Kamis, Juli 31, 2008

FUNERAL FOR A FRIEND

Ia telah lelah melangkah.

Ia jengah.

Ia kini berhenti meniti.

Hidup tak memberikan apa-apa selain bergurat-gurat luka.

Ia berusaha menangkap makna dari luka-lukanya namun tak jua kuasa.

Bahkan ia tak tahu apa itu cinta.

Bahkan kebenaran dan Tuhan pun ia tak kunjung paham.

Maka ia pernah berteriak.

Ia memberontak.

Tapi entah kepada siapa suara-suara paraunya itu ditujukan.

Sekali waktu ia merengek-rengek.

Lain saat ia meratap pilu.

Kadang juga terbuai mimpi…

Tapi kini berteriak ia tak lagi mampu.

Suaranya mulai memelan.

Lalu redam.

Batang tenggorokan dan ruang kerongkongannya telah mengering.

Semangatnya meluruh.

Asa demi asa yang coba disemainya dalam hidup bertahun-tahun kini telah ranggas.

Segala-galanya sirna.

Hidup dirasainya tak lebih sebagai sebuah ketiadaan yang menampak bayangan.

Serupa fatamorgana.

Tapi ia menderita banyak luka karenanya.

Dan ia lihat banyak manusia berebut ketiadaan itu.

Berdebat.

Berperang.

Atas nama fatamorgana itu.

Dan ia makin bingung.

Makin terluka oleh itu semua…

Ia menangis pilu…

Ia lelaki.

Ia selalu menempuhi jalan-jalan sunyi.

Dan petang hari di awal kemarau ini ia dikuburkan.

Tak jelas mengapa ia mati.

Yang kutahu ia kini telah pulang ke asal mula.

Meninggalkan dunia yang jadi pentas perayaan kehidupan…

Lalu pada batu nisannya kuusapkan duka-laraku.

Dan di atas pusaranya kutaburkan mawar merah bersama burai airmata yang tak kuasa kutahankan…

Penghujung Juli 2008

Dalam selingkuh nyata dan maya…

Senin, Juli 21, 2008

Go in Peace

Dini hari tadi, saya baca sebuah buku kumpulan naskah pidato seorang agamawan agung, gembala umat, juru perdamaian dan permaafan, dan tokoh dunia nan santun dan rendah hati. Dialah Paus Yohanes Paulus II.

Di tengah keresahan batin siapa pun, akibat paradoks modernitas yang mengebiri dimensi ruhani umat manusia, kalimat demi kalimat di dalam buku berjudul Go in Peace—yang didedikasikan untuk mengenang satu tahun wafatnya sang tokoh—itu terasa bak oasis di tengah gurun pasir bagi para pengembara yang dililit kehausan dan kekeringan. Tak terkecuali bagi saya yang sebelumnya dirundung gelisah akibat aneka problema yang menyergap pikiran dan menekan perasaan, membaca kalimat demi kalimat yang santun, tak sedikit pun memuat amarah dan caci-maki, jauh dari penghakiman, dan penuh dengan kebijaksanaan itu, tubuh saya seperti tersiram air nan dingin dan sejuk. Entah hanya untuk sesaat atau tidak, saya merasakan kedamaian jauh di lubuk batin ini. Lebih dari itu, yang tak kalah pentingnya, saya makin yakin: Agama bukan suara angkara murka, bukan teriakan penuh kutukan, bukan anjuran kedengkian, bukan syahwat kekuasaan, bukan darah dan amarah, juga bukan ajaran penindasan; ia adalah lawan dari itu semua. Agama adalah kasih-sayang: Rahmat bagi alam semesta seisinya.

Di tengah-tengah munculnya sisi beringas praksis keberagamaan zaman modern ini, sebagai reaksi yang melampaui batas atas ekses-ekses modernitas, pesan-pesan Paus itu menyadarkan kita semua betapa pentingnya kerendah-hatian dan kehati-hatian dalam memahami dan mengejawantahkan ajaran agama. Tanpa dua hal tersebut, agama justru akan jadi beban berat yang makin memperparah keterpurukan umat manusia.

Paus bernama asli Karol Wojtyla yang terlahir di Polandia pada 18 Mei 1920 itu tutup usia pada 02 April 2005 setelah 27 warsa memimpin Vatikan. Namun pesan-pesan yang disuarakannya itu tetap tinggal di dunia — dan terasa makin penting bagi kita semua..[]


di ambang mentari pagi, 21 Juli 2008



Sabtu, Juli 19, 2008

Monologika Gila

Aku pandangi perempuan gila yang duduk di atas meja kaki-lima. Saat senjakala turun di kota. Kemarin. Ia seorang diri. Aku pun sendirian. Lihatlah wajahnya lusuh. Tubuhnya juga. Busana koyak-moyak. Seperti sehabis diperkosa. Tapi siapa tega memerkosa si gila. Kenapa pula si gila rela. Ough.. Lihatlah: dari selangkangannya mengalir darah merah. Tetapi pucat; tak segar. Menstruasikah ia. Tapi kenapa si gila juga punya haid. Ohh.. Apa sebenarnya hubungan tubuh dengan jiwa. Ketika jiwa telah gila, tak lagi punya kehendak napsu, kenapa tubuh tak ikut gila; tak ikut-ikutan menanggalkan kehendak; tak melepaskan keinginan meluruhkan darah kegagalan pembuahan. Kenapa tubuh masih waras, tak edan. Padahal jiwanya telah gila.

Ohh.. Lihatlah perempuan gila itu. Ia menyeringai. Tapi kepada siapa. Kepada benda-benda di depannya-kah. Ia tak menyadari darah merembes dari liang vaginanya. Ya. Kenapa vaginanya itu tak ikut-ikutan jadi gila. Kenapa masih meluruhkan darah menstruasi saat jiwa yang menubuh di dalamnya telah jadi gila; telah tak punya lagi kehendak.

Lalu di mana Tuhan. Di mana Tuhan. Tapi apakah Tuhan bagi si gila. Apa pulakah vagina bagi si gila. Apakah tubuh. Apakah ruh. Apakah dunia. Bagi si gila. Juga bagi kita semua. Ohh.. Sedang duduk di atas ArasyNya-kah Ia. Ikut-ikutan memandangi si gila-kah Ia. Astaga. Kenapa aku menganggapNya laiknya seorang penonton ataupun wasit dalam pertandingan olahraga. Takkah Ia hadir di mana-mana. Takkah Ia menyatu dengan segala ciptaanNya. Takkah Tuhan menubuh pada dunia. Sebentar! Jangan terburu menuduhku musrik. Aku tak bermaksud menyamarupakan Tuhan dengan benda, dengan dunia, dengan segala ciptaanNya. Tuhan tak sama dengan semua yang kita lihat. Ia bukan yang tertangkap indra dan kesadaran kita. Tuhan adalah Ketiadaan bila yang kita sebut “ada” adalah yang terjangkau panca indra dan kesadaran. Tapi Tuhan juga tak beristana di langit atau di surga. Ia tak memisahkan diri dari dunia. Ia menubuh pada dunia, pada segala ciptaanNya. Juga pada si perempuan gila itu. Juga pada vaginanya. Tapi Ia bukanlah si perempuan gila. Bukan pula vagina si gila. Oh. Kau menuduhku gila karena menistakan Tuhan dengan menganggapNya bersemayam dalam vagina. Tapi apakah vagina. Apakah selembar daun. Juga sebutir debu. Juga noda busuk. Takkah semua itu juga ciptaanNya. Lalu kenapa kau anggap hina vagina. Takkah pikiranmu sebenarnya yang kotor dan picik. Hingga kau tuduh aku menghina Tuhan.

Ohh.. Astaga.. Lihatlah! Buncahan daging di dada perempuan gila itu mengempis. Kenapa payudara itu melenyap. Dadanya kini rata. Ada apa ini. Lalu bagaimana dengan vaginanya. Ikut melenyapkah. Tapi apa arti payudara bagi ia yang gila. Apa pula arti vagina baginya. Apa arti vagina dan payudara bagi Tuhan. Apa pula artinya bagiNya bila keduanya telah tiada. Apakah manusia sebenarnya. Apakah pria. Apa pula itu wanita. Pria adalah berpenis. Wanita berpayudara dan bervagina. Hanya itukah. Lalu apakah dunia. Lalu bagaimana dengan perempuan gila itu. Tak wanita lagikah ia. Karena payudaranya telah lenyap. Juga mungkin vagina di balik busana lusuhnya. Tapi berganti peniskah vaginanya. Lalu apa artinya penis bagi si gila. Apa artinya menjadi lelaki baginya. Ketika jiwanya telah terbebas dari belenggu segala kehendak. Juga ketika ia telah terbebas dari napsu bermain kelamin dengan orang lain. Apa artinya penis atau vagina. Apa artinya menjadi lelaki atau wanita bagi si gila. Masih pentingkah itu semua. Lalu bagaimana dengan Tuhan sendiri.

Oh.. si gila itu kini berdiri. Ia bukan lagi perempuan gila. Mungkin pula bukan lelaki gila. Ia hanya manusia. Hanya si gila. Ia melangkahkan kaki. Menjauh. Menghilang dalam malam yang mulai turun. Dan aku.. Aku masih digelayuti peristiwa yang kulihat tadi. Pikiranku disergap tanya berkeping-keping..

19/07/’08