Senin, April 28, 2008

merokok, membaca, menulis

ADAKAH hubungan antara tiga aktifitas di atas? Bagiku, ada. Saya menikmati tiga jenis aktifitas di atas layaknya saya menikmati tiap aliran udara yang kuhirup setiap detik setiap hari sepanjang hidup. Semua kunikmati, kucandui. Tapi untuk yang pertama, jujur saja, sebenarnya saya membencinya. Sementara yang kedua dan ketiga, saya teramat mencintainya, seperti saya mencintai seorang kekasihku (dulu dan nanti, karena sekarang sedang dalam kondisi jomblo, tak punya kekasih, dan sedang berjuang mendapatkan).

Kepada rokok, saya berniat hati untuk berhenti menghisapinya, tapi sampai detik ini belum bisa. Sudah sejak lima tahun lalu saya berkarib dengan benda beracun tersebut, dan mungkin saja paru-paruku telah mulai aus. Saya, seringkali, merokok sambil membaca. Atau di saat lain, merokok sambil menulis. Tapi mungkin kecanduanku terhadap rokok belumlah akut, apalagi kronis. Sehari biasanya hanya menghabiskan lima sampai tujuh batang. Konon, para perokok berat biasa menghabiskan tiga sampai empat bungkus sehari, satu bungkus berisi duabelas, enambelas, dan ada yang duapuluh batang.

Dulu, saat awal-awal kecanduan batangan nikotin itu, saya biasa menghabiskan hingga dua bungkus per hari, sampai-sampai ibuku sempat menegur, “kamu masih muda apa tak sayang dengan dirimu. Terlalu banyak merokok bisa membuat kesehatanmu rentan.” Ah, ibu, memang teramat sayang sekali dia padaku, anak sulungnya yang sejak kecil digadang-gadang bakal disekolahkan di Akmil agar kelak bisa jadi jendral (tapi sayangnya saya tak berminat, karena jadi tentara itu berat, harus sering meninggalkan anak-istri untuk bertugas ke pelosok-pelosok negeri, mengawal tapal-batas negara, menjaga pulau-pulau di teritori terluar, dll. Saya ingin selalu berkumpul anak-istri, nanti).

Tapi teguran ibuku seolah angin yang berhembus menerpa wajahku, mengipas tak berbekas. Saya tetap meneruskan kebiasaan merokok, sekalipun dengan mengurangi frekuensinya. Saya menikmati rokok meski saya membencinya. Mungkin, sebagaimana halnya Anda menikmati suasana dan aneka benda dan jasa di dalam mall padahal Anda mengutuki Kapitalisme, ibu kandung yang melahirkan dan membesarkan mall.

Mengenai rokok, ada kisah menarik terkait dengannya. Haji Agus Salim, salah satu tokoh Pergerakan Nasional kita itu, dalam sebuah acara resepsi diplomatik di London, Inggris, membikin heboh. Tokoh yang pada saat itu menjabat menlu di kabinet Sjahrir dan Hatta (1947-49) tersebut menyulut rokok di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi hadirin dari banyak negara. Hadirin pun ada yang merasa tersengat nafasnya karena bau rokok yang terasa asing itu. Rupanya tokoh kita itu menghisap rokok kretek, bukan rokok cerutu atau rokok putih yang biasa dihisap orang-orang Barat. Kita tahu, rokok kretek mengeluarkan asap yang beraroma tajam dan menyengat organ-organ pernafasan. Lantas ada hadirin yang menanyai, “apa yang Anda hisap, Tuan?”

“Inilah, Yang Mulia,” jawab Agus Salim penuh yakin, “yang membuat bangsa Barat menjajah negeri kami.”

“inilah” yang dimaksudkan Agus Salim bukanlah rokok kretek itu sendiri, melainkan cengkeh yang ada di dalamnya, karena, berbeda dengan rokok putih yang hanya berbahan tembakau, rokok kretek adalah perpaduan cengkeh dan tembakau dengan proporsi yang pas. Seperti kita tahu, cengkeh (dan aneka jenis rempah-rempah lainnya) adalah hasil bumi negeri kepulauan kita yang mendorong bangsa Barat (baca: Belanda) untuk merampoknya—sembari menindas nenek moyang kita, pemiliknya yang sah, tentu saja.

Kembali ke soal adiksi saya pada rokok. Saya juga memilih, dengan amat setia, jenis rokok kretek, bukan rokok putih. Kita tahu, semua jenis rokok putih yang beredar di negeri ini berlisensi-dagang perusahaan Barat. Bahkan, rokok putih paling populer yang kita kenal di sini, langsung diproduksi oleh pabrik milik perusahaan rokok terbesar sejagat kepunyaan orang Amerika. Keuntungan dalam porsi terbesar sudah pasti mengalir deras ke kantong devisa Paman Bush, tentunya. Dengan alasan ini, saya merasa tak salah ketika memutuskan untuk lebih memilih rokok kretek yang merupakan produk asli bangsa sendiri, dan dengan begitu saya juga turut menyumbang uang ke pundi-pundi devisa negeri sendiri, di samping turut menambah penghasilan jutaan petani tembakau, pedagang rokok, dan karyawan serta pemilik pabrik rokok, tentunya.

Dan kenapa saya masih terus merokok padahal saya membencinya? Jawabnya ya karena saya adiksi terhadap rokok. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan masyhur kita itu, juga merokok sambil membaca dan menulis. Pujangga besar kita Chairil Anwar itu juga perokok. Tapi tidakkah merokok itu memperpendek usia? Ah, bukankah hidup, seperti kata Chairil, sekali berarti habis itu mati.

Jujur, bagi saya, hidup bukan perkara usia, tetapi soal apa yang akan, sedang, dan telah kita perbuat. Terus terang, saya tak pernah berdoa untuk dipanjangkan usia. Saya hanya berdoa agar hidup saya tak pernah kehilangan makna, sehingga pada gilirannya saya juga bisa memberikan makna bagi orang-orang di sekitar saya, juga pada dunia, tentunya.

Dan buat apa kita berpanjang-panjang usia bila hanya menggunakannya untuk memproduksi dosa-dosa sosial yang hanya akan kian menambah kelam nuansa peradaban. Kalau begitu, kenapa saya harus membenci rokok, toh saya tak ingin berpanjang-panjang usia? Jawabnya: karena wanita itu tak suka pada pria perokok, dan saya sependapat dengan mereka. Itu saja.

Satu lagi, saya tabik pada wanita yang gemar membaca, karena wanita yang gemar membaca membuat pria tak akan berani berbuat macam-macam terhadapnya. Karena itu, wahai para wanita, gemarlah membaca agar tak dibodohi pria. Dan kalau bisa, wahai para wanita, menulislah. Karena melalui tulisan, engkau bisa menundukkan para pria yang gemar membaca. Setelah kau tundukkan, terserah mau kau apakan pria itu, sesuka hatimu, karena sesungguhnya pria itu tetap saja bodoh walaupun gemar membaca, swear !!!

Tapi, wanita... mohon jangan engkau merokok, karena rokok itu hanya untuk pria, seperti halnya aneka macam perhiasan itu hanya untuk kaummu semata ... []

28/04/2008


jadi gak cakep lagi kan kalo lagi ngerokok (?)


Minggu, April 27, 2008

waria

Beberapa malam yang lalu, tatkala melintas di depan stasiun kereta api di kota Jember, kira-kira pukul 21.00 WIB, saya “digoda” oleh beberapa waria yang sedang duduk-duduk di warung yang ada di depan stasiun tersebut. “Haii...,” hanya itu sapaan yang mereka lontarkan pada saya dengan irama yang genit sambil melambaikan tangan kanannya, seolah-olah mengharapkan saya untuk datang menghampiri mereka. Terus terang saya merasa sedikit risih dengan sikap mereka itu. Mungkin karena saya masih merasa asing dengan dunia mereka. Dan, jujur saya akui, sedikit-banyak pikiran saya telah terkonstruksi sedemikian rupa untuk memandang eksistensi mereka sebagai salah satu bentuk “patologi sosial”. Maklum, sebagian masyarakat dan kaum agamawan kita selama ini selalu memberikan stigmatisasi kelam kepada mereka, dan tanpa saya sadari, kesadaran saya pun telah tertular sikap dan pandangan minor itu.

Tapi, jujur saja, sebenarnya hati nurani dan perasaan kemanusiaan saya cukup terusik ketika mendapati eksistensi kaum waria itu dipandang dengan tatapan yang minor oleh sebagian masyarakat. Bagaimana pun juga, mereka adalah juga manusia yang memiliki hak sederajat dengan manusia lainnya. Maka, tidak selayaknya keberadaan mereka dipandang sebelah mata, apalagi sampai dinistakan dan diasingkan dari hubungan sosial kemasyarakatan.

* * *

Waria adalah akronim dari “wanita pria”. Per definisi, waria kira-kira bisa diartikan sebagai pria yang menyerupai wanita. Secara teknis, untuk menyerupai wanita, pria tersebut telah melakukan serangkaian rekayasa fisik dan, seringkali juga, medik. Mulai dari tata rias wajah dan rambut serta pemilihan busana, hingga tindakan medik berupa penyuntikan silikon untuk memperbesar ukuran payudara dan pinggul, sampai pada tindakan operasi medik pada alat kelamin. Semua itu dilakukan agar wujud fisik mereka benar-benar serupa dengan wanita.

ada apa dengan waria?

Lantas mengapa mereka harus merubah diri menjadi menyerupai wanita? Apa alasan dan apa tujuannya? Pertanyaan seperti inilah yang, hemat saya, sesungguhnya bisa mendorong kita untuk memahami keberadaan mereka secara lebih komprehensif dan adil. Stigmatisasi yang ditimpakan begitu saja oleh sebagian masyarakat dan kalangan agamawan, seringkali disebabkan ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap sebab-musabab pilihan hidup yang ditempuh mereka. Dengan begitu gampangnya mereka dicap sebagai manusia yang “durhaka” kepada Tuhan, dan mengingkari kodrat-Nya sebagai manusia berjenis kelamin pria. Apakah pilihan mereka untuk menjadi waria itu bisa dipersamakan dengan saat kita memilih baju di toko fesyen, misalnya? Saya yakin, tentu saja, jawabannya adalah: tidak!

Pilihan untuk menjadi waria tentu bukanlah pilihan yang diambil tanpa adanya faktor-faktor pencetus/pendorong di dalam diri mereka. Faktor-faktor itu tidak lain adalah kecenderungan genetikal dan pengalaman sosial yang memengaruhi (baca: membentuk) perkembangan kepribadian mereka. Dengan kata lain, mereka memiliki kecenderungan untuk bertabiat seperti lain jenisnya (akibat faktor genetis dan pengalaman sosial tadi). Semakin kuat kecenderungan itu, sudah barang tentu akan kian menuntutnya untuk mengidentifikasi diri dengan lain jenisnya. Bila kecenderungan yang kuat tersebut direpresi, tentu yang terjadi adalah munculnya konflik psikis yang tak ringan. Ujung-ujungnya bisa sangat fatal.

Maka, menjadi amat simplistik bila eksistensi kaum waria itu kemudian dipandang sebagai sebuah patologi sosial, apalagi bila sampai dianggap sebagai bentuk kedurhakaan kepada (kodrat) Tuhan.

Mari kita coba berandai-andai untuk membuat perumpamaan: Tatkala kita sedang didera rasa lapar yang amat sangat dan kita tak punya makanan, sementara kita melihat seseorang melintas di depan kita dengan membawa makanan dalam jumlah banyak, dan orang itu menolak untuk memberikan sebagian makanannya kepada kita saat kita memintanya secara baik-baik, dan lantas kita berusaha merebutnya dengan kasar, apakah tindakan kita itu masih bisa digolongkan sebagai sebentuk kriminalitas? Tentu saja, tidak! (dengan catatan bahwa tak ada cara lain untuk mengatasi rasa lapar itu selain merebut makanan tadi). Dorongan naluriah yang kuat untuk mengatasi rasa lapar itu telah membuat akal sehat kita tak lagi memadai untuk mengendalikan sikap kita, dan itu berarti kita terbebas dari beban kesalahan (karena hukum tak bisa ditimpakan kepada orang yang akal sehatnya tak lagi berfungsi secara memadai).

Saya kira, dan saya yakin, dorongan naluriah pula yang membuat kaum waria mengambil pilihan untuk tak menjadi pria (dengan kata lain, menjadi menyerupai wanita). Dan kalau begitu, maka sesungguhnya hidup sebagai waria itu bukanlah sebuah pilihan, melainkan keterpaksaan. Karena, sebuah pilihan tentu saja diambil lewat proses selektif dengan mengedepankan pertimbangan rasional dan dilakukan dalam situasi yang bebas. Sedangkan yang terjadi pada diri mereka adalah adanya kecenderungan/dorongan naluriah (dalam intensitas yang kuat) yang amat sulit dihindari sehingga membuat mereka menempuh jalan hidup sebagai waria—sebagai satu-satunya cara “penyaluran” dorongan tersebut. Maka, jangan-jangan menjadi waria itu sendiri adalah juga bagian dari kodrat, sebentuk takdir Tuhan yang tak bisa dihindari, seperti halnya takdir menjadi pria atau pun wanita (?)

Silakan Anda turut berbagi pendapat di sini ... []

27/04/2008

Jumat, April 25, 2008

Contradiction

MENJADI manusia sesungguhnya adalah menjadi medium yang menampung aneka macam kontradiksi sikap dan sifat/tabiat. Mengagumi tapi di saat lain juga mencaci. Mencintai tapi kadang juga membenci. Idealis tapi lain waktu juga pragmatis. Mengharap tapi kadang juga menampik. Tulus kadang juga berpamrih. Mengasihi tapi kadang menyakiti. Dan banyak lagi hal-hal yang inter-oposisionis alias kontradiktif dalam diri anak-cucu Adam yang konon ditahbiskan sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. Tapi kesempurnaan itu ternyata adalah kesempurnaan yang retak, kesempurnaan yang tak sempurna. Seperti halnya dunia, yang juga jauh dari sempurna, jauh dari harapan manusia. Maka berbahagialah mereka yang mampu menerima kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya laiknya menerima kehadiran matahari dan kedatangan malam. Seperti kata Andre Gide, “kubiarkan segala kontradiksi bebas bermain di dalam diriku.” Manusia yang tak sanggup mengafirmasi segala kontradiksi, baik di dalam dirinya maupun di alam semesta dan kehidupan sosial, akan terperangkap dalam konflik batin yang menyiksa.


Barangkali Anda masih ingat iklan salah satu produk rokok milik Sampoerna di koran pada kurun 1998-1999 silam: gambar seekor kera sedang menelungkupkan kedua tangannya di atas kepala, dan di sampingnya terpampang tulisan dalam abjad kapital yang berbunyi: SUSAH JADI MANUSIA. Ha ha, tentu saja iklan itu hanya ingin cari perhatian calon-calon mangsanya ... []

Selasa, April 22, 2008

Mengenang Malang

Entah kenapa tiba-tiba saya rindu pada Malang. Rindu pada Unibraw. Rindu pada bukit Panderman. Rindu pada air terjun Coban Talun. Rindu pada gunung Arjuna. Rindu pada hawa dingin kotanya. Rindu pada rumah sederhana di Jalan Veteran Dalam 7 i. Rindu pada Jalan Veteran. Rindu pada alun-alun kotanya. Rindu pada SMAN 8. Dan rindu pada banyak lagi tempat lainnya di kota pendidikan itu.

Sebelas bulan lamanya fragmen kehidupan saya berserak di kota itu, di tempat-tempat yang saya sebutkan di atas. Agustus 2001 silam saya bertolak ke Malang. Saya lulus UMPTN di pilihan pertama, prodi Kimia fakultas MIPA Unibraw. Di rumah sederhana di Jl. Veteran Dalam 7 i, saya indekos selama sebelas bulan lamanya. Di rumah itu saya mengenal Bu Eli, sang pemilik rumah yang wanita wiraswasta tangguh, dan anaknya, Mas Iwan, yang penjual rokok di mulut gang antara SMPS 11 dan SMAN 8. Di rumah itu pula saya berkarib dengan lima orang penghuni lainnya. Udin, si jenius pemalu asal Ponorogo yang kuliah di Teknik Mesin ITN; Saiful, sang “filsuf” asal Kediri yang kuliah di Adni Unibraw; Munir, manusia work-aholics asal Kediri yang kuliah di Psikologi UM; Wira, si “bule” dari Situbondo yang kuliah D3 English Poltek; dan Budi, seniman ndeso asal Tuban yang kuliah di Diskomfis UM. Bersama mereka, saya serasa berada di rumah sendiri.

Pada Unibraw, saya rindu keasrian dan keindahan kampusnya. Saya rindu pada jalan-jalan setapaknya yang kerap saya susuri saat berangkat dan pulang kuliah berjalan kaki.

Pada bukit Panderman saya pernah melewatkan malam 07 Januari 2002, menikmati hawa dingin malam nan ekstrim di puncaknya, bersama Munir, Wira, Budi dan dua rekan kuliah, Yenni dan Sofi. Dalam perjalanan mendaki ke puncak, Munir nyaris terperosok ke jurang saat kami salah mengambil jalan. Kami tersesat, sebelum akhirnya tiba di puncak dengan keterlambatan waktu dua jam dari waktu pendakian yang seharusnya, yakni empat jam.

Pada Jalan Veteran saya rindu kelengangannya di pagi hari saat saya sering berlari-pagi menyusuri sepanjang jalan itu. Saya rindu pada sejuk hawa paginya. Saya rindu pada orang-orang yang juga berlari-pagi di sepanjang jalan itu, yang saya kerap berpapasan dan beriringan dengan mereka, meski saya tak mengenal siapa mereka.

Pada Coban Talun saya rindu karena pernah tiga hari tiga malam saya berkemah di sana bersama rekan-rekan kuliah saat orientasi Maba, penghujung Oktober 2001. Saya rindu pada eksotika hutan dan air terjunnya. Saya rindu hawa dinginnya yang menusuk-nusuk belulang.

Pada alun-alun kotanya, saya rindu saat beberapa kali menghabiskan malam minggu bersama teman-teman sambil menikmati aneka jajanan.

Pada gunung Arjuna, saya rindu memandangi puncaknya yang terlihat menyembul di balik gedung-gedung kampus Unibraw, yang kerap saya pandangi dari balkon loteng lantai dua rumah kos saya. Pada gunung Arjuna pula, ada satu janji yang hingga kini belum terbayar: rencana untuk mendakinya yang saya gagas bersama teman-teman serumah kos.

Juga pada SMAN 8 di mana setiap sore saya sering menghabiskan waktu sekedar bermain sepak bola plastik di lapangannya yang berpaving, saya rindu. Saya rindu untuk kembali bermain bola di sana bersama anak-anak kampung dan para mahasiswa indekos lainnya.

Entah kenapa saya tiba-tiba merasa rindu untuk kembali menjejakkan kaki dan menjalani fragmen kehidupan di sana. Sebelas bulan, antara Agustus 2001 hingga Juni 2002, serasa waktu yang amat pendek untuk merasakan segala keindahan di kota itu. Sebelas bulan itu terasa amat singkat. Saya ingin lebih lama lagi di sana, tapi nasib berkata lain. Juni 2002 saya harus “Dancing Out” dari Unibraw, meninggalkan Malang, karena saya merasa tak lagi mampu untuk menempuhi perkuliahan di Kimia MIPA Unibraw, sebab menguras terlampau banyak energi otak dan hidup saya yang amat minim. Fisika dan Matematika, semenjak saya SMP dan SMA, adalah momok menakutkan yang membuat saya gentar menghadapinya. Dan di Unibraw itulah, saya terbukti kalah menghadapi dua pelajaran berisi rumus-rumus maharumit tersebut.

Kini, saya mengingini untuk kembali ke kota Malang, untuk menjalani hidup seperti dulu lagi, sekedar mengobati rasa belum puas saya pada masa sebelas bulan itu. Entah, kenangan akan hal-hal indah acapkali menggiring saya pada pikiran yang obsesif, membuat saya ingin kembali menjalaninya. Mungkin karena sesuatu nan indah akan menjadi kian indah di kala ia telah menjelma kenangan. Malang, mengenangmu membuatku dilanda rindu ... []

NB. tuk Udin, Saiful, Wira, Munir, Budi, Mas Iwan, dan juga rekan-rekan kuliahku di Kimia ’01 Unibraw, semoga Engkau semua bisa kesasar di blog ini, menjumpaku dan mengenang Malang bersama-sama. Salam rindu buat kalian. Dan pada tempat-tempat di Malang yang menoreh kesan mendalam di hatiku, aku rindu untuk kembali menyapa dan menjalani hidup di sana. Cepat atau lambat, akan kujumpa jua pada akhirnya ...

22/04/2008

Bahagia

Selasa dinihari, mulai 00.07 WIB.

Sekira satu-dua jam lalu, sebelum mulai menulis catatan ini, saya duduk di ruang tamu rumah kos saya sambil membaca buku The Secret, buku best-seller karya Rhonda Byrne. Sembari menyimak lembar demi lembar buku yang mengupas tentang “rahasia” meraih banyak hal yang diimpikan dalam hidup itu, saya memutar lagu-lagu Dream Theater dari pemutar musik MP3. Menyimak kisah-kisah berpetuah di dalam buku tersebut dengan diiringi musik dan lirik-lirik yang rumit, dalam dan menyentuh dari lagu-lagu Dream Theater, saya pun merasakan bahagia. Sekali lagi, saya berbahagia. Saya berbahagia tanpa saya harus menghabiskan banyak uang untuk memperturutkan segala keinginan konsumptif yang ada pada diri saya. Saya berbahagia tanpa harus merekayasa keseimbangan dopamine dan serotonin (dua zat kimiawi neurotransmitter) di dalam otak saya dengan meneggak butir-butir amphetamine, atau menghisap ganja, misalnya. Saya berbahagia secara alamiah dan lewat cara amat sederhana.

Padahal, kira-kira selama tiga jam sebelum momen bahagia itu datang, saya tak merasa bahagia. Malah, saya dirundung sedih. Gara-garanya, saya menjumpai seorang wanita—yang padanya saya sedang menyimpan “rasa”—sedang tak memperlihatkan raut keceriaan di wajahnya. Tapi saya tak akan menceritakan lebih jauh soal ketidakceriaan si wanita itu, lebih-lebih saya memang tak tahu apa-apa dengan ketidakceriaannya itu. Dalam catatan ini, saya hanya akan menuliskan tentang momen-momen bahagia yang pernah saya alami dalam hidup saya.

Bahagia. Apakah gerangan itu? Banyak orang yang tak paham, dan acapkali juga salah-paham, dengan apa yang disebut sebagai “bahagia”. Konsekuensi dari tiadanya pemahaman itu, banyak orang yang kemudian tak mampu menggapai secuil pun bahagia. Banyak orang yang menganggap bahagia itu tak lebih dari sekedar mimpi belaka. Sekedar mimpi berarti adalah utopia. Tapi benarkah bahagia adalah utopia? Saya sendiri tak yakin anggapan itu.

Dalam hidup, saya banyak menemui momen-momen bahagia, sekecil dan sekejap apa pun itu. Bahagia, bagi saya, adalah sebuah pengalaman perasaan yang mendalam. Bahagia tak bisa dipersamakan dengan ceria atau gembira. Ceria, sebagaimana derita, adalah sebuah pengalaman rasa yang superfisial sifatnya. Sementara, bahagia adalah sesuatu yang transendental, lawan biner dari superfisial. Ceria bisa diperoleh di mall, misalnya, saat kita bisa memborong benda-benda dan aneka jasa yang mengundang hasrat kita untuk memilikinya. Tapi, benarkah lewat cara itu kita bisa menemukan momen bahagia? Benarkah kita mampu peroleh pengalaman mendalam yang menyentuh palung paling dasar dari jiwa dan perasaan hati kita, di antara deretan benda-benda dan penawaran aneka jasa superfisial di dalam mall?

Sepengalaman saya, pengalaman transenden yang disebut “bahagia” itu tak pernah bisa didapatkan melalui hal-hal yang superfisial sifatnya. Belum pernah saya merasakan bahagia yang sebenar-benarnya bahagia saat saya memiliki ponsel baru, sepeda motor baru, baju baru, dsb. Bahwa saya merasa gembira dengan memiliki benda-benda baru tersebut adalah benar adanya. Tapi pengalaman bahagia tak pernah saya dapatkan pada hal-hal seperti itu. Baiklah, mungkin saya perlu bercerita sedikit tentang momen-momen bahagia yang saya dapatkan dari hal-hal sederhana.

Saya bahagia ketika menikmati keindahan pantai dengan desir angin dan debur ombaknya, sembari saya menyadari betapa indahnya alam ini, betapa berharganya hidup ini, tanpa saya lupa pada kenyataan bahwa di tempat lain banyak keindahan alam yang dirusak tangan-tangan jahil manusia. Saya bahagia tatkala saya naik gunung yang tak jauh dari rumah saya sekedar untuk melepaskan penat dan sekaligus menikmati pemandangan dari ketinggian. Kaki saya lelah bahkan sampai berdarah tertusuk duri-duri sepanjang jalan mendaki, tapi saya menikmati pendakian itu, dan saya pun amat bahagia dalam momen itu. Saya bahagia ketika mandi berenang di sungai bersama teman-teman sebaya, bukan mandi berenang di kolam renang mewah. Saya bahagia saat meneguk secangkir kopi di kaki-lima untuk menghilangkan penat pikiran, tanpa saya harus masuk kafe hanya untuk memesan benda yang sama dengan harga berlipat-lipat. Saya bahagia ketika mengulurkan sekedar uang recehan kepada pengemis atau pengamen tanpa saya berpikiran untuk menunda-nunda berderma sampai saat saya bisa jadi jutawan terlebih dahulu. Saya bahagia tatkala menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya amat jauh dari sempurna, dan bahwa diri saya pun memiliki banyak cela dan nista, tanpa saya membayang-bayangkan indah dan sempurnanya hidup seperti di dalam surga. Dan banyak momen-momen lain di mana bahagia mendatangi dan menyapa saya, sekecil dan sekejap apa pun itu. Bahagia adalah sebuah pengalaman mendalam, berkesan dan memberikan arti yang tak kecil pada hidup kita. Mungkin saya bisa simpulkan, bahwa bahagia sesungguhnya berakar pada rasa syukur dan takjub kita pada hidup. Tanpa itu, mustahil kita bisa mendapati pengalaman bahagia, sekecil dan sekejap apa pun itu.

Saya pernah mendapati sebuah pernyataan yang ditulis seseorang bahwa bahagia itu terkait erat dengan faktor kimiawi otak semata. Konon, kata dia dalam tulisan di blog-nya itu, memiliki kadar serotonin berlebih (dan dopamine yang defisit) di dalam otak akan menjadikan seseorang dipenuhi dengan karakter-karakter negatif. Secara implisit dia menyatakan bahwa bersyukurlah mereka yang memiliki kadar dopamin berlimpah di dalam otaknya karena dengan begitu mereka akan senantiasa bahagia dalam hidupnya. Secara implisit pula, dia menganggap bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang genetis, dan itu berarti bersifat terberi (given). Kalau benar demikian adanya, betapa tidak adilnya Tuhan karena tak memberikan hak yang sama pada setiap orang untuk peroleh pengalaman bahagia. Atau mungkinkah bahagia, dengan demikian, bisa direkayasa lewat cara-cara kimiawi dengan menenggak zat-zat amphetamine untuk mengatasi dafisit dopamine di dalam otak?

Memang, karakter manusia sedikit-banyak dipengaruhi faktor genetika, termasuk keseimbangan komposisi zat-zat kimiawi neurotransmitter di dalam otak. Tapi bila kita bicara soal bahagia, soal pengalaman transendental itu, bisakah semata-mata ia dikaitkan dengan faktor kimiawi di dalam otak belaka? Saya yakin jawabannya adalah: tidak!

Di lain sisi, saya banyak mendapati orang-orang yang melarikan diri dari ketidakbahagiaan hidupnya dengan berbagai cara. Mulai dari yang menjadi pecandu kesibukan (work aholic) hingga yang menjadi pecandu zat-zat psikotropika. Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, sedemikian sulitkah menemu bahagia dalam hidup ini, bahkan bahagia yang terdapat dalam hal-hal kecil sekalipun? Mungkin memang hal-hal yang serba artifisial—yang superfisial sifatnya—di alam kehidupan modern ini telah mengalienasi manusia dari kemanusiaannya, membuat manusia hanya mengikuti pola pikir yang melulu rasional-empiris-materialis-mekanis, hingga melupakan diri pada sesuatu yang abstrak, sesuatu yang transendental itu (?) ...

Berakhir di 02.21 WIB

NB. Selamat Hari Bumi ...

22/04/’08

Sabtu, April 19, 2008

The Loser

.: sebuah eksepsi & klarifikasi


SAYA layak mendapatkan cemooh. Seperti yang saya dapatkan pagi hari ini dari seorang teman yang berkunjung ke rumah kos saya. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Bercinta (plesetan teman itu untuk akronim WIB) dia datang langsung masuk ke kamar saya dan mulutnya langsung menyemprotkan cemooh berasa manis-asam-asin (mirip rasa permen nano-nano yang sekarang sudah lenyap dari peredaran karena kalah bersaing dengan menthos yang the freshmaker itu).


“Koen iki goblok pancene. Koen mari mosting komen opo nang dekne, he?” Kalimatnya pertama membuat saya seperti dijejali bumbu dapur bernama asam plus gula ditambah garam. Wajah saya mengerut, mulut menyeringai (karena kombinasi rasa yang tak karuan itu). Kalimat kedua bikin saya sadar bahwa saya memang goblok meskipun ada juga orang yang bilang saya pintar. Tapi dalam konteks apa dulu saya goblok, ini yang perlu saya klarifikasi melalui tulisan ini. Maka, ijinkan saya bercerita:


Pagi hari sebelumnya, saya memposting sebuah komentar untuk tulisan seorang teman wanita yang sejak dua bulan lalu turut-serta meramaikan jagat virtual kaum bloger. Tulisan Dia yang saya kasih komentar itu adalah sebuah tulisan testimonial/memoarial bernada liris dan menstimuli airmata pembacanya untuk keluar dari kantongnya. Saya tak perlu sebutkan memoar tentang apakah gerangan tulisan itu. Yang terang, saya yang membacanya saat over-midnite alias dinihari, harus menahankan airmata saya agar tak keluar berlinang-linang. Alhasil, airmata saya itu tertahan di pelupuk mata saja, membuat pandangan saya berkaca-kaca, kabur!


Kenapa saya sampai berairmata membaca tulisan itu? Jawaban yang primordial adalah: itu naluriah! Kalau Anda berempati pada kisah sedih orang lain, saya yakin Anda akan sampai menitikkan airmata. Itu bukan pertanda Anda cengeng. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa Anda peka dan Anda belum kehilangan citarasa kemanusiaan Anda akibat derasnya arus modernisasi yang mengalienasi harkat-martabat manusia dan menggantinya dengan pola pikir yang mekanistis, materialistis, serba logis, dan banalistis.


Tapi saya punya analisis yang mendekati ilmiah untuk pertanyaan kenapa saya harus sampai berairmata membaca tulisan Dia. Berikut analisis itu:


1).Saya membaca tulisan Dia saat dini hari, kira-kira mulai pukul 02.00 WIB, di dalam kamar saya, seorang diri. Dini hari adalah kondisi yang hening. Maka, dengan kondisi yang hening itu, saya pun membacanya dengan penuh penghayatan. Menghayati berarti adalah ikut “masuk dan menjalani” kisah yang dibaca dengan sepenuh jiwa. Itu berarti, dalam kisah tersebut saya menempatkan diri saya bukan sebagai pengamat, melainkan sebagai partisipan. Saya ikut merasakan apa yang dirasai oleh sang penulis kisah atau sang tokoh dalam kisah tersebut.

Akan sangat berbeda seandainya saya membaca tulisan itu di tengah gegap gempita pertandingan sepakbola di stadion, atau di tengah riuhnya pasar. Saya paling-paling hanya akan tersenyum getir saja, atau mungkin malah akan menertawakan kisah itu.


2).Saya yakin kisah itu tidak dituliskan oleh penulisnya sambil tertawa atau sambil bermesra-mesraan dengan kekasihnya, misalnya (andai Dia sudah punya kekasih). Konon, menurut sebuah teori terpercaya, sebuah tulisan itu membawa serta aura jiwa sang penulisnya. Bila ia dibaca dengan penuh penghayatan, alhasil si pembaca akan ketularan suasana hati sang penulis saat menuliskan kisah tersebut. Kalau penulisnya tertawa saat menuliskannya, pembaca juga akan tertawa saat membaca tulisan itu dengan sungguh-sungguh. Maka saya yakin, bahwa Dia, si penulis kisah itu, juga berurai airmata saat menuliskannya. Akhirnya, saya yang membacanya dengan ekstra-serius pun ikut ketularan suasana hati Dia. Tapi saya tidak menyesal. Malah sebaliknya, saya bersyukur karena saya membaca tulisan Dia bukan seperti saat saya membaca rekening tagihan bulanan listrik dan air PAM.


3). Kisah dalam tulisan itu sedikit-banyak juga pernah saya alami dalam hidup saya. Maka, membaca kisah itu, saya seperti terlempar pada dimensi waktu dan ruang yang telah terlewatkan. Salahkah saya bila sampai berairmata, karena saya disuguhi sebuah “repro” rekaman kisah masa silam saya sendiri? Andai saya tak pernah mengalami kisah seperti itu, tentu saya segan untuk membiarkan perasaan saya terlarut dan hanyut dalam kisah itu. Saya akan membacanya laiknya saya membaca buku-buku diktat kuliah, atau membaca berita IPTEK di koran. Tapi saya pernah mengalaminya, dan saya punya hak untuk terlarut hanyut dan deeply emphatic pada kisah dan tokoh sekaligus penulisnya.


Kesalahan saya cuma satu kok: saya telah memaksa Dia untuk memberitahukan alamat blog-nya pada saya. Itu saja. Andai saya tak pernah memaksanya, ia tentu tak akan memberitahukannya pada saya. Dan bila saya tak mengetahui alamat blog-nya, tentu saya tak akan pernah membaca kisah liris yang ditulisnya itu. Dan itu berarti, saya tak perlu berairmata dan memposting sebuah komentar untuk tulisan Dia yang akhirnya membuat saya dicemooh dengan kata “goblok” oleh teman saya yang metuwek dan rodhok elek itu.


Saya memang goblok, tapi tidak untuk hal-hal di atas. Saya goblok untuk satu perkara lain. Tapi saya tak perlu memberitahukannya secara gamblang pada siapa pun. Anda yang kenal baik dengan saya, pasti Anda sudah tahu betul dalam perkara apakah gerangan saya goblok.


“Tapi kenapa musti kamu posting komen yang malah bikin dia sedih-hati? Kan kamu bisa kasih komen yang menghiburnya. Bukan malah komen yang menambahi beban perasaannya. Dasar goblok!” semprot teman saya lagi dengan intonasi tinggi, melengking bak kuda betina minta kawin (?).


Harusnya kamu bisa mengamalkan ajaranku: so others may happy,” sambungnya sambil menepuk dada, membanggakan diri.


Tak cuma itu, bocah gemblong itu juga menuduh saya ceroboh dalam membuka “pintu gerbang” sebuah “halaman rumah” yang ingin saya masuki. Entah apa yang ia maksudkan dengan pintu gerbang dan halaman rumah dalam kata-katanya yang bersayap-sayap tersebut.


Saya tak tahu, apa dasar pemikirannya itu. Kenalkah bocah keminter ini pada konsep Emphatic? Tahukah ia pada pesan implisit dalam parafrase Joanna (Hannah) Arendt yang berbunyi: “duka menjadi lebih tertanggungkan kala dijelma dalam cerita”? Padahal dalam komentar yang saya kirimkan ke Dia itu, saya hanya ingin memberitahu bahwa Dia tak sendirian. Ada banyak orang yang juga sedang dan pernah menjalani fragmen kisah kehidupan macam itu, termasuk saya. Salahkah saya berempati ke Dia? Salahkah saya turut menutur cerita untuk menaggungkan duka Dia? Atau cara saya kah yang salah? Apakah duka itu akan lebih tertanggungkan semata-mata dengan saya mengiriminya es krim atau kue coklat, misalnya, seperti ketika kita menghibur tangis anak kecil dengan membelikannya permen atau balon, tanpa sedikit pun menyentuh duduk persoalannya? Atau mungkin saya memang terlalu berlebihan karena akan lebih baik jadinya bila saya no comment, seperti bicara para selebritis di televisi. Harusnya saya diam dan diam, berpura-pura tak tahu apa-apa, meski itu pada akhirnya membuat saya tak jauh beda dengan seonggok berhala: dingin, tak berperasaan (!). Atau, mungkin saya yang terlampau terdramatisir kisah yang ditulis Dia, dan saya balas mendramatisir tutur-cerita yang saya posting sebagai komentar tulisan itu. Celaka duabelas kalau sampai kemungkinan terakhir itu benar. Itu berarti saya telah kehilangan daya obyektivitas dalam menilai realitas di dalam sebuah tulisan. Tapi bukankah tulisan tersebut adalah sebuah cerita liris, dan adakah cerita liris bisa ditulis (dan kemudian dibaca) dengan mengedepankan unsur obyektivitas melalui metodologi-metodologi baku laiknya sebuah karya ilmiah? Ah, entahlah. Sudahlah. Tak perlu dibahas lagi. Saya pusing.


Dan, untuk sekedar Anda ketahui, hingga saat menjelang duapuluh empat tahun lamanya saya hidup di dunia ini, baru satu kali saya berpacaran, yaitu saat SMA dulu. Itu pun cuma sekedar pacaran model cimon (cinta monyet). Dan saya singgel dan jomblo semenjak lulus SMA, medio 2001 silam, hingga kini. Ceritanya, saya diputus, bukan saya yang memutus. Alasannya, saya kuliah di Malang, dia di Jember. Dia tak ingin ada peluang munculnya perselingkuhan akibat long distance relationship. Jadi, apalah daya bila salah satu pihak menghendaki sebuah ending, saya samasekali tak kuasa menghalanginya. Saya totally surrender—pasrah! Singkat kalimat: saya pecundang dalam cinta.


Lantas, dalam perkara apa sebenarnya saya ini goblok? Ah, Anda tentu telah menebaknya, bukan?! ... []



NB. seharian ini saya sampai tak makan. Seluruh waktu tumpas di dalam kamar, di depan komputer, di antara puluhan buku yang berdiri berderetan di sudut kamar, memikirkan banyak hal, menuliskan banyak hal, termasuk catatan ini. Seharian, dari pagi hingga senjakala, cuma mengasup energi dari segelas kopi dan separuh pak rokok kretek 76.


19/04/2008


Selasa, April 15, 2008

melodramatia hujan

ini bulan april. sepekan jelang peringatan jasa kartini. tapi saya tak hendak cerita kartini. saya hanya ingin cerita hujan. hujan yang turun dari langit murung. hujan yang guyuri dunia durja. hujan itu datang di suatu sore. datang menyiram tanah kotaku. datang sirami tanah desaku. hujan datang gelisahkan kota. tapi disambut suka desa. kota sebagai habitat modern. tak ingin berkarib hujan. kota tak sediakan diri untuk hujan. kota hanya inginkan uang. hanya inginkan uang. tapi hujan tak pilih-kasih. hujan datang pada siapa saja. pada apa saja. pada kota. juga desa. kota menolak hujan. tapi hujan tak kenal kompromi. hujan tetap datang. kota jadi murung. semurung langit bersemayam hujan. air hujan banjiri jalan-jalan. banjiri pasar. karena kota sesak bangunan. sesak kemewahan. sesak keserakahan. sesak kedurjanaan. sesak penderitaan. sesak udara gersang. sesak tanah yang malang. air hujan banjiri jalan-jalan kota. banjiri pasar. banjiri perumahan. banjiri kantor-kantor. banjiri pertokoan. banjiri taman-taman. banjiri segala bangunan. banjiri segala-gala. tapi di desa hujan diharap. dirindu. di desa hujan sirami tanah. penuh riang. hujan airi sawah. sirami tetanaman. sirami kekeringan. sirami keheningan. sirami ketenangan. tidurkan debu-debu. basahi kehausan. hujan datang. hujan ditampik kota. tapi tak bergeming. hujan dirindu desa. datang penuh suka. hujan itu guyuri tubuhku. basahi segala di badan. di jalan kota. sepulang mendulang untung. di kampus. hujan itu. kekasihku ... hujan itu. bekukan galau hatiku. gigilkan resah jiwaku. atas sikapmu. atas dingin hatimu. hujan itu. kekasihku. hujan itu ...

/negri hujan/15/04/08/

Senin, April 14, 2008

½ sadar + ½ tak sadar = konyol (?)

KONON orang yang tertidur kehilangan seluruh kesadarannya. Itu berarti, bila menjelang tertidur maka yang hilang adalah separuh kesadarannya. Dengan kata lain, yang tersisa adalah separuh kesadarannya. Dan konon pula, orang yang setengah sadar setengah tak sadar bisa melakukan hal yang konyol, seperti yang kualami semalam. Begini kisahnya:

Menjelang lelap, kira-kira pukul 24.00 WIB, ponselku berdering. Aku sangka itu adalah calling dari seseorang yang berinisial (xxx). Lalu aku tekan tombol terima, tapi tak ada jawaban. Dalam kondisi kesadaran yang setengah melenyap (dan bersisa separuh) aku panik. Maka segera aku calling balik nomor ponselnya. Dari speaker ponselku hanya terdengar bunyi tut-tut sampai berkali-kali. Itu berarti ponselnya tak diangkat. Lantas aku kirim SMS padanya: “ada apa?” Sayangnya SMS tak berbalas. Mungkin dia telah pergi melelap diri. Dan baru pada pagi harinya aku tersadar sepenuhnya, suara dering semalam itu bukanlah calling, tapi dering alarm. (Mampus, pikirku).

Menyadari kekonyolanku semalam, aku pun tersipu-sipu malu dan dilanda rasa bersalah. Segera kukirim SMS klarifikasi dan permohonan maaf ke dia. Tapi SMS tak berbalas. Mungkin dia tak sempat membalas. Mungkin pula kekhilafanku memang tak perlu atau bahkan tak layak untuk diberi maaf. Aku pun ilfil jadinya.

Tapi setiap salah mengandung berkah (asalkan bukan salah yang disengaja). Dan berkah itu adalah rumus kecil hasil reka-rekaku sendiri, terinspirasi kejadian semalam: ½ sadar + ½ tak sadar = konyol.

Entah seberapa jauh kebenaran rumus itu, siapa pun dapat mengujinya--bahkan menegasinya. Toh itu bukan rumus matematika, jadi senantiasa terbuka kemungkinan lain jawabannya. Bukankah kehidupan bukan angka, dan bukan angka berarti tak memiliki rumus baku (?)


14/04/’08

Sabtu, April 12, 2008

cara GILA a la POSMO

.: olok-olok buat para Posmois radikal


Realitas itu sendirilah yang hiperrealis sifatnya. Di mana pun kita hidup, kita telah menjadi bagian dari “halusinasi estetik realitas”.

(Jean Baudrillard ; Simulacrum)


Sejarah sudah berhenti. Orang berada dalam semacam pasca sejarah yang tanpa makna. Orang takkan menemukan makna apapun di dalamnya.

(Jean Baudrillard ; On Nihilism)



KalauAnda jenius ingin jadi gila; atau Anda gila pengen jadi jenius; atau Anda pengen jadi jenius gila, silakan baca, amini dan imani bulat-bulat pemikiran Baudrillard dan juga “cecunguk-cecunguk” Posmo-radikal (aliran destruksi) lainnya. Dijamin, Anda akan lekas jadi jenius gila seperti mereka. Tapi resikonya, kalau Anda tak mujur nasibnya, Anda bisa jadi gila sungguhan—gila yang tak jenius; gila yang sebenar-benarnya gila. (ha ha ha ... )


Orang-orang Posmo-radikal/destruktif itu ibarat memasang dinamit pada seluruh bangunan modernitas yang ada, tanpa sisa. Entah disadari atau tidak sebelumnya, setelah dinamit diledakkan dan semua bangunan itu musnah, ujung-ujungnya mereka akan jadi “gembel” dan “gelandangan”. Tak ada lagi bangunan yang tersisa bagi mereka untuk berteduh, untuk berlindung. Semua hancur, musnah, oleh dinamit kaum Posmo-radikal/destruktif itu. Yang tersisa hanya puing. Dan dengan puing-puing itulah mereka bermain-main untuk mengisi sisa hidupnya sebagai gembel dan gelandangan. Mereka benar-benar edan! Eiddyann...


Belakangan saya tahu, kenapa mereka melakukan “politik bumi-hangus” macam itu? Ternyata karena mereka melihat adanya beberapa bangunan modernitas yang absurd, seram, dan menakutkan, seperti misalnya: negara yang represif, agama yang dogmatik dan ilmu pengetahuan yang hegemonik. Tapi sayangnya mereka gebyah uyah alias pukul rata dengan menganggap bahwa semua bangunan modernitas itu absurd, seram, dan berbahaya. Maka semuanya didinamit, diledakkan, dimusnahkan. Semua, tanpa sisa. Dan jadilah mereka gembel dan gelandangan, tak punya lagi tempat berteduh dan berlindung.


Bahkan seorang rekan wanita yang mungkin juga ngefans berat dengan SIMULAKRA dan NIHILISME-nya Baudrillard memposting comment di friendster saya. Berikut saya kutipkan beberapa:

jangan heran kalo di jaman kalabendu ini yang miskin semakin kere, yang pinter otaknya dijarah para pemodal, dibekukan, lalu diformat ulang sesuai satu2nya kepentingan, "MENGERUK KEUNTUNGAN". ahh, aku juga cuma bisa bicara ngalor-ngidul. selebihnya tak bisa apa2. itulah mengapa aku begitu tak mengingini diri ini lagi. itulah disorientasi itu. idealisme yang SELALU bersaing dengan realita yang semakin mengganas.dan ujung2nya kalah dengan bukti segurat rasa yg berserakan di alam virtual ini. siapa yg peduli???”

maka membicarakan Tuhan, adalah membicarakan CINTA. jika ia memang masih ada ;p!! kekuatan tak kentara yang beraksi nyata, signifikan. padahal toh cuma sejumput senyawa kimia yang menumbuhkan efek sugesti dalam otak, agar bisa begini dan begitu yang hebat. aku makhluk berTuhan, bukan atheis. ... “


Saya geleng-geleng kepala tapi juga pengen ketawa membaca pernyataannya itu. Hebat betul teman kuliah saya itu. Kenapa dunia nyata dianggapnya sebagai alam virtual? Mengapa cinta Tuhan dikatakannya sebagai hanya sugesti senyawa kimia, bak sindrom chemistry dalam cinta antarjenis manusia (yang acapkali murahan)? Saya ingin acungkan dua jempol sekaligus atas “keberanian”-nya itu. Pancen hebbyatt tenaaann !!


Tapi saya ragu. Jangan-jangan para Posmois radikal itu mengharapkan dunia yang seindah negeri surga seperti dalam dongeng-dongeng yang sering kita dengar saat masa kecil dulu. Sehingga ketika mereka jumpai kemunafikan dan kedurjanaan manusia yang mengotori peradaban, mereka pun prustasi dan coba “lari dari kenyataan”—seperti lirik lagunya ADA Band. Saya jadi bertanya-tanya, sadarkah mereka itu bahwa sejarah manusia terbentuk dari dialektika antara “kekuatan jahat” dan “kekuatan baik” yang bersemayam dalam diri manusia. Sejarah peradaban adalah sejarah pertentangan sifat “iblis” dan tabiat “malaikat” kemanusiaan. Bukan pertentangan kelas seperti ditengarai Karl Marx. Mungkin Marx tak tahu bahwa sebelum adanya diferensiasi sosial-ekonomi masyarakat (dalam bentuk kelas), saat peradaban manusia masih sangat sederhana, pertentangan dan penindasan antar-manusia itu jauh-jauh hari sudah ada. Pernahkah Marx mendengar cerita pembunuhan Habil oleh Qobil, dua putra Adam, sang manusia pertama itu—karena rebutan garwo lan bondho (?)


Sepanjang sejarah dunia adalah “neraka” tapi juga “surga”. Manusia bisa mencipta harmoni tapi juga bisa mendorong anarki. Gerak peradaban sesungguhnya hanyalah gerak semu karena hakikat kemanusiaan tak pernah berubah: kejahatan tapi juga keluhuran di dalamnya. Sepanjang sejarah, perang dan damai senantiasa hadir dalam masyarakat manusia. Para pecinta hadir bersamaan dengan kaum rakus kuasa. Ada yang tak pernah lelah menebar bajik dan kemuliaan, tapi banyak pula yang mengumbar angkara murka. Dunia dan kemanusiaan dalam periode sejarah mana pun juga adalah sebuah pertentangan. Tak bisa dikatakan bahwa masa lalu secara keseluruhan berada dalam kondisi “lebih baik” dari masa sekarang. Luputkah orang-orang Posmo-radikal terhadap hal ini? Terobsesikah mereka pada masa silam karena kepahitan yang dirasai kini? Tak cukup beranikah mereka menatap hari depannya dan masa depan peradaban dengan tatap-pandang penuh harapan?


Pesimisme yang radikal butuh adanya optimisme yang radikal pula, agar hidup tak hilang keseimbangan, agar dunia tak hampa makna. Dan inilah yang nampaknya tak dipenuhi kalangan Posmo-radikal. Dengan fanatisnya, mereka sibuk menghancurkan seluruh bangunan modernitas tanpa berusaha mendirikan bangunan baru sebagai penggantinya. Tak sadarkah mereka bahwa tiap yang radikal berakhir fatal, tiap yang fanatis berujung tragis (?) Bukankah hidup menghendaki sikap yang moderat, agar diri tak terlempar pada kutub-kutub ekstrim, agar dunia tetap berada dalam titik equilibrium (?)


Akhirnya, tanpa adanya kutub penyeimbang itu, jadilah para simpatisan Posmois-radikal kita itu nihilis, fatalis, hiper-pesimis, ultra-sinis, dan amat mungkin... tragis !


Entah apa yang dimaui para maniak Posmo-radikal itu? Saya sendiri tiada habis-pikir ... [*]


11/03/08






Jumat, April 11, 2008

Anak-anak TK Kebakaran Jenggot (?)

DEWAN perwakilan “rakyat” dibikin geram oleh Slank. Gara-garanya, album terbaru mereka memuat sebuah lagu yang dianggap menghina dan melecehkan lembaga legislatif pusat yang berkantor di senayan itu. Dalam lagu berjudul Gossip Jalanan, lagu yang dianggap menghina itu, ada salah satu bait yang berbunyi: mafia senayan... bikin UUD... ujung-ujungnya duit. DPR disebut sebagai mafia senayan, UUD diplesetkan jadi ujung-ujungnya duit.

Dengar-dengar dari berita suratkabar, DPR lewat badan “kehormatan”nya akan memolisikan Bim-Bim cs. Tapi kubu Slanker segera bereaksi tak kalah sengit. Jutaan Slanker di seluruh Indonesia siap membela “hingga titik darah penghabisan” grup band pujaannya itu. Tak hanya mereka, solidaritas pun berdatangan dari Oi (Orang Indonesia), kelompok pendukung fanatik Iwan Fals, dan dari Baladewa, barisan penggemar DEWA 19.

“Karena ini jamannya keterbukaan dan kebebasan, kritik sosial seminor apapun harusnya disikapi dengan kepala dingin, bukan main polisi-polisian. Apalagi itu kan lagu, dan lagu itu seni, dan seni itu bagian dari ekspresi mental-psikologis masyarakat. Lha kalau orang dilarang mengekspresikan kondisi psikis dan kemuakan pikirannya, apa rumah sakit jiwa di negeri ini sanggup menampung luapan pasien-pasien neurotik dan psikotik akibat jiwa dan pikiran mereka disumbat oleh represi negara? Goblok benar orang-orang parlemen itu! Sudah paling korup, guoblokk lagi. Cuh!” Protes teman saya penuh emosi dalam sebuah rasan-rasan setelah membaca berita psy-war antara kalangan DPR dan Slanker di koran.

“Sabar, sabar. Gak usah emosi gitu. Harusnya sampean itu punya kapabilitas mental untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada. Kata orang-orang tua dulu, jangan kagetan. Bukankah memang sudah normalnya kalau anggota dewan itu tak pernah pintar. Dan bukankah sudah dari awal-awal berdirinya negara ini, anggota dewan itu memang ya begitu itu, tak pintar. Dengan kata lain ya seperti yang sampean bilang tadi, goblok. Kalau DPR kita pintar, tak mungkin situasi politik dan negara kita ini terpuruk mengenaskan seperti sekarang ini,” teman saya yang lain menanggapi teman yang pertama tadi.

“Sebentar, sebentar. Aku tidak sependapat kalau DPR dikatakan goblok. DPR itu tidak goblok, sungguh. Bukankah dulu saat masih jadi presiden, Gus Dur pernah bilang kalau DPR kita itu persis Taman Kanak-kanak. Anak-anak itu kan egois, polos, dan bisanya cuma bermain dan bermain, tak bisa untuk diajak serius berpikir dan berbuat. Jadi yang bener, anggota DPR itu, ya itu tadi, suka bermain-bermain, gak pernah serius, dan sak karepe udele dewe alias egois. Kalau sudah merasa capek ya biasanya langsung tidur, tak peduli sedang mengikuti sidang. Dan satu lagi, gemar minta duit buat jajan! Tapi jajannya bukan es atau roti atau bakso, tapi mungkin ya kayak si YZ yang dulu ketahuan njajan si ME, atau njajan mobil dan rumah mewah, wisata dan shopping ke LN pakai duit negara, dan banyak lagi,” teman ketiga ikut bersuara.

“Kalau gitu, bubarkan saja DPR. Gak usah de pe er-de pe er-an!” Teman pertama kembali berkata nyaring dan bersungut-sungut, kesal hatinya barangkali.

“Ngawor saja kamu. DPR itu pilar utama demokrasi, instrumen pengontrol kekuasaan eksekutif, di samping pilar lainnya, yaitu pers yang bebas dan peradilan yang independen. Kalau DPR dibubarkan, sama saja itu dengan meruntuhkan bangunan demokrasi kita yang sesungguhnya sudah dalam keadaan reyot ini,” teman kedua kembali berargumen.

“Setuju. Kalau salah satu pilarnya amoh atau usang, ya diganti pilar itu, bukannya ditiadakan. Kalau DPR dibubarkan, itu bisa memicu munculnya pemimpin a la Soekarno saat periode Demokrasi Terpimpin atau kekuasaan terpusat, atau macam Soeharto dengan demokrasi tipu-tipu model Orde Baru. Memangnya kita mau hidup dalam cengkraman orang-orang gendheng kuoso gendheng bondho macam itu?” Teman ketiga memperjelas argumen teman kedua.

“Lha terus, di mana posisi mahasiswa sebagai agen perubahan dan pelopor kemajuan di segala bidang, dan juga lebih spesifik lagi sebagai parlemen jalanan?” Teman pertama memperlebar skup rerasan itu dengan mempertanyakan posisi kaum kampus.

“Mahasiswa jaman ini kan berbeda dengan para pendahulunya terutama di jaman Kebangkitan Nasional dan Pergerakan Nasional dulu. Mereka sekarang ini cuma pandai teriak-teriak dan membikin macet jejalanan kota yang sesungguhnya sudah macet itu. Mereka itu cuma pandai bikin demonstrasi, menghujat dan mencaci-maki para pejabat negara dan anggota dewan. Tapi saat dosen-dosennya sendiri korupsi, dekan dan rektornya korupsi, mulut mereka diam seribu bahasa. Mungkin karena takut bakal dilempar keluar dari bangku kuliah, atau bisa jadi mereka sendiri juga turut kebagian duitnya lewat proyek-proyek yang diberikan dosen-dosennya. Juga anak-anak muda sok pinter itu kalau sudah mendapatkan posisi-posisi empuk di organisasi intra kampus, apalagi yang mengandung unsur kekuasaan macam BEM, HMJ dan DPM, ya tabiatnya tak akan jauh berbeda dengan para pejabat negara yang kerap mereka hujat. Mereka menghujat kan karena iri sebab cuma kebagian duit sedikit, dan berhasrat suatu saat dapat ikut serta menikmati jatah kendurenan duit rakyat yang lebih besar lagi! Itu kondisi psikologis hipokrit, namanya,” teman keempat yang sedari tadi leyeh-leyeh tiba-tiba bersuara.

“Ah, sampean terlalu sinis. Apa karena dulu sampean gak lulus ujian SPMB jadinya terus iri pada para mahasiswa? Sampean iri karena betapa enaknya jadi mahasiswa. Tak perlu cari duit sendiri karena tiap bulan dijatah bapak-ibunya, dan kalau jatah kiriman berlimpah bisa buat foya-foya. Salah sendiri kenapa dulu pilih program studi favorit di universitas bonafit pula. Coba kalau sampean dulu pilih prodi yang tak laku di universitas-universitas kampungan, yang dosen-dosennya cuma sibuk berburu proyek dan orderan pihak luar, pasti diterima!” Teman ketiga protes, tak terima harga dirinya sebagai mahasiswa dilecehkan.

“Tapi tidak semua mahasiswa itu bertabiat hipokrit dan hedonis. Jangan karena nila setitik lantas menganggap rusak susu sebelanga. Tidak semua mahasiswa itu hobinya nge-mall dan ngemil. Tidak semua dari mereka itu suka bikin macet jejalanan dan bikin bising telinga pengguna jalan dan kaki-lima. Ada juga kok di antara mereka yang benar-benar tahu diri dengan misi yang mereka emban sebagai mahasiswa. Tak sedikit mahasiswa yang berprestasi dan turut memajukan kehidupan akademis dan lebih luas lagi memajukan peradaban bangsa,” teman pertama tiba-tiba menjadi bijak bersuara. Padahal ia sendiri tadi yang mempertanyakan di mana posisi mahasiswa. Ia juga yang sejak tadi mencemooh dengan nada paling minor perilaku anggota dewan. Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi bijak? Aneh!

“Tapi, apa kira-kira kesimpulan dan tanggapan kita terhadap sikap DPR yang hendak memolisikan Slank, grup band kesayangan kita itu?” Teman kedua mengembalikan topik pembicaraan.

“Tak perlu ditanggapi. Jangan ikut-ikutan mereka. Lha wong anak-anak TK kok kebakaran jenggot, memangnya mereka sudah punya jenggot?!” Saya yang sedari tadi cuma mendengarkan rasan-rasan itu akhirnya terpancing untuk angkat-bicara. Saya hanya tak ingin kalau teman-teman saya itu ikut-ikutan tak pintar seperti orang-orang parlemen yang kurang kerjaan meributkan lirik sebuah lagu, seolah-olah di meja kerja mereka semua segala tugas telah tuntas, seolah-olah rakyat yang mereka wakili sudah tak memiliki permasalahan hidup untuk mereka dengar dan perjuangkan, seolah-olah mereka itu dipilih untuk hanya sibuk menanggapi kritikan dan celaan terhadap harga diri dan kewibawaannya yang sesungguhnya telah mereka lecehkan dan hinakan sendiri lewat prilaku korup dan khianat kepada rakyat.

“Dasar! Anak-anak TK kok kebakaran jenggot!!!” Rerasan diakhiri dengan suara serempak, diiringi tepuk-tangan serentak. Entah apa maksudnya keplok-keplok itu.

Sementara itu, tiba-tiba saja suara Siti Nurhaliza terdengar merdu melantunkan lagu Purnama Merindu, menyirami ruangan yang telah belepotan oleh cibiran dan sindiran tajam forum rerasan itu dengan kesejukan, dengan lirik lagu puitis dan melankolis yang dibawakannya. Rupanya seorang lagi teman saya yang tersisa, yang tak ikut-ikutan berbagi “dosa” dalam rerasan, ingin berbuat kebajikan dengan menyajikan tembang lawas biduanita Malaysia itu guna mendinginkan kepala dan dada kami semua yang sejak tadi menghangat karena rebutan mencibiri parlemen negeri sendiri. Mbeneh juga teman yang punya wajah culun itu ... []

10/04/’08

Selasa, April 08, 2008

Mengadu padamu, Ibu

# teruntukmu, anti-tesaku ; dan buat penjunjung kemanusiaan


tahukah engkau, wahai ibundaku

apa kiranya berkecamuk dalam diri anakmu ini (?)

ah, ibu

'ku yakin kau t'lah baca kedalaman dadaku

karena darah nan mengalir dalam tubuhku adalah darah milikmu

jiwaku adalah keturunan jiwamu

sembilan candra lamanya 'ku menyatu dalam hidup tubuhmu

dalam hidup jiwamu.

oh, ibu

cengengkah anak lelakimu ini (?)

bila ia menitikkan airmata karna sesuatu yang membuat ia bahagia tapi juga berduka hatinya.

kekanak-kanakan kah ia, ibu (?)

bila tak juga tegar menghadapi lain jenisnya.

merugikah ia, ibu (?)

bila tak punya nyali sebesar gemunung di hadapan cinta.

malukah engkau, ibu (?)

bila anak lelakimu ini tumbuh jadi pemalu.

ah, ibu

kau memahamiku lebih dari sesiapa pun juga.

kau ingat ia pernah dulu diolok-olok oleh teman-temannya

sebagai lelaki yang bertabiat wanita

hanya karena ia pemalu

tanpa tahu mereka itu, ibu

bahwa ia juga sekeras karang segarang singa

hatinya rentan tapi juga pemberontak.

hanya kau mungkin yang tahu itu, ibu.

ibu,

kau juga pasti ingat ayah pernah dulu memarahiku

hanya karena anak lelakinya ini dianggapnya penakut.

tak ingat mungkin ia

saat kecil dulu aku

pernah menantang berkelahi lelaki paruh-baya yang menginjak kakiku

ketika menonton panggung hiburan di lapangan desa bersama kau dan ia.

baru kemudian kutemui sesal di wajahnya

setelah belakangan ia tahu aku berani menentang banyak kehendaknya

melucuti satu-persatu kewibawaannya yang ia sangka kekal adanya.

tapi aku juga dirundung sesal cukup dalam akhir-akhir ini, ibu

kala kusadari aku t'lah banyak melecehkan harga-dirinya.

aku alpa bahwa ia adalah bapak-kandungku

aku lupa bahwa ia juga adalah pasangan hidup dan jiwamu

lelaki yang kau cintai tentunya

di samping aku dan adikku

di tubuhku juga mengalir darahnya

walau tabiatku lebih banyak turun darimu daripada darinya.

tapi, ibu

bagaimana dengan apa yang kurasai kini (?)

bahagia itu, ibu

tapi juga kedukaan itu

yang bermuara pada satu hal

yakni rasa pada lain-jenisku

mustikah rasa ini kuingkari, ibu (?)

kau tentu pernah mengalaminya juga, ibu

bahkan saat mengandung tubuhku dalam tubuhmu

tentu bahagia dan duka itu berjarak lebih lebar

dari yang kurasai kini.

mustikah rasa ini kubuang jauh-jauh dari diriku, ibu (?)

karena kata orang-orang

bahagia dan duka itu merapuhkan

sementara dunia ini kejam

dan karenanya manusia harus kuat melampaui baja.

tapi aku tak mau menjadi kuat, ibu

bila harus jadi manusia yang tak berpunya rasa.

apa beda manusia dengan hewan bila ia hanya mengabdi pada naluri belaka

dan menindas rasa yang dikurniakan tuhan kepadanya.

tidakkah manusia macam itu melecehkan tuhan dan hakikat kemanusiaan (?!)

aku ingin jadi manusia seutuhnya, ibu

yang bisa bahagia pun sanggup menanggungkan duka hatinya.

aku ingin jadi manusia yang tahu kemanusiaannya, ibu

manusia yang sanggup menghapuskan airmata sesamanya

sembari memberi jalan bagi airmatanya sendiri untuk tertumpah.

aku ingin jadi manusia yang tak ingkar pada diri sendiri, ibu

pada bahagianya

juga pada sedih-hatinya

karena kuingin menikmati menghayati kedua-duanya.

izinkan aku, ibu

untuk mentikkan airmataku

karena bahagia itu

karena kedukaan itu

karena rasa pada lain-jenisku itu


biarlah airmata ini tertumpah, ibu

sebagaimana selama ini ia kerap tertumpah

menyaksikan derita sekaligus ketegaran sesamaku

mengikuti irama perasaan kagum bercampur ngeri

pada berjuta-juta manusia

menyaksikan keluhuran tapi juga tragedi kelam

yang mengerubuti kehidupan.

...

'PanggungDramaKehidupan,07/04/08'