Rabu, September 03, 2008

Lelaki Sungai

buaya di darat jauh lebih ganas! -- katanya..


Bolot, begitu ia biasa dipanggil kawan-kawan seprofesinya. Nama aslinya adalah Nur Rohman. Aku mengenalnya semenjak belasan tahun silam, tepatnya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Ya, kami kawan seangkatan di bangku SD. Dan pagi itu, aku bersua dengannya setelah sekian lama tak pernah bertemu.

Matahari mulai beranjak naik meniti langit. Di sepenggal pagi itu aku hendak menuju hutan jati tak jauh arah timur dari rumahku, di seberang sungai Blater. Aku berniat sekedar menyambangi suasana hutan yang di sana juga terdapat berhektar-hektar tanah tegalan yang digarap orang-orang sekampungku, bermitra dengan pihak Perhutani setempat. Di tepi sungai itulah, tatkala hendak menyeberang menuju kawasan hutan, aku bersua Bolot kawanku di SD itu. Pagi itu ia hanya mengenakan celana dalam lusuh. Selebihnya, tubuhnya dibiarkan telanjang. Kulit di sekujur badannya legam pertanda berkarib dengan matahari dan air sungai. Terpacak tato bergambar kepala macan di lengan kanannya, sementara di lengan kirinya tertera tato gambar tulang tengkorak manusia dalam ukuran lebih kecil. Di tempat itu, ia dan beberapa rekannya bekerja mengeruk pasir dari dasar sungai untuk dijual ke kota sebagai material bahan bangunan. Di sepanjang aliran sungai Blater sendiri, terdapat puluhan titik pengerukan pasir yang dikelola secara gotong-royong oleh warga sekitar aliran sungai.

Hidup sebagai kuli pengeruk pasir telah ia jalani selama kurang-lebih dua tahun terakhir ini. Sebelumnya, ia bekerja sebagai TKI di negeri jiran, Malaysia, selama tak kurang tiga tahun hingga ia terjerat kasus kriminal di daerah Port Klang yang membuatnya dikenai pasal pidana dan kemudian dipulangkan setelah menjalani masa hukuman di sana. Saat ini, penghasilan sebesar rata-rata 25 ribu per hari sebagai upah untuk pasir yang ia entas dari dasar sungai itu dianggapnya cukup meski sebetulnya tak begitu memadai untuk menutupi kebutuhan ia dan wanita yang setahun lalu dinikahinya dan kini sedang mengandung jabang bayi pertamanya. Tapi bila dibandingkan dengan menjadi TKI, keadaan yang ia enyam saat ini masih lebih mendingan, begitu ungkapnya. “Menjadi TKI ibarat berjudi dengan nasib, karena di sana tak semua TKI punya nasib mujur. Banyak di antara mereka yang terjerat masalah di sana. Mulai dari dokumen yang tak lengkap, hingga masalah kriminal. Aku sendiri terjerat kasus pidana saat terjadi tawuran antara kawan-kawanku dengan sekelompok anak muda asal Flores yang juga sesama TKI,” katanya padaku sambil menghisapi sebatang rokok kretek merek Toppas. Sebelum melanjut ceritanya, ia sodorkan padaku sebungkus rokok yang ia ambil dari kantong baju miliknya yang tersampir di sebuah dahan pohon nangka, tak jauh dari tempat kami bercengkrama. Kuraih sebatang lantas kusulut dengan api puntung rokok miliknya.

Aku tak habis pikir, kita ini sebangsa-senegara. Datang ke Malaysia karena sama-sama merasakan pahitnya hidup di negeri sendiri. Lha di sana kok malah saling tawuran. Ada yang sampai berbunuhan segala. Tak di negeri sendiri, tak di negeri orang, bangsa kita ini memang sukanya gontok-gontokan,” ia mengeluh sambil mengernyitkan dahi.

Kamu tiap hari menyelam di dasar sungai, apa tak takut ada buaya, Lot?” tanyaku sambil sedikit bercanda dan bermaksud membelokkan haluan pembicaraan, “lha kalau sampai kau ditelan buaya, gimana dengan istri dan anakmu nanti?”

Hahaha... koe iki enek-enek wae. Ora neng darat, ora neng banyu, podho okeh bajule. Neng darat bajule malah ganas-ganas kok, seneng ngemplok jatahe koncone lan ora pernah warek,” jawabnya sambil ketawa penuh canda. [artinya: Kamu ini ada-ada saja. Di daratan dan di perairan sungai sama-sama banyak buaya. Di daratan buayanya justru lebih ganas, suka mengambil jatah (baca: menindas) sesamanya dan tak pernah merasa kenyang.] Mungkinkah kawanku ini telah membaca Leviathan-nya Hobbes: homo homini lupusmanusia adalah pemangsa bagi manusia lain yang lebih lemah. Ah, kehidupanlah yang mengajarkan langsung kepadanya, lewat pengalaman yang ia cecapi di sepanjang lajur jalan hidupnya.

Sejurus kemudian aku mohon diri dan bergegas menuju hutan, meninggalkan kawanku yang sehari-harinya menghabiskan waktu di sungai sebagai kuli pengeruk pasir material bahan bangunan itu. Lelaki sungai, begitu aku menyebutnya...

ujung agustus 2008

:: untuk seorang kawan lama yang telah kenyang dengan pahit jelaga kehidupan..

Rekuiyem si Utopus

Kau tahu deoksiribo-nucleic acid, kawanku? Seumur hidup aku dikutuk oleh si dobel heliks itu. Terlaknatlah anasir keparat itu, kawan! -- begitu kesahnya padaku, dulu, bertahun silam.


selama ini, maksudku mula-mula di sepanjang hidupnya, ia pandai merangkai mimpi. Ia lihai menulusupi lorong-lorong imajinya. Ia mahir mengutak-atik pikirannya. Tapi apa lacur, bahkan tiap bagian diri kita kerap berkhianat—mengkhianati diri kita sendiri, tuannya. Persis uang dan teknologi yang pada mulanya dicipta buat melayani kehidupan manusia, mempermudah hidup kita, apa lacur di kemudian hari, saat ini, justru menjelma tu(h)an bagi umat manusia sendiri. Kita dikhianati, diperbudak, oleh hasil kreasi kita sendiri. Ya, begitulah. Ia yang semula mahir dan lihai mengutak-atik imajinya, selanjutnya justru dikhianati, diperbudak, oleh imajinya sendiri. Bedebah hidupnya! Ia muak.

Tapi berhentilah sampai di sini menyimak ceritaku ini. Kecuali bila kau sanggup menahankan ngeri di hatimu, jika kau mampu menanggung miris pada kisah yang kutuliskan ini, tak mengapa; kau boleh terus simak catatan ini sampai butir kata paripurna.

Ya, malam itu, tepat saat purnama utuh di warsa kelimabelas bulan Suro, ia bergegas ke luar rumah menuju kompleks pekuburan di kampungnya. Di tangannya tergenggam sebilah belati dari baja hitam legam namun di tepian salah satu sisinya nampak putih mengkilat tersinari cahaya purnama—pertanda tajam sangat. Aku buntuti persis di belakangnya, sejarak tak kurang sepuluh meteran. Sesampai di pekuburan itu, yang senyap dan menebar aura magis lebih-lebih karena saat itu adalah malam Jumat, aku tak berani mengikutinya lebih jauh. Aku berhenti di luar pagar yang setinggi dada orang dewasa. Sambil berdebar-debar dadaku, aku tunggu-tunggu apa yang hendak diperbuatnya di dalam kompleks pekuburan. Beruntung ia tak tahu aku sedang memata-matainya, sehingga ia bisa bebas berbuat sekehendak hatinya. Oh, ia berhenti di bawah sebatang pohon kamboja, persis di atas nisan tua. Ya, aku ingat persis, nisan itu adalah milik si mayat yang dikubur tak kurang duapuluh warsa silam karena digerogoti usia dan dikhianati lambung dan jantungnya: tetanggaku, mbah Rewok namanya. Aku ingat jelas, karena dulu aku ikut mengantarkan jenazah itu. Usiaku saat itu lima tahunan. Ya, saat itulah aku mendapatkan pengalaman magisku, atau pengalaman aneh, untuk pertama kalinya. Perlu kuceritakan sedikit: Saat itu aku merasakan sensasi tenggelamnya kesadaran; pikiranku seperti mati rasa; dalam alam sadarku kudapati kenyataan yang gelap, hitam, persis keadaan di lorong gua tanpa setitik pun cahaya. Aku sempat mengira bahwa aku akan lekas—atau memang telah—mati, menyusul mbah Rewok yang kuantarkan jenazahnya pagi hari sebelumnya. Pengalaman aneh itulah yang kemudian mencetuskan kedekatanku dengan sesuatu yang tak terjangkau nalar-rasioku: ya, sebut saja “Tuhan”. Tapi kedekatan tak selalu melahirkan kemesraan hubungan. Sering aku mengumpat dan mencaciNya tatkala aku merasa tak berdaya menghadapi kejam dan kelamnya kehidupan. Ya, aku menjadi sedemikian tergantung pada Tuhan; dan marah lalu mencaciNya kala aku merasa tersakiti oleh dunia. Baiklah, kembali pada ceritaku tadi. Ia berdiri di atas nisan mbah Rewok. Pisau hitam yang mengkilap di salah satu sisinya itu ia angkat persis setinggi keningnya. Tegak lalu ia rubah pegang dalam posisi miring, segaris dengan keningnya. Sejurus kemudian, tanpa ritual apa pun, ia sayatkan sisi belati yang mengkilap itu tepat di tengah keningnya. Melingkar sayatan itu, mengeliling di tengah batok kepalanya. Darah pun mengucur deras, merah kehitaman dan kental. Aku tak kuasa menahankan kengerianku saat itu, dan celakanya aku juga tak cukup nyali buat merintangi tindakannya malam itu. Maka aku memandanginya dengan tatapan nanar sambil tanpa sadar menggigiti jemari tangan kananku. Kulihat darah masih mengucur deras tak kunjung tandas dari luka sayatan. Dan selanjutnya ia tarik irisan kulit kepala bagian atasnya. Ia singkap kulit kepalanya saat darah masih belum kunjung tuntas juga. Ia mungkin tak sabar menunggu hingga tetes terakhir darahnya. Atau ia takut keburu lepas nyawa dari genggaman badannya. Sejurus kemudian, setelah berhasil mengelupas kulit separuh bagian atas kepalanya, ia merunduk. Ia mencabut batu nisan dengan sekuat tenaga. Jebollah batu nisan itu akhirnya. Lalu ia pegang dan angkat batu itu dengan tangan kanannya. Ia angkat setinggi kepalanya. Oh, sekerjap kemudian ia keprukkan batu itu menghantam batok kepala yang telah ia kuliti dan masih meneteskan darah merah kehitaman kental itu. Ia keprukkan bertubi-tubi hingga batok kepala bagian atas itu pecah dan otaknya menghambur hancur terkena hantaman batu nisan. Lalu ia punguti sebagian serpihan otaknya yang jatuh ke tanah. Ia lemparkan remah-remah otaknya yang hitam kemerahan dan masih berbalut darah segar itu ke segerombolan burung pemakan bangkai yang sedari tadi menyaksikan perbuatannya dari dahan kamboja sepelemparan batu dari tempatnya berdiri. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, kenapa ia tak kunjung mati. Dan tak perihkah luka-luka di kepalanya itu. Tapi tak terlalu lama kemudian, tak terlampau lama berselang setelah tanya penasaranku tadi, tubuh itu pun lunglai dan lantas roboh ke tanah, meringkuk tepat di atas nisan kuburan mbah Rewok. Dan tak pelak lagi, burung-burung pemakan bangkai itu, yang sedari tadi sudah tak sabar menunggu momen ini, akhirnya menghambur dari persembunyiaannya dan merayakan pesta atas mayat yang masih segar itu. Tak berminat menyaksikan pesta-pora sekawanan burung itu, aku pun bergegas pulang. Di sepanjang jalan pulang, sembari masih terngiang dalam lapis-lapis ingatanku pada momen kematian seorang yang merasa telah dikhianati oleh keliaran pikiran dan imajinya sendiri itu, aku bertanya-tanya dalam hati: kenapa Tuhan bisa sedemikian dingin dan tega dalam menuliskan takdir kematian seorang hamba—jalan kematian yang sedemikian sadis dan tragis itu...

Dan di sepanjang jalan pulang itu pula, airmataku memburai tanpa dapat kutanggungkan lagi; airmata ratap atas kejam dan kelamnya dunia dan kehidupan ini...

dalam titimangsa mana pun dan kapan pun,

dunia dan hidup tak pernah jeda dari paradoks dan ironi;

tak pernah koma dari utopia yang direka-reka umat manusia

dan tragedi yang datang melantakkannya...

dan tuhan pun terendap dalam duka-lara manusia

--dalam lakon sandiwara dunia...

Requiem!!!

.

..

...