berbeda—terpaut sejauh lima meteran. Tak sempat aku mendekat ke arahnya, karena kulihat ia tergesa-gesa berjalan menuju ruang kuliah pasca-sarjana yang juga berada satu kompleks dengan bangunan gedung perpustakaan. Terakhir kalinya, sebelum bergegas masuk ke ruang kuliah pasca-sarjana itu, ia sempat melirik satu kali lagi ke arahku, dan aku hanya membalasnya dengan senyum kecil yang agak kupaksakan di bibirku—senyum hambar pertanda ‘kekalahan’ dan ‘kemenyesalan’.


Perlu kuceritakan sekelumit di sini, ia yang punya inisial H.U.H. itu punya paras ayu dengan citra dan nuansa ala Arabian face: postur hidung yang berkelok landai menikung ke depan alias mancung, gerak-gerik bola mata laksana sekuntum api lilin terhembus angin malam gurun Afrika, juga alis dan bulu matanya yang … (ah, aku tak kuasa menggambarkannya), dan kulit yang memendarkan cahaya seputih kapas laiknya fluorescent lamp. Pagi hari ini, ia mengenakan jilbab dengan warna yang seirama dengan warna pijar mentari pagi baju lengan panjang yang dikenakannya, dan dipadu dengan celana muslimah berwarna coklat tua. Setahuku dengan pasti, saat ini ia sedang menyelesaikan studi magisterial di prodi Agronomi di kampus almamaterku setelah lulus dari jenjang S-1 di prodi Biologi Fakultas MIPA di kampus ini juga, dua warsa silam.


Perlu Sampeyan sekalian ketahui, bahwa ia yang punya inisial H.U.H. itu pernah punya kedudukan penting dalam hidupku. Selain menjadi “rival” tak terkalahkan dalam perebutan posisi bergengsi numero uno ranking kelas di bangku SD belasan tahun silam, kepada ia jualah aku pernah “berhutang budi” untuk pertama kalinya dalam sebuah perkara: ia-lah yang mula pertama memperkenalkanku dengan sekuntum rasa penuh selubung misteri—sebuah rasa yang hingga detik ini tak kunjung tuntas kudefinisikan dalam ratusan bait puisi, tak lekas tandas kugambarkan dalam berpuluh-puluh sekuel cerita. Berhadapan dengan rasa itu, serasa aku masuk dalam sebuah misterium, gelap tanpa cahaya dan hanya bisa meraba-raba untuk memahaminya.


Di selembar pagi nan cerah hari ini, tatkala aku bersua kembali dengannya, serasa cakrawala di atas kepalaku tiba-tiba dipenuhi samudera warna biru namun lekas dalam sekejap mata diterjang oleh lautan mendung kelabu. Pada ia yang aku tak sempat mengejakan kepadanya sebutir kata-pun mengenai misterium rasa di benakku itu, aku merasa diri laksana sebatang lilin dalam dekapan beribu-ribu nyala api. Aku luruh dan lantak. Aku terberai dari kesatuan diriku sendiri, meleleh berhamburan tak tentu ruang dan waktu. Seumpama makhluk alien penghuni planet Mars yang diterjunkan dalam teritori asing bernama Bumi, aku disergap ketidakmengertian, kebingungan, dan terombang-ambing di dalamnya.


Pada ia yang tiada pernah sekalipun aku persembahkan sekuntum kembang kepadanya sebagai manifestasi misterium rasa yang pernah bergelayutan berat di benakku, aku merasa mendapati diriku tak lebih dari seorang pecundang yang pulang dari medan perang dengan muka tertekuk sembilan puluh derajat ke arah tanah, dengan baju seragam keprajuritan yang compang-camping tersayat ribuan senjata musuh. Karena dalam hal ini, aku adalah (dan hanyalah) salah seorang manusia yang tak pernah punya kuasa untuk menjangkau tiga perkara diri yang aku percaya hanya Tuhan semata menguasainya: jodoh, nasib dan ajal. Untuk satu misterium yang pertama itu, terbukti aku kalah. Ia yang kuimpikan akan Tuhan berikan kapadaku sebagai pasangan hidupku, ternyata telah menjadi milik lelaki lain. Ia yang tiga kata penyusun namanya diambil dari bahasa Arab, dan bila diterjemahkan ber-arti “kebaikan yang menjadi ibunda segala kebaikan” itu, tak mungkin lagi untuk aku harapkan menjadi ibunda dari anak-anakku kelak. Tertutup rapat sudah semua pintu harap dan segala asa diriku terhadapnya.


Dan tatkala kulukiskan dalam selembar kanvas virtual ini momen beberapa detik di sehelai pagi yang cerah hari ini, dengan sengaja kumainkan sebuah lagu sendu nan romantis milik ADA Band berjudul Nyawa Hidup dengan player MP3 di komputerku untuk mengiringi tarian limbung jemariku di tuts-tuts kibor. Dengan sengaja pula ku-repeat lagu itu berulang-ulang hingga aku menyelesaikan catatan ini. Suara syahdu Donny mendendangkan bait demi bait syair lagu Nyawa Hidup kian membuat kesadaranku tenggelam dalam pusaran kenangan indah bersama sang Aphrodite-ku itu, belasan tahun silam:


angin malam berhembus
lirih dingin menyapa
coba merasakan
semilir kehadiranmu

Tuhan kutanya cinta
kemana arah dan tujuannya
bila memang berpisah
mengapa maut yang pisahkan

aku memujimu hingga jauh
terdengar syahdu ke angkasa
rintihan hatiku memanggilmu
dapatkah kau mendengar
nyawa hidupku

runtuh jiwa ragaku
hancur berkeping-keping
tangan dan kaki tiada
berpijak di bumi lagi

kau menelanjangi diriku selalu
lewat indahnya peluk kasih
merangkul kalbu yang membelenggu
dan kini tinggalkanku

… … …


Tak begitu presisi memang motif syair itu dengan motif perasaanku saat ini. Syair itu mendendangkan kepedihan akibat maut yang memisahkan ikatan dua insan, sementara kepedihanku lebih disebabkan “mata dadu” yang ‘dilemparkan’ Sang Maha memunculkan jumlah noktah yang berbeda dari yang kudambakan selama ini. Aku kalah oleh lemparan dadu, bukan terpisahkan oleh maut seperti syair yang dilagukan Donny ADA Band itu. Tapi seberapa sesungguhnya tapal perbedaan antara berpisah karena maut dan berpisah karena lemparan dadu bernama takdir? Tipis sekali, bukan?! Tidakkah sebuah asa dengan probabilitas bernilai nol untuk diwujudkan, pada hakikatnya ia telah masuk ke liang kuburan pikiran bernama kenangan? Bagiku, ia yang menyandang inisial H.U.H. itu, sang “kebaikan yang menjadi ibunda segala kebaikan”, telah mati dalam makna yang lain—mati secara kiasan: ia telah mati dalam dunia pengharapanku, namun tetap hidup dalam ruang kenangan dan mimpi-mimpi bawah-sadarku.


Dan lewat catatan ini, aku hanya bisa menumpahkan segala rasa dan asa yang tiada mungkin lagi tergapai itu, sekaligus mengukuhkan diri bahwa aku, juga kebanyakan manusia, pada akhirnya meski menyisakan ruang untuk menampung harapan yang tak terwujudkan, untuk mewadahi asa yang berakhir sebatas sebagai mimpi… [*_*]


Tepian Bedadung, 01 Maret 2008