[nothing but being]
(I)
mengurai jadi pagi aku datang menghadapmu
mangajukan permohonanpermohonanku.
suara perih di batinku meminta padamu serasa
kau ada jauh di ujung
airmata seolah jarak adalah keterpisahan mutlak
antara kita. aku jadi terlampau memohon dan
kau terlampau banyak menuntut.
siapa engkau siapa aku
mengenal dirisendiri pun aku tidak.
bagaimana mampu aku tahu siapa
adanya engkau di
tapi membeku jadi batu. tapi mengapa
jadi batu, juga ada "dulu" dan "kini", padahal
ini ruang hanya ilusi indriawi
ini waktu cuma rekaan pikiran.
tidakkah kau dan aku satu
juga dia, mereka, dan segala
adalah satu sebagai semestaraya.
tak ada penciptaan juga pemberhalaan
dalam penyembahan. tak perlu lagi
ada permohonan dan tuntutan.
semua lebur menyatu dalam
ketiadaan ruang dan waktu.
meruap di keningmu di pipimu di bibirmu. di matamu
nyalaapi siap kaujilatkan pada udara tak berdosa.
kau marah pada tuhanmu dan aku termangu -membatu!
siapa, atau apa, yang kaueja namanya, kausanjungpuja
setinggi langittujuh dalam tiap sembahyangmu
dan lalu kaucampakkan dalam darah kemarahan yang
mendidih menindih saluran nafasmu.
(kepalaku mendidih ikut merasakan sesak kesakitanmu)
marah -karna aku tak lagi punya tuhan.
kau tahu kenapa aku tak punya lagi tuhan? karena
ia telah jadi gagasan membingungkan, juga sekaligus
dingin membeku membatu memberhala dalam pikiran.
(sungguh menyesakkan!)
sukmamu mengapung di air mengalir menyusul
tubuhmu yang telah sampai laut bermainmain
dengan ombak dengan badai menjauhi pantai
tapi kau tak lekas sampai sini
aku jemu menunggu.
pada yang di atas
karena aku ternyata sudah tak percaya tak berdaya
bahkan sekedar memerikan satukata
untuk kulesatkan dari tenggorokan dan lisan
ke udara. aku kehabisan daya untuk percaya
pada yang di atas
berhala dalam kebimbangan dan kebebalan
pikiran.
dagingku melepuh terbakar panas matahari
dan belulangku merapuh dimangsa usia
yang melaju terseret aruswaktu. dan
suatu masa mungkin
dengan tubuhku sekalian melepas sukmaku yang
gelisah dan ragu pada segala janji...