Senin, Juni 30, 2008

Cerita Kereta

PAGI itu, di atas KA Sri Tanjung yang meluncur kencang bak meteor, menuju Jogja, seorang lelaki duduk di kursi nomor 24A pada gerbong ke-3. Sebuah buku di tangannya: bersampul krem berjudul Fateless. Pikirannya sekilas-lintas nampak khusuk menyimak kisah hidup seorang Yahudi Hongaria saat rezim Nazi-Hitler sedang mengganas di daratan Eropa. Namun saat pikirannya terlihat khusuk menyimak novel memoarik Imre Kertesz itu, hati si lelaki itu berkecamuk; batinnya bercampur-aduk, riuh, gaduh: berbagai rasa tumpah bermain di dalam dadanya, meruah-rekah..


Lelaki menginjak seperempat abad di atas kereta menuju Jogja itu nampak khusuk menyimak buku; namun perasaannya berkecamuk, bercampur-baur — oleh rindu dan kebimbangan pada seorang wanita yang telah mencuri hati dan perhatiannya..


=> Kereta, ya, kereta. Dalam cerita sinema Life is Beautiful, kereta adalah berita durja: ribuan Yahudi dimasukkan gerbong, berdesak-desak mirip ternak, lantas diluncurkan menuju Auschwitz. Di kamp kerja-rodi ala Nazi itu, maut jadi sedemikian dekat dan mengerikan; ajal jadi sesuatu yang banal...


Akhirnya aku sadar,

HIDUP adalah emulsi;

segala hal bercampur-baur, melebur:

suka bercampur duka,

tenang berbaur riuh,

yang fana bersatu dengan yang baka,

yang imanen berkelindan dengan yang transenden,

yang kudus bersanding noda,

kenyataan berpelukan dengan rekaan,

Dan aku pun turut melebur di dalamnya,

tanpa sisa …


Minggu, 29/06/08

di atas KA Sri Tanjung,

masih memikirkanmu...

ah, andai kau turut di sini,

bersamaku:

mengukir perjalanan

memahatkan kenangan…





Kamis, Juni 26, 2008

s a m b a l

[bila Anda pernah baca Cala Ibi, novel debutan Nukila Amal, saya yakin Anda tak bakal kesulitan memahami catatan berikut ini]


Es jus alpukat, saya paling tak suka. Sama enegnya dengan skripsi. Tapi cinta kadang cumalah sekerat roti—kadang basi, sering malah jadi santapan semut sebelum sempat mendarati mulut. Tapi semut lebih disiplin dari para serdadu. Semut tak punya jendral tapi tertib dan tak satu pun desersi. Tapi alangkah mahalnya hidup ini hingga banyak orang tak sanggup membeli. Namun siapa berjualan getah: di nangka ia dibersihkan karena mulut hanya mau manisnya belaka, tak sudi getir dan kotornya. Tapi kau tentu bilang itu manusiawi. Lantas bagaimana dengan perang dan aborsi, juga eksploitasi? Wah, betapa kambing selalu punya nasib tragis; ia dicabik, disayat, dan disate—dipanggang dalam bara yang mengangah merah, lebih tragis dari cerita neraka.

Tapi siapa berharap bersua malaikat, ia akan sekarat. Sama halnya bila kau sedang duduk diadili dalam ujian skripsi. Tak ada jus jambu kesukaanmu, tak ada madu tuk menggenjot stamina batin dan hatimu. Tak ada cinta, malah. Yang ada cumalah rindu: ingin kau segera keluar enyah dari sana dan bergegas menuju kaki-lima memesan segelas es degan plus madu penyejuk kalbu.

Konon sel itu tak lebih menyiksa dibanding penjara manusia bernama bahasa. Bila kau pernah tonton sinema garapan Innaritu berjudul Babel, pasti kau paham pada maksudku. Manusia terkotak-kotak dalam bahasa beraneka rupa. Tapi yang tak kuasa berbahasa, si gadis Jepang yang bisu itu, masih dalam cerita film Babel, juga tak kalah menderita dibanding yang sanggup berwicara. Yang punya bahasa serupa pun tak menjamin dapat hidup bebas tanpa terpenjara. Buktinya, kita seringkali berseteru karena bahasa, karena bicara kitatermasuk akibat salah paham; salah dalam mencerna makna kata-kata lawan bicara.

Tapi saat ini ada yang lebih membuatku jengkel seribu empedu: skripsi yang seeneg buah durian. Mencium baunya pun dari kejauhan aku serasa mual, mau muntah. Tapi muntah kadang, atau sering malah, membawa berkah beruah-ruah. Karena dengan begitu kau bisa mengisi perutmu kembali dengan aneka kenikmatan duniawi. Ya, perut; kadang ia lebih rakus dari otak tapi tak lebih serakah dibanding mulut. Dan mulut, kita semua telah paham, ia menyemayamkan lidah di dalamnya; dan lidah itulah kerap menjalarkan api tragedi di dunia ini. Segala retorika dan ancaman tak akan lahir dari mulut yang tak berlidah. Dan lidah sendiri jadi liar karena ia memang tak bertulangtapi ia suka bawang.

Dan orang-orang sejagat raya saat ini juga sedang dibuat jengkel: oleh minyak! Minyak memang jadi berkah tapi juga musibah. Seorang nenek renta rela seharian berdiri di bawah terik mentari demi mengantri minyak. Amerika menggelar ratusan ribu serdadu dengan bajet puluhan miliar USD demi menguasai minyak. Tapi jutaan orang jadi sasaran empuk bujuk rerayuan iklan kosmetika karena malah ingin menghilangkan minyak (di parasnya). Asal tahu, sekarang minyak berdolar nyaris 140 per barelnya dan secepuk kosmetika pengusir minyak bernominal puluhan-ratusan ribu rupiah. Dan dunia ricuh karenanya, persis bila ada bau kentut di dalam ruang kelas tanpa seorang pun mengaku sebagai empunya. Ya, beginilah dunia pasar: selalu riuh selalu gaduh dan banyak orang mengaduh karena bangkrut hidupnyasemua karena bahasa.

Namun bila Anda pernah simak film Butterfly Effect, atau Anda pernah baca novel The Five Peoples You Meet in Heaven karya Mitch Albom, Anda akan tahu bahwa hidup adalah sebuah parade kejadian demi kejadian yang saling berikatan-berkaitan (istilah kerennya: jalinan koinsidensia). Bahwa setiap kejadian akan memiliki konsekuensi bagi terbitnya kejadian berikutnya; demikian berlangsung bak mata-rantai yang tanpa putus. Maka pesan yang saya tangkap darinya adalah: bahwa takdir itu bukanlah mitos adanya; ia nyata; dan jangan sesekali kita meratap-sesali segala yang telah terjadi bila tak ingin terjebak dalam infatuated imaginations seperti dialami si tokoh protagonis dalam kisah Butterfly Effect itu.

Ilmu pengetahuan, selidik Michel Foucault, selalu berjalin-kelindan dengan kekuasaan. Begitu pun wacana; ia dipelihara lewat kuasa dan dipigura bahasa. Kecurigaan serupa datang pula dari Jacques Derrida yang penuh semangat memukulkan martil Dekonstruksi bertubi-tubi. Dan hancurlah segalanya.

Tapi omong-kosong dengan teori bila kita wajib memeluknya erat-erat. Kita punya dua kaki. Kau tahu apa maksudnya? Agar kita bisa berpijak pada dua matra kehidupan: realitas dan idealitas. Bila kau hanya memijakkan dua kakimu pada salah satunya saja, kau akan celaka. Dan tahukah kau kenapa kita punya dua tangan, dua belahan otak, dua telinga, dan dua bola mata tapi hanya satu mulut? Agar kita lebih banyak berbuat, lebih banyak berpikir agar jadi bijak, lebih banyak mendengar agar jadi pintar, lebih banyak melihat untuk selalu belajar, dan agar kita tak banyak bicara. Itu saja.

Maka jangan menikmati sambal dengan rasio-nalar pikiran; jangan mengungkapkan kelezatannya lewat bahasa; nikmatilah semata dengan hati, sebagaimana kau menikmati cinta yang tentunya tak sebatas sekresi kimiawi di kalenjar-kalenjar neurotransmitter di dalam batok kepalamu. Dan kau tak perlu mengungkapkannya pada siapa pun juga lewat bahasa. Ungkapkan semata dengan hatimu; itulah sambal [?]

siang terik,

dalam kangen,

merindu wujud di dalam kalbu—kamu!

namun bila kau sangka aku lemah, kau salah.

aku menerjang karang menantang gelombang;

lebih baik berkalang tanah daripada kalah.

dan bila kau sangka aku bakal cemburu, kau keliru.

hatiku hanya rindu pada biru;

sedikit saja padamu!!!

yachh.. alangkah indah & kacaunya hidup…

bahkan kini,

saat pendulum berayun ke kiri,

ada nyeri di hati,

nyeri..

tapi aku tetap tersenyum;

terus tersenyum..

meski palsu,

walau semu,

tapi kunikmati,

kuhayati..

karena ku tak ingin kalah darimu;

tak ingin kau sangka lemah dan hendak nyerah..

namun aku telanjur padamu;

takkan mundur hingga belur dan lebur..

.

eagle flies confused..

……still free & alone……………….

Senin, Juni 23, 2008

the wor(l)d is not enough

:) to Nora Rz


Time and space are relatively, Einstein’s postulate. Yeah, I believe it. Seven years ago we’ve gone apart, since we had finished senior high school. Seven years felt so short, like no a second felt so long when I wait an answer in the clearly morning seven years ago, answer from you for my ask and question…


Argh, forget about it. Nor, still you remember a moment in the dawn has going on, while we spent our morning at Papuma beach, just you and I, seven years ago? Both you and I sent any smiles to the waves come one by one touching the shore line, sent any smiles to sunrise on east-face so far away. And we laugh together, rent the solitude beach…


In that time, we like a couple of white doves alighted on a tree branch. We make any jokes and flatteries in the beauty morning bathed by golden ray of sunrise and caressed with softly wind blews. We are living so free and joyful, felt no any sadness and sorrow. Yes, that morning feels like our morning only, just mine and yours…


And then we bathing our body and soul, we playing with waves. We’re like children have no sins, have no sorrows, have no pains, have no problems. We have joy and happy only. Yes, so beauty and captivated fully. I believe everybodies seen to us will felt so jealous and wanna be like us. Yes, that day is like ours only…


As teenage, we have so many dreams and hopes to sailing the future before us, and we never felt so regret with our past behind us. We just free and liberty. We just dream and carved every second in days with smile and optimistic views. We have no heavy duties would made us fall down…


Still you remember, Nor.. in that morning we playing sands and sown it to each other’s hair. We are so crazy and seem like the fool. And then we make a small temple using white-sands, and we just laughing while a wave comes, shatter our small temple. We just laugh, not sad. Have we known, in that day, that nothing eternal in this world, that everythings will be shattered and broken, even often easily, just in a second or a minute only? Yes, may we have any awareness, eternities are in heaven only, and we believe it absolutively… … …


Now, in this night while I make this note, I feel that moment just passings by, like a minute ago, whereas it was seven years ago. This is named Einstein as ”relativity”. We are, mankind creature, have the mind or soul. It is fourth dimension, just mankind have it. In this case, relativity is caused by fourth dimension we have. It’s made us being so different absolutively beside others creature in this world…


Gosh, why I speak about Einstein? But I think you also like to mister Einstein. Both you and I like with physics, especially in chapter Duality of Light. Yes, light is entity has dual character: as a wave and as a particle. But, don’t you ever think that mankind have dual character too: as devil and as angel? Yes, mankind are creature between angel and devil. And human is most perfect creature, beyond other creatures…


Back to Einstein. He ever said, ”dark is a condition while the light is absent. Evil is a condition while ’God’ is absent. And hatred is a condition while the love is absent.” And I am agree with him, absolutely. So beautifully this life if everyone always fulfil with light, divine, and love…


Now, I just a confused-man, fluster to make any decision, confuse to take any step toward. Even I feel so bewildered while meet you in library, a month ago. Yeach, I spontaneously remember all my memories in every time we spent together. Everything will be beauty when became memories, someone’s said. And I agree. Everything feel so illuminate in my mind: all memories with you many years ago, while we’re same as student of senior high school; we’re ”the most unusual pupils,” once our friends said. I didn’t know what they mean…


Nor, whatever was passing by, whatever was happened in everytime we’d spent together, including every worst both you and I ever made, I wish it never will make me turn to past, so do you are. Yeah, I know, so many things changed, so many things lost, so many new things born, but memories are memory. Memory is “life was died” and we can not make it wake up, we can not make it alive again. Let it stay silent in our mind, slant our life to the illuminating future in each our way…


The last, Nor. I know, every word is never enough to describe everything within heart. So do the world is. It never be enough as a cup where we will pour out all within heart. So maybe this note is not enough to show all in depth my heart up. But, when the world is not enough, I turn to word. And I wish these words can make you satisfied, though not enough…


Happy 25 years old,

Wish a quarter of century has made you get everything

you dreamed,

and has made you becoming wise-woman

… … …

your friend..


Sabtu, Juni 21, 2008

B 360 LO

What is in a name?! — Shakespeare’s said..


Alex. Begitulah teman-teman biasa memanggilku, baik teman-teman kuliah maupun teman-temanku nongkrong di mal. Tapi itu cuma nama panggilan, nickname. Nama asliku, nama pemberian kedua orangtuaku, tidaklah seindah nama panggilanku itu. Sejak kecil aku dipanggil dengan “Lek”, bukan “Lex”. Ya, “Lek”, atau terkadang “Kan”, karena memang nama asliku adalah Solekan. Dan nama panggilan “Alex” itu adalah hasil kreasiku sendiri.


Jujur saja aku malu dipanggil dengan nama asliku, Solekan, karena nama itu berbau desa sekali, sangat ndeso. Sudah enam tahunan ini aku punya nama panggilan Alex, tepatnya sejak aku kuliah di Jakarta. Dulu, sebelum menginjakkan kaki di ibukota negara ini, sejak masih kecil hingga tiga tahun duduk di bangku SMA, aku samasekali tak pernah merasa risih dengan nama panggilan Solekan. Nama teman-temanku di sekolah dulu adalah Parto, Tejo, Untung, Karno, dan banyak lagi nama-nama khas desa lainnya. Tapi di metropolitan ini, semenjak aku tahu bahwa nama teman-teman kuliahku semua terdengar indah dan mentereng di telinga, aku pun nekad ganti nama. Setidak-tidaknya ganti nama panggilan, ganti nickname. Sungguh, aku malu sekali harus memperkenalkan diri dengan nama Solekan, sementara teman-teman kuliahku memperkenalkan diri dengan nama Johan, Rendy, Tomy, Andre, Thomas, dan banyak nama-nama keren lainnya yang sebelumnya hanya aku tahu di sinetron-sinetron saja.


Dulu, pernah sekali waktu aku nekad memperkenalkan diri dengan nama Solekan kepada teman kuliahku yang bernama Tomy. Lantas apa katanya, coba? “Wah, tampangmu memang keren. Tapi asal tahu saja, kalau nama panggilanmu Solekan, mungkin kamu gak bakalan bisa masuk mal dan kafe. Mending kamu ganti nama aja deh, minimal ganti nama panggilanmu. Jangan bawa-bawa lagi nama udik itu. Kalau tidak, bakalan terkena sanksi sosial ntar kamu!”


Semenjak menerima kritik tajam dari Tomy itulah aku mulai minder setengah mati dengan nama pemberian orangtuaku, nama yang telah delapanbelas tahun lamanya menjadi bagian tak terpisahkan dari diriku. Teringat akan ancaman seriusnya menyangkut “sanksi sosial” yang bakal aku terima bila tetap nekad mempertahankan nama pemberian orangtua, maka aku pun ganti nama. Tadinya aku sempat punya keinginan untuk memakai nama “Jackie”, tapi aku kemudian sadar bahwa nama panggilan itu adalah milik istri mendiang John F. Kennedy, presiden Amerika yang mati ditembak oleh warganya sendiri itu.


Dua hari kemudian aku baru ingat satu hal yang merupakan salah satu ide paling cemerlang seumur hidupku. Bukankah aku selama ini dipanggil dengan nama panggilan “Lek”? Aha!! ya, kenapa tak menggunakan nama Alex saja, ya, A-L-E-X. Eureka!!!—aku girang bukan main waktu itu, persis Archimedes yang baru saja menemukan cara mengukur volume benda padat yang tak beraturan bentuknya. Ya, aku telah menemukan ide brilian, mengganti nama panggilanku menjadi “Alex”. Akan aku umumkan pada khalayak nama panggilan baruku itu. Ya, aku akan bikin pengumuman kepada semua orang agar mereka tahu ide brilian yang baru saja kugali dari dasar otakku itu.


Semenjak saat itulah, aku dengan penuh percaya diri memperkenalkan nama baruku itu kepada seluruh teman-teman kuliah dan teman-teman penghuni rumah kosku. “Kenalkan, Alex,” begitu tiap kali aku berkenalan dengan teman baru. Bahkan ketika berada di atas angkutan umum pun aku tak lupa memperkenalkan diri dengan nama baruku itu. Dan satu lagi, tak lupa pula aku umumkan kepada dosen-dosenku di kampus bahwa aku tak ingin lagi dipanggil dengan nama Solekan sebagaimana yang tertera di daftar presensi kuliah. Aku maklumatkan kepada mereka semua, nama panggilanku kini adalah: “Alex”. Ya, A-L-E-X ! Mendengar maklumat itu, dosen-dosenku hanya tersenyum geli. Dan semenjak saat itulah, nama “Solekan” lenyap bak ditelan bumi, kini yang ada dan dikenal semua orang adalah nama “Alex”. “Lex,” begitulah panggilan singkat yang diucapkan semua orang kepadaku.


* * *


Di mana pun aku berada, kepada siapa pun aku berjumpa, tak pernah lupa aku memperkenalkan diri dengan nama panggilan baruku itu. Rekan-rekan sesama karyawan di kantor bahkan tak ada yang tahu nama asliku, kecuali mereka yang duduk di bagian personalia, karena mereka tentu saja telah membaca dokumen-dokumenku saat aku melamar kerja di kantor ini. Tapi, persis dengan yang aku lakukan terhadap dosen-dosen kuliahku dulu, aku maklumatkan kepada orang-orang di bagian personalia itu bahwa nama panggilanku adalah Alex, dan aku arahkan mereka agar tidak sekali-kali memanggilku dengan nama asliku yang ndeso dan tak punya nilai jual itu. Bagaimana pun juga, nama panggilan baru itu aku reka-reka selama dua kali duapuluh empat jam, dua hari dua malam, lamanya—sebuah penemuan besar yang patut dihargai, tentunya.


Tapi inilah kisah antiklimaks, titikbalik, dari euforiaku pada nama panggilan baruku selama ini. Di sebuah pagi yang cerah, saat aku berada dalam perjalanan di atas bus Transjakarta untuk menuju kantor tempat kerjaku, kutemui seorang wanita muda belia cantik jelita di dalam bus eksklusif itu. Ia duduk persis di sampingku, di dekat pintu bagian depan. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan momen ini untuk show of name kepadanya. Kepada para sopir bus Transjakarta saja aku amat antusias memperkenalkan nama panggilan baruku itu, apalagi kepada wanita jelita dari surga yang sedang duduk di sampingku ini. Tak akan aku sia-siakan.


“Kenalkan, nama saya Alex,” kuulurkan tangan kananku laiknya Sri Rama mengulurkan tangannya kepada Dewi Shinta sehabis menaklukkan si raja lalim Rahwana.


“Saya Iyem. Sepertinya saya pernah kenal Anda?” ia mengulurkan tangan kanannya yang putih mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. Kujabat erat penuh wibawa. Tapi kemudian aku tertegun. Kalimatnya yang kedua pun seolah-olah tak pernah aku dengar di telingaku, karena kalimatnya yang pertama telah membuat kesadaranku terlempar dari atas bus Transjakarta dan jatuh berguling-guling di atas jalanraya, tertabrak mobil-mobil yang berlalu-lalang menuju tempat kerja tuannya. Aku kira namanya adalah Jinny, Nancy, Rindy, atau paling tidak: Luna atau Mitha. Iyem? Uh, aku jadi teringat kata-kata bertuah si Tomy yang telah merubah secara radikal pandanganku terhadap hakikat sebuah nama. Dan laiknya seekor burung beo, aku tirukan nyaris persis, hampir seratus persen, ucapan Tomy enam tahun lalu tatkala pertama kali aku berkenalan dengannya di bangku kuliah.


“Wah, tampangmu memang keren. Tapi asal tahu saja, kalau nama panggilanmu Iyem, mungkin kamu gak bakalan bisa masuk mal dan kafe. Mending kamu ganti nama aja deh, minimal ganti nama panggilanmu. Jangan bawa-bawa lagi nama udik itu. Kalau tidak, bakalan terkena sanksi sosial ntar kamu!” Muka wanita itu langsung merah-padam, kemudian menyeringai persis kucing-kucing yang saling berebutan sepotong ikan. Menyadari ketololanku, aku pun langsung didera rasa berdosa. Dadaku bergemuruh tak sanggup lagi menampung jantungku yang tiba-tiba saja naik berlipat-lipat frekuensi detaknya. Seketika itu pula mukaku jadi pucat pasi kehabisan darah.


Kala itu, waktu berasa melambat seperti halnya yang dirasakan para serdadu saat menghadapi hujan tembakan musuh. Sedetik rasa satu jam lamanya. Keringat berkucuran deras di sekujur tubuhku. Hingga akhirnya Iyem, wanita jelita itu, tiba-tiba membuyarkan gunung dosa yang menumpuk sesak di dadaku.


“Iyem adalah nama pemberian orangtuaku. Pantang bagiku untuk mengutak-atiknya. Harap Kau tahu, aku bahagia menyandang nama itu, tiada sedikit pun rasa malu di hatiku hanya karena sebuah nama. Bagiku, nama tak bisa dipersamakan dengan merek produk yang mesti punya nilai komersil. Nama adalah identifikasi diri, bahkan di dalamnya terkandung sebuah harapan dari kedua orangtua kita.” Oh, my God... kata-katanya yang santun, halus tanpa sebutir pun kerikil kemarahan dan kebencian di dalamnya, telah membuat jantungku kembali berdetak normal seperti semula.


“Maafkan kelancangan saya tadi. Saya terlampau bersemangat memperkenalkan nama panggilan baru hasil kreasi saya sendiri itu. Sekali lagi maaf,” aku masih belum berani memandang wajahnya. Wajahku masih tertekuk menekuri lantai bus—ekspresi khas manusia yang sedang menyesali dosa-dosanya.


“Kalau tidak keliru, sepertinya saya pernah kenal Anda?” Ia bertanya penasaran. “Eh, kalau tidak salah, kamu Solekan temanku di SD dan SMP dulu, ya ‘kan?”


“Ya ampun, jadi kamu Iyem temanku itu?!” aku melongo sejenak, lantas girang bukan kepalang. Rupanya wanita jelita di sampingku ini adalah temanku di SD dan SMP, belasan tahun silam. Tapi seketika kegembiraanku itu terinterupsi oleh ingatan lamaku terhadapnya. Dulu, sewaktu masih duduk di bangku SD dan SMP, aku sering mengolok-oloknya. Aku sering mencibir namanya yang mirip nama seorang pembantu rumahtangga di sinetron-sinetron picisan itu.


Pariyem, ya, Pariyem... Persis nama tokoh protagonis dalam kisah yang direka-reka Linus Suryadi; kisah seorang pembantu rumahtangga di kaki Merapi, yang lugu dan polos dan sempat berkali-kali ’digagahi’ majikannya itu. Oh, tapi ini Iyem yang lain; Iyem yang semoga Gusti Pengeran melindunginya dari kebinalan dan kebiadaban napsu lelaki mana pun juga...


... Oh my God, betapa tak hanya ulat saja yang sanggup bermetamorfosa. Iyem, ya, Iyem si gadis yang dulu amat lusuh seperti seragam buruh pabrik gula itu, kini telah berubah menjadi wanita jelita, sungguh, sumpah! Sekalipun cerdas, dulu Iyem memang amat lugu dan polos (ya persis si Pariyem-nya Linus itu) dan karena itu ia sering dijadikan obyek olok-olok dan sindiran siswa-siswa lelaki bengal seperti aku ini. Tapi kini, aku berani bertaruh, anak menteri pun akan ngiler melihat kecantikan paras dan tubuhnya.


* * *


Semenjak kejadian di atas bus Transjakarta itu, aku tak pernah lagi memperkenalkan diri dengan nama “Alex”. Sungguh, aku malu dengan si Iyem. Ia yang cantik jelita saja tak merasa malu harus menggunakan nama aslinya, nama pemberian orangtuanya. Semenjak saat itu, aku kembali menggunakan nama panggilanku semula. Kepada siapa pun juga, kini aku kembali memperkenalkan diri dengan nama pemberian orangtuaku, seadanya. Nama itu, nama pemberian orangtuaku, seperti kata Iyem, mengandung harapan dari sang pemberinya, yakni kedua orangtua yang telah membuat aku terlahir ke dunia ini.


Semenjak kejadian di pagi itu, nama “Solekan” kembali muncul dari perut bumi, dan nama “Alex” itu aku pendam dalam-dalam di dasar Samudera Hindia sana. Iyem, ya, gadis lusuh, lugu dan polos belasan tahun silam itu telah membalikkan secara revolusioner pandanganku terhadap hakikat sebuah nama, sebagaimana dulu Tomy juga mengubah pandanganku secara radikal terhadap hal yang sama. Iyem, kini ia bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor milik salah satu departemen paling kaya di negeri ini. Gadis yang telah bermetamorfosa menjadi wanita jelita itu tetap saja polos dan lugu, samasekali tak neko-neko. Ia tak kehilangan citarasa kedesaannya sekalipun telah menjadi warga ibukota negara.


Ah, terimakasih Iyem untuk kejadian di pagi hari itu. Terimakasih juga untuk bus Transjakarta berplat-nomor B 360 LO yang telah menjadi saksi-bisu kisah itu, kisah revolusioner tentang hakikat sebuah nama... []


Dalam Khayalan Mendung, 22-23 Maret 2008

Selasa, Juni 17, 2008

M a k a n A t i ! ! !

Kalo ada orang yang telah lima kali dikecewakan oleh seseorang yang amat-sangat diharapkan perhatiannya tapi masih juga tidak kapok dan masih terus berharap pada seseorang itu, orang itu adalah saya. Lima kali saya berharap; lima kali kirim short messege service; lima kali bikin janji; dan lima kali dikecewakan. Kurang apa coba?


Yach, andai saya bukan orang yang sedang dalam masa perjuangan mengasah dan sekaligus melapangkan hati, mungkin saya sudah meninggalkannya; mungkin dia, seseorang itu, sudah tidak saya ‘anggap’ dan perlukan lagi. Tapi sumpah, saya masih belum kapok dan gak akan kapok. Yach, sekalipun sudah lima kali ini saya dibikin kuciwa… diingkari. Tapi mau gimana lagi, saya sudah ada ikatan sama dia, jadi ya… gak bisa dan gak akan pernah bisa lari ke mana pun juga, suwerrr!!!—sekalipun tho, makan ati banget, nget!!!


Maka sesungguhnya kisah yang sebenarnya saya harapkan akan menjadi titik klimaks ini terjadi sore tadi. Saya datang ke rumahnya dengan sejuta harapan yang saya gantungkan tinggi-tinggi. Di rumahnya, saya diterima dengan sebegitu hangat dan akrabnya. Kami bersikenal. Maklum ini kunjungan pertama saya ke rumahnya. Sebelumnya saya cuma ketemu dia di kampus, jadi tak ada samasekali kehangatan suasana; tak ada keakraban di antara kami berdua.


Di rumahnya itu saya dan dia saling bertukar bicara, dan tak sekedar berbasa-basi—sungguh! Maka secercah asa terbit kala itu. Harapanku menyembul. Saya kira, kali ini pasti saya tak akan dikecewakannya lagi seperti sudah empat kali dia lakukan terhadapku sebelumnya. Tapi siapa berharap muluk-muluk, bersiaplah ia dikecewakan. Dan, benar adanya… saya sekali lagi harus menenggak tablet bermerek ke-ce-wa…


Saya pun pulang ke rumah kos dengan merasakan pahitnya tablet kecewa yang memudar di tenggorokan. Sesampai di rumah kos, empat teman penghuni rumah kos telah siap sedia menyambut kedatanganku. Bukan untuk memberi ucapan selamat atau empati buat kekecewaan yang kualami. Bukan. Tapi ini: aku didorong menuju dapur dan di sana telah disiapkan tiga onggokan hati ayam, untuk apa lagi kalo bukan untuk dimasak. Yach, aku disuruh masak tiga onggok hati ayam.


Keterlaluan memang teman-teman serumah kosku itu. Sudah tau aku gak doyan makan ati, ehh.. dipaksanya juga buat masak ati ayam. Sumprit, aku agak jengkel. Tapi untungnya ada delapan ekor ikan pindang juga yang siap dimasak, so saya nanti bisa makan ikan pindang itu saja, tak bakalan ikut-ikutan makan ati.


Sehabis maghrib, masakan telah siap disikat (dimakan, maksudnya). Dan, lumayan juga penampilan si ikan-ikan pindang yang saya goreng itu disandingkan dengan secobek sambal tomat (tanpa terasi, karena kami semua gak doyan terasi; karena terasi itu proses pembikinannya jorok). Saya lahap empat pindang goreng itu (dan saya gak ikut-ikutan makan ati lho… suwer!!!). Ehmm, lumayan buat ngobatin ke-kuciwa-an saya, kuciwa bersebab saya cuma dikasih janji-janji belaka. “Besok aja ya, di kampus. Sekarang saya masih ada urusan lain,” sepenggal kalimat yang selalu di-reff dosen pembimbing pertama skripsi saya itu.. (yeeekk… anda sangka seseorang yang kumaksud itu adalah wanita pujaanku, ya??? Makanya, jangan asmara-minded dong…)


16/06/2008


Sabtu, Juni 14, 2008

a glorious night

Masih kuingat jelas malam itu. Saat kita berduaan, berboncengan. Aku di depan, engkau di belakang. Tapi tak perlu kiranya itu kau tafsirkan sebagai ”wanita senantiasa jadi epigon lelaki”. Aku sendiri tiada bersepakat bila wanita dianggap hanya sebagai, meminjam istilah yang sering engkau pergunakan untuk ‘menyesali’ eksistensimu sebagai wanita, two legged creature. Wanita bukanlah makhluk bertaraf ”kelas dua”. Sungguh, aku tiada bisa menerima anggapan yang melecehkan harkat dan martabat wanita, atas dasar apapun juga. Akan amat tak tahu diri dan durhaka tentunya bila aku, sebagai anak manusia yang terlahir dari rahim seorang wanita, sampai menganggap engkau dan kaummu sebagai epigon—”teman belakang”.

Ah, ya, malam itu serasa indah buatku (dan semoga buatmu juga). Yahh, kita berboncengan, berduaan. Engkau duduk menyamping, mirip ibu-ibu yang dibonceng suaminya. Tak lazim di zaman sekarang ada wanita muda yang bersedia dibonceng dengan duduk menyamping. Tapi malam itu, sungguh kita seperti… ah, tiada aku kuasa mengatakannya…

Tapi di mana sebenarnya engkau sekarang. Kenapa semenjak malam beberapa hari lalu itu, hingga detik ini, aku tak pernah menjumpaimu lagi? Di mana kiranya engkau saat ini? … … … … … … … aku dilanda sepi, sunyi…

When I am down and, oh my soul, so weary
When troubles come and my heart burdened be
Then, I am still and wait here in the silence
Until you come and sit awhile with me…

You raise me up, so I can stand on mountains
You raise me up, to walk on stormy seas
I am strong, when I am on your shoulders
You raise me up... To more than I can be…

Kau tentu ingat lirik lagu Josh Groban itu, kan?

Rabu, Juni 11, 2008

Dua Sindroma

Sindroma pertama

Dulu, saat kelas 3 SMA, saya pernah mengidap Blackboard Syndrome*. Ini terjadi dalam mata-pelajaran kimia, fisika dan matematika. Simptom-simptomnya adalah sbb:

  1. Pikiran bingung & linglung saat memandangi papan tulis di depan kelas yang penuh dengan oret-oretan “omong-kosong”; oret-oretan aneka bentuk simbol dalam rumus-rumus yang amat-sangat-SUKAR-sekali dibaca, diinterpretasi & dipahami. Jauh lebih mudah & menyenangkan menginterpretasi teks-teks sastra (terutama puisi) & teks-teks wacana.
  2. Muncul serangan migrain karena saraf-saraf sensorik tak mampu mengidentifikasi dan atau mengarungi lautan (pe)tanda (ocean of sign**).
  3. Konsekuensinya, jaringan saraf motorik mengalami disinkronisasi (akibat misinterpretasi saraf sensorik tadi) sehingga akhirnya gerak organ tubuh mengalami disharmoni alias kacau-balau (misal: kaki jadi kepala; kepala jadi kaki. Otak jadi dengkul, dan sebaliknya, dengkul jadi otak, dsb).
  4. Akumulasi dari tiga simptom di atas, akhirnya saya JARANG MENCATAT. Alhasil, buku tulis saya lebih banyak kosongnya dari pada isinya; kalau pun berisi catatan, biasanya itu adalah diari & puisi khas anak remaja berseragam SMA. (pernah dalam satu razia buku-buku catatan yang dilakukan guru-guru mapel kima, matematika & fisika, saya kena sanksi dijemur di halaman sekolah. Gara-garanya ya itu tadi, buku yang kovernya bertuliskan KIMIA, MATEMATIKA, dan FISIKA, isinya paling banyak justru DIARI & PUISI. Untungnya guru-guru saya itu tak pernah belajar semiotika; coba andai mereka bertiga ngerti semiotika, puisi-puisi saya itu pasti bakalan ditelanjangi habis-habisan, dan itu berarti habislah saya, karena puisi-puisi saya itu sentimentil — maklum, anak SMA gitu loh!).

Keterangan:

*) Blackboard Syndrome adalah istilah hasil reka-reka saya sendiri. Kalau tiada aral melintang, dan bila saya punya kesempatan studi S-2 atau S-3 di Psikologi, fenomena ini akan saya teliti dan kaji dengan sungguh-sungguh agar bisa jadi master-piece sehingga bisa bikin saya dikenal orang banyak (yah, namanya juga hidup, kadang butuh ambisi, asalkan gak ambisius). Dan yang terpenting adalah sebagai kontribusi saya terhadap penanganan problem-problem yang diidap anak-anak sekolah & anak-anak kuliah alias mahasiswa jaman sekarang: yang lebih suka ngerumpi daripada baca buku dan mencatat pelajaran, yang lebih suka ngeceng di mall & kencan seharian-semalaman daripada berkunjung ke toko buku dan perpustakaan, dsb..

**) ocean of sign adalah istilah puitik, sama sekali gak akademik. Hasil reka-reka otak saya juga..

* * * * * * * *

Sindroma kedua

Sekarang, saya mengidap Billboard Syndrome*, terutama bilbor iklan berukuran raksasa yang malang-melintang di jalan-jalan raya kota, yang isinya memajang gambar cewek-cewek cakep (and sexy) dalam pose-pose yang menggoda, yang tentunya mereka sudah gak punya rasa risih dan malu lagi tiap hari dipandangin ribuan orang yang berlalu lalang di jalan-jalan. Gejala-gejala sindroma ini adalah sbb:

1. Mengelus dada (karena iba & prihatin pada si cewek yang jadi pajangan iklan; kok mau-maunya ya mereka, udah gak punya lagi harga diri kali ya?).

2. Jengkel dan marah-marah sendiri (maklum saya lelaki normal, yang tentunya tak cukup imunitas saat tanpa sengaja liatin pose-pose gituan, di bilbor berukuran besar lagi).

3. Marah pada kaum lelaki (termasuk saya sendiri) yang mustinya bisa menghargai wanita dengan semua kehormatannya (baca: memanusiakan wanita; kalo gak salah, ini adalah esensi dan sekaligus tujuan gerakan Feminisme dan juga Emansipasi ala Kartini), bukannya malah acuh tak acuh; dan para lelaki yang memegang kekuasaan politik dan ekonomi justru dengan sengaja malah mengeksploitasinya untuk interest mereka sendiri.

4. Selalu berdoa semoga saya nanti gak dapet pacar atau istri yang seperti cewek-cewek yang mau dan bahkan dengan sukarela & senang-hati dijadikan pajangan iklan, baik di bilbor, TV, majalah, dsb. (saya mau wanita yang mampu menjaga harga-diri & kehormatannya; bukan wanita yang suka mengumbar tubuhnya murah-meriah kayak seleb-seleb dan bintang iklan itu).

Dan saya yakin, sindroma ini adalah sindroma yang positip (bukan disease!) dan sangat mulia. Karena itu, saya akan coba menularkannya seluas mungkin pada kaum lelaki di seluruh muka bumi. (apalagi saya ingin mendukung Feminisme, dan ingin jadi seorang feminist). Do’ain ya, sobat-sobat peselancar samudera maya semua …

Keterangan:

*) Billboard Syndrome adalah kemuakan pada papan-papan iklan, terutama yang berukuran jumbo. Papan-papan iklan ini selain merusak keindahan kota juga membodohi masyarakat dengan informasi-informasi penuh tipuan (di samping gambar-gambar seronok & mencolok yang merendahkan martabat wanita seperti saya sebut di atas). Istilah ini bikinan saya sendiri, hasil saya ngelamun saat hujan rintik-rintik di suatu sore (maklum saya belum punya kekasih, jadi kerjaannya cuma ngelamun doank, jadi pungguk perindu bulan… Rembulan, kamu ngerasa gak ya tiap hari aku lamunin, aku rinduin???... bahkan membalas pesan-singkatku saja engkau tak sudi… Ah, sudahlah, hidup tak boleh meredup hanya gara-gara awan bergelayutan pada rembulan…) $^&%*&*

Senin, Juni 09, 2008

Infatuated Triangle

About during two years last, my life is going mad. Three places have dominated my life: campus (including its libraries with thousands book inside have made me drowning in depth of everything foolish and non-sense named ‘ilmu pengetahuan’), boarding-house (that made me feel so far away from my parent and family and my village were made me feel so peace and silent), and internet-rental (that made my sociality reducted; made my reality has going to simulacrum or hyper-reality).


Three place, I myself named it “infatuated triangle”, have made me like a fool and stupid, sure! I am forget with so many beautiful and glorious places I used to visit — places that make me feel so much “transcendental feelings” within and deep inside: sea (especially its beach), mountains, jungles, agricultural field named sawah, rivers, and many other places that never I found now, in the town I stay. Now, everyday I just doing everything foolish and non-sense named ‘il-peng’, make my soul has going barren and unrest so much. So, sometimes I feel so bored and disgusted.


An anti-thesis >> I am longing for you, girl, waiting for you, dreaming you, hoping you, and my heart has just loving you; loving you beyond your body and face I used to see; loving you b’coz your soul and everything invisible deep inside you, so seriously and so much, sure!.. Are you ready to open your wings and your heart and then fly together with me, like a couple of white doves, sailing the sky above and looking for the heaven or paradise is hiding..?? Or we will try to getting and reaching Multiple Orgasm within our soul in every second we are thinking for, longing for, and desiring for each other — without touching each other’s body..

Arghh, my heart has yearning, yearn to you, girl.. wanting to fly with you to eternity, leaving all superficiality in this old-mad-world...


June 09, 2008, a noon after cooking ‘tumez pindang plus tahu’

— never feel enough without you..


.
.
.
.
.
.

Selasa, Juni 03, 2008

( Lagi-lagi soal ) Tuhan, Agama dan Kekerasan

Minggu, 01 Juni 2008, kembali tindak kekerasan bertopeng agama terjadi. Di Jakarta, dua kelompok massa yang menamakan dirinya Fron Pembela Islam (FPI) dan Komando Laskar Islam (KLI) melakukan tindak penganiayaan terhadap sekelompok massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Ironisnya, tindakan kriminal itu dilakukan di tengah momen peringatan hari kelahiran Pancasila. Aksi kekerasan ini dilakukan oleh dua kelompok pertama tersebut karena, menurut pengakuan mereka sendiri, di dalam barisan kelompok kedua terdapat para pengikut Ahmadiyah—sebuah aliran/kelompok keagamaan (Islam) yang telah dicap sesat oleh sebuah institusi bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dualisme (dalam tafsir) agama: antara dogma dan dialektika

Kita tak bisa pungkiri bahwa agama selalu hadir ibarat sebagai pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat namun juga petaka. Jika agama dipahami sebagai seperangkat dogma, yang muncul adalah pembakuan agama: Agama dianggap sebagai sebuah sabda yang final dan tak bisa diganggu gugat. Sebaliknya, bila agama dipahami sebagai sebuah media pendorong proses dialektika, ia akan menstimuli manusia untuk berpikir secara kritis, analitis, kreatif dan inovatif, yang pada akhirnya akan menghasilkan sintesa pemikiran yang mampu menghadirkan solusi bagi aneka permasalahan peradaban.

Dalam pemahaman pertama, agama tak ubahnya sebuah belenggu yang memasung akal-budi/nalar manusia dari proses berpikir kritis dan analitis. Agama menjadi tak ubahnya sebuah penjara pemikiran (the prison of thought). Sementara dalam pemahaman kedua, agama bisa menjadi sebuah mata air jernih yang menyejukkan dan menyegarkan pikiran manusia dan pada akhirnya akan membebaskan manusia dari segala bentuk tirani dan hegemoni yang mengungkung pemikiran.

Agama yang dipahami sebagai dogma cenderung membawa manusia pada pola-pikir yang menganggap segala sesuatu di dunia ini sebagai serba pasti adanya. Dunia dan kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang mekanistik dalam artian bahwa segala problematika yang ada di dalamnya bisa diselesaikan dengan menggunakan seperangkat solusi baku sebagaimana yang mereka (kaum fundamentalis-ekstremis) yakini dan klaim telah termaktub di dalam kitab suci. Dengan model pemahaman seperti ini, potensi berpikir yang sesungguhnya inheren dalam (ke)manusia(an) pada akhirnya diminimalisasi—dan bahkan dieleminir.

Sementara itu, bila agama dipahami sebagai sebuah pendorong proses dialektika, ia sebenarnya menegaskan kepada umat manusia akan ketiadaan kepastian di dunia ini; tiada yang baku dan final di dalam dunia dan kehidupan. Dunia dan kehidupan mirip organisme yang senantiasa tumbuh berkembang. Ini berarti, dunia dan kehidupan akan senantiasa mengalami perubahan secara terus-menerus dan tidak akan pernah berada dalam kondisi final. Dengan kata lain, perubahan adalah sesuatu yang niscaya dan tak terhindarkan di dunia dan kehidupan ini. Konsekuensinya, manusia diharuskan untuk senantiasa berpikir secara kritis dan analitis guna mencari solusi-solusi bagi segala problematika yang muncul sebagai implikasi dari perubahan-perubahan tersebut. Sementara perubahan adalah sesuatu yang niscaya dan tak terhindarkan, bisakah segala problematika yang muncul di dalamnya diselesaikan dengan metode-metode yang dogmatis (baca: baku)? Jawabnya adalah: tidak!

Psikologi fundamentalis-ekstremis

Dalam telaah ilmu psikologi, kaum fundamentalis-ekstremis diidentifikasi sebagai manusia yang terhambat perkembangan psike/jiwanya. Mereka senantiasa dibayangi oleh kerinduan obsesif akan “keindahan dunia” sebagaimana yang mereka rasakan di masa kanak-kanak. Dengan kata lain, pikiran dan jiwa mereka tak bertumbuh dewasa dan tak mampu untuk menjadi arif dan bijaksana. Mereka selalu mengidamkan kondisi ideal dan serba pasti, dan ironisnya mereka seolah-olah kehilangan pijakan terhadap realitas yang sedang mereka alami dan mereka diami saat ini; mereka menolak realitas dan senantiasa dikuasai kerinduan-kerinduan obsesifnya terhadap masa lampau.

Dalam konteks ini, kaum fundamentalis-ekstremis cenderung menganggap masa lampau (past) sebagai, meminjam bahasa Goenawan Mohammad, ”langit cerah bertabur bintang”. Mereka cenderung tak mau mengakui bahwa di masa lalu sebenarnya juga terdapat begitu banyak problematika peradaban yang mendera umat manusia. Paralel dengan kerinduan obsesifnya terhadap masa lalu tersebut, mereka menganggap dunia/zaman sekarang sebagai sebuah kemerosotan dan kemunduran yang tak bisa dimaafkan. Mereka cenderung memandang masa sekarang (present) dengan tatap-pandang yang neurotik (penuh cemas dan kebencian), dan masa depan (future) dilihat sebagai sebuah ancaman. Maka, sebagai konsekuensinya, mereka akan berusaha “mengembalikan” atau “membalikkan” peradaban ke masa lalu—dengan mengusung solusi-solusi dogmatis yang baku sebagaimana yang mereka yakini telah termaktub di dalam kitab suci itu. Alhasil, bagi mereka, sejarah tak boleh bergerak ke mana-mana (yang berarti: sejarah haruslah berakhir, atau diakhiri), dan segala bentuk perubahan atas dunia dan peradaban akan dipandang sebagai najis dan haram.

Tuhan: antara harapan dan ketakutan

Kaum fundamentalis-ekstremis cenderung memandang Tuhan bukan dengan sikap penuh (peng)harapan. Sebaliknya, Tuhan dipandang dengan penuh rasa (ke)takut(an). Sikap ini tentu saja sangat bertentangan dengan sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Dalam ajaran Islam, sifat-sifat Tuhan (Asma’ul Husna), sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat Al-quran, yang berjumlah sembilan puluh sembilan itu, kesemuanya menyebut sifat Tuhan dalam terma yang positif dan mulia. Ambil contoh: Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Memelihara, Maha Pemurah, dan sifat-sifat mulia lainnya. Dan sebaliknya, tidak satu pun sifat Tuhan yang termaktub di dalam Asma’ul Husna itu yang menyebut Tuhan dengan sifat-sifat yang negatif (buruk), seperti misalnya: Maha Penghukum, Maha Pendendam, atau Maha Pemarah.

Jika Tuhan samasekali tidak memiliki sifat negatif, lantas atas dasar apa orang-orang fundamentalis-ekstremis itu melakukan tindakan kriminal berupa penganiayaan terhadap orang/kelompok lain, lebih-lebih mereka mengklaim dirinya sebagai “pembela” Tuhan (dan agama)? Padahal, sesuai tuntunan ajaran Islam, setiap muslim selalu dituntut untuk menyempurnakan keimanannya dengan menghayati dan kemudian mengejawantahkan sifat-sifat Ketuhanan (Asma’ul Husna) yang mulia itu di dalam kehidupan dunia ini. Pribadi muslim dituntut untuk menumbuhkan di dalam dirinya sifat pengasih, penyayang, pemaaf, penyabar, dan sifat-sifat mulia lainnya untuk dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, orang-orang fundamentalis-ekstremis itu sesungguhnya bukanlah pribadi muslim yang baik dan ideal. Sebaliknya, mereka tidak lain adalah orang-orang yang telah terbelenggu dogma sempit agama dan telah kehilangan akal sehat serta telah mati-suri hati nuraninya, sehingga dengan amat cerobohnya mereka melakukan tindak kekerasan (baca: kriminal) dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama. Melalui tangan mereka, Tuhan dan agama bukan lagi menawarkan harapan kepada umat manusia tetapi justru menebarkan teror dan ketakutan. Oleh mereka, Tuhan dan agama hanya dijadikan legitimasi dan justifikasi bagi kecenderungan nafsu destruktif di dalam dirinya.

Spiritualitas sebagai esensi agama

Agama, sebagai jalan atau sarana menuju Tuhan, sudah barang tentu menyimpan secara inheren di dalamnya sebuah esensi spriritualitas. Agama bukan semata-mata seperangkat aturan dan hukum yang mengancam atau menakut-nakuti manusia dengan hukuman. Jika agama dipahami hanya sebagai hukum dan aturan-aturan belaka, ia justru akan kehilangan esensi dan ruhnya. Agama akan jatuh sakralitasnya menjadi serupa konstitusi negara ataupun undang-undang hukum pidana.

Manusia, sebagai makhluk yang memiliki dimensi spritualitas secara inheren di dalam dirinya, tentu membutuhkan jalan atau sarana untuk memenuhi dan juga mengekspresikan kebutuhannya akan nilai-nilai spiritual tersebut. Dan karena esensi spritualitas yang dikandungnya secara inheren itulah, agama sesungguhnya menjadi sesuatu yang amat sakral dan signifikan keberadaannya serta tak tergantikan kedudukan dan peranannya bagi eksistensi umat manusia.

Agama, dengan esensi spiritualitas yang dikandungnya, sangat dibutuhkan umat manusia sebagai oase yang menyediakan mata-air jernih dan suci guna mengobati dahaga jiwa manusia, lebih-lebih manusia yang hidup di zaman ultra-modern ini, yang jiwanya telah mengalami dekadensi dan kekeringan spiritual akibat kultur hidup yang hedonistik-materialistik-superfisialistik.

Dengan demikian, esensi spiritualitas inilah yang sesungguhnya layak dan perlu untuk dikedepankan dalam praksis keberagamaan guna mengatasi aneka problematika yang melanda umat manusia, dan bukan justru dogma-dogma yang hanya akan meredusir dan mengeleminir potensi-potensi umat manusia…[]


NB. untuk artikel terkait, silahkan klik --> Tuhan, Agama dan Kekerasan

Wahyu Puspito S. / 03 Juni 2008