Senin, Desember 22, 2008

cruel world

  • buat Ann

Tak ada lain hal yang terpikir olehku saat harus menulis dengan melibatkan namamu, kecuali ini: begitu lancang dan kelewat kurang ajar-nya diriku. Tapi tak ada hal lain yang dapat kuperbuat dalam kesendirian untuk tak menuliskan catatan ini; pikiranku terlampau lekat pada bayang-bayangmu.

Ya, Ann, aku membayangkanmu sedang dicekam kesendirian, biarpun kau katakan hujan membawa suara keindahan (betapa syahdu, ujarmu). Tapi tak dapat kita bohongi diri sendiri: Kesendirian, buatmu dan buatku, terasa amat menakutkan, seolah kita hanyalah jenis manusia terbuang yang mesti rela menelan pahitnya diabaikan oleh kehidupan. Kau tahu, betapa bertahun-tahun kupendam dendam dalam-dalam pada hidup, seolah ia adalah genderuwo yang telah menculik indukku. Bertahun-tahun kuhiburi kesakitanku sendiri, tak seorang pun ambil peduli, tak juga ibu dan bapakku, sembari kubohongi diriku sendiri untuk tetap percaya pada mahakasih tuhan, sembari tetap kupaksa diriku untuk jadi manusia yang penuh takwa. Tapi dunia nampaknya tetap tak hendak berdamai denganku, pun demikian pula aku terhadapnya meski telah kuhabiskan bertahun-tahun mengulurkan tangan untuk sebuah perdamaian abadi. Sekujur hidupku penuh luka menganga, tapi kehidupan seolah tak pernah ambil peduli, juga tuhan yang dipuja-puja setinggi langit tujuh itu. Kini tanganku yang mengulur bertahun-tahun, dan beribu-ribu kali ditampik kehidupan itu, telah kutarik. Tak ada lagi harapan buat adanya perdamaian saat kusadari bahwa tuhan dan dewa-dewa itu tak lebih dari ilusi massal umat manusia yang terkubang derita namun pura-pura mengerti akan hakikat hidupnya sembari masih mengais-ngais makna bagi keberadaannya di dunia yang bagiku tak ubahnya keranjang sampah ini.

Seorang serdadu Nazi-Jerman di medan Stalingrad menulis dengan perih kepada bapaknya, “telah kucari Tuhan di tiap celah dan jurang, di segala rumah yang dihancurkan, di setiap sudut, dalam diri setiap teman, di lobang persembunyianku, dan di langit. Tuhan tidak menunjukkan diri, meskipun hatiku menjerit-jerit memanggil. Rumah-rumah dimusnahkan, para lelaki itu sama gagah berani dan sama pengecutnya dengan aku sendiri, di bumi berkecamuk kelaparan dan pembunuhan; hanya Tuhan saja yang tidak ada. Tidak bapak, tidak ada Tuhan..” Tentu yang diharap si serdadu malang itu adalah munculnya keajaiban, sebagai bukti mahakasih tuhan. Tapi ia kecewa dalam luka yang menganga; pemujaan pada tuhan tak lebih dari sebuah waham bagi umat manusia. Perang tetap berkecamuk, dunia tetap dihelat dengan penuh derita dan sengsara, dan di tiap-tiap lembar sejarah peradaban selalu tertoreh amis bau darah dan busuknya bangkai manusia…

Manusia butuh sandaran dan pelarian bagi ketidakberdayaan yang melingkupinya, maka diciptakanlah berhala-berhala baik di hadapan tubuhnya maupun di dalam pikirannya; dan ia panggil berhala itu “dewa” atau “tuhan”. Tapi, ah, kenapa mesti membincangkan sesuatu yang absurd macam itu. Aku hanya ingin membagi sedikit sakitku padamu, Ann, dan mengambil sebagian sakitmu untuk turut kutanggung di punggungku.

Aku tak tahu kenapa kita mesti meng-ada di dunia ini dengan keadaan jiwa yang mengaus dan nampaknya ditampik oleh kehidupan. Orang akan mengatakan pada kita: rubahlah sudut pandangmu pada dunia dan kau akan dapati betapa indahnya hidup. Mereka tentu tak pernah tahu, telah kuhabiskan waktu bertahun-tahun mengamati dunia dari segala sisinya, tapi ia tak nampak berbeda dari sebelumnya. Sakitku makin perih, lukaku makin memborok, dan dunia makin terasa kabur dalam pandanganku kecuali sisi bengis dan sadisnya yang masih terlihat cukup jelas bahkan dalam mata yang terpejam. Kutahu, kau juga pernah, atau mungkin malah tengah, merasakan hal demikian. Tapi apa yang dapat kuperbuat untuk turut menanggungkan perihmu selain menceritakan padamu bahwa aku juga merasakan apa yang selama ini kau alami. Dengan begitu kuharapkan kau akan sedikit lega: tahu bahwa kau tak sendirian menghadapi kejamnya kehidupan yang tak kenal kata “damai” kecuali kita telah diuruk tanah – menjadi jenasah dan kemudian berubah jadi tanah pula.

Kadang aku berkhayal, andaikan saja nyawa dapat dileburkan satu sama lain dan membentuk kesatuan dengan kekuatan berlebih, mungkin akan kulepas nyawaku untuk melebur dengan nyawamu agar kau menjadi lebih kuat menghadapi hidup; aku sendiri biarlah musnah jadi debu dan terlupakan oleh kehidupan.

Di saat sepi begini, dalam kesendirian, tentu kau teringat akan mimpi-mimpimu di masa lalu: saat kita masih belajar berjalan tertatih-tatih, belajar berujar kata lewat lisan, dan belajar mengasup makanan dengan tangan sendiri, dan saat kita habiskan masa kanak-kanak dan kemudian beranjak remaja. Betapa indah mengenangkan apa-apa yang masih belum mampu kita lakukan. Tapi sayangnya, mimpi-mimpiku kini telah hancur berantakan, berserakan di sekujur masa dewasaku. Dan kau tahu, kupungut satu persatu serakan mimpi-mimpi itu dan kemudian kubakar menjadi abu, menjadi debu. Kini, tak satu pun impian bersisa di kepalaku; hanya serpihan-serpihan berhala yang masih melekat kukuh dan belum kuasa untuk kubersihkan tanpa sisa.

Tapi kuharap nasib mujur masih berpihak kepadamu, Ann, hingga kau tak kehilangan mimpi-mimpimu, juga sesembahan tempatmu menumpahkan segala kesah dan resah jiwa. Ya, kuharap peruntunganmu masih jauh lebih baik daripada aku, Ann. Dan kau masih bisa berjalan meniti kehidupan biarpun dengan langkah tertatih-tatih; aku sendiri telah berhenti melangkah, dan hanya ingin mengawasi langkahmu semata karena kaulah mungkin salah satu alasan aku masih bertahan dalam kehidupan. Bukan, bukan karena aku masih mengharapkan kau datang mengulur tangan padaku; ketika aku telah berhenti meniti langkah maka tak layak lagi aku mengharapkanmu. Kau bisa menjadi milik yang-lain, tapi apa salahnya bila aku menikmati kebersamaan dengan bayang-bayangmu, dalam sepi dan kesendirian di mana aku meringkuk tak berdaya.

Ya, Ann, aku masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayangmu, dan biarlah ia kunikmati sebagai penawar sepi, biarlah ia menjelma berhala yang akan kupuja dalam kesendirianku...

Ann, aku masih merindukanmu, dengan segala kefakiranku...

liangkubur, 21 desember 2008

- suatu saat kan kudekap rapat jiwamu, Ann…

Selasa, Desember 16, 2008

hidup seumpama buku

Hampir semua penikmat novel pasti kenal nama Sidney Sheldon. Tapi agaknya tak banyak yang tahu bahwa novelis masyhur itu, yang buku-bukunya jadi best-seller di mana-mana, pernah berniat bunuh diri. Dan itu terjadi jauh hari sebelum ia jadi pengarang tenar seperti saat ini.

Sang ayah, saat memergoki Sidney muda yang hendak mencoba bunuh diri, berkata: Sidney, aku tahu engkau tengah putus asa. Tapi tidakkah kau tahu, hidup tak ubahnya sebuah buku. Saat kau tengah mendapati kisah buruk di dalamnya, janganlah tergesa-gesa untuk menutupnya. Kita tak pernah tahu kelanjutan ceritanya hingga kita tuntas membacanya.

Dan Sidney muda pun mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.

Kalimat bertuah sang ayah itulah rupanya yang turut mengubah arah hidupnya. Kita bisa bayangkan, bagaimana bila Sidney muda tergesa-gesa menutup “buku”-nya sebelum menuntaskan hingga “halaman” terakhirnya, tentu tak akan pernah kita dapati namanya tertoreh di antara deretan buku-buku sastra berkelas dunia.

Dan bila hidup adalah sebuah buku, saya ingin buku itu adalah buku puisi. Karena, anda telah paham tentunya, puisi selalu menyimpan misteri di dalam dirinya; ia senantiasa menawarkan tafsir yang beraneka-ragam dan bebas kepada tiap penyimaknya –bukan seperti buku ilmiah yang baku, kaku, dan garing.

Ayah Sidney benar, hidup memang tak ubahnya buku…[]


senggama hujan

[what the hell uu app!]

Di luar, hujan tumpah meruah. Selaksa langit sedang menyenggamai bumi. Mengguyurkan segenap rindu dalam persetubuhan menderu-deru, bergolak penuh nafsu.


Kuhampiri tubuhmu kekasih, di atas ranjang biru

penuh rindu. Kukuliti tubuhmu dari busanamu

satu per satu. Kucumbui keningmu, pipimu,

bibirmu, dengan syahdu jiwaku. Kukecupi lehermu

bersemu merah. Kujilati buahdadamu dan sekujur tubuhmu,

dengan nafas menderu memburu. Dan kau mendesah

dirajah gairah, memerah. Lalu kau bimbing zakarku

masuk lembut perlahan ke dalam guagarbamu.

Engkau pun mendesah dalam tiap hentakan

pelan penuh nafsu. Juga aku. Kita hayati tiap

hentakan, tiap gesekan berlumur kenikmatan. Selaksa

tangan lembut sang ibu mengelus penuh kasih

tubuh si bayi. Lalu kau mendesah panjang, mengerang

mengejang, merapat memeluk tubuhku erat-erat.

Zakarku terlumat nikmat garbamu. Dan aku pun

menyusulimu dengan erangan kenikmatan, dengan

cairan kehidupan memancar memeluk dinding

peranakanmu. Hangat, katamu dengan syahdu.

Lalu kau lepas pelukanmu di bidangdadaku.

Mari kita ulangi sekali lagi, pintamu.

Mengapa tidak, jawabku.


Dan aku pun serasa lupa pada segala kesakitanku, pada semua sumpah-serapahku terhadap hidup –selaiknya tumpahan hujan mengobati dukalara pepohonan nan ranggas disiksa kemarau panjang.

Kau, masihkah peduli padaku?

dinihari 16 desember 2008

memelukmu eratlekat dalam khayalanku

kenapa kau begitu jauh tak terengkuh…


Jumat, Desember 12, 2008

tangisan hujan

:: show me the meaning of being fallen


Sore ini hujan tumpah tak terlampau deras. Tapi, selalu saja saya terobsesi padanya, seolah ia peri yang datang membawakan seribu mimpi kepada seorang anak manusia yang senantiasa dihimpit rasa sakit. Semasa kecil dulu, saya selalu tumpah-ruah di jejalanan desa, kadang bersama rekan-rekan sepermainan, kadang sendirian, membentangkan kedua tangan, menengadahkan wajah menantang langit, berkomat-kamit membuka-nutup mulut, mencumbui hujan... Selazimnya anak kecil, saya selalu tak peduli pada akibat dari segala perbuatan. Tak peduli sehabis berpuas diri berdekapan dengan hujan, tubuh akan diserang gigil, sering malah terserang demam berkepanjangan. Kepuasan, bagi anak-anak, mungkin lebih berharga bahkan dari sekedar nyawa sendiri. Maut seolah cuma bualan atau khayalan yang didongengkan para pesakitan dan lansia jompo, sementara kepuasan sungguh perkara yang tak bisa ditunda-tunda. Maka selagi badan sedang tak tergolek karena sakit, saya serasa tak ingin terpisahkan dari berdekapan dengan hujan. Saya selalu menunggui saat-saat menjelang turun hujan di selasar rumah, dan selanjutnya menghambur ke jejalanan begitu butir-butir pertama air hujan berlesatan menusuki tanah. Riang bak menyambut piala kemenangan, rasanya.


Tapi tidak lagi, semenjak saya menyadari bahwa diri bukan anak kecil lagi, setidaknya untuk sore ini. Tubuh dan jiwaku terasa nyeri, perih, bahkan saat dalam bekapan hujan...


Di senja kali ini, mataku berkaca-kaca, namun tetap kupaksa untuk menikmati hujan dari balik kaca naco jendela rumahku. Ada bulir-bulir air yang hendak tumpah dari dua kelopak mata, namun kucegah. Terasa ribuan bayangan masa silam, masa kecilku dulu, berhamburan satu per satu dalam ingatanku, selaiknya parade gambar (slide show) di layar komputer. Betapa aku terpesona pada mulanya. Namun pesona itu sedetik kemudian berganti kegetiran saat kusadari posisiku, siapa diriku, saat ini. Betapa manis masa silam, betapa remang hari sekarang. Ibarat harus membentang benang di antara puncak dan jurang, aku mesti kembali mendaki dengan hanya berpegangan pada sehelai benang yang nyata namun rapuh. Bila putus di tengah pendakian, aku akan makin terkubang di dalam jurang dan mau tak mau mesti mempersiapkan batu nisanku sedini mungkin. Begitulah, semenjak kecil kubangun mimpi-mimpi, bata demi bata, dengan telaten. Dan kau tahu, kini mimpi-mimpi itu runtuh perlahan, menimbunku, mengubur diriku dalam ketidakberdayaan.

Lalu aku menghambur ke luar menuju pekarangan belakang rumah. Kemudian kuambil posisi duduk berjongkok di bawah pohon kelapa, merasakan bulir-bulir air hujan yang menetes perlahan dari pepucuk dedaunan, membasahi sekujur tubuhku. Pandanganku tertuju pada segerombol pohon bambu yang dedaunannya mulai menghijau di musim penghujan kali ini, namun tatapanku kosong selaksa tak bersukma. Bayangan akan hari silam masih menyeruak memenuhi kepalaku. Makin pahit rasanya hidupku di senja ini biarpun sedang dalam dekapan hujan. Makin perih sakit itu, makin muak aku pada pilin-pilin takdir yang pelan-perlahan melumatkan hasrat hidupku.


di rembang petang aku menunggu hadirmu

sebait lagu tlah kupersiapkan buat menyambutmu

tak lupa kutitipkan sehelai suratku pada sekawanan kelelawar

barangkali mereka menjumpaimu di tengah perjalanan

mengarungi malam

takut bila kau tak lekas datang...


Hingga tanpa terasa senja telah meremang di ambang petang. Mungkin usiaku sendiri juga telah meremang petang, biarpun baru setahun kemarin rasanya kutiti masa remaja dengan perasaan gamang menatap hari depan. Kalaulah bukan usiaku, mungkin jiwaku yang terlampau cepat mengaus mendahului tubuhku karena terlampau banyak beban memberati hidupku. Oh ya, perlu kuberitahukan kepadamu, sedetik lalu telah kuputuskan untuk menghancur-leburkan puing-puing mimpiku yang telah rubuh itu dengan cara mengremasinya tanpa harus ada serangkaian upacara dan lantunan mantra serta doa, lantas kularung abunya ke laut lepas. Sebulan sebelumnya juga kuputuskan 'tuk melakukan hal yang sama pada sebuah berhala usang di dalam pikiranku yang sering kusembah dan kusebut “Tuhan”. Kini aku tak lagi punya apa-apa. Itu berarti aku juga bukan siapa-siapa lagi, di depanmu, juga di hadapan kehidupan. Aku, persis kata Chairil, “hilang bentuk, remuk!”


Maka inilah satu-satunya tempat kau dapat menziarahiku, mengenang impianku, sukacitaku, dukalaraku, kenaifanku, kelucuanku, kelancanganku, kesilapanku, dan segala yang pernah kutumpahkan dalam barisan aksara dan tanda baca, hingga kau bisa melupakanku dalam hari-harimu. Dan, bila kau sudi, cumbui arwahku yang nelangsa dalam tiap butiran hujan yang mengusap lembut keningmu, pipimu, dan bibirmu... Aku senantiasa ada dalam hujan, dalam tiap momen ke-jatuh-an...


ambangbatas 11 & 12 desember 2008

susah sungguh melupakanmu penuh seluruh

kau senantiasa ada dan manja...



Selasa, Desember 02, 2008

mati

Bisa jadi hidup ini memang tak lebih dari sekedar sandiwara, atau bahkan lelucon, belaka. Bila tidak, mengapa orang tetap tak kehilangan selera humor bahkan di depan tubuh si mati?

Di pekuburan, pagi ini, saat mengantarkan mayit seorang tetangga yang mati dinihari tadi, saya dan orang-orang seperti tak merasakan kengerian sama sekali. Puluhan orang malah nampak saling bersendagurau dalam kelompok-kelompok kecil di tempat yang dulu dianggap sakral itu. Saya sendiri tak urung juga ikut bergabung dalam salah satu kelompok, turut bersendagurau, juga bergelaktawa, sembari menunggu sekelompok orang yang menguruk si mayit di liang lahat selesai, untuk kemudian disambung dengan ritual pemanjatan doa bagi si mayit oleh seluruh hadirin dipimpin seorang tokoh agama setempat.

Ada apa dengan kematian? Saya sendiri tak tahu, sebagaimana saya tak paham apa sebenarnya makna dan tujuan hidup manusia di alam fana ini. Saya cuma berpikir, jangan-jangan memang tak ada yang sakral sebenarnya dalam hidup ini, termasuk juga dengan kematian. Kematian, agaknya hanya menyisakan duka bagi para anggota keluarga terdekat karena sebuah kehilangan. Bagi orang lain, serasa tak ada yang perlu ditangisi, atau setidaknya ditakuti, dari sebuah momen kematian.

Siti Jenar, si “waliyullah” yang didakwa “murtad” oleh Sunan Kudus dan penguasa Demak Bintoro di abad keenambelas itu, menyebut kehidupan sebagai “alam kematian”. Hidup sejati, dalam ajaran Jenar, adalah hidup sesudah kematian: Saat ruh telah terbebas dari penjara tubuh. Sebuah ajaran yang ganjil, tentu saja, bagi kebanyakan manusia.

Tapi ajaran Jenar memang tak bisa dipahami secara harfiah. Kita tahu, bahwa manusia, dengan tubuhnya, adalah seonggok materi. Dan setiap materi mengandung energi. Dan kita juga tahu, energi bersifat abadi (ingat tentang Hukum Kekekalan Energi). Energi tak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan; ia hanya bisa berubah wujud. Minyak yang dibakar menghasilkan kalori/panas, cahaya/api, dan zat sisa-sisa pembakaran. Demikian pula dengan kehidupan tubuh manusia. Tatkala tubuh mati, ada substansi yang terlepas darinya, yakni ruh, yang bersifat abadi. Maka, kematian, bisa jadi, memang tak ubahnya “berpindah alam” semata: dari alam material yang kasatmata menuju alam immaterial yang gaib adanya. Tapi bagaimana atau seperti apa hukum kehidupan di alam setelah kematian, tetap menjadi sebuah terra incognita, tak satu pun dari kita yang tahu pasti.

Namun setidaknya, bila mengingat segala penderitaan manusia adalah bersumber dari tubuhnya, maka kematian, momen saat ruh berpisah dari tubuh itu, memang tak selayaknya ditakuti. Ia bisa jadi justru momen indah yang mengantarkan manusia pada kehidupan tanpa derita (karena ketiadaan tubuh yang semula menyertainya).

Seperti di pagi nan cerah hari ini, sendagurau dan gelaktawa para pelayat di tanah pekuburan saat digelar prosesi pemakaman bagi si mayit tetangga itu, makin meneguhkan keyakinan saya bahwa kematian bukanlah momen sakral dan mengerikan sebagaimana dulu saya dapatkan gambarannya dari cerita-cerita buku agama.

Tapi bila benar kematian bukan lagi momen menakutkan, mungkin hidup ini sendirilah yang sebenarnya justru tarasa mengerikan.

Entahlah...[]


menangis

-hidup yang makin terasa absurd


Sebenarnya, saya ingin menangis untuk segala kesakitanku. Tapi aku ragu, sanggupkah airmata, dalam jumlah meruah pun, menghapuskan sumber segala laraku. Aku bertanya-tanya, layakkah hidup disebut sebagai sebuah anugrah bila yang ada hanya derita tanpa sudah. Masih patutkah hidup disyukuri, dan “Tuhan” diimani untuk selanjutnya disanjung-puji dalam tiap sembahyang serta untaian doa, saat yang tercecapi hanya pahitnya rasa di sekujur usia.


Membicarakan hidup, membincangkan “Tuhan”, dan menguraikan derita ke dalam kata-kata, mungkin hanya akan menghabiskan terlampau banyak energi yang sayangnya akan berakhir sia-sia belaka. Tapi hidup bisa jadi memang tak lebih dari menjalani segala kesia-siaan guna melupakan kesakitan kita yang akan makin terasa sakit apabila kita hanya berdiam diri laiknya berhala. Kau boleh bandingkan hidupmu, yang riuh dan hiruk-pikuk oleh segala rupa aktivitas, dengan hidup para pesakitan, para pengungsi korban keganasan alam atau peperangan, ataupun orang-orang yang terlahir lumpuh dan menghabiskan sepanjang hayatnya dalam ketidakberdayaan. Kau akan dapati betapa segala kesibukan tubuh dan pikiranmu, lepas dari betapapun absurdnya hidup ini sesungguhnya, membuat hidupmu masih jauh lebih beruntung: kau bisa melupakan kesia-siaan hidup ini dengan segala kesibukanmu; kau tak lagi sempat menyadari betapa hidup ini mungkin cuma sandiwara kosong belaka (Siddharta menyebut hidup sebagai kasunyatan atau kekosongan, dan belakangan dengan metode Quantum dan Relativitas dalam Fisika ditemukan bukti yang seayun-sejalan: dalam aras sub-kulit atom, apa yang kita sebut sebagai “ruang” dan “waktu” tak lebih dari sebuah ilusi indriawi-dan-pikiran (tubuh) belaka).


Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa di dunia ini mesti ada makhluk yang sanggup mengalami evolusi fisik dan kesadaran yang, sayangnya, pada akhirnya membuat dirinya merasakan betapa susah dan tak adilnya hidup ini? Menjadi binatang, tetumbuhan, ataupun bebatuan, bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi menjadi “binatang berkesadaran” (animal rationale, kata Aristoteles) adalah sebuah beban berat saat hidup tidak terselenggarakan di “surga” (terlepas seperti apapun persepsi kita tentangnya) melainkan di permukaan sebutir planet mungil (di antara benda-benda angkasa lain yang tak terbilang jumlahnya) dengan suasana yang menggetirkan dan dari hari ke hari makin terancam dan muram oleh tingkah-polah si “binatang berkesadaran” itu sendiri (dunia tak menjadi lebih buruk hingga muncul makhluk yang menakjubkan tapi sekaligus juga menyeramkan yang disebut “manusia”—si “binatang berkesadaran” itu).


Konon, menurut Sigmund Freud, penderitaan manusia datang dari tiga arah: (1) gerak-gerik alam yang tak sepenuhnya dapat ditundukkan, (2) tubuh yang memang fana, yang menjadi sumber kenikmatan sekaligus kesakitan, dan (3) hubungan dengan sesama manusia. Untuk yang pertama, sekedar sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita betapa ratusan ribu nyawa terampas putus oleh sapuan Tsunami di Aceh, dan ratusan ribu lainnya mesti melanjutkan hidup dalam nestapa dan trauma setelah keluarga dan harta-bendanya raib dengan cara amat mengerikan. Untuk yang kedua, segala rasa nikmat ataupun sakit hanya berasal dari tubuh, karena tubuh adalah satu-satunya media bagi segala pengalaman manusia (Heidegger menyebut manusia dengan istilah dasein—makhluk yang, karena tubuhnya, selalu ”ada-dalam-dunia”; Faucoult mengatakan bahwa tubuh adalah satu-satunya obyek bagi hukuman maupun represi). Selama masih hidup, tak satu pun manusia kuasa menghindar dari segala penderitaan yang bermuasal dari tubuhnya. Untuk yang ketiga, yang terkait dengan hubungan dengan sesama manusia, bisa dikatakan bahwa hubungan antar manusia, sepanjang sejarah yang kita ketahui, sama sekali tak bersih dari kesalahpahaman, penindasan, ketidakadilan, perang, dsb; singkatnya, tak bersih dari bercak noda dan darah. Makin banyak jumlah populasi manusia di muka bumi, makin rumit pula kehidupan ini bagi kita. Mengatur hubungan dengan dua orang, misalnya, tentu, bagaimanapun juga, akan jauh lebih gampang dibanding mengatur hubungan dengan dua ratus atau dua ribu orang (dan celakanya penduduk bumi saat ini telah melewati angka enam miliar!).


Kisah metaforis kejatuhan Adam dan Hawa yang diwariskan turun-temurun dalam kredo tiga agama arus-utama (Yahudi, Kristiani, dan Islam) setidaknya menegaskan bahwa hidup di dunia ini, tak lain dan tak bukan, memang “sebuah hukuman”. Biarpun tiga agama itu juga menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang paling sempurna, paling istimewa, yang jadi “wakil Tuhan di muka bumi”, juga memaklumatkan bahwa hidup adalah sebuah anugrah, tapi ketiga agama tersebut juga tak bisa dengan entengnya mengaburkan makna tentang kisah metaforis kejatuhan Adam-Hawa yang dituturkannya sendiri itu (barangkali memang tak ada kumpulan teks yang isinya saling menyanggah, saling bertolak-belakang, melebihi apa yang kita sebut sebagai “kitab suci”. Dalam hidup keseharian, kita dapati bukti bahwa agama bisa menjadi “madu” tapi dapat pula menjelma “racun”. Banyak kebajikan yang terinspirasi ajaran agama, banyak pula angkara-murka yang dilegitimasi oleh teks-teks agama. Tak ada yang lebih membingungkan daripada apa yang kita sebut sebagai “sabda Tuhan”. Entah, seberapa penting arti agama bagi manusia di abad ini, saya tak begitu tahu).


Baiklah, mungkin gagasan yang kuuraikan berjalan terlampau jauh. Tapi, ya, gagasan! Itulah kata kuncinya. Manusia hidup dengan gagasan yang beraneka ragam. Dan gagasan selalu bertautan dengan pengalaman dan pengetahuan. Sebagai makhluk bertubuh dan berkesadaran, kita memang tak bisa luput dari pengalaman dan pengetahuan yang mencetuskan gagasan. Dan segala rupa gagasan, tentang apapun itu, tak ada yang absolut—segalanya serba relatif, tak ada yang pasti, sebagaimana kemampuan manusia yang dibatasi oleh tubuh, dan seperti halnya dunia yang tetap tak ubahnya terra incognita, “area asing”.


Mungkin karena itulah, ajaran-ajaran kebijaksanaan dari Dunia Timur, semisal Budhisme, Zen, Tao, dan Sufisme dari berbagai agama, menganjurkan manusia untuk melepaskan segala gagasan, segala pemikiran, mengenai hidup, dan menyisakan bagi hidup ini hanya penghayatan semata: merasakan kebersatuan/kemenyatuan diri dengan semesta raya yang maha tak terkira agungnya, bahwa manusia yang teramat kecil dan lemah ini juga bagian tak terpisahkan dari alam semesta yang tak terpermanai besarnya. Tapi, lagi-lagi, di zaman penuhanan rasio, ditambah lagi tafsir konvensional monoteisme tiga agama arus-utama yang juga rasio-sentris, tidakkah ajaran-ajaran kebijaksanaan itu tak lebih dari pepesan-kosong belaka untuk dipraktekkan dalam hidup sehari-hari?!


Barangkali, saya sebenarnya hanya butuh menangis untuk segala kesakitan saya, tapi sayangnya saya tak jua kuasa untuk meneteskan airmata. Maka lahirlah gagasan-gagasan yang berlalu –lalang di dalam kepala ke dalam catatan ini. Kita, bisa jadi, memang cuma perlu tawa dan tangis sebagai wujud apresiasi bagi hidup ini, karena hidup memang serba ambigu, tak pasti! Ya, menangis, sebagaimana tertawa, bisa mengendurkan otot-otot psikis yang sedang menegang oleh beban hidup dan kesakitan.


Saya cuma perlu tertawa dan menangis, seabsurd apapun hidup ini terasa…[]