Senin, Agustus 25, 2008

asimetris

Cinta, sebagaimana iman, bukan buah dari proses penalaran. Kita jatuh cinta, persis saat kita beragama, bukan lantaran kita melakukan serangkaian telaah logis atas sejumlah fakta.

Begitulah. Gerak hati adalah spontanitas naluriah, tanpa alasan ini-itu. Dan mustilah engkau tahu, ia jatuhhati kepadamu tanpa ia sendiri tahu persis alasan-alasan dibaliknya, kecuali bahwa kau adalah lain jenisnya. Ia tak mungkin jatuhhati kepada sesama lelaki karena ia tak punya secuil pun disorientasi seksual. Maka ia jatuhhati kepadamu tanpa alasan-alasan.

Tapi manusia bukanlah binatang yang hidup hanya bertolak dari impulsi-impulsi naluri belaka. Manusia punya nalar-rasio. Maka ketika harus dimanifeskan (baca: dimiliki dan memiliki), acapkali cinta perlu ditopang oleh alasan-alasan rasional. Yang-naluriah pada akhirnya memang seringkali harus tunduk pada yang-nalariah. Spontanitas diambil-alih oleh metode-metode teknikal. Tapi tak selalu harus dan tak selalu perlu bila yang ‘dikehendaki’ adalah kisah serupa lakon Romeo&Juliet, Tristan&Isolde, Layla&Majnun, atau Valentine. Di sini, manifestasi cinta tak lagi mengikuti atau berada pada lajur nalar-rasio. Dan kita, manusia modern penghamba rasionalitas, tak pelak menggelarinya dengan label ”kisah cinta yang tragis dan naif serta konyol”. (Tapi ini bukan berarti kisah cinta hewaniah, ‘kan? Karena sesungguhnya kemurnian perasaan itu justru kerap melahirkan kisah-kisah yang menggetarkan; otak modern yang instrumentalistik/mekanistik sajalah yang mendakwanya sebagai ”kisah tragis-naif-konyol”.)

Untuk kisah-kisah cinta di atas, kita bisa menyebutnya ”cinta asimetris”, yakni cinta di mana perbedaan-perbedaan yang membentang (dan mungkin tak bakal terjembatani) tak dijadikan penghalang bagi manifestasi cinta. Cinta asimetris adalah murni gerak hati dan tak dilandas-dasari bangunan nalar-rasio. Seorang kota-kaya-intelek-tampan/cantik, misalnya, menyintai dan dicintai seorang desa-miskin-bodoh-burukrupa. Tak rasional tentunya, ‘kan? Dan mungkinkah pasangan seperti ini bisa saling memiliki-dimiliki atas nama cinta belaka? (sungguh, aku tak tahu jawabannya)

Tak ingin mengikuti kisah tragis-naif-konyol, ia pun berupaya mencari-cari sejumlah alasan untuk memanifeskan jatuhhatinya kepadamu itu. Atas dasar apa saja kiranya ia ingin dimiliki dan memilikimu, begitulah yang ia cari-cari selama ini. Tapi ia tak kunjung menemukan alasan. Atau jangan-jangan yang terjadi selama ini memang terlampau banyak perbedaan yang membentang di antara ia dan kau. Cintanya padamu (dan cintamu padanya, bila kau benar-benar menyintainya) adalah cinta asimetris, begitulah mungkin yang terjadi. (tapi sampai seberapa derajat asimetrisnya, aku tak tahu). Tragis-naif-konyol, tapi itu awalnya dan sebagian prosesnya; kelanjutan dan endingnya tak selalu demikian (meski peluangnya mungkin amat tipis). Maka, bila benar demikian yang terjadi, masih sudikah engkau kiranya dicintai dan menyintainya, (untuk akan) dimiliki dan memilikinya? (cinta adalah anak kandung kecocokan jiwa. cinta memberi kekuatan, mengubah yang-imposibel menjadi posibel. begitu kata aforisma klasik. Tapi mungkinkah otak modern masih memercayainya – atau setidaknya menghargainya, bukan malah mencemoohnya?).


NB. aku dapati sedikit-banyak ”pencerahan” dari Bilangan Fu. Terimakasih...


life is no more assuring than love

Benarkah hidup ini adalah sebuah kesia-siaan, macam mitos Sisyphus yang mendorong sebongkah batu ke atas puncak gunung lalu membiarkannya kembali jatuh dan kemudian kembali mendorongnya ke atas dan kemudian jatuh lagi dan kemudian mendorongnya kembali, demikian seterusnya berlangsung tanpa kesudahan? Atau hidup ini cuma sekedar kasunyatan (kekosongan) seperti dalam ajaran Budhisme?

...Maka, terimakasih untuk telah pernah mendorongku menuju tepian jurang kehidupan; terimakasih telah pernah membuatku berani merangkai-rangkai mimpi meski mimpi itu mungkin hanya akan jadi sebuah ilusi; terimakasih telah pernah membuatku berharap walau harapan itu mungkin tak ubahnya kekosongan; terimakasih telah pernah membimbingku membuka pintu-pintu menuju absurditas kehidupan yang telah pernah kujalani; terimakasih untuk segalanya. Terimakasih dari lubuk terdalam hatiku, kepadamu...

Senin, Agustus 18, 2008

strange deja vu

Begitu naifnya ia tatkala mengungkapkan padamu bahwa cintanya tak dirasuki hasrat seksual. Begitu naifnya ia bila menganggap jatuhcintanya padamu semata karena jiwamu dan bukan bersebab tubuhmu. Seolah ia bisa hidup tanpa nafsu, seolah ia tak memendam hasrat pada kenikmatan tubuhmu. Dan ini yang paling membuatnya nampak sedemikian tolol dan tanpa disadarinya justru menihilkanmu: ia anggap kau hanya sebentuk jiwa bergentayangan yang menghantui mimpi-mimpinya dan tubuhmu tak dianggap apa-apa kecuali sebatas aksesori belaka! Maka coba sodorkanlah pertanyaan macam begini padanya: lalu melalui apa kiranya engkau jatuh hati padaku? Sanggupkah kau menangkap gerak-gerik jiwaku tanpa terhalang oleh tubuhku? Mampukah kau menerobos tubuhku untuk menjumpa jiwaku di dalamnya sana?

Betapa ia sesungguhnya telah terjebak dalam ketololannya sendiri. Betapa kasihan ia. Betapa ia tak memiliki garis orbital bagi gerak-laju pikirannya; betapa tak konstan dan kelewat fluktuatif besaran gravitasi pikirannya; betapa pikirannya terperangkap dalam kekhaotikan. Betapa pendar dan pudar tiap hal yang melintas dalam jangkauan kesadarannya.

Ia sangka dirinya malaikat yang jatuh hati padamu tanpa dorongan nafsu. Betapa ia tak tahu bahwa amat mustahil bagi malaikat untuk jatuh cinta. Dan hanya makhluk bernafsu sajalah tentunya yang mengenal jatuh cinta; lainnya tidak! (Atau barangkali ia hanya merasa alergi kala cinta dibingkai semata pada desir kalenjar-kalenjar yang bermuara di seputar selangkangan?)

Lalu bagaimana dengan perasaannya? Ah, kau bahkan tak sadar perasaannya serentan buih: mudah terombang-ambing dan gampang terburai. Jatuh cinta baginya adalah secuil paradoks dalam rangkaian hidupnya: berkah nan nikmat tapi juga musibah nan laknat. Paling tidak ada tiga hal yang tak ubahnya air dalam hidupnya; tiga hal yang selalu merucut tatkala ia coba pegang dalam genggaman. Yakni: kebenaran, masa depan, dan cinta. Ia selalu kecolongan tatkala coba menguasai tiga perkara itu. Dan itu kerap membuat hidupnya limbung bagai elang yang sayapnya patah di kala sedang melanglang di angkasa buana. Ia pun jengah dengan hidupnya. Kadangkala juga muntab ia pada dirinya sendiri, kadang juga pada tuhannya.

Dan nampaknya kau terlampau lugu dan polos untuk memahami segala jenis ketololan dan kenaifannya itu. Harusnya engkau pertanyakan apa ia tak menginginkan tubuhmu yang walaupun tak sesempurna tubuh para aktris namun sesungguhnya cukup mengundang liur para lelaki muda yang sedang disiksa oleh gemuruh nafsu seksnya itu. Atau apakah ia sanggup mempertahankan jatuh cintanya padamu tatkala misalnya sebagian tubuhmu tiba-tiba melenyap atau berubah menjadi seburuk kuntilanak.

Padahal, perlu kau tahu, hasratnya sedemikian menggelora di ubun-ubun kepalanya. Teramat sering ia dihantui pikiran-pikiran mesum dengan mengimajinasikan tubuh para perempuan cantik dan seksi yang kerap ia lihat dan temui di mana pun. Ini sudah berlaku padanya semenjak ia mengalami mimpi-basah pertamanya tepat di usia dua belas. Dan semenjak saat itu pikirannya menjadi khaotik sementara superegonya acapkali rumpal digelandoti naluri purbanya itu. Maka telah pahamkah kau kini?


Minggu, Agustus 17, 2008

Narsisme vs Altruisme

Cinta terhadap diri sendiri pernah dianggap sebagai semacam penyakit sampar. Sebabnya, menyintai diri sendiri diartikan paralel dengan ketiadaan cinta bagi orang lain. Maka menyintai diri sendiri adalah sebuah dosa; sikap cinta-diri dipandang sebagai ancaman mematikan bagi eksistensi sebuah sosialitas. Masyarakat pun kemudian dibangun dengan sebuah indoktrinasi ketat “pelenyapan cinta-diri” atas nama “kepentingan khalayak”. Dikotomi antara “cinta-diri” dan “cinta terhadap orang lain”, di mana keduanya selanjutnya dipahami sebagai dua hal yang berhadap-hadapan secara ekstrim, telah sering menghasilkan “pelenyapan individu”. Keunikan individu musti dikuburkan demi menciptakan masyarakat yang seragam dan sepaham, serta “tertib” tentu saja. Sebuah sistem sosial (seringkali dalam wujud negara) yang fasistis adalah sebuah contoh gamblang tentang pelenyapan individu atas nama kepentingan umum. Kepentingan individu harus siap-sedia untuk ditempatkan di altar pengorbanan bagi kepentingan sosial/negara. Tapi tak perlu jauh-jauh kiranya untuk menemukan contoh dari doktrin pelenyapan individu atas nama kepentingan umum ini. Ada sebuah contoh yang lebih gamblang: Sikap represif orangtua terhadap anak-anaknya bila sang anak dianggap berprilaku menyimpang dari norma-norma masyarakatnya (dan juga represi masyarakat terhadap para anggotanya yang dianggap menyimpang). Ya, semua itu tentu juga acapkali diklaim dilandasi oleh rasa cinta kepada sang anak. Tentu para orangtua menginginkan anak-anaknya tumbuh sebagai pribadi yang selaras dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sejak kecil kita telah diarahkan untuk tunduk pada aturan-aturan sosial – seringkali dengan mengorbankan kehendak dan kepentingan kita. Mengutamakan dan mengejar kepentingan diri sendiri adalah sebuah kejahatan karena ia dianggap akan mengorbankan kepentingan umum – yang pada tahap lanjut akan mengakibatkan disharmoni dan anarki di dalam masyarakat.

Bila diajukan pilihan antara mendahulukan kepentingan sendiri ataukah mengutamakan kepentingan orang lain, tentu tiap-tiap orang akan memiliki jawaban berbeda. Tiap orang punya alasan dan motivasinya masing-masing dalam pilihan sikapnya. Tapi benarkah cinta-diri itu sesungguhnya berhadapan secara diametral dengan cinta kepada orang lain? Perlu dibedakan kiranya antara “cinta-diri” dan “cinta-diri yang ekstrim”.

Cinta-diri yang ekstrim (narsisme) kiranya benar bila dianggap sebagai semacam wabah sampar. Narsisme, sependapat Erich Fromm, adalah sebuah tanda ketakmampuan menyintai orang lain sehingga seluruh energi hidupnya dicurah-tumpahkan pada diri sendiri semata. Tapi cinta yang hanya mengalir ke dalam diri sendiri, masih kata Fromm, sesungguhnya ia bukanlah cinta – karena cinta selalu hadir untuk diri sendiri dan orang lain secara simultan. Ini berarti, narsisme bukanlah sebuah pertanda melimpahnya cinta bagi diri sendiri; sebaliknya ia justru merupakan sebuah patologi bukan hanya bagi masyarakat tapi terutama adalah bagi diri sendiri; ia adalah cinta semu – atau rasa benci yang dimanipulasi menjadi serupa rasa cinta. Kesanggupan untuk menyintai diri sendiri akan senantiasa paralel dengan kemampuan untuk menyintai orang lain. Maka menjadi kurang tepat apabila cinta-diri diposisikan secara diametral dan frontal dengan cinta terhadap orang lain (altruisme). Narsisme-lah yang sesungguhnya berhadapan secara frontal dengan altruisme.

Tapi bila ditelisik lebih dalam, altruisme juga belum tentu lebih baik daripada narsisme. Nietzsche, kalau ingatan saya tak silap, pernah mengatakan, ”ada yang pergi ke sesamanya karena ingin mencari dirinya sendiri, ada pula yang karena merasa senang hati kehilangan dirinya.” Ini berarti, altruisme itu hanya akan menjadi sebuah laku mulia bila ia dilandasi oleh melimpahnya cinta di dalam diri – atau atas dasar pencarian cinta dan kebahagiaan yang lebih tinggi (bukan keuntungan materi) bagi diri sendiri. Sebaliknya, bila dilakukan atas dasar ketidakmampuan menyintai diri sendiri, altruisme justru menjadi sebuah laku yang boleh dikata menjijikkan. Ia cenderung mirip dengan sikap masokistis di mana orang akan merasa puas saat dirinya menjadi korban bagi perilaku sadistis orang lain. Altruisme jenis ini mungkin juga tidak memadai untuk didefinisikan sebagai menyintai orang lain, karena ketiadaan cinta pada diri sendiri sudah tentu paralel dengan ketiadaan cinta bagi orang lain. Bahkan ia paralel dengan narsisme itu sendiri; bedanya hanya pada objeknya – narsisme mengarah ke dalam diri sendiri sementara altruisme jenis ini menemukan objeknya pada orang lain. Maka, hanya orang yang sanggup menyintai diri sendirilah kiranya yang punya kemampuan untuk menyintai sesamanya – dan orang lain yang dicintainya diperlakukan sejajar sebagai subjek, bukan objek.

Cukup rumit, bukan?

..

NB. Selamat Hari Jadi ke-63, Indonesiaku..


Kamis, Agustus 14, 2008

Kematian Sebuah Blog


hidup yang dipertaruhkan dan tak dimenangkan..

Saya mengenalnya sekira dua warsa silam. Sebuah blog yang menampung banyak catatan yang ditutur-ceritakan dengan gaya bahasa yang landai, tenang, dan melankolik. Pertama kali saya menjejakkan kaki di sebuah daratan maya itu dalam sebuah penelusuran iseng lewat mesin pencari Google. Entah lupa apa kata-kunci yang kuketikkan kala itu. Yang terang, seingatku, saat itu saya terdampar di atas sebuah catatan berjudul Guru yang Membuka Tirai Tuhan (I) dengan subjudul persis di bawahnya, Ketidakhadiran yang "Hadir". Terkesima oleh judulnya, lebih-lebih lagi oleh subjudulnya, saya pun menyimak dengan khusuk catatan yang tak terlampau panjang itu. Baiklah, saya coba tuturkan sekilas isi catatan yang nampaknya masih membekas jelas dalam memori otakku itu.

Catatan itu bercerita tentang seorang ksatria anonim yang melamar untuk jadi murid Resi Durna, sang mahaguru Pandawa dan Kurawa dalam epos Mahabharata, guna menimba ilmu memanah kepadanya. Namun rupanya Durna tak mengabulkan permohonannya. Ditampik oleh sang resi ternyata tak membuat si ksatria anonim itu patah arang. Ia pun pulang dengan hati yang mendung. Tapi sesampainya di rumah, si ksatria satu ini tak kurang siasat. Daripada berpaling untuk mencari guru memanah lain, ia lebih memilih menghadirkan ’bayangan’ Durna. Ia pun lantas membikin sebuah boneka menyerupai sang resi. Merasa diawasi oleh boneka replika Durna itu (atau tersugesti oleh ”kehadiran” sosok Durna, begitu mungkin persisnya), ia pun berlatih dengan keras dan serius. Konon kabarnya, masih dalam catatan itu, pada akhirnya si ksatria anonim tersebut sanggup menyamai kemahiran memanah murid-murid Durna. Begitulah mungkin rangkaian kisah yang dimaksudkan penulisnya sebagai ketidakhadiran (Durna) yang ”hadir” (replika Durna). Atau sebetulnya bisa pula dibalik menjadi: ”kehadiran” (dari) yang tak hadir -- ”presence” of the absence. (Saya pernah memakai istilah ”presence” of the absence ini untuk melukiskan seorang perempuan yang pernah saya akrabi di bangku SD dan beberapa warsa silam kembali ’muncul dalam benakku’ untuk beberapa saat lamanya hingga ia diambil jadi istri oleh seorang lelaki yang merupakan teman kuliahnya, sewarsa silam. Saya [di]kalah[kan] lewat sebuah ’lemparan dadu’ bernama ”takdir”, ha ha ha..)

Ya, betul. Blog yang kumaksudkan itu tak lain beralamat di pejalanjauh.blogspot.com. Saya tak mengenal secara pribadi sang empu blog itu. Namun demikian saya rajin menyimak catatan-catatannya. Telah puluhan catatannya kubacai. Belakangan hari rupanya sang empu meng-upgrade blognya sehingga alamatnya menjadi lebih cekak: pejalanjauh.com. Selain catatan-catatan yang kaya wawasan dan dituturkan dengan indah hingga melenakan saya yang menyimaknya, ada satu hal lain yang membuat saya jatuh hati padanya, yakni sebuah parafrase yang melekat pada kop-gambar (header image) di bagian atas tubuh blog: ”hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan.” Bagiku sepenggal kalimat itu sungguh sarat dengan pesan keberanian – atau mungkin malah ke(n/t)ekadan – dalam/untuk menghadapi hidup ini. Menggetarkan dan sekaligus menggentarkan, tentu saja.

Belakangan hari, dari sebuah catatan yang berjudul ”Dancing Out”, saya tahu bahwa sang empu blog itu pernah menimba ilmu di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada. Dalam catatan itu ia mengaku mengundurkan diri sebagai mahasiswa (ia menyebutnya dengan istilah ”Dancing Out” untuk membedakannya dengan Drop Out – karena ia memang undur diri dan bukannya didepak keluar oleh pihak kampus) justru ketika telah melewati masa studinya selama duabelas semester dan telah merampungkan penggarapan skripsinya! Entah, ia ingin benar-benar mempertaruhkan hidupnya, barangkali.

Dan sekira satu bulan silam, ketika mengetikkan alamat pejalanjauh.com dan kemudian menekan tombol ”enter” di papan kibor, browser komputer di hadapanku saat itu malah menggiring penjelajahan mayaku pada sebuah alamat yang agak ganjil: requiem.com. Tapi alamat terakhir itu tak menampilkan apa pun selain baris-baris kata cekak satu halaman ciut/sempit dalam Bahasa Inggris yang samasekali tak menampakkan tanda-tanda diri sebagai sebuah blog atau website yang ”hidup”. Saat coba kutelusuri hingga lebih separuh jam lamanya, aku tak menemukan apa pun, nihil, dan penelusuranku akhirnya malah dilemparkan begitu saja ke halaman Sign in (halaman muka) blogger.com. Sejurus kemudian saya tahu dari sebuah catatan milik seseorang yang nampaknya adalah kawan si empu blog, yakni seorang blogger yang menyebut dirinya ”lelaki pelabuhan”, bahwa pejalanjauh.com memang telah mati (atau dimatikan, tepatnya). Kalau benar demikian, nampaknya requiem.com tadi memang bukanlah sebuah blog atau website ”hidup” melainkan lebih mirip – atau lebih layak digelari – sebuah pekuburan; sebuah tempat pemakaman bagi tubuh-tubuh blog yang telah jadi mayat.

Tanpa kukehendaki, ada rasa sungkawa dan kecewa di dalam diriku atas kematian sebuah blog yang selama ini kerap kukunjungi karena keindahan dan segenap daya tarik isi catatan-catatan yang ditampungnya itu. Blog itu kini telah musnah! Kenapa ia harus dibunuh oleh sang empu? (Atau lebih tepatnya: kenapa sang empu sampai tega hati menghabisinya?). Bila ia sudah tiada punya senggang untuk menoreh catatan baru, kenapa tak ia biarkan saja tubuh blognya itu tetap hidup sehingga siapa pun yang pernah menikmatinya bisa kembali mendatanginya untuk mencecapi ulang torehan catatan-catatan di sekujurnya kelak di kemudian hari nanti (dan sekaligus memberi kesempatan kepada para peselancar samudera maya lainnya untuk mampir, mengenalnya, menjatuhcintainya, dan menikmati segenap pesonanya)?

Uh, kejam nian sang empu! Ia telah mengkhianati para penikmat setia blognya.

Hidup yang (telah) dipertaruhkan dan (ternyata) tak dimenangkan. Ya, ia telah (di)kalah(kan) – oleh ’takdir’nya…[]

13/08/2008




Senin, Agustus 11, 2008

Kuli (tragedi anak-anak negeri)


Sungguh mengerikan nasib sebuah bangsa dengan kekayaan alam melimpah- ruah di tanahnya namun harus mengais sisa-sisa makan bangsa jiran, dan mengemis kepeng-kepeng dollar kepada para penjajah dan penjarah”


Lelaki bernama Pairan itu masih nampak giat mencangkuli sawah, membolak-balik tanah sejengkal demi sejengkal, padahal matahari sudah tepat di atas kepala. Peluh membasahi wajahnya yang hitam dan juga seluruh tubuhnya yang berbalut kaos dan celana lusuh, robek di sana-sini pertanda dimakan usia dan sering dipakai oleh tubuh yang keras bekerja. Sawah itu bukanlah miliknya, tapi milik seorang petani kaya di desanya yang juga masih tetangganya, Haji Hamim. Pairan hanya seorang buruhtani—kuli sawah. Hari ini, ia bersama beberapa orang rekannya dipekerjakan Haji Hamim untuk mencangkul tanah persawahannya sebelum ditanami bibit jagung. Tapi siang ini Pairan hanya seorang diri, rekan-rekannya telah pulang sejam lalu untuk tetirah siang sebelum kembali lagi ke sawah selepas waktu dzuhur nanti. Ia sengaja tak pulang, begitulah kebiasaannya setiapkali mengerjakan tugasnya sebagai buruhtani. Sehari penuh ia berada di sawah, berangkat pagi-buta dan pulang petang-hari. Ia tak mengambil waktu tetirah siangnya untuk pulang ke rumah. Pairan tak punya siapa-siapa lagi untuk dijumpainya di rumah. Karena itu, ia tak ingin pulang; ia tetap melanjutkan pekerjaannya siang ini.

* * *

Pairan adalah seorang kuli sejati, kuli yang sebenar-benarnya kuli. Semenjak kecil, ia telah menjadi kuli, kuli-sawah. Ia tak sempat enyam pendidikan di bangku sekolah barang secuil pun. Semenjak kanak-kanak ia sudah terjun ke dunia kerja yang keras, menjadi buruhtani. Ia berasal dari keluarga miskin di pelosok desa, dan hanya sawahlah yang menghidupi keluarganya, juga dirinya—sebagai buruhtani. Kini, di usianya yang telah kepala-empat, ia tetap menjadi kuli, kuli-sawah. Pairan adalah seorang kuli sejati, kuli yang sebenar-benarnya kuli: kuli sawah—buruhtani.

Lima tahun silam, Pairan punya tekad untuk merubah nasib diri dan keluarganya. Sebagai kepala keluarga, ia merasa wajib dan bertanggungjawab untuk melepaskan jerat kemiskinan yang melilit ia sekeluarga. Pekerjaan sebagai buruhtani yang ia dan istrinya jalani selama ini samasekali tak menjanjikan perubahan menuju nasib yang lebih baik. Sebaliknya, dari hari ke hari nasib malah membikin ia sekeluarga kian terpuruk. Upah sebagai buruhtani yang hanya sepuluh ribu rupiah per hari samasekali tak bisa memberikan sisa untuk keperluan lain selain makan, bahkan semakin tak mencukupi bila harga bahan-bahan pokok tiba-tiba melambung naik tanpa pernah turun kembali.

Maka ia pun bertekad berangkat ke negeri jiran, Malaysia, demi mengadu nasib, mendulang untung. Bersama seorang rekannya, ia mendaftar ke sebuah perusahaan penyalur tenagakerja ke luar negeri, lewat seorang calo. Ongkos yang ia setorkan ke perusahaan itu, lewat perantara si calo, sejumlah empat juta rupiah. Jumlah sebesar itu konon untuk biaya mengurus segala persyaratan, mulai paspor dan visa hingga ongkos transportasi. Diperolehnya uang sebesar itu dari berhutang ke beberapa sanak-saudara. Ia kumpulkan sedikit demi sedikit pinjaman dari mereka hingga terkumpullah nominal empat juta rupiah itu. Dan kemudian berangkatlah ia dan rekannya itu ke negeri jiran dengan harapan sebesar gunung. Ia bayangkan, kelak ia akan berhasil memutar roda nasib, tak lagi menjadi kuli-sawah tapi menjadi wiraswasta dengan modal besar yang akan ia kumpulkan di negeri jiran. Ia tinggalkan istri dan dua anak lelakinya dengan raut muka penuh ceria, seolah-olah ia telah genggam kemenangan di tangannya.

Tapi nasib baik rupanya tak hendak datang kepadanya. Baru dua hari menginjakkan kaki di negeri jiran, ia digelandang aparat RELA yang melakukan operasi penertiban tenagakerja asing. Ia tak pernah sangka, dokumen-dokumennya ternyata palsu. Pairan dan rekannya telah ditipu mentah-mentah oleh calo dan perusahaan PJTKI gadungan itu.

Maka, sebagai hukuman bagi “pendatang haram” seperti dirinya, ia pun divonis hukuman penjara selama enam bulan ditambah hukuman cambuk. Pemerintah Malaysia memang tak sudi berkompromi dengan para pendatang ilegal yang dianggap telah merusak stabilitas sosial dan melecehkan wibawa hukum nasional mereka, tentunya di samping merugikan keuangan negara karena pekerja ilegal—sudah barang tentu—tak terkena permit. Pairan dan rekan-rekannya sesama pendatang ilegal itu kini harus menerima ganjaran dari Pemerintah Malaysia.

Namun baru dua bulan berselang ia menjalani hukuman kurungan, datanglah sebuah surat dari pihak berwajib untuknya. Isi surat itu: ia dibebaskan dengan jaminan. Rupanya ada seorang toke yang membebaskan dirinya dengan sejumlah uang tebusan. Selain Pairan, ada sembilan tahanan lainnya yang waktu itu juga dibebaskan oleh toke yang sama.

Keluguan yang bersemayam di dalam dirinya membuat Pairan samasekali tak menyangka adanya udang di balik batu yang menyertai hari kebebasannya itu. Tak terbersit sedikit pun dalam benaknya, bahwa sekeluar dari “mulut singa” ia akan masuk ke “mulut buaya”. Pairan terlampau lugu, polos, tak mengenyam secuil pun pendidikan sekolah. Ia adalah kuli, kuli sejati.

Maka, sekeluar dari penjara, ia dan sembilan rekannya itu dipekerjakan oleh sang toke di sebuah proyek bangunan miliknya di pinggiran Kuala Lumpur. Di sana ia menjadi kuli—kuli bangunan, bukan kuli sawah seperti dulu. Ia bekerja dari pagi hingga sore, bahkan kerapkali harus kerja lembur di malam hari. Upah yang dijanjikan oleh sang juragan sebesar seribu ringgit per bulan plus uang lembur sebesar dua-tiga kali lipat gaji. Namun kenyataannya, upah yang ia dan rekan-rekannya terima dari tangan sang juragan tak lebih tigaratus ringgit, diberikan sebesar tujuhpuluh lima ringgit tiap akhir pekan. Uang itu ia pergunakan untuk makan dan membeli kebutuhan sehari-hari, nyaris tak bersisa. Sisa upah sebesar tujuhratus ringgit ditambah upah lembur dijanjikan akan diberikan nanti setelah proyek selesai.

Hampir setahun lamanya Pairan bersama sembilan rekannya bekerja sebagai kuli bangunan di proyek itu, dan proyek itu telah nyaris rampung. Namun tiba-tiba, di suatu malam, datanglah aparat RELA menggerebek tangsi tempat ia dan rekan-rekannya tinggal di lokasi proyek itu. Pairan dan rekan-rekannya tak berkutik karena selama bekerja di proyek itu, ia dan rekan-rekannya tetap tak mengantongi dokumen resmi, tetap ilegal. Ia pun kembali digelandang masuk penjara bersama rekan-rekannya. Kembali ia harus menjadi pesakitan, meringkuk dalam sel tahanan dan siap-siap menerima hukuman cambuk dari Pemerintah Malaysia.

Hari-hari berasa melambat bagi Pairan. Hidupnya seolah-olah berada dalam liang kutukan. Samasekali tak ia sangka bahwa niatnya mendulang untung di negeri jiran tak ubahnya bermain judi. Ia tak sangka, bahwa calo yang selama ini ia kenal baik sebagai rekan ngobrol di warung kopi itu ternyata adalah seorang penipu ulung yang tega memakan daging temannya sendiri. Maka, dengan keluguan dan kesumat dendam di dalam dadanya, ia bersumpah akan membalaskan tragedi ini pada si biang keladi: calo keparat itu.

Sebulan berlalu hidup sebagai pesakitan di dalam tahanan, kembali ia menerima surat pembebasan. Bersama duabelas orang lainnya, ia dibebaskan dengan uang tebusan oleh seorang toke yang punya usaha perkebunan kelapa sawit. Sekali pengalamannya terdahulu, telah membuatnya bisa menebak apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia yakin, kini akan kembali ia masuki “mulut buaya”, persis seperti dulu lagi. Namun begitu, ia tak menyimpan daya apa-apa untuk melarikan diri dari “lingkaran setan” ini. Mau tak mau ia harus kembali menjalani kerja rodi di negeri orang. Tak bisa tidak. Baginya, ini sudah lebih baik bila dibandingkan harus meringkuk di dalam penjara. Lebih baik menghirup udara bebas walaupun harus menjalani “kerja-paksa” daripada harus menjadi pesakitan di dalam tahanan. Ia yakinkan diri sendiri, bahwa hidup seringkali harus memilih yang buruk di antara yang buruk-buruk.

Maka ia jalani hari-harinya kini sebagai kuli di perkebunan sawit milik si toke yang telah membebaskannya dengan uang tebusan itu. Dijanjikan kepadanya upah delapanratus ringgit per bulan. Tapi sudah ia tebak sebelumnya, yang ia terima tak lebih dari setengahnya. Sisanya konon akan diberikan menjelang kontrak kerja-nya habis. Kini ia kembali menjadi kuli—kuli perkebunan sawit, bukan kuli bangunan ataupun kuli sawah seperti dulu lagi.

Hampir satu setengah tahun Pairan menjalani kerja sebagai kuli perkebunan sawit. Kontrak kerja selama satu setengah tahun yang ia dan rekan-rekannya sepakati dengan sang majikan tinggal bersisa tiga bulan lagi. Namun pengalaman pertama yang telah membuatnya paham betul bagaimana permainan tercela pihak-pihak di Malaysia terhadap para pendatang ilegal seperti dirinya, membuat ia tak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Maka dengan uang yang setahun lebih ia kumpulkan dengan susah payah, dengan menyisakan sepersekian dari “upah semu” yang ia terima setiap bulannya, ia pun bertekad melarikan diri dari tempat kerjanya itu. Ia bertekad untuk pulang, sebelum terlambat, sebelum datang aparat keamanan Malaysia untuk kembali menjebloskannya ke dalam penjara.

Suatu hari saat tengah malam, Pairan bergegas pergi meninggalkan kamp para pekerja perkebunan sawit yang ada di negara bagian Serawak itu. Ia mengambil jalur darat dengan melewati hutan-hutan dan melintas tapal-batas Malaysia-Indonesia melalui jalan tikus. Berhari-hari ia tempuhi jalan-jalan di tengah hutan hingga tiga hari kemudian sampailah ia di sebuah kota kecil di Propinsi Kalimantan Barat. Lega kini hatinya. Ia telah lolos sepenuhnya dari ancaman hukuman Pemerintah Malaysia yang selama ini senantiasa mengintainya. Dari kota itu, selanjutnya ia naik angkutan untuk meneruskan perjalanan menuju kampung halamannya di Pulau Jawa.

Tapi inilah sesungguhnya puncak derita yang menderanya selama ini: Sesampainya di rumah, perasaan rindu pada anak-istri yang sekian tahun ia pendam dalam-dalam di antara derita yang menderanya di negeri orang, seketika lenyap tanpa sisa. Harapan untuk bertemu keluarga yang sekian lama ia tinggalkan tanpa pernah saling berkirim kabar, kini porak-poranda laiknya kota-kota di Aceh yang dihantam tsunami. Ia dapati rumahnya tak lagi dihuni anak-istrinya. Rumah itu telah dijual enam bulan lalu. Ia dapati kabar dari beberapa tetangga: istrinya minggat bersama si calo yang dulu membuangnya ke negeri jiran, sementara dua anaknya merantau ke Jakarta. Seketika itu pula, langit di atas kepalanya serasa runtuh menimpanya. Hatinya remuk redam. Ia tak sangka, bahwa nasib buruk datang berantai-rantai, melilit-lilit hidupnya tanpa ampun.

* * *

Semenjak saat itu, hidup Pairan bermuram durja. Ia samasekali tak ingin mencari di mana gerangan istrinya berada. “Istri yang tak setia menunggu, tak layak untuk dipertahankan,” ia bergumam dalam hati, “biarlah ia hilang ditelan bumi. Sedikit pun aku tak sudi mencarinya. Biar ia pertanggungjawabkan semua ini kepada Yang Di Atas, karena Dia yang paling berhak menjadi Hakim bagi segala perkara manusia. Dialah Hakim yang seadil-adilnya, yang tiada sebiji zarah pun perkara manusia terluput dari Timbangan-Nya.”

Kini, ia tinggal seorang diri di sebuah gubug kecil di tepian sungai yang membelah desanya. Ia berjanji tak akan pernah kawin lagi. Hatinya telah hancur oleh penghianatan istrinya. Dan satu-satunya harapan yang masih tersisa di dalam dirinya adalah kedua anak lelakinya yang merantau ke Jakarta, dan hingga kini tak kunjung datang kabar-beritanya.

Kini, seperti dahulu lagi, Pairan kembali menjadi buruhtani, menjadi kuli-sawah. Ia mengabdikan sepenuh-hidupnya pada kehidupan bercocok-tanam, di sawah milik Haji Hamim, juragan yang dengan setia mempekerjakannya. Pairan dengan tekun mencangkul tanah, menyemai benih, menyiangi rumput, menabur pupuk, mengairi sawah, dan memetik hasil panen di sawah milik Haji Hamim itu. Haji Hamim terharu melihat ketekunan dan sekaligus nestapa yang bersemayam dalam diri Pairan. [ ]


Tepi Kali Bedadung, 20 Maret 2008

-----------------------------

Catatan:

aparat RELA : pasukan sipil yang direkrut pemerintah Malaysia untuk melakukan razia terhadap pendatang ilegal dan operasi yustisia lainnya di negeri itu.

permit : semacam pajak pendapatan yang dikenakan kepada pekerja asing.

toke : sebutan bagi pengusaha Malaysia keturunan China yang menjadi juragan para tenaga kerja asing di negeri itu.

jalan-tikus : sebutan bagi jalan setapak di tengah hutan Kalimantan di tapal-batas Indonesia-Malaysia yang biasa digunakan para tenaga kerja Indonesia untuk keluar-masuk Malaysia secara ilegal.

Minggu, Agustus 03, 2008

Buku [ + Kebebasan = Hidup ! ]

:. untuk para pecinta aksara dan kebebasan ekspresi


Karena buku dan kebebasan adalah darah dan nafasku..


Buku adalah sarana yang kepadanya kita belajar: kita mempelajari banyak hal-ikhwal kehidupan dari isi di dalamnya. Dengan begitu kita memperluas wawasan dan membangun pemahaman hidup. Bagi para cerdik-pandai yang menempuh jalan-jalan pengembaraan demi menggapai kebijaksanaan, buku yang paling utama (sebut saja: buku sejati) bukanlah lembaran-lembaran berisi barisan-barisan aksara yang disusun sedemikian rupa membentuk kata, kalimat, dan paragraf-paragraf. Buku sejati itu adalah alam semesta yang menampung totalitas kehidupan. Alam semesta adalah kitab pengetahuan yang paling komplit dan senantiasa membuka diri untuk dipelajari. Kepada buku sejati inilah mereka berusaha mempelajari segala hal-ikhwal kehidupan, karena, menurut mereka, aksara (baca: bahasa) takkan pernah sanggup menjadi perantara bagi kita untuk mempelajari kehidupan secara total. Aksara hanya menyajikan hal-ikhwal yang imanen (berada di permukaan semata) dan tak akan pernah menyentuh persoalan yang transenden (mendalam dan melampaui relitas inderawi).

Namun kebanyakan kita bukanlah jenis manusia cerdik-pandai yang mampu menggapai pengetahuan segala hal-ikhwal kehidupan dengan jalan belajar langsung kepada buku sejati itu. Bahkan untuk sekedar mempelajari hal-ikhwal yang imanen dari alam semesta ini secara langsung pun kebanyakan kita tak cukup mampu. Maka kita butuh buku dalam bentuk lembaran-lembaran di mana aksara disusun di atasnya oleh orang lain untuk menjelaskan penggalan-penggalan fenomena kehidupan (yang imanen) sejauh yang ia mampu pelajari dan jelaskan. Kepada buku jenis inilah kebanyakan kita mempelajari sebagian kecil hal-ikhwal kehidupan. Maka, dengan demikian, sesungguhnya kita mempelajari sebagian hal-ikhwal kehidupan (yang imanen) itu dari bingkai penglihatan dan pemikiran orang lain, yakni si penyusun aksara, dan bukan kepada sumber langsungnya: alam semesta. Ini berarti pengetahuan kita sesungguhnya hanyalah pengetahuan sekunder: pengetahuan yang diperoleh dengan meminjam dari pengetahuan orang lain – dengan segala motivasi, kekurangan, dan kepentingan di dalam diri orang tersebut, tentunya.

Demikian pula dengan diriku. Karena aku tak cukup mampu untuk belajar langsung kepada buku sejati, alam semesta itu, maka aku membutuhkan aksara-aksara yang disusun orang lain untuk mempelajari senoktah kecil hal-ikhwal kehidupan di dalamnya. Pun, dengan demikian, pengetahuan yang kudapatkan itu hanyalah pengetahuan sekunder; pengetahuan pinjaman.

Bagaimanapun juga, meski hanya sebuah sumber pengetahuan sekunder, aku menyintai buku dengan sepenuh hatiku. Aku cinta buku sebesar cintaku pada diriku; sebesar cintaku pada hidup dan kehidupan ini. Maka jumlah rupiah yang kubelanjakan setiap bulannya untuk buku acapkali selalu lebih besar dari yang kuhabiskan untuk makan dan jajan. Ini bukan berarti aku menelantarkan perut dan napsu makanku demi napsu pengetahuan. Namun lebih karena perutku memang tak pernah menuntut sebesar yang dituntut otakku. Sehari rata-rata aku hanya makan dua kali – bahkan kadang cuma sekali saja sudah kurasa cukup dan perutku tak menuntut lebih. Ini adalah indikasi napsu pengetahuanku jauh melampaui napsu makan dan napsu jajanku. Malah aku kadang bisa berpuasa (tak makan tetapi minum) seharian penuh namun aku tak pernah bisa untuk tak membaca buku bahkan dalam sehari saja (kecuali bila ada kesibukan lain yang tak memungkinkanku punya waktu bahkan untuk sekedar menyentuh buku, tentunya).

Aku menduga, kecintaanku pada dunia aksara yang telah tumbuh kukuh semenjak aku duduk di bangku Sekolah Dasar ini berakar pada kecenderungan pribadiku yang agak asosial. Sejak kecil aku memang kurang pandai bergaul. Teman-temanku terbatas di lingkungan sekolah dan masjid tempatku menimba ilmu agama plus anak-anak para tetangga di sekitar rumah tinggalku. Selain itu aku juga tak begitu suka bermain, kecuali bermain layang-layang di sawah dan mandi di kali saat masih kanak-kanak dulu. Maka sebagai kompensasinya aku melarikan diri pada aneka rupa bacaan. Semasa aku duduk di bangku Sekolah Dasar dulu bapakku, yang seorang pengajar di sebuah sekolah milik pemerintah, berlangganan majalah Kuncup (sebuah majalah anak-anak) untukku. Selain itu ia dulu juga berlangganan sebuah suratkabar dan beberapa macam majalah dewasa, dan, meski masih belum cukup umur, aku juga ikut-ikutan membaca suratkabar dan majalah-majalah itu. Bahkan aku kerap tenggelam ke dalam aneka macam bacaan hingga kesadaranku serasa lenyap – seperti orang yang mengalami trance oleh zat-zat sedatif yang ditenggaknya.

Namun kecenderungan ini membawa akibat yang bisa dibilang fatal pada diriku. Pengetahuanku jadi melampaui pengetahuan kawan-kawan sebayaku. Maklum aku tinggal di desa sehingga kebanyakan kawan sebayaku adalah anak petani atau buruh-tani yang umumnya jauh dari mengenal aneka rupa bacaan selain catatan dari guru dan buku bacaan di sekolah. Tragisnya kawan-kawan sebayaku itu umumnya juga tak suka baca. Maka saat berbicara dengan kawan-kawanku itulah, karena aku tak begitu pandai menempatkan diri dengan tepat, aku selalu mengumbar pembicaraanku pada soal-soal yang bersumber dari bacaan-bacaanku itu. Alhasil, kawan-kawanku pun pada bengong, tak paham pada hal-hal yang aku bicarakan; gak nyambung. Maka jadilah aku ibarat alien di tengah-tengah komuni anak manusia. Aku benar-benar merasa asing dengan mereka dan sebaliknya mereka juga merasa asing terhadapku. Dan lebih jauh lagi, karena efek keterasingan itu, aku makin suka menenggelamkan diri dalam aneka tema bacaan dan makin jarang bergaul. (Ini adalah semacam pelarian diri atas rasa keterasingan dan ketidakberdayaanku dalam bersosialisasi.) Perlahan tetapi pasti, kecenderungan asosialku makin menjadi-jadi. Aku seperti terperangkap dalam sebuah dunia yang samasekali berbeda dengan dunia kawan-kawan sebayaku; dunia imajiner teks aneka bahan bacaan; sebuah dunia di balik kaca, begitu mungkin perumpamaannya. Barangkali ini mirip nasib si kecil Simon dalam film Mercury Rising, atau nasib tokoh dalam syair tembang Glass Prison dan Solitary Shell milik Dream Theater, atau nasib Donna Williams seperti yang ia kisahkan dalam novel memoariknya, Nobody Nowhere. Fatal, bukan?

Balik ke soal kecintaanku pada buku. Ada satu hal yang menggembirakanku: kedua orangtuaku tak pernah segan-segan untuk mengucurkan rupiah demi rupiah kepadaku bila itu kumaksudkan untuk membeli buku. Ini amat kontras dengan sikap mereka berdua kepada adik lelakiku. Boleh dikata ibu-bapakku amat pelit bila adikku minta duit dalam jumlah besar untuk berburu kesenangan demi kesenangannya (yang sudah barang tentu bukan dalam bentuk buku, karena adikku fobia aksara alias anti buku atawa gak doyan baca).

Hal yang paling menyiksa terkait buku adalah apabila aku masuk ke toko buku untuk membeli satu-dua buku tanpa aku menetapkan sebelumnya buku apa yang hendak kubeli. Pokoknya asal aku ingin membeli buku maka aku datang berkunjung ke toko buku. Akibatnya di dalam toko buku itu aku pasti kebingungan menentukan buku apa yang musti kubeli karena di sana aku menemukan puluhan buku baru yang kesemuanya menarik dan inginnya kubawa pulang seluruhnya. Tapi tentu saja keinginan itu tak mungkin kuturuti karena jumlah rupiah yang ada di kantongku amat terbatas, hanya cukup untuk satu-dua buku saja. Alhasil, butuh waktu berjam-jam untuk menimbang buku mana yang paling perlu didahulukan untuk dibeli – selebihnya biar menjadi impian saja, atau akan kubeli di lain waktu bila sudah ada uang. Konyol, ‘kan?

Tapi sesungguhnya isi buku, atau kebanyakan isi buku, hanyalah reproduksi dari isi buku-buku lain, sebagaimana isi tulisan ini yang tak lain merupakan reproduksi dari isi beberapa tulisan lain, baik itu tulisan milik orang lain maupun tulisan-tulisan yang pernah kubuat sebelumnya – yang juga merupakan reproduksi dari tulisan-tulisan lain. Tak ada sebuah karya tulis, apa pun itu bentuknya, yang benar-benar orisinil. Tiap karya tulis senantiasa mengandung referensi, baik secara langsung (kutipan) maupun yang telah terekam secara lampau dalam memori otak – atau bahkan lebih jauh lagi berupa timbunan memori kolektif yang diwarisi secara turun-temurun sejak jaman purba (Archetype, dalam istilah Carl G. Jung) oleh – sang penulisnya. Maka Roland Barthes, seorang tokoh Post-Strukturalis Perancis, mendeklarasikan ”matinya sang penulis” dalam sebuah artikel pendeknya yang dipublikasikan pada 1968, The Death of The Author. Intinya: sumber otoritas teks bukanlah sang penulisnya, karena teks apa pun senantiasa berkaitan dengan – atau direproduksi dari – teks-teks lain. Tiap teks senantiasa berikatan membentuk mata-rantai atau jejaring imajiner dengan jutaan-miliaran teks lain yang ada di seluruh muka bumi. Maka, menurut Barthes, tiap teks bebas ditafsirkan dengan mencari keterkaitannya pada teks-teks lain. Dengan demikian, penulis tidak lagi ditempatkan sebagai sang penafsir tunggal atau orang yang paling paham dengan teks yang ditulisnya itu; maksud yang terkandung dalam sebuah teks tak bisa dimonopoli oleh sang penulis. ”Akibat sampingan” yang ekstrim dari pandangan Barthes ini adalah: apa yang disebut orang sebagai sebuah karya-pemikiran orisinil sesungguhnya adalah sebuah ilusi belaka karena setiap karya-pemikiran selalu dan akan selalu dipengaruhi dan atau berikatan-berkaitan dengan banyak karya-pemikiran orang lain. (Tentu tak semua orang bakal setuju dengan pandangan ini.)

Tapi bagaimanapun juga, biarpun sejatinya isi buku hanyalah reproduksi dari isi buku-buku lain, aku tetap suka dan cinta buku. Dan karena tiap-tiap buku, seperti disinggung dalam novel Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken karya bareng Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup, sesungguhnya membentuk jejaring atau mata-rantai imajiner dengan jutaan-miliaran buku lain di seluruh dunia, maka membaca sebuah buku akan menunjukkan kepadaku banyak buku lain yang belum pernah kubaca sebelumnya. Tiap pengetahuan baru yang kuperoleh dari sebuah buku akan menunjukkan kepadaku banyak hal lain yang belum kutahu di dalam buku-buku lain yang terkait. Begitu seterusnya rasa keingintahuan akan hal-hal baru itu beranak-pinak oleh tiap-tiap pengetahuan baru yang diusung oleh sebuah buku (selaiknya isotop Uranium-235 yang membelah secara sinambung dalam reaksi berantai di dalam reaktor nuklir). Dan dengan begitu aku senantiasa haus untuk memburu dan mendapatkan buku demi buku baru (untuk menebus rasa keingintahuan terhadap hal-hal baru itu). Dan, yang pasti, tanpa pernah aku suka membaca buku, akan amat muskil aku bisa menoreh tulisan demi tulisan yang sebagiannya kutempelkan di lembaran-lembaran ruang maya ini.

Buku, buku, dan buku..!

Begitulah. Aku menyukai buku setara besarnya dengan cintaku pada kebebasan dalam hidup ini. Aku selalu membaca buku di semua waktu luangku dan nyaris di segala tempat: di atas bus atau kereta dalam sebuah perjalanan, di terminal atau di stasiun sambil menunggu kedatangan bus atau kereta, di dapur sembari memasak, di ruang kuliah saat dosen asyik berkhotbah di depan kelas mendedahkan teori-teori, di atas kasur menjelang tidur, dan sebagainya. Membaca buku bagiku adalah sebuah kesenangan, setara dengan kesenangan berburu fesyen dan barang-barang baru bagi para shopping aholic alias penggila belanja. Bahkan bila hatiku sedang mendung alias sedih, buku adalah pengusir kedurjaan perasaan yang paling efektif dan efisien. Saat patah hati dan luruh asaku, sekedar berpikir untuk lari pada alkohol dan atau drug pun aku tak pernah; aku selalu lari pada buku. Berjam-jam kuhabiskan untuk mengembara menyusuri susunan aksara-aksara, beratus-ratus lembar halaman, hingga pedih dan serasa rabun mataku, hingga turun tensi kepedihan di hatiku. (hahaha.. kaciaannn dech aku..)

Buku paling kusukai? Di barisan depan tentu saja novel. Novel paling kugemari adalah genre Realisme-humanistik yang menggugah kesadaran dan perasaan, macam Laskar Pelangi-nya Hirata atau Kebangkitan-nya Tolstoi. Selain itu aku juga suka novel-novel spiritual – yang tak terbelenggu dalam formalisme tunggal agama, tentunya – seperti Shiddarta-nya Herman Hesse. Dan banyak lagi genre novel yang aku sukai dan tak bisa kusebut satu per satu di sini. Selanjutnya di barisan kedua dan seterusnya adalah buku-buku filsafat, psikologi, sejarah, budaya, ekonomi, sains dan teknologi, dan politik. Namun ada satu jenis buku yang paling tak kusukai, yakni buku agama yang hanya berkutat-bicara soal dosa-pahala, halal-haram, dan surga-neraka. Bagiku hidup bukan perkara dosa-pahala yang berujung pada neraka-surga dan bla bla bla… Hidup adalah kebebasan menggunakan kehendak dan pikiran (termasuk kebebasan berimajinasi) sebatas itu tak merugikan orang lain, tentu saja. Hidup adalah menyintai diri sendiri dan orang lain serta jagat kosmos seisinya, semampu kita tentunya. Begitulah.

Buku + kebebasan = hidup !

Tanpa buku, tanpa kebebasan, aku akan segan untuk hidup…[]

---------------


NB. Kau tak perlu menyangka adanya tendensi apa pun atas buku-buku yang kuserahkan padamu tempo hari kecuali bahwa karena kita sama-sama pecinta aksara dan penikmat buku. Dan terimakasih untuk semua pengertianmu: bahwa siapa pun berhak menyintai siapa pun, bahwa kau tak akan mengorbankan diri kepada siapa pun, bahwa kau tak akan pernah bosan walau kau bisa marah, bahwa kau senantiasa siap-sedia menadahi setiap tetes airmata dan luka yang mengucurkan perihku, dan semua kelembutan perasaanmu yang takkan mencadas bahkan oleh ketololan dan keangkuhan tersamar yang kuperbuat kepadamu tempo hari itu.


Mula Agustus 2008