Jumat, Mei 30, 2008

tea, honey?

Saya tau nona, anda hebat. Segala anda punya. Segala anda raih. Saya tau itu, nona. Saya tau. Anda hebat. Anda kuat. Tak kenal lelah melangkah. Sementara saya, nona, anda tau sendiri. Saya seringkali tersuruk-suruk langkah, jatuh, seorang diri, tanpa seorang pun tahu, tanpa seorang pun mengulur tangan. Saya hanya bisa merintih, dan lalu bangkit, berdiri, sendiri, tanpa seorang pun bersimpati, berempati.

Saya tau nona, anda hebat. Juga anda penuh pesona. Anda bak samudera, tempat semua sungai bermuara. Anda selalu memukau banyak orang. Anda tiada kurang suatu apa. Anda nyaris sempurna. Saya tau itu, nona, saya tau. Anda begitu banyak pemuja, banyak pendamba. Banyak pria di sekeliling anda. Sementara saya seorang diri, nona, terabaikan setiap orang, tak dipedulikan sesiapa juga.

Saya tau nona. Betapa anda dan saya bak langit dan bumi. Meski sebenarnya jarak raga tak terlampau jauh adanya. Bahkan kita pernah bersidekat tubuh. Tapi jarak siapa anda siapa saya itu, nona. Saya ragu mampu mengatasinya. Dan saya tau, nona, anda takkan pernah teraih oleh diri saya. Paling bisa saya perbuat tak lebih dari sekedar berilusi, bermimpi, memiliki dan dimiliki anda. Selebihnya, tak.

Tapi taukah engkau, nona. Hati kiranya memang tiada tau diri. Hati tak pernah paham apa yang kita sebut sebagai “rasional” dan “logis”. Hati buta tetapi jujur, polos. Ia tak kenal rumus atau pun kriteria-kriteria. Ia maui yang apa adanya. Hati menangkap dan merasai segala yang tak terjangkau panca indra, juga otak yang berisi pikiran itu. Hati, nona, hati, asal mula segala kebaikan manusia. Asal mula segala cinta. Tak hanya pada lain jenis tapi juga pada seluruh semesta.

Maka tak bolehkah bila hatiku jatuh cinta padamu, nona. Salahkah ia. Lancangkah ia. Karena telah memilihmu tuk dijatuhcintai. Saya sendiri tak pernah tau apa gerangan alasan ia memilih engkau, nona. Dan inilah nampaknya yang membuatku jatuh pada dilema. Bimbang bukan buatan. Karena kau takkan tergapai olehku. Sementara hati berhasrat padamu semata. Tak mau berpaling pada yang lain; pada yang sesama bumi; bukan pada langit yang membentang jarak tiada terukur, tiada terseberangi.

Ah, entah, nona. Saya tak tau…

malam sunyi & melankoli,

diiringi tembang “flying without wings”-nya westlife,

sehabis membacai ”broken wings” karya Gibran,

sembari mengilusikanmu, nona…

-+*^^%$$##@!!~!~!~*((^%$$@##@!!!@

Rabu, Mei 28, 2008

D’ Cinnamons

Tergeletak sebuah buku bersampul biru di dekatku. Terpahat judulnya dalam abjad putih bercetak tebal, CINTA DI TENGAH KENGERIAN PERANG, dan sub-judul dibawahnya dalam abjad putih bercetak miring, Surat-surat Penghabisan dari Stalingrad. Buku itu adalah kumpulan tiga puluh sembilan surat milik tiga puluh sembilan serdadu Third Reich Nazi saat mereka menjalankan misi penggempuran ke kota Stalingrad, Rusia.

Buku itu telah selesai kubaca selama kira-kira satu jam, sebelum aku memulai menulis catatan ini. Ketigapuluh sembilan surat itu semuanya ditulis dengan amat liris, tergurat luka dalam setiap kata-kata di dalamnya. Ya, surat-surat itu adalah tumpahan suara hati anak-anak muda Jerman yang dengan sangat terpaksa harus berkubang derita akibat perang yang dipaksakan untuk melayani nafsu angkara-murka Hitler dan rezimnya. Di front Stalingrad itu, Jerman mengalami kekalahan telak karena kesalahan strategi Divisi Keenamnya, kekurangmatangan mental para serdadunya, keterbatasan logistik dan senjata, ditambah lagi kondisi medan dan cuaca yang kurang bersahabat.

Namun di balik luka yang mengoyak tubuh dan jiwa anak-anak muda belia itu, masih terpancar secercah asa pada orang-orang yang dicintainya: orang tua, sanak keluarga, dan kekasihnya. Dan mereka pun menulis surat untuk orang-orang yang dicintainya itu, mengungkapkan segala luka yang mendera mereka dan setitik asa yang masih memancar di tengah-tengah kubangan keputus-asaan.

* * *

Cinta. Sesuatu yang amat purba dalam (ke)manusia(an). Ia ‘meng-ada’ bersamaan dengan meng-ada-nya manusia. Ia lekat, erat, dalam diri manusia. Namun adakah yang sanggup mendefinisikannya? Aku rasa tidak. Memang ada yang mendeskripsikan cinta sebagai sebuah rangkaian proses reaksi kimiawi (chemistry) di dalam hippocalamus (otak). Tapi aku yakin itu hanya menggambarkan proses fisis cinta, dan samasekali tak menyentuh dimensi non-fisisnya. Mungkin karena memang ia mencakup dimensi non-fisis itulah yang membuatnya tetap misterius, terselubung tabir, rahasia.

Benarkah bahwa cinta mampu mengobati

Segala rasa sakitku ini

Ingin kupercaya

Namun denganmu kutahu cinta kan mengobati

Segala hampa hatiku ini

Kini kupercaya

Kuyakin cinta slalu mengerti

Kuyakin cinta tak salah

Kuyakin cinta kan saling percaya

Entah semenjak kapan aku menyukai lagu-lagu D’Cinnamons. Dan bersebab apakah aku menyukainya? Bersebab cinta-kah? Ah, aku sendiri tak kuasa menjawabnya.

…dan, karena cinta-lah maka aku ingin mengikuti ke mana pun engkau melangkah, seperti kau tuliskan lewat bait indah syairmu:

Saya menembus hujan.

Saya tak mau reda.

Kau beri ijin-kah aku, mengikutimu, menyertaimu? …

Samudera asa, meng-ada karena cinta..

Merindumu karenanya..

Senin, Mei 26, 2008

Requiem 24

Requiem 24


Selamat, diriku. Selamat! Selamat engkau telah genap duapuluh empat warsa menghuni dunia, hari ini. Selamat engkau tetap tak menggenggam usiamu sendiri. Engkau tetap tak tahu sampai di titik mana batas umurmu. Andai kau tahu, mungkin kau akan bermalas-malasan dalam hidup. Atau malah mungkin kau akan berputus asa andai tapal itu kau rasa teramat dekat sementara kau teramat mencinta dunia secara berlebih-lebihan.


Bersyukurlah, diriku. Bahwa kau telah duapuluh empat warsa dalam usia. Bersyukurlah bahwa kau telah banyak cecapi pahit-manis-getirnya hidup.

Bersyukurlah bahwa segala suka dan duka telah berimu curahan makna. Dan hidupmu pun tak berasa hampa.

Bersyukurlah, diriku. Bahwa kau tetap tak tahu batas usia. Dan karena itulah kau masih tetap berdiri, melangkah, dan terus mencari..”


Hari ini, 26 Mei 2008, saya genap duapuluh empat warsa. Saya ber-“ulang tanggal dan bulan” (bukan ber-“ulang tahun”, karena hitungan tahun tak pernah berulang—senantiasa berganti, tak pernah kembali). Tak ada perayaan, tak ada apa pun bentuk acara peringatan.


Bertambahnya usia adalah berkurangnya jatah hidup di dunia. Dengan lain perkataan, ia adalah sebuah isyarat kian mendekatnya hidup pada mati. Lantas, bagaimana mungkin momen kalkulasi yang bernilai minus dari tahun ke tahun itu justru dirayakan banyak orang dengan pesta pora (?)


Oh ya, saya nyaris lupa. Bukankah kematian semestinya memang perlu disambut penuh sukacita? Ya, saya setuju itu. Kematian adalah pintu menuju hidup dan kehidupan lain: alam tanpa tragika, tanpa akhir, abadi—kata Kitab Suci. Kematian adalah sebuah jalan pembebasan diri dari aneka macam belenggu problematika dunia. Kematiaan adalah saat-saat mendebarkan karena penantian akan tibanya momen pertemuan dengan Sang Maha Segalanya; perjumpaan dengan Dzat yang menggetarkan dan menggentarkan manusia itu. Dan itu semua tentu sangatlah indah adanya.


Tapi siapa pun akan ragu kala membincangkan kematian: atas dasar apa kita yakin akan bersitemu dengan Sang Maha, sementara diri banyak dirundung noda dosa? Saya sendiri tiada kuasa menjawabnya. Hanya satu hal yang coba saya pegang kuat-kuat dalam dada: Dia jauh lebih memahami kondisi kita daripada diri kita sendiri. Dan saya coba berusaha yakini seutuh hati: siapa pun merinduNya, ia juga dirindu olehNya, malah dengan Kerinduan yang berlipat ganda besarnya. Dan rindu kepadaNya itu, seperti kata Rabi’ah Al-adawiyyah, wanita sufi abad kedelapan masehi dari Bashrah (Irak) itu, hanya muncul pabila manusia mencintaNya dengan cinta yang murni, cinta yang semata-mata mendamba padaNya, bukan lantaran harapan atau pun rasa takut. Atau dalam bait mistis milik Jalaluddin Rumi:

Bila kematian itu manusia

yang dapat kupeluk erat-erat,

aku kan mengambil darinya jiwa, yang bersih

dan tak berwarna;

dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna,

hanya itu!


Apakah dengan mendambakan kematian tak lantas berarti hidup dalam keputusasaan? Tidak. Justru karena saya sadar sepenuhnya, ajal tak bisa ditampik siapa pun juga. Malah, ia kerap datang tak terduga—tak perlu menunggu hari tua. Sekedar menyebut beberapa nama besar, Soe Hok Gie dan Chairil Anwar tutup usia di titik 27 warsa. Maka, atas dasar apa saya akan ingkar pada kehendakNya yang misteri itu (?) Bukankah justru hidup tak akan jadi beban berat di kala kita sadar bahwa ia sesungguhnya adalah karib kematian (?)


Baiklah. Mungkin di tahun-tahun mendatang (bila saya masih hidup) saya akan merayakan momen ini dengan selebrasi, bahkan kalau perlu saya akan bikin pesta. Tapi pesta itu tentunya tak akan saya maksudkan sebagai momen peluapan gembira pada aneka kenikmatan dunia hingga menyebabkan pelupaan pada kematian. Dalam pesta itu saya akan ajak diri saya sendiri untuk mensyukuri dan menyambut dengan penuh sukacita momen kian mendekatnya hidup pada gerbang kehidupan yang lain—pada ajal.


Dan kematian makin akrab,” bunyi sepenggal kalimat dalam sajak Subagio Sastrowardojo—si bapak pujaan hati saya, Diandra Paramitha Sastrowardoyo. (sekali waktu jadi pungguk perindu bulan pun tak mengapa—karena hati memanglah tiada tahu diri, dan logika kerap kali tak berfungsi memadai...)


Baiklah, baiklah. Saya akan coba berusaha merindukan kematian sepanjang itu tak membuat hidup jadi meredup—dan tak pula itu bersebab pada hidup yang sedang redup. Saya akan coba!




Jumat, Mei 23, 2008

Leo Tolstoi dan Anarkisme-positif

JIKA ada seorang bangsawan yang dengan sukarela ”turun derajat” menjadi rakyat jelata, Leo Tolstoi-lah orangnya. Lyof Nikolayevich Tolstoi, begitu nama lengkapnya, dilahirkan pada 1828 sebagai putra keempat dari lima bersaudara keturunan keluarga bangsawan Rusia. Keluarga ini merupakan pemilik tanah yang amat luas di wilayah bernama Yasnaya Polyana yang terletak 160 kilometer arah selatan Moskow.

Tolstoi disebut-sebut sebagai salah satu sastrawan terbesar dunia sepanjang masa. Dari tangannya, telah lahir 90 jilid karya. Tiga di antara karya-karyanya itu menjadi master-piece yang hingga saat ini telah beredar di seluruh penjuru dunia, yakni Voina I Mir (Perang dan Damai), Anna Karenina, dan Voskresenyinye (Kebangkitan).

* * *

Dalam tulisan ini, saya coba mengungkap pandangan dan pemikiran Tolstoi terhadap eksistensi negara, terutama yang ia tuangkan dalam novel Kebangkitan. Sekedar sebagai informasi, novel ini memakan waktu penggarapan paling lama dibandingkan karya-karya Tolstoi yang lainnya, yakni sepuluh tahun (1889-1899), dan diakui sendiri oleh Tolstoi sebagai kisah titik-balik pandangan dan sikap hidupnya sebagai keturunan bangsawan terhadap praktik sosial, hukum, kekuasaan, dan juga agama di Rusia pada masa itu.

Dalam novel Kebangkitan, Tolstoi menitik-beratkan pandangan kritisnya pada praktik kekuasaan negara dan hukum oleh para autokrat dan kaum aristokrat (Rusia pada masa itu masih berbentuk monarki absolut). Pertama, Tolstoi mengritik tirani negara dalam bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat yang dilakukan melalui sistem penghambaan (serfdom) di mana dalam sistem ini kaum petani diperjualbelikan sebagai budak. Kedua, Tolstoi mengritik secara tajam praktik (penyelewengan) hukum dan kekuasaan negara, di mana hukum diberlakukan kepada rakyat secara keji terutama dalam bentuk pembuangan para tahanan ke Siberia, baik tahanan kriminal maupun tahanan politik. Siberia adalah tempat pembuangan dan kamp kerja-paksa bagi para tahanan, di mana para tahanan diperlakukan secara keji dan sangat tidak manusiawi (mirip Pulau Buru di Indonesia yang di masa pemerintahan Orde Baru menjadi tempat pembuangan dan kamp kerja-paksa bagi puluhan ribu tahanan politik yang dituduh — tanpa melalui proses pengadilan — sebagai anggota Partai Komunis Indonesia).

Sebagai bagian dari kaum aristokrat Rusia, Tolstoi justru merasa muak dan benci kepada prilaku kaumnya yang bergaya hidup borjuis dan dengan terang-terangan mempraktekkan penindasan dan eksploitasi kepada golongan petani — golongan terbesar dalam masyarakat Rusia pada masa itu — dan rakyat jelata lainnya. Menurut Tolstoi, hal ini tidak terlepas dari negara yang memang melindungi dan bahkan mendorong kebijakan yang tiranik, despotik, dan eksploitatif kepada golongan petani dan rakyat jelata secara keseluruhan — hal yang lazim dilakukan oleh rezim monarki absolut di mana pun pada masa itu. Tolstoi pun pada akhirnya, walau secara samar-samar, menyerang eksistensi negara — yang terepresentasikan dalam prilaku penguasa dan kaum bangsawan serta praktik hukum seperti tersebut di atas. Melalui Dmitrii Nekhlyudof, tokoh sentral dalam novel Kebangkitan, Tolstoi menggugat kemunafikan praktik hukum dan kekuasaan negara:

”kenapa dan dengan hak apa satu golongan orang (penguasa) menyekap, menyiksa, membuang, mencambuk dan membunuh orang lain, padahal mereka sendiri sama saja dengan orang yang mereka siksa, mereka cambuk, dan mereka bunuh itu?”

(hlm. 399)

Dalam novel ini, secara implisit Tolstoi menolak eksistensi negara yang dianggapnya sebagai “monster” yang mengancam keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Negara, dengan birokrasi dan segala macam alat kekuasaannya, justru menjadi mesin pembunuh dan lembaga yang mempraktekkan segala bentuk penindasan terhadap kebebasan manusia. Tolstoi sendiri meyakini bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan selalu menginginkan harmoni dengan sesamanya. Masyarakat, dalam pandangan Tolstoi, akan mencapai kondisi yang harmonis dan penuh kerjasama serta saling bersinergi bila individu-individu di dalamnya diberi kebebasan penuh dan tunduk pada nilai-nilai etika yang diterapkan di dalam masyarakat. Pandangan tersebut nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Jean Jacques Rousseau — filsuf besar Perancis abad kedelapan belas. Selain itu, ia juga menuntut dihapuskannya lembaga keningratan, karena eksistensi kaum ini di dalam masyarakat Rusia dijamin melalui sistem perbudakan terhadap petani dan didukung dengan yurisdiksi serta praktik keagamaan yang membela dan mengukuhkan posisi kaum tersebut.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap segala praktik kekuasaan negara yang tiranik, despotik, dan eksploitatif tersebut, Tolstoi menyerukan perlawanan pasif (Anarkisme-positif)* dan dengan tegas menolak segala bentuk revolusi sosial (seperti revolusi proletarian ala Marxisme, misalnya). Sementara itu, di tingkat individu Tolstoi mengusulkan agar setiap orang menyempurnakan diri sesuai ajaran Humanisme dan Ketuhanan (Yesus) di dalam agama (Kristen) yang masih murni, yang belum dinodai oleh penyelewengan kaum agamawan (gereja) demi kepentingan mereka sendiri yang mengabdi dan turut mengukuhkan kedurjanaan kekuasaan negara. Kritik kerasnya terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh kaum agamawan inilah yang membuatnya diekskomunikasikan (dikucilkan) oleh Sinoda Gereja Ortodoks Rusia di St-Petersburg, persis setelah novel Kebangkitan diterbitkan.

Paralel dengan sikap penolakannya terhadap eksistensi negara, Tolstoi mengidamkan masyarakat yang hidup dalam komuni-komuni kecil yang saling bersinergi dan terikat dengan nilai-nilai moral dan etika yang akan menjamin keberadaan dan kelestarian masyarakat yang adil, sejahtera, dan penuh kebebasan. Tolstoi tidak mempercayai efektifitas hukuman yang dipraktekkan oleh negara, dan karena itulah ia menyerukan tindakan melawan hukum (negara) dengan perlawanan pasif tersebut. (Metode perlawanan pasif inilah yang kemudian diadopsi oleh Mahatma Gandhi untuk melawan penjajahan kolonialis Inggris di India, dan juga oleh Dom Helder Camara di Brazil dan Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat untuk melawan kekuasaan negara yang korup, diskriminatif-rasis, dan menindas.)

* * *

Tolstoi sendiri pada akhirnya melepas status kebangsawanannya, kemudian membagi-bagikan tanah luas miliknya di Yasnaya Polyana tersebut kepada para petani, dan ia pun hidup membaur dengan para petani di sana. Sejak saat itu, ia bukan lagi Tolsoi yang bangsawan, melainkan Tolstoi yang seorang petani dan turun langsung menggarap tanah pertaniannya bersama-sama rakyat kecil yang amat dicintai dan diabdinya itu.

Tolstoi meninggal pada awal musim dingin 1910 dalam usia 82 tahun di sebuah stasiun kecil di kota Astapovo karena terserang demam saat ia melakukan perjalanan seorang diri dengan menumpang kereta api. Jenazahnya dilayat puluhan ribu orang dan dikebumikan di Yasnaya Polyana, di tengah-tengah komunitas petani dan rakyat jelata yang amat dicintainya itu.

Namun tujuh tahun setelah kematian sastrawan besar tersebut, Rusia justru dibakar api revolusi: Revolusi Bolshevik di bawah komando Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin itu. Pertumpahan darah-pun tak terhindarkan. Dan masa-masa penuh horor pun telah tiba untuk mencekam kehidupan masyarakat Rusia. Marxisme-Komunisme Rusia, terutama sejak naiknya Joseph Stalin ke tampuk kekuasaan sepeninggal Lenin pada 1924, telah menjelma menjadi ideologi politik teror tak hanya di Rusia tapi juga di seluruh dunia. Setali tiga uang dengan kondisi di Rusia, di Eropa Timur, China, Kamboja, dan negeri-negeri sosialis lainnya, jutaan nyawa dikorbankan atas-nama Komunisme: paham yang memimpikan lenyapnya negara namun anehnya justru dilakukan dengan terlebih dahulu memperkokoh kekuatan dan kekuasaan negara dengan cara membangun pemerintahan Diktator Proletariat yang ditempuh lewat jalan penuh amarah dan berdarah-darah — Revolusi Proletarian itu.

Tolstoi benar ketika ia menyerukan perlawanan pasif terhadap kedurjanaan kekuasaan negara — perlawanan tanpa kekerasan itu. Namun kaum Bolshevik Rusia nampaknya justru menganggap sepi seruan tersebut, dan akhirnya malah membawa Rusia (dan pada gilirannya juga dunia) menuju situasi kelam penuh horor dan teror — revolusi ala Marxisme yang menghalalkan darah dan nyawa itu… []

--------------------------------------

Keterangan:

* Anarkisme didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum — dan labih jauh lagi adalah sebuah paham yang menolak eksistensi negara. Sementara itu, Anarkisme-positif didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dan negara yang dilakukan melalui cara-cara damai dan pasif (non-violence). Selengkapnya lihat: entri Anarkisme. Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid 02. Cipta Adi Perkasa. 1991.

Bahan bacaan:

1.) Kebangkitan. Leo Tolstoi. Diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer. KPG. 2005.

2.) The God That Failed. Richard Crossman, ed. Bantam Books. 1965.

3.) Spiral of Violence. Dom Helder Camara. Sheed and Ward. 1971.

4.) Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid 02. Cipta Adi Perkasa. 1991.

5.) Bayang Bayang. A. Sudiarja. Galang Press. 2003.


NB. Terimakasih kepada sesorang yang telah membikin tulisan berjudul “ten commandments” — walaupun ternyata isinya samasekali tak ada hubungannya dengan judulnya yang notabene adalah ”Sepuluh Perintah Tuhan” kepada Musa itu.

( Mungkin sang penulis ingin bermain-main dengan Tuhan kali ya? Atau jangan-jangan malah ingin jadi tuhan? Ah, bukankah bahasa tidak boleh dimonopoli oleh siapa pun juga, termasuk oleh Tuhan. Bahasa, menurut Roland Barthes, senantiasa terbuka untuk direinterpretasi secara terus menerus guna menghasilkan makna-makna baru. Atau menurut konsep Dekonstruksi-nya Derrida: bahasa yang memiliki makna tunggal akan cenderung bersifat hegemonik — dan karena itulah ia harus didekonstruksi. )

Tulisan seseorang yang saya dapati di wordpress-nya itulah yang telah mendorong dan menginspirasi saya untuk membikin tulisan di atas. Miss, eh sori… Thank you so much…

Wahyu Puspito S

23 Mei 2008


Selasa, Mei 20, 2008

The Name of The Rose

.: Nen

Nen, ijinkan aku menyapamu dalam catatan ini. Aku rindu pada pertemuan, pada percakapan, pada rerayuan, yang pernah kita lakukan, dulu, empat tahun silam. Aku rindu pada teduh wajahmu, pada ayu dan sederhana parasmu, pada lemah-lembut sikap dan kepribadianmu. Aku rindu Nen, rindu padamu, pada semua itu. Kau ingat dulu pernah kau suapkan sepotong kue bolu padaku, kue bolu bikinan ibundamu itu, di suatu malam minggu, saat listrik padam karena hujan yang mengguyur lebat bercampur angin kencang, dan kita diterangi temaram cahaya lilin di depanku dan di depanmu. Masihkah kau ingat itu, Nen? Ah, betapa romantisnya kita, betapa indahnya, berhadap-hadapan kita mengapit lilin bercahaya keemasan itu…

Kau ingat kubacakan sebaris puisi kepadamu, saat itu? The Name of The Rose, begitu kuberi judul puisi itu, puisi yang kubikin khusus sebagai hadiah sweet seventeen-mu. Karena kau adalah mawarku, paling tidak untuk saat itu. Kau adalah mawar merah merekah di taman hatiku, di kebun sanubariku. Mawar yang indah tanpa sudah, terus merekah menebarkan wangi tanpa henti, penuh janji. Ya, penuh janji. Kau berjanji tiada akan pernah meninggalkan aku. Kau berjanji akan selalu ada untukku, akan kau serahkan seluruh hatimu buatku semata…

Dan bila kau masih ingat, kau tersenyum tersipu-sipu saat mendengar puisi yang kubaca untukmu itu, malam itu. Pipimu merah merona, menantang indahnya cahaya lilin. Dan cahaya lilin itu tersipu malu, berayun-ayun, tak sanggup menyaingi indah rona merah pipimu. Dan aku bersyukur bisa berada di sampingmu, malam itu…

Belakangan aku tahu, Nen, judul puisiku itu persis sama dengan judul sebuah novel karangan Umberto Eco. Aku belum sempat baca novel itu, jadi aku tak tahu berkisah apa ia. Tapi aku yakin itu bukanlah novel yang berkisah indahnya cinta. Atau setidak-tidaknya, andai itu novel cinta maka ia tak akan sanggup menyaingi indahnya kisah romansa kita, saat itu. Juga aku yakin bagimu puisiku itu tetaplah yang terindah dibandingkan karya siapa pun juga, karena ia kubikin dengan seluruh hati dan perasaanku yang melimpah-ruah kepadamu, untukmu seorang. Dan adakah bagi seseorang, puisi yang lebih indah selain yang muncul dari lubuk hati orang yang dicintainya dan hanya diperuntukkan kepada dirinya semata? Aku yakin: tidak ada…

Ah, Nen… kira-kira sebulan lalu aku melihatmu sekilas, saat aku berjalan menyusuri lorong-lorong kampusmu, fakultas ekonomi itu. Dan tahukah kau, ada desir rindu menyeruak di dadaku, rindu pada suasana penuh romansa di sebuah malam minggu dahulu itu. Dan kuputuskan saat itu untuk segera pergi dari kampusmu, kupercepat ayunan langkah kakiku, karena tak ingin aku memandangimu lebih lama lagi, tak kuasa aku menanggungkan rindu itu…

Nen, kau tahu, momen itu memang telah lama lewat, momen malam minggu penuh indah itu, empat tahun silam. Tapi ia masih kerap berkelebat di benakku. Senoktah kisah di malam minggu dahulu itu seperti menghujam dalam-dalam di benakku, terlalu indah untuk terlupakan meskipun sebenarnya aku amat ingin melupakannya. Bukan karena aku tak sudi mengenangnya, juga mengenangmu. Tapi harap kau tahu, Nen, kenangan itu kerapkali menyiksa diriku, membayang-bayangi malam-malamku dengan selimpah sesal: kenapa dulu aku membiarkan tanganmu lepas dari genggaman tanganku, padahal kita sama-sama tak menginginkan ‘tuk lepas, padahal kita sama-sama menginginkan untuk terus bersama-sama dalam cinta. Ah, aku jadi memendam dendam bila teringat itu, dendam pada orang ketiga yang masuk menyampuri kisah kita dan mengharuskan kita berpisah. Ah, sudahlah, tak perlu kuungkit lebih jauh lagi, makin pahit hatiku menuliskannya di sini. Biarlah, kuusahakan ‘tuk ikhlas menerima semua itu…

Rasanya aku tak bisa berlama-lama menyapamu dalam catatan penuh rindu ini, Nen. Kucukupkan sekian saja. Dan ini akan jadi catatan terakhirku tentang dirimu, untuk dirimu, karna kini di antara kita tiada lagi hubungan apa-apa kecuali sebatas teman. Ya, teman, persis seperti saat dulu kita sama-sama belum saling jatuh hati, belum saling merangkai mimpi…

SELAMAT 21 TAHUN — SEMOGA TIAP ASA AKAN KAU GAPAI LEWAT JALAN PENUH BUNGA, BERTABUR BAHAGIA…


Senin, Mei 19, 2008

back to the ground

’tuk dikau nan merasai rasa sama

Semalam aku terbang menyusuri putih awan dan birunya langit. Terbang jauh meninggalkan buana, meninggalkan semua yang fana meski aku sendiri tak tahu nirwana-kah sedang kujelang. Aku hanya melanglang — melampaui elang yang kadang ia masih merindukan pulang dan hinggap kembali ke tanah. Aku tak ingin pulang, tak ingin menjejakkan kembali kaki ke bumi. Angkasa amat luas tak berbatas, membuatku lupa pada semua yang terserak di bumi bertabur misteri dan tragedi. Langit menjanjikanku kebebasan tiada batasan. Tiada tapal di sana. Tak ada gerbang imigrasi juga tak ada tragedi. Tak ada birokrasi yang kerap merampasi kebebasanku, juga tak ada aturan ini-itu. Aku terbang melanglang mengepak sayapku menentang bayu. Aku tak ingin turun kembali ke bumi. Aku jatuh cinta pada langit. Aku jatuh hati pada biru, pada kebebasan tak berbatas, pada kerling gemintang yang terasa dekat jangkauanku, dan pada segala di sana. Hingga datanglah detik itu. Setitik ingatan menyeruap di kepalaku. Aku ingat kamu… kamu yang telah buatku jatuh rindu karna kepergianmu. Maka kuputar haluan sayapku. Aku ingin kembali ke bumi, selekasnya. Secepatnya kuingin menemu kamu. Menjemputmu andai kau mau menyertaiku kembali melanglang angkasa, bersama. Bila kau tiada bersedia maka biarlah aku tinggal di bumi saja, tak perlu balik ke langit biru, karna kuingin di sampingmu senantiasa… semata. Kau lebih berarti dari segala apa pun juga, termasuk langit dan kebebasan itu.

Kamu, ah… @<” (!&+@ <@^”…

…salam rindu selalu dari kalbu…

Me,

in here stay with your shadow,

drowning in depth of my dreams…

Jumat, Mei 16, 2008

m e m a s a k

SEJAK awal bulan ini, tepatnya sejak 02 Mei lalu, kami serumah kos punya rutinitas baru, yakni memasak. Kami berlima—aku, Fadli, Restian, Yusa, dan Doni—sepakat untuk membikin masakan sendiri, bukan membeli di warung seperti sebelumnya. Alasan yang paling utama adalah karena kami ingin belajar memasak. Kami, sebagai lelaki, tak mau kalah dengan lain jenis kami. Dengan lain kata, kami ingin berEMANSIPASI. Selain itu, kami juga ingin bersiap-sedia kalau-kalau nantinya kami punya istri yang tak bisa memasak. Kan memang sudah jamannya tho sekarang ini banyak kaum wanita yang bahkan nama bumbu-bumbu dapur saja mereka tak tahu. Apalagi para mahasiswi indekos, yang setiap hari kalau makan selalu beli di warung, kami yakin mereka itu bahkan sekedar menyalakan kompor saja mungkin tidaklah becus.

Maka kami pun setiap hari selalu bangun pagi-buta. Sebelum matahari menampak diri, kami berlima sudah mulai menyibuk diri di dapur dan di sumur. Kami berbagi tugas. Ada yang bagian berbelanja di pasar, ada yang jadi tukang cuci piring, ada yang menanak nasi, dan ada yang bikin sayur dan lauk. Dan saya seringkali kebagian tugas bikin sayur dan lauk. Maklum, bikin sayur dan lauk itu butuh imajinasi tinggi, untuk memadukan bumbu-bumbu dengan komposisi yang pas agar menghasilkan citarasa yang aduhai… membelai-belai lidah… Dan di antara kami berlima, akulah yang paling memadai, karena selain punya daya imajinasi tinggi, aku juga lumayan inovatif, he he… (nyombong dikit aja boleh, kan?)

Sayur favorit kami berlima adalah: tumis kacang panjang dan toge, tumis sawi dan kentang plus wortel, urap kacang-sawi-toge, sayur lodeh terung-kentang-kacang panjang, dan cap jay. Sedangkan lauknya adalah: pepes ikan tongkol, telur goreng ceplok, tumis udang plus tempe-tahu, daging ayam bumbu bali dan kadang juga disemur, dan tentu saja tempe dan tahu goreng.

Anda tahu, memasak itu mirip dengan menggarap skripsi atau karya tulis ilmiah lainnya. Di situ anda berhadapan dengan bahan-bahan mentah yang siap diolah melalui serangkaian metode-metode untuk menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Anda harus imajinatif dan inovatif menghadapi raw material yang tersedia di hadapan anda itu, agar bisa menghasilkan sesuatu yang benar-benar segar dan baru. Dan satu lagi, unsur obyektifitas tentunya tak boleh dikesampingkan. Anda tentu tak boleh memperlakukan raw material itu ”semau pusar anda sendiri” (sak karepe udhele dewe—bhs. jawa). Anda harus berpegang pada kaidah-kaidah ilmiah. Sebagai misal, anda tentu tak boleh membikin sayur lodeh dengan menyampurkan susu kental manis agar nilai gizi dan kalorinya bertambah. Itu namanya ngawur, dan hasilnya nanti sudah dapat dipastikan akan ancur di lidah dan bisa-bisa akan bikin perut mual. Maka anda harus menghindari sikap ultra subyektif dan juga introvertif, baik saat memasak maupun saat menulis karya ilmiah. Kalau anda menulis karya ilmiah dengan mengedepankan intuisi dan introversi, nantinya karya anda akan lebih mirip fiksi dan puisi, bukan lagi skripsi. Unsur emosionalitas juga harus ditanggalkan dulu untuk sementara waktu, agar karya anda tak kehilangan nilai-nilai keilmiahan.

Dan pagi tadi kami membikin tumis udang plus tahu-tempe untuk bersarapan, sementara sore harinya kami membikin tumis kacang panjang dan toge dengan lauk ikan tongkol dipepes. Dan tentu saja kami merasa puas lahir-batin bisa menikmati hasil kreasi kami sendiri. Dan satu lagi: kami tak pernah menyediakan menu hidangan cuci mulut, karena masakan yang lezat terlalu sayang bila harus diakhiri dengan prosesi cuci mulut yang hanya akan membuat sensasinya tandas tiada bekas … []

16/05/08

Kamis, Mei 15, 2008

k a y a


Sebulan lebih tak pulang, bapak meneleponku, kemarin, bertanya kabar, kemudian bertanya soal posisi keuanganku. Kabarku tentu baik-baik saja. Tak akan kujawab jujur seandainya aku sedang tak baik-baik saja, asalkan tak sakit sampai sekarat kan lebih baik mengatakan sesuatu yang tak akan membuat ortu cemas. Soal keuangan, bagaimana pun juga harus dijawab sejujur-jujurnya, kalau tidak maka berarti membuka jalan bagi timbulnya mentalitas korup dan khianat, karena berkelit bicara soal materi bagaimana pun juga adalah laku terkutuk. Maka, bapakku pun berjanji mentransfer rupiah ke rekeningku setelah kuutarakan bahwa jatah sebulan kemarin nyaris tandas.


Lalu pembicaraan beralih ke masalah kuliahku. Bapak bertanya soal skripsiku. Sudah sampai bab berapa, tanyanya. Kujawab jujur, menginjak bab tiga, sembari kujanjikan bakal bisa lulus bulan Juli esok. Tapi bapak justru memesankan kepadaku untuk tak perlu tergesa-gesa, santai saja. Aku paham maksudnya, bahwa ia tak ingin aku diburu-buru target kelulusan yang kubikin sendiri, karena ia khawatir itu akan jadi beban berat di pikiranku. Beliau tekankan pula, tak perlu canggung bila harus keluar biaya lagi karena harus menyambung skripsi di semester depan. Secara tersirat, ia menegaskan padaku untuk tak usah segan merepotinya lagi dalam perkara rupiah, yahh… sekalipun aku sadar usiaku sudah menginjak duapuluh empat yang berarti sudah saatnya sesegera mungkin berdikari. Maka, dalam hati aku bergumam: beginilah enaknya jadi anak orang kaya, lebih-lebih orang kaya yang pengertian, tak minta pun diberi.


Tapi kaya itu relatip, tergantung bagaimana memersepsinya. Selain itu juga relatif dalam komparasinya dengan milik orang lain. Tapi untuk ukuran kami, aku sekeluarga, kami sudah amat kaya karena hidup kami tak pernah kekurangan sepeser pun materi, tak pernah berhutang barang serupiah pun, dan malah berkelimpahan, meruah. Hasil kerja keras bapak dan ibuku semenjak mereka berdua membangun rumah tangga seperempat abad silam, belakangan memberikan hasil yang amat sangat memuaskan sekali—dari segi materi, tentu saja. Sekalipun begitu, jujur adakalanya aku malah merasa muak dengan kelimpahan harta. Karena tentu kau tahu, harta membutuhkan energi dan pikiran bukan saja untuk mengaisnya, tapi lebih dari itu juga untuk menjaganya (inilah bedanya harta dengan ilmu. Kau bisa menumpuk pengetahuan di dalam otakmu tanpa perlu takut dicuri orang atau ludes ditelan api ataupun bencana alam). Banyak orang yang tak sanggup menjaga hartanya, dan banyak lagi yang tak sanggup menerima nasib ketika tiba-tiba hartanya ludes karena suatu sebab. Itulah mungkin yang membuatku segan untuk berpuas diri dan berbangga atas kekayaan keluarga kami.


Semua yang kami butuhkan dapat tercukupi dengan amat mudahnya, seperti tinggal sim salabim ada kadabra saja. Tapi tentu tidak untuk semua yang kami inginkan. Kecuali adikku, kami bertiga—aku, ibu dan bapak—boleh dikata lumayan jago dalam membatasi segala keinginan. Hanya adikku yang sulit untuk diajak membatasi diri. Dan ia pula yang pernah membuat ortuku, terutama bapak, menyesal sedalam-dalamnya karena ia tak mau melanjutkan sekolah. Ia, adikku itu, di-DO saat masih duduk di kelas dua SMA, tiga tahun silam, karena kelewat bengal—suka bolos dan tak pernah memperhatikan pelajaran barang secuil pun. Entah apa yang dimauinya, padahal segala keinginannya nyaris telah terpenuhi semua: motor baru, beberapa alat musik yang jadi keahliannya, dan banyak lagi.


Adikku memang lelaki pemberontak sejati (ia mengingatkanku pada kisah Siti Jenar yang dikutuk jadi cacing tanah oleh ayahandanya). Kau bisa bayangkan bagaimana muntabnya ayahku yang seorang guru punya anak yang justru melecehkan harkat dan martabat lembaga pendidikan tempat ia mengabdi. Maka bapak marah besar, segala sanksi ia coba timpakan kepada adik. Tapi di sinilah tiba-tiba muncul instink positifku—membela adik. Aku tegaskan kepada ortuku, terutama bapak, kesalahan tak boleh ditimpakan kepada adik semata. Bagaimana pun juga, orang tua tentu juga punya andil dalam membentuk kepribadian anak. Maka, bila anak menjadi bengal dan subversif macam adikku itu, orang tua tentu saja punya saham yang tak kecil di dalamnya. Dan pelan perlahan amarah bapak pun mulai mereda, dan ia juga terkesima pada anak sulungnya yang seumur-umur belum pernah bicara panjang lebar apalagi bersebrangan pendapat secara frontal dengannya. Selamatlah adikku dari api amarah ayah yang lebih besar lagi.


Dan masih soal adikku. Suatu kali ia minta dibelikan mobil, dan aku pun kembali angkat bicara, tapi kali ini bukan membelanya melainkan menentangnya. Tentu saja ia hanya ingin gagah-gagahan di depan cewek-cewek dan teman-temannya (ia memang seorang playboy sejati, kontras dengan kakaknya yang pemalu pada wanita). Maka aku pun menentangnya dengan keras. Aku tak ingin materi (dan juga titel) dipergunakan untuk meningkatkan status sosial semata-mata, untuk pamer agar ditatap sebagai orang terpandang. Sumpah!!—siapa pun dalam keluargaku melakukan hal ini, akulah yang pertama-tama akan menentangnya. Aku benci dan muak bila harta dan titel hanya dipergunakan untuk bergagah-gagahan di hadapan orang lain. Bahkan nantinya tak akan pernah kutunjukkan dan kupajang ijasah dan gelar sarjanaku di hadapan siapa pun juga (kecuali kalau aku dituntut untuk melakukannya). Biarlah kalau orang lain tak tahu aku pernah kuliah, lebih baik juga ia tak pernah tahu bahwa aku seorang sarjana. Bahkan kalau saja nantinya calon mertua tak pernah menanya soal status sosial dan titelku, tak akan sekali-kali aku menyatakan diri sebagai sarjana dan anak orang kaya, swear!! Biarlah diriku dinilai secara murni dari segala yang terkandung di badan dan tersemayam dalam kepribadian, bukan dari apa pun juga di luar diri yang superfisial sifatnya.


Dan suatu hari bapakku sempat melontarkan tawaran padaku untuk melanjut studi S-2. Ia sanggup membiayai sehingga aku dimintanya tak perlu harus repot-repot mencari beasiswa segala. Kusambut hangat tawaran itu. Malah aku utarakan untuk melanjut studi ke luar negeri dengan mengupayakan beasiswa. Tapi bapakku malah menanya, berapa sih besaran biaya studi di LN. Dan ia menyatakan mampu menanggung biaya itu setelah kusebut hitungan dan rincian nominalnya. Ia berpesan, andaikata tak mendapatkan beasiswa LN, silakan saja tetap melanjut studi ke LN asalkan ada kemauan kuat dan kebulatan tekad, ia sanggup menanggung biaya. Tapi sejujurnya aku tak tega, bukan kepadanya tapi pada adikku. Kau bisa bayangkan bagaimana perasaanmu saat kau akan menghabiskan duit ortumu puluhan-ratusan juta untuk menggapai cita-citamu yang setinggi langit sementara saudara kandungmu sekolah SMA saja tak tamat. Itulah yang jadi beban di hatiku, ketimpangan antara aku dan adikku dalam menyerap duit ortu. Dan karena itu pula aku kerap didera rasa bersalah kepada adikku.


Kadangkala kusimpulkan, betapa enaknya diriku yang jadi anak orang berharta yang bermurah hati melimpahiku uang dan segala dukungan untuk menggapai cita-citaku. Tapi bila kemudian aku menyadari bahwa aku punya adik yang seperti telah kuceritakan tadi, lenyaplah kesimpulan itu, lebih-lebih bapakku mulai teramat condong keberpihakannya padaku setelah ia merasa dilecehkan dan dikhianati oleh adikku. Terlebih lagi, ada semacam ketakutan pada diriku bila nantinya aku harus diwarisi tumpukan harta oleh ortuku, padahal selama ini mereka memperolehnya dari hasil cucuran keringat sendiri, bukan dari pewarisan kakek-nenekku.


Ah, entahlah. Memang jauh lebih enak mengumpulkan dan menumpuk-numpuk pengetahuan dan segala ilmu daripada mewarisi harta kekayaan. Dan itulah sebabnya mengapa aku segan untuk jadi orang yang kaya-raya. Aku lebih ingin kaya ilmu saja, berkelimpahan pengetahuan, titik! Soal harta benda, asalkan tak sampai kelaparan dan tak jadi gembel dan tak tinggal di rumah dan kawasan kumuh, mungkin itu sudahlah cukup bagiku (entah anak-istriku nanti, ha ha ha) …


15/05/08

Postscripto: ” gitu aja udah nervous and jealous, bro, bro… Mangkane ojo usil ndelok-ndelok fotone… “ kata temanku saat aku masih mengetik catatan ini. Entah apa itu artinya nervous and jealous, aku tak tahu. Yang jelas, kalau ia berkata seperti itu, berarti ia bukan dan tidak termasuk dalam golongan manusia yang gampang nervous and jealous. Dan setahuku pula, ia memang buaya darat (dan entah pula apakah ini ada hubungannya dengan nervous and jealous tadi atau tidak, aku tak tahu). Ya, dia memang buaya darat—jenis makhluk yang paling tak kusukai meskipun aku sesungguhnya juga punya peluang dan kesempatan untuk menjadi serupa itu, karena aku juga lelaki, tapi aku tak sudi, suwerr!!!




Selasa, Mei 13, 2008

C o k !!!

dan kisah peluru

Cok! — itulah sebutir kata yang ramping, runcing, dan genting. Sekali pernah kulesatkan kata itu dengan penuh daya kala aku terbakar amarah, kepada adikku, dulu, sekira empat tahun silam, saat kami bersitegang karena berselisih paham atas satu perkara yang memang samasekali tak remeh. Maklum, kami sama-sama lelaki, sama-sama tempramental pula.

Cok! — sebutir peluru kaliber 5,56 milimeter itu keluar dari laras bedil Avtomat Kalashnikov-47 (AK-47), senapan hasil kreasi seorang jendral Sovyet-Rusia yang paling digemari kaum gerilyawan separatis di seluruh dunia dan juga serdadu di negeri-negeri sosialis karena akurasi dan kebandelannya yang melampaui M-16 bikinan Amerika.

Tapi adikku tak bertengkorak tulang. Matanya malah tajam menatap ke dalam mataku, menantangku. Sebutir proyektil peluru itu rupanya menumpul dan penyok membentur batok baja kepalanya. Ia justru balik mengumpatku, tak hanya dengan satu kata tapi berbutir-butir peluru diberondongkan ke arahku. Maka aku pun limbung, sadar bahwa sebagai kakak seharusnya aku bersikap sabar dan bijaksana, tak main lesat kata yang selain tak sopan juga amat menjijikkan dan menyakitkan bila diucap penuh amarah. Itulah pertama dan terakhir kalinya aku melesatkan kata yang mirip peluru AK-47 itu kepada orang lain dengan penuh amarah. Dan aku menyesal karenanya.

Dan di hari-hari ini, tepat sepuluh tahun silam, yakni pada medio Mei 1998, ribuan peluru berhamburan dari banyak senapan. Di Jakarta, kali ini peluru-peluru tajam itu diberondongkan dari laras M-16 dan SS-1 bikinan Pindad yang jadi bedil andalan ABRI. Bukan lagi kaliber 5,56 milimeter, tapi 7,6 milimeter. Puluhan-ratusan tubuh bersimbah darah atas nama perjuangan menuntut kebebasan dan keadilan yang tigapuluh tahun lamanya diembat Orde Baru: sebuah rezim yang hiper-paranoid terhadap rakyatnya sendiri, dipucuk-komandoi seorang jendral yang dingin, horor, dan penuh misteri.

Peluru itu tak hanya menyakitkan, tapi juga menakutkan!

13/05/08

Keterangan:

Cok berasal dari kata “jancok”. Merupakan kata umpatan khas Jawa Timur-an, terutama Surabaya dan sekitarnya, Malang, hingga wilayah Tapal-kuda. Kata ini mirip dengan kata “bangsat” dalam bahasa Indonesia, atau “fuck you” dalam bahasa Inggris. Tapi adakalanya kata ini juga berfungsi/digunakan sebagai sapaan akrab antar kawan sebaya. Misal: jancok, kok tambah sugeh ae koen, cok. Artinya: “kok makin bertambah kaya saja kamu” (ini jenis kalimat pujian penuh kekaguman, samasekali tak mengandung unsur umpatan).


obsesiku

Menjadi penulis adalah menjadi orang yang mesti sanggup berkarib dengan kesunyian. Penulis adalah jenis manusia yang banyak dihinggapi kegalauan dan keresahan. Oleh sebab itulah aku tak pernah berobsesi untuk jadi penulis. Cita-cita masa kecilku adalah jadi pilot F-16, karena dulu sewaktu SD aku beberapa kali menyaksikan manuver pesawat perang itu di TV saat peringatan hari ABRI setiap 5 Oktober. Dan aku terkesima dengan manuver udara burung besi berjuluk Fighting Falcon pabrikan Lockheed Martyn itu—salah satu Military Industrial Complex papan atas negeri Paman Sam beromset puluhan miliar Dollar per tahun. Apalagi pesawat itu bersenjatakan rudal Maverick yang konon sanggup menjebol lapisan baja setebal duapuluhan sentimeter. Gagah dan garang betul pesawat yang saat itu jadi tulang belakang armada udara negeri ini.

Lain waktu aku bercita jadi petani, karena aku suka pada sawah. Semasa kecil dulu aku suka bermain lelayang di sawah sembari mencari jangkrik dan sesekali juga mandi di sungai yang ada di areal persawahan. Aku bermimpi bisa jadi petani sukses, bukan petani gurem yang hidup pas-pasan apalagi buruhtani yang hidup serba kekurangan. Menjadi petani sejatinya adalah memberi makan orang banyak. Kau bisa bayangkan bila tak ada petani, bisakah kau makan selain makan ikan laut dan daging aneka macam hewan serta jenis buah-buahan yang hanya bisa tumbuh di pekarangan?

Cita-cita masa kecilku yang lain adalah jadi wirausahawan, karena kakekku, nenekku, dan ibuku adalah wiraswasta yang boleh kubilang cukup sukses. Lebih-lebih menjadi wiraswasta berarti tak perlu menjadi babu orang lain sebagaimana menjadi pegawai kantor, baik praja maupun swasta. Menjadi wiraswasta adalah berdikari, tak menumpang orang lain, dan dalam skala besar bahkan sanggup mencipta lapangan kerja bagi banyak orang.

Tapi sungguh tak pernah terlintas barang sekilas pun dalam masa kecilku dulu obsesi untuk jadi penulis. Tapi nampaknya takdir seperti berkata lain. Cita-cita masa kecilku seperti raib entah ke mana, karena kini aku justru menghabiskan paling banyak waktuku untuk membaca dan menulis. Jalan hidup memang acapkali tak bisa diraba. Kita mengalir hanyut terbawa oleh arus sungai waktu dan pada akhirnya menemukan diri terdampar pada muara yang samasekali tak pernah kita kehendaki sebelumnya. Dan jujur kadang aku muak pada jalan hidupku sendiri, lebih-lebih pada jalan yang sedang kutempuhi ini—membaca dan menulis!!

12/05/08

Sabtu, Mei 10, 2008

k u s u t (B3)

ADA tidak kurang duapuluh empat buku baru yang menambah koleksiku dalam dua bulan terakhir ini, empat di antaranya bertema filsafat, lima novel, dan sisanya junkbook. Sebagian kubeli di stan bazar buku di kampusku beberapa waktu lalu dengan harga lumayan miring. Sebagian lagi kudapatkan di Togamas dan Gramedia dengan harga tegak-lurus. Entah kenapa napsuku untuk membeli buku sebegitu besarnya, terutama sejak dua tahun terakhir ini. Sampai saat ini, tak kurang dari duaratusan buku beraneka tema telah pernah kubeli. Sebagiannya kuhibahkan kepada Rizki Amalia Putri (Puput), adik sepupuku yang masih kelas 3 SMP dan gemar membaca dan menulis. Sebagian lagi kuperuntukkan bagi teman-temanku sebagai kado pernikahan dan ultah, atau kadang kuberikan begitu saja tanpa ada momen apa-apa. Sementara sisanya, yang tak kurang dari seratus limapuluhan buku, nongkrong di rak sebagai koleksi dan referensi.

Entah kenapa aku begitu gila pada buku. Padahal semakin banyak buku yang kubaca, semakin banyaklah hal yang menongol diri dalam benak dan pikiranku tanpa aku memahaminya secara katam. Makin banyak hal yang kutahu dari buku justru memamerkan padaku semakin banyak lagi hal yang tak dan belum kutahu. Pakai kalimat singkat: aku jadi makin merasa bodoh dan blo’on. Maka beruntunglah mereka yang tak punya kegemaran membaca dan tak pernah merasa diri tak tahu. Beruntunglah mereka yang menjalani hidup tanpa banyak memendam tanya dalam benak, tanpa banyak menyimpan penasaran dalam pikiran. Bila kau tak tahu banyak hal tanpa kau merasa diri tak tahu maka pikiran dan benakmu akan terasa enteng laiknya kapas. Lebih jauh lagi, bila kebetulan kau punya lidah yang panjang dan bibir yang elastik, kau akan dengan mudah bicara panjang lebar kepada siapa pun juga tanpa merasa takut bahwa apa yang kau omongkan itu salah adanya. Bahkan kau bisa bebas mengobral bicara tanpa kau sendiri paham apa yang sejatinya kau bicarakan itu. Itulah enaknya jadi orang yang tak suka baca.

Dan kau tahu apa konsekuensi lainnya yang musti ditanggung oleh orang-orang yang gemar membaca? KUSUT PIKIRAN!!! Apalagi bila yang kau baca itu adalah buku-buku filsafat yang berambisi menyingkap sampai nyaris final tirai misteri jatidiri manusia dan dunia, ditambah lagi kau tak punya cukup pengalaman hidup untuk membangun keyakinan dan filsafatmu sendiri, dijamin pikiranmu akan tak ubahnya Titanic yang menabrak gunung es: KOYAK-MOYAK!!! Jika tak lekas tertolong, kau bisa karam ke dasar terdalam palung kehidupan: entah kau jadi gila atau pun berhasrat melepas nyawa. Bukankah yang terpenting bagi tiap-tiap individu sesungguhnya adalah keyakinan dan filsafat yang dibangunnya sendiri, seperti kata Soren Kierkegaard, filsuf Denmark yang konon giat menyanggah kaum eksistensialis yang berambisi menjelaskan dunia. Realitas eksistensi setiap orang, ungkap Kierkegaard, berasal dari kedalaman jiwanya masing-masing, bukan dari apapun yang disusun secara sistematis oleh orang lain.

Lantas kenapa aku musti jadi orang yang gemar membaca? KARENA terlalu banyak kegalauan dan resah yang menyergap benakku, terlalu banyak hal yang menghamburkan terlalu banyak tanda tanya ke dalam pikiranku. sementara, IRONISNYA, kapasitas dan abilitas otakku amat minim. OLEH SEBAB ITULAH aku butuh bantuan buku. TAPI CELAKANYA, bukannya berkurang, tiga hal bercetak merah di atas itu malah makin beranak pinak. DAN AKU MENYESAL karena telah terlanjur jatuh hati pada buku tanpa aku mampu mengelak darinya. AKU TELAH DIPERBABU BUKU!!!

Aku teringat semasa kecil dulu cita-citaku adalah menjadi petani sukses, atau kalau tidak ya jadi wirausahawan. Tapi memang jalannya hidup kerap kali unpredictable. Kini, menjelang duapuluh empat warsa usia, cita-cita masa kecil itu seperti raib ditelan bumi. Aku terperosok ke dalam jurang kegelisahan dan akhirnya musti berjibaku dengan hal-hal omong kosong yang ada di dalam buku.

Maka, beruntunglah anda yang tak suka baca, bergembiralah kamu yang tak berkarib buku. Dan saat ini pikiranku sedang kusut karena dua hal. Satu karena kebanyakan baca buku, satunya lagi tak perlu kukatakan pada siapa pun juga—rahasia!!

Oh ya. Kalau Anda belum paham apa itu B3, saya kasih tau. Itu akronim dari Buku Bikin Bingung, atau bisa juga Buku Bikin Bodoh, atau Buku Bikin Blo’on juga boleh. Terserah, Anda suka yang mana, sila pilih sendiri. Yang jelas itu tak ada sangkut pautnya dengan B3-nya Melly Goeslaw: Bukan Bin(a)tang Biasa ...

10/05/08

Kamis, Mei 08, 2008

L o N g ... I n G

revealation

Hi, Thou, what are U doing now? How are U in somewhere far away? I miss so many thing in U so much. I miss Your smile, I miss Your spontanity, I miss Your (ah, I can’t say it. I’m unable to say it). So much, sure, belive me, I don’t lie. Do U know, hei, candle-lights, my days are feel so hard, and my nights are running on the snow of my frozen heart, since U’ve gone so far away.

Ah, did U knowing, there’s so much reason why I feel like this, why I feel so missed, why I feel so forsaken, since U’ve gone so far away, leaving all of Your friends, leaving all people U love and love U? So much reason, not so many. So, I can’t and I’ll never be able to say it one by one to U.

Ah, do U know, my yearn, so many time I’ve spent to elapsing my days and nights by doing everything I can do, wish I could erased all of my longing in every breath I’ve done. But, till this second, I can’t. And, in every denial I’d tried, always I’ve found the shadow of Yours appears so much more bright in front of me, so much more bright within my mind. May I will never do it again, sure. And it, in the end, forcing me to surrender and give up. And then, I just want to let it appears so free, and I promise myself, I’ll never disturb it, I’ll never trying to erase it again, sure.

Hei, U, someone whom Your shadow always dancing on the stage of my imaginations, do U know what I’ve been thinking till now? Seconds increased to minute, minutes assembled to be hour, hours united to be day, and day by day passing by away, in here, I’m drifting on flood of my longing, sink in depth of my dreams. Days and nights, I’ve always thinking about U.

But, sometime I ask myself, why I’m longing to U? Who I am in front of U? And, who U are in my life? Who we are, between U and me, so made me feel so longing, so forsaken, so missed, when U’ve gone so far away? Didn’t I was doing an impudent by all of my this feeling, including this longing, to U? Didn’t I’m like a frog longing to embrace the moon? Oh, I’ll never getting so enough clearly understanding about all of these. I know, in the end, these are too hard to described, to defined, and, maybe, these are undescribeable, undefineable.

U, I’m sorry if all of these seem so sentimental, so pleonastic, or maybe, so whining, for U. I just expressing anything I feel, I just reveal everything made me to be unrest and anxious, no more. I don’t know, why I have a wanting so much to meet U while it’s felt so about impossible to realize, while between U and me separated by thousands mile away, like now. Oh, I can do nothing to realize my wanting, to meet U now. May I have to waiting for, with my patience, with all of my wishes.

The last, I wish U will be fine and happy in there, always. I wish U’ll never be so sad and sorrow while U stay so far away from all people U love and love U. I wish U’ll getting and doing all Your project in there succesfully. And I wish this note will never disturb U.

Thanks, see U later …

Me, drifting on my illusionary world and illusionary words,

May 08, 2008. somenight fulfiled by stars.


Rabu, Mei 07, 2008

forsaken

How can I feel forsaken even when the world surrounds me? How can I feel forsaken, is there someone abandons and leaves me? When Thou look up the sky morning, be sure that so many thing never said by stars to the night passing by. So do I feel, now. But, how can I feel so forsaken? Even myself never know why. One question for myself: who I am in front of You? I just know there is something stranger entering my life, suddenly. A perfect stranger, maybe. So I don’t know what is the stranger call? I can’t define it, and I wouldn’t define it. Let it, the stranger within me, stay undefined. May it would made it so mistery, so sacred, untouch.

Ah, let me speak another matters. The smile of dawn arrived early on May, like few days last. In every woke up of me, I see to east so far away. In the distance, I saw the shadow of someone, a woman, walk alone under the orange sky of dawn. She walks alone, no one beside her. But I don’t know who is she? I just seeing her shadow, no more.

Then, I take the time to think reflectively, to take contemplation for a few minute. I ask nothing, ”why life too often made me so sad, made me sorrow?” Nights ago shed my tears, tell me of sorrow, tell me of fear, tell me of pain, and tell me of everything was made me never outgrow anymore. Years ago, as a child, I thought I could live without pain, without sorrow, without sadness. But now, as a man, I've found it's all caught up with me. I'm asleep yet I'm so afraid. I think, the life was pour out all of its blackness and grey to me. But, in the other moment, I was told myself, there is miracle for each day that I try. I was told myself, there is a new love that is born for each one that was gone.

About my four habit. First, I’ve always found liquid shadows silence in my dreams. Second, I’ve always found solid wills turbulence in my wake. Then, third, I always smile at the moon, chasing water from the sky, and I argue with the grey clouds that stealing beauty from my eyes. And then, fourth and the last, outside the soundness and the weakness of my mind, I always bathing my soul in silver tears, tears of my happiness and sadness, wish I’ll find so much meaningful seconds to make me so much more strong to live this life until I die, later.

Alone, I staring my fate and my life. Years ago, and years next (if I still alive), I was and will always seeking something, or, maybe, so many thing. But, just for few day next, may I’ll stay forsaken, I’ll stay to waiting for someone. But, I don’t know, is she knowing this? Will she takes any understanding for and to me?

But, who I am in front of Thou? Even myself unable to define it. But I’ll never surrender, I promise myself to (ah, I can’t tell about it, here and now) … Hei, You, somebody made me so longing, ever You seeing the wind blews up a feather, brings it to flies alone and free, dancing in the blue days? Hei, You, ever You think about how the sky gives every children so many dream, so many hope, and so many smile? Ah, may You can’t believe me, may You consider me as a boast, as a big-illusion man, or a man with the chronic delusions. But, I hope, with all of my seriousness, You’ll never hate this note, absolutely, and You’ll never feel so bored to visit this room …

Ah, I’m sorry. May I’m too whine behind You, may I’m too childish before You …

Thanks for the direct and indirectly support that You gave to me to learn and to try writing in english as well as possible.

Thanks a lot for Your attentions, enjoy Your days there, and see You next time (I wish so much) …

Me, here, alone,

May 06-07, 2008, through a midnight around me …

Minggu, Mei 04, 2008

I S T I

J Memberantas Maskulinitas

SUATU sore aku mendapati cemooh pedas dari seorang teman, ”wong lanang cap opo kowe iki, kok cengeng!” (Lelaki macam apa kamu ini, kok cengeng). Rupa-rupanya si teman itu prihatin pada tabiat melankoli diri saya. Jujur kuakui, area perasaanku memang terlalu peka (hypersensitive, bahasa kerennya). Dan temanku itu menambah lagi cemoohnya, “wah wah wah, bahaya mbesok kowe lek duwe bojo, bakal dadi jongose bojomu. Mestine wong lanang kuwi dadi rojo, wong wedhok seng dadi jongos. Tapi lek kowe bakale yo kuwalek.” (wah, bahaya nanti kalau kamu punya istri, kamu bakal jadi pesuruh istrimu. Mestinya lelaki itu jadi raja, wanita yang jadi pesuruh. Tapi kalau kamu jadinya nanti malah terbalik).

Jelas saja aku tersudut, tapi juga jadi sadar diri. Ada benarnya juga cemooh teman itu mengenai diriku. Tapi soal pandangannya bahwa lelaki adalah raja dan wanita pesuruh, terus terang aku menentangnya. Itu pandangan yang patriarkis khas jaman feodal, dan lebih jauh lagi adalah pandangan jaman baheula—sejak jaman Adam, mungkin. Mentang-mentang dalam tamsil dikatakan bahwa wanita itu dibikin dari tulang rusuk pria, lantas dikiranya mereka bisa diperlakukan bak boneka atau bahkan babu, apa? Jelas itu pandangan yang picik atas nama ”kodrat”.

Dalam pandangan masyarakat jaman silam, wa bil khusus pandangan masyarakat tradisional Jawa, wanita dianggap sebagai makhluk inferior yang senantiasa butuh perlindungan dan belas kasihan dari lelaki. Entah benar atau tidak, yang jelas dampak dari anggapan tersebut telah menciptakan situasi sosial dan psikis yang muram bagi kaum hawa. Wanita adalah konco wingking, suwargo nunut neroko katut. Itu perumpamaan khas tradisionalis Jawa, ”wanita adalah epigon, teman belakang suaminya. Ke surga numpang, ke neraka ikut (suaminya).” Dan ”postulat” macam itulah yang, disadari atau tidak, telah melahirkan penindasan dalam segala aspek terhadap kaum wanita.

Benarkah wanita itu lemah, hingga butuh perlindungan dari lelaki? Saya tak percaya. Dalam banyak kasus yang terjadi malah sebaliknya. Dalam masyarakat tradisional Bali, pekerja kasar justru kebanyakan adalah wanita. Sementara kaum lelaki hanya bermalas-malasan di rumah dan biasanya kerjaannya adalah adu ayam jago. Ini fakta yang saya jumpai sendiri, dengan mata-kepala saya sendiri, meskipun tanpa melalui serangkaian pengamatan intensif apalagi penelitian ilmiah. Saya rasa itu sudah cukup memadai untuk saya menarik hipotesa bahwa anggapan wanita itu lemah hanyalah mitos belaka. Apalagi di desa saya, tak sedikit wanita yang jadi buruhtani. Mereka sejajar dengan pria dalam soal pekerjaan.

Balik ke soal pribadi. Dulu aku pernah dicemooh ayahku karena prestasiku di sekolah selalu kalah dengan seorang siswa berjender wanita. Di Sekolah Dasar aku selalu menjadi ranking kedua, sementara posisi kampiun selalu dihuni oleh seorang siswa wanita. Dengan lain kata, selama enam tahun aku tak pernah bisa merebut posisi juara satu, dan selalu menjadi pecundang. Mungkin ayahku lupa diri, bahwa pendapatannya sebagai PNS saat itu sesungguhnya amat kecil dan tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pendapatan ibuku yang seorang wiraswasta ulet dan tangguh. Dan andai saja hanya ayahku yang berpenghasilan (dengan gaji kecil sebagai PNS), amat kecil kemungkinan aku bisa kuliah. Dan duit beratus-ratus ribu yang kuhabiskan setiap bulannya saat ini, yang membuatku berada dalam kondisi hidup lebih dari berkecukupan dengan aneka macam fasilitas, juga jutaan rupiah untuk segala keperluan kuliah (yang membuatku tak perlu mengemis beasiswa barang sepeser pun), itu semua adalah karena jerih payah ibuku juga sebagai wiraswastawati. Ini juga bukti bahwa wanita bukanlah makhluk inferior, kan? Dan karena semua itulah mungkin aku jadi amat segan dan tak berani berbantah-bicara pada ibuku, dan sebaliknya aku kadang suka melawan kehendak ayahku (tapi ini lebih terkait dengan sikapnya semata, bukan soal uang. Aku tak pernah menghargai orang atas dasar materi ataupun status dan titelnya).

Dan perlu kuceritakan juga, di Sekolah Dasar itu pula aku pernah didamprat habis-habisan oleh si juara satu itu gara-gara aku usil berbuat ”sesuatu” kepadanya. Kau tahu bagaimana reaksiku? Mirip seekor kura-kura yang hendak disentuh kepalanya. Aku menunduk lesu menahan rasa malu, bersalah, takut, dll. Mukaku merah. Beginilah susahnya jadi manusia yang liar imajinasi (hingga terdorong untuk berbuat usil) tapi di lain sisi juga sensitif perasaan (sehingga gampang merasa bersalah, malu, takut, terluka, dsb). Andai aku bisa meniru gaya kura-kura secara persis sama, mungkin akan kutarik kepalaku masuk ke dalam rongga dadaku, menyembunyikan segala perasaan negatif yang memancar lewat wajahku.

”Tapi bukankah itu sesungguhnya adalah blessing in disguise bagi kaum wanita. Lebih-lebih bagi mereka yang membenci patriarki dan ingin menumpas maskulinitas. Ini adalah kabar baik tentunya, karena tak akan kuasa aku mensubordinatkan mereka barang secuil pun di bawah otoritasku. Dengan kata lain, matriarki akan tegak dengan sendirinya dalam kehidupanku nanti,” saya coba membela diri dengan sedikit berteori.

”Blessing in disguise, hah?? That is a foolish sacrifice, a bad fate for You, not blessing in disguise, absolutely! You will becoming a doll or a puppet for feminist woman. Be careful, bro!” Sialan. Belum puas rupanya cecunguk satu ini mencemoohi aku. Awas, bakal kuadukan bocah ini kepada para feminis, karena secara tak langsung ia telah melecehkan mereka dengan menganggap para feminis itu bercita-cita menjadikan lelaki sebagai boneka mainan. Memangnya itu tujuan gerakan feminisme, membalas dendam kepada lelaki dengan menjadikannya sebagai badut sirkus? Tidak, kan?

”Dasar calon anggota ISTI, ha ha ha ...” ia mencemooh aku lagi. Lagi!

”Apaan tuh ISTI?”

”Ikatan Suami Takut Istri,” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.

”Makanya, jangan terlalu menuruti perasaan. Men are rational creature, not emotional one. it is women bangettt!!!. Mosok ditinggal ngono wae sedih, apene mbrebes mili banyu motone, hu… ora maen!” sambungnya.

Aku tak paham kalimatnya yang terakhir itu, bukan bahasanya tapi maksudnya. Entah apa yang dimaksudkannya, saya malah teringat sepenggal syair lagu Perfect Strangers milik Deep Purple yang dirilis pada 1984 silam:

...

Precious life
Your tears are lost in falling rain

Mungkin bisa dicarikan hubungan antara kalimat terakhir temanku itu dengan sepenggal lirik tersebut. Mungkin … []

04/05/2008

NB. Terimakasih buat Bung Insaf Tarigan yang selalu mengingatkanku untuk segera merampungkan skripsiku dan memintaku segera bertolak ke Jakarta. Tabik, Bung ! …