Minggu, Februari 22, 2009

obituari sebuah blog

- buat ann

Entah kenapa aku tiba-tiba merasa kangen untuk membaca tulisan-tulisanmu. Atau sebenarnya telah sejak lama aku kangen pada tulisan-tulisanmu namun baru sekarang aku mengungkapkannya lewat catatan ini. Ya, semenjak kau hapus blogmu beberapa bulan silam, serasa ada sesuatu yang terenggut dariku. Sejujurnya, dan kurasa kau telah tahu itu, aku adalah salah satu pengunjung rutin blogmu, pembaca setia catatan-catatanmu. Aku ingat kau pernah bilang dalam sebuah komentar anonim pada salah satu catatan di ruang ini: ngeblog akhirnya menjadi sekedar pamer tulisan. ingin dibaca. ingin dilihat. ingin dimengerti. ingin dikagumi. Itukah alasanmu mengakhiri keberadaan blogmu dan berhenti menulis? Ataukah, seperti pernah kau akui sendiri, karena tulisan-tulisanmu yang selalu emosional? Lalu apa salahnya dengan semua itu? Aku hanya suka membacai catatan-catatanmu, dan merasa kehilangan di kala kau telah memutuskan untuk mengakhirinya.

Aku tak pernah tahu bagaimana menulis yang ideal dan sempurna, menjadi penulis yang ideal dan sempurna, menjadi blogger yang ideal dan sempurna, tanpa sifat-sifat “negatif”. Sebagaimana aku juga tak pernah tahu bagaimana menjadi manusia yang ideal dan sempurna, tanpa sifat-sifat “negatif”. Kau bilang bahwa kau cacat, tak-sempurna; tapi adakah manusia yang tak-cacat dan sempurna? Aku hanya menganggapmu unik dan istimewa. Dan cerita-cerita yang kau suarakan dalam catatan-catatanmu adalah juga cerita-cerita milik banyak orang yang tak sempat dan tak sanggup menyuarakannya dalam tulisan.

Aku sendiri tetap menulis dan memposkannya di blog ini, dan aku tak tahu apakah dengan begitu aku sekedar pamer tulisan, ingin dibaca, ingin dilihat, ingin dimengerti, dan ingin dikagumi. Juga aku tak tahu apakah semua itu memang memalukan untuk terus dilakukan. Aku hanya ingin menulis dan menulis, lantas memajangnya dalam blog ini. Selebihnya, tak terlalu kupersoalkan.

Mungkin aku memang seorang grafomania, bukan manusia yang ideal dan sempurna; juga tak seistimewa kau yang mampu untuk terus berupaya membungkam segala yang tak-ideal dan tak-sempurna di dalam diri manusia.

Aku rindu cerita-ceritamu...[]

Sabtu, Februari 14, 2009

roman picisan

- karena cinta, konon, sebagaimana segala sensasi rasa, tak lebih dari tipuan kimiawi tubuh!

Seorang muda sedang duduk di sebuah bangku stasiun kereta sembari mengisap sebatang rokok kretek dengan khusyuk. Disedotnya asap beracun nan memabukkan itu pelan-perlahan, lalu dikeluarkannya lewat hidung, dan sesekali juga melalui mulut. Tatapan matanya lurus menyebrangi centang perenang rel-rel kereta di seberang peron dan terbentur pada bangunan gudang lusuh di dalam kompleks stasiun tua itu. Pikirannya seolah kedap dari riuh suara para calon penumpang yang bersliweran di sekitarnya. Ia nampak tak begitu peduli di mana saat itu dirinya berada. Juga ia nampak tak ambil pusing dengan pemandangan langit di pagi itu yang makin menghitam, pertanda hujan hendak tumpah dengan lebat. Mungkin pula rokok itu sesungguhnya tak begitu dinikmatinya biarpun ia nampak khusyuk bak orang sembahyang saat menghisap dan memuntahkan asapnya. Ia hanya sedang muak pada nasib yang melilitnya. Tersungging senyum getir di bibirnya saat bayangan sesosok gadis yang pernah dicintainya melintas dalam benaknya –setingkat di bawah senyum yang dipaksakan orang-orang yang saling kenal saat satu sama lain berjumpa tanpa sengaja di sebuah pasar tradisional.

*

Tak kurang setahun lalu, ia jatuh hati pada seorang gadis yang sebenarnya tak begitu dikenalnya. Tapi dalam soal cinta, hal demikian itu sama sekali tak aneh, apalagi ajaib. Orang saling jatuh cinta saat baru satu jam berselang mereka pertama kali saling bersitemu muka, sudah lazim terjadi. Orang bisa saja saling jatuh cinta saat mereka baru pertama kali bertemu di sebuah acara resepsi pernikahan kerabatnya, di mall, di terminal bus, di stasiun kereta, bahkan di atas kereta dan bus yang mereka tumpangi. Cinta pada pandangan pertama, begitu orang-orang bilang. Banyak yang hanya jadi “cinta sesaat”, tapi banyak pula yang berlanjut ke tahap pacaran dan jenjang pernikahan.

Tapi bukan jenis “cinta pada pandangan pertama” yang pernah dialaminya itu. Tak terhitung sudah puluhan-ratusan kali ia bertemu muka dengan gadis yang dijatuhcintainya. Hanya entah karena bersebab apa ia baru – atau justru tiba-tiba – jatuh hati pada si gadis. Kenapa tak sejak dari dulu, atau mengapa ia mesti jatuh cinta segala, begitu ia kerap bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Aneh ia merasakannya. Orang jatuh cinta pada siapa pun dan kapan pun bukanlah sesuatu yang aneh, tapi cinta itu sendiri tetaplah sesuatu yang aneh. Begitu ia dulu menganggapnya. Dan ia tak pernah bertanya pada siapa pun, apa sebenarnya yang disebut cinta itu. Juga, bila cinta dianggap sebagai prasyarat sebuah perkawinan, ia tak pernah bertanya pada kedua orangtuanya hal-ikhwal cinta. Ia hanya mengenal kisah-kisahnya, terutama yang disebut orang sebagai “kisah cinta yang tragis”, lewat guratan tinta para pujangga dan juga taburan cahaya sinematografi. Mulai kisah Layla dan Kais “majnun” gubahan Syeikh Nizami, Romeo dan Juliet karya Shakespeare, hingga Siti Nurbaya yang ditulis Marah Roesli. Juga kebanyakan novel dan film yang memang selalu dan selalu berkisah, atau paling tidak diselipi, soal cinta. Ia sadar betul, kisah hidup keseharian bukanlah cerita yang mendayu-dayu ala roman rekaan para pujangga, juga bukan kisah yang filmis. Tapi apa salahnya mempelajari kisah cinta melalui cerita-cerita rekaan, pikirnya. Toh imaji selalu berangkat dari realitas; rekaan adalah kelanjutan – atau anak kandung – kenyataan.

Gadis yang dicintainya bukanlah gadis ideal yang menjadi “idaman setiap pria” bila yang disebut ideal adalah seperti apa yang digambarkan iklan-iklan kosmetik atau kisah-kisah sinetron di televisi. Tapi gadis itu adalah gadis ideal baginya meski ia sendiri tak tahu apa yang ia jadikan tolok-ukur untuk menyebutnya ideal. Yang ia yakini adalah bahwa siapa pun perempuan yang membuatnya jatuh cinta, dia-lah yang ideal baginya –paling tidak, ideal baginya untuk saat itu meski ia sendiri sempat dengan naifnya mempercayai ikhwal “keabadian cinta”. Maka ia mulai mengguratkan pena, mengungkapkan sayup-sayup suara hatinya ke dalam tulisan-tulisan yang belakangan hari, setelah cinta di hatinya mulai pudar, ia baca kembali dengan pikiran terheran-heran. Cinta memang selalu menggoreskan kegilaan dalam pikiran, setidaknya bagi dirinya, begitu ia bergumam. Bahkan kala itu impiannya melambung setinggi awan. Ia bayangkan betapa akan bahagianya sisa hidupnya apabila ia bersanding dengan si gadis. Karena cinta duri menjadi mawar; karena cinta cuka menjelma anggur segar; karena cinta penjara tampak bagai kedai mawar; karena cinta setan berubah jadi bidadari; karena cinta batu cadas jadi lembut bak mentega, tulis Rumi. Karena cinta pula, ia nyaris kehilangan akal sehatnya dan jatuh gila.

Sesungguhnyalah ia tak banyak menghabiskan waktu bersama si gadis. Sepuluh jari di kedua tangannya sudah cukup untuk menghitung berapa kali ia bersidekat tubuh dengan perempuan itu setelah ia jatuh hati kepadanya. Tapi itu semua rupanya tak sanggup menghalangi rasa cinta untuk tak membiakkan kegilaan dalam pikirannya. Dan makin membiak kegilaan dalam alam pikirannya, makin dalam ia jatuh ke dalam “kegelapan cinta” yang membutakannya dari “alam kenyataan”. Perkara cinta memang tak beda jauh dengan perkara agama: makin dalam orang tenggelam di dalamnya, makin hilanglah pijakannya pada realitas. Maka baik cinta maupun agama memang tak ubahnya candu: nikmat, melenakan, melalaikan, dan – perlahan-lahan – membinasakan! Dan persis kebinasaan oleh candu, binasa atas nama cinta ataupun agama adalah cara binasa paling indah karena di sana terbentang cita-rasa surgawi yang menegasi segala kesengsaraan hidup. Sebagaimana ia pernah berkali-kali nyaris binasa oleh cinta, ia pun pernah sekali hampir binasa oleh agama.

Meski sadar kegilaan makin menyergap pikirannya, ia tak kunjung menghindar dari jerat cinta perempuan itu. Ia masih ingin menyintainya, masih ingin menenggelamkan dirinya dalam khayalan kebahagiaan hidup bersamanya. Hingga datanglah hari di mana pikirannya memberontak, sanubarinya meronta. Ia sadar, ia tak lagi kuat bertahan untuk menyintai seorang perempuan yang coba membagi cintanya entah kepada berapa lelaki. Bukan ia tak setuju dengan gagasan semacam poliandri; ia hanya tak sanggup lagi mencoba bertahan di dalamnya walau ia telah memaksa diri mencobanya, sebab sedari awal ia sebenarnya telah tahu bahwa perempuan itu sudah punyai kekasih.

Bangun dari kegelapan menuju arah di mana cahaya berada selalu menimbulkan ketegangan pada saraf-saraf di kepala karena retina mata yang butuh waktu untuk beradaptasi dengan keadaan. Maka demikianlah bangun dari kegilaan cinta menuju alam realita di mana rasa cinta mesti ditanggalkan, akan muncul tegangan psikis yang bagi sebagian orang terlampau berat untuk ditanggungkan. Sebuah gejala yang disebut orang sebagai 'patah-hati'. Dan memang, sebuah bandul yang diayunkan ke satu arah akan membutuhkan waktu untuk berayun ke arah di seberangnya – guna menegasi gaya-awal yang mengganggunya dari titik stabil – sebelum kembali mencapai titik stabilnya. Patah-hati adalah ayunan bandul ke arah kuadran di seberang kuadran cinta.

Rasa sakit berlebih yang nyaris tak tertanggungkan, bagi sebagian orang, harus dicarikan obat penawar. Florentino Ariza, lelaki dalam cerita Love in the Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez, barangkali akan menjadi contoh paling buruk bagi sebagian orang, dan menjadi suri-tauladan bagi sebagian lainnya, ikhwal mengatasi penderitaan akibat patah-hati. Lelaki pekerja rendahan di kantor syahbandar sebuah pelabuhan di Kolombia itu jatuh cinta kepada seorang wanita dari keluarga kelas menengah-atas, Femina Daza. Setelah melalui ikhtiar yang sungguh-sungguh, akhirnya gayung pun bersambut. Kedua insan itu pun saling berkirim surat-cinta. Namun, petaka datang saat ayah Femina mengetahui ikhwal hubungan mereka. Ia tak ingin anak perempuannya menjalin cinta dengan lelaki yang dianggapnya miskin itu. Hingga suatu hari, Femina Daza dinikahkan dengan seorang dokter yang pernah mengobatinya dan juga menyelamatkan kotanya dari wabah kolera. Bertahun-tahun menanggungkan sakitnya mencintai gadis yang tak diperkenankan menjadi kekasihnya, Florentino hidup diambang gila dan waras. Hingga suatu malam di atas kapal yang ditumpanginya, dalam cahaya lorong yang temaram, seorang wanita menyeretnya masuk ke dalam ruang kabin tempat ia menginap. Dalam kondisi setengah gila itu, Florentino diperkosa. Dan betapa akhirnya ia sadar, bahwa nikmatnya bersetubuh dengan perempuan membuat penderitaannya serasa lenyap. Ia pun akhirnya menjadi “petualang birahi”. Tak kurang tujuh ratus wanita berbeda ia jadikan 'obat penawar' sepanjang sisa hidupnya sebelum ia bisa bersatu kembali dengan Femina Daza di usia senja ketika suami perempuan itu meninggal.

Tapi kali ini ia tak ingin ikut-ikutan bertualang dalam imaji Marquez. Ia tak punya kesempatan ataupun bakat kepribadian seperti Florentino Ariza (atau jangan-jangan hanya belum saja?). Maka ia berusaha menempuh cara lain. Dan sekali seumur hidupnya, saat buku-buku tak lagi sanggup melupakannya dari sakit di hatinya, juga tatkala keheningan jalanan kota di malam hari tak kuasa lagi membuat senyap rusuh di benaknya, dan riap-riap air laut tak mampu lagi menghibur kesedihannya, suatu malam ia coba menenggak sebotol anggur. Mengendurlah saraf-saraf otaknya, lantas mengaburlah kesadarannya. Dan, yang terpenting, lenyaplah sakit di benaknya meski hanya berlangsung beberapa saat sebab ketika pengaruh alkohol dalam tubuhnya itu mulai memudar, kambuh kembalilah rasa sakit di benaknya. Tapi setidaknya ia sadar, dan coba sedikit berteori, bahwa sebagaimana segala sensasi rasa, nikmat-cinta dan sakitnya patah-hati tak lebih dari permainan kimiawi tubuh –yang berpusat di otak– semata.

*

Seorang gadis belia seumuran akhir belasan tiba-tiba mengambil posisi berdiri persis di samping tiang bangunan peron, terpaut hanya semeteran dari tempatnya duduk. Ia takkan sepenuhnya tersadar dari bayangan-bayangan hari silamnya yang berhamburan di kepalanya andai tak tercium bau parfum yang menyengat rongga hidungnya. Lalu sambil menandaskan batang kretek ketiganya pagi itu, ia pun sedikit mencuri-curi pandang pada gadis di depannya itu. Gadis belia itu mengenakan kaus ketat warna pink dengan dua bukit di dadanya yang tampak munjung serasa tak tertampung kuncung beha dan balutan kausnya. Sementara bagian bawah tubuh terbungkus celana jins selutut yang juga ketat hingga menampakkan postur paha hingga pinggang dan pantatnya. Kulitnya nampak halus dan hampir seputih umumnya orang tionghoa. Di betis dan lengannya nampak tumbuh bulu-bulu halus. Rambutnya hitam lurus sebahu. Bibirnya tipis berbalut lipgloss. Meski parasnya tak secantik wajah selebriti-selebriti papan atas, namun lekuk-lekuk tubuh dan keseluruhan posturnya yang nyaris sempurna tak urung bakal membangkitkan amuk-syahwat siapa pun yang tak sanggup membendung imaji pada kenikmatan onggokan-onggokan daging di balik busana pembungkus tubuh itu.

Saat kereta yang ditunggu-tunggu tiba, ia pun bergegas bersama puluhan calon penumpang lainnya. Dan entah kebetulan atau sengaja, entah naas atau sebuah keberuntungan, ia duduk persis berhadap-hadapan dengan gadis itu. Bayangan lekuk-lekuk tubuh serta lengan dan betis berkulit putih ditumbuhi bulu-bulu halus itu pun mengoyak-moyak ketenangan pikirannya. Telah ia usahakan untuk menggenggam kuat-kuat kesadarannya, namun tak urung ia kecolongan di sepanjang perjalanan di atas kereta itu. Khayalannya terbang bertualang, meninggalkan tubuhnya dan seluruh penumpang yang teronggok di gerbong paling belakang itu. Ia bayangkan andai saja saat itu ia berada di atas pelayaran laut, dan gadis muda itu menggodanya dengan isyarat-isyarat syahwat, ah... akan ia ajak masuk gadis itu ke dalam kabinnya, menguliti tubuhnya yang molek dan mencumbuinya dari ujung kaki hingga ujung rambut, membaringkannya di atas ranjang dan kemudian menyetubuhinya hingga tetes nafsu penghabisan. Dan tatkala kesadarannya kembali dari petualangan mesum itu, ada perasaan lain yang meyeruap di benaknya setelah amukan syahwatnya mereda.

“Turun mana, mbak?” ia bertanya pada gadis itu, berusaha membuka percakapan untuk melelehkan kebekuan di benaknya. “Kota S. Mas sendiri turun mana?” gadis itu balik bertanya. Dari raut muka dan nada suaranya, pertanyaannya terasa sungguh-sungguh, bukan sekedar basa-basi. “Turun kota J.”

Hening sejenak. Di luar, hujan perlahan mulai turun dengan deras. Kereta pun nampak sedikit berkurang kecepatannya, entah karena hujan atau lanskap tanah yang menanjak.

Gadis itu lalu mengeluarkan sebuah buku dari tas-punggungnya, sementara lelaki muda itu meliriknya. Nampak sekilas olehnya tulisan di sampul buku itu, sebuah novel berjudul Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Lagi-lagi kisah cinta, ia bergumam, kenapa orang-orang suka pada kisah cinta yang melankolis dan seringkali berakhir menyedihkan. Ia tahu pasti karena pernah membacanya. Novel itu berkisah tentang seorang perempuan Bali yang memberontak untuk keluar dari kungkungan sistem kasta agar bisa menikah dengan lelaki yang dicintainya dari kasta yang lebih rendah dari dirinya. Ia memang berhasil keluar dari belenggu adat-budaya moyangnya, menikah dengan lelaki pilihannya sendiri, namun harus merelakan namanya dicoret dari daftar keluarga besarnya di puri. Ia dan seluruh keturunannya juga dilarang menginjak tanah leluhurnya. Sebuah konsekuensi yang pahit, tentu saja.

“Suka novel, ya?” tanya lelaki muda itu. Gadis muda itu hanya tersenyum kecil. “Mas sendiri suka novel?” timpalnya. Ada desir-desir perasaan aneh di benaknya mendapati gadis muda itu menanggapi setiap pertanyaannya dengan sungguh-sungguh, juga sikapnya yang santun dan lembut yang mungkin sedikit kontras dengan gaya pakaiannya yang nampak seronok. Kemudian menjawab, “sedikit suka.” Entah bagaimana ia merumuskan makna kata “sedikit” padahal sejak dua-tiga tahun terakhir, semenjak bangkit dari "kematian eksistensial"-nya dan bersentuhan dengan karya-karya Amin Tohari, Pram, Ayu Utami, Tolstoy, dan terakhir Coelho, lelaki muda itu lebih banyak membaca novel daripada jenis bacaan apa pun yang bisa dijangkaunya. “Suka novel-novel cinta, ya?” kembali ia bertanya pada si gadis dan lagi-lagi hanya mendapati senyuman sebagai sebuah jawaban yang ditingkahi tempias air hujan di kaca jendela gerbong dan derit roda kereta yang berjalan terengah-engah. Dan rasanya makin tak karuan saja desir-desir aneh di dalam dadanya karena gadis itu.

Sejurus kemudian ia raih sebuah buku tipis dari saku tas-punggungnya. Panduan Merakit Radio Citizen Band (CB), begitu judul buku yang kini dibacanya dengan khusyuk itu. Sekali ini ia tak ingin menyimak kisah-kisah dalam novel. Juga ia bukannya hendak merakit sebuah Radio CB karena ia tahu betul kehadiran teknologi selular telah membuyarkan sebentuk impiannya di masa remaja itu sebelum sempat ia wujudkan. Ia hanya ingin menertawakan nasib, nampaknya. Atau mungkin bernostalgia dengan kenangan-kenangannya sebelum mengenal apa yang disebut orang sebagai “cinta”. Semasa duduk di bangku SMP bertahun-tahun silam, ia begitu getol belajar elektronika secara otodidak. Hari-harinya dihabiskan untuk berkawan dengan solder dan serakan papan PCB, transistor, resistor, kondensator, integrated circuit (IC), dan komponen-komponen elektonik berukuran mungil lainnya. Kini ia serasa ingin tertawa mengingat itu semua. Betapa lucu gurat-gurat takdir dalam hidupnya: dari seorang penggila elektronika di masa remaja berubah menjadi penggila novel di masa awal dewasanya –betapa ganjil, rasanya.

Kereta telah bergerak tak kurang lima jam lamanya, melintasi persawahan yang menghijau di musim hujan, pekarangan rumah-rumah penduduk di desa-desa, bagian belakang gedung-gedung pertokoan dan perkantoran serta gubug-gubug liar di perkotaan, dan tempat-tempat lain di sepanjang jalur yang dilaluinya. Dan setibanya di stasiun kota S, gadis itu beranjak bangkit dari duduknya dan menatap sekilas ke arah lelaki muda di depannya yang nampak tersipu itu sambil menyunggingkan senyum kecil tanpa berkata-kata. Lelaki muda itu pun hanya membalasnya dengan balik tersenyum sambil menatap lekat-lekat wajah gadis yang segera berbalik dan berjalan menuju pintu. Makin tak karuan saja desir-desir aneh di dalam benaknya. Bayangan sosok gadis muda dengan postur tubuh yang molek serta sikapnya yang nampak santun dan malu-malu, juga khayalan yang sempat membawanya mencumbui dan menggauli dengan penuh nafsu sekujur tubuh gadis itu, membuatnya tak urung terheran-heran pada dirinya sendiri. Dan perasaan aneh itu masih terbawa pada keesokan harinya saat ia bangun tidur di kamar kosnya yang terpampang poster ukuran jumbo bergambar pose sensual Dian Sastro dan Lindsay Lohan di dinding-dindingnya. Entah keberuntungan ataukah kemalangan mendapati perasaan seperti itu pada seorang gadis yang hanya ia kenal di atas kereta tanpa ia sempat – atau mungkin memang tak berani – bertanya nama, alamat, dan nomor ponselnya. Demikian ia bertanya-tanya. Hanya senyum dan suara si gadis yang keluar dalam beberapa patah kata percakapan serasa masih mengguratkan kesan mendalam di dadanya, serta bayangan bersetubuh dengannya dalam petualangan liar di alam khayali yang terus berkelebat di benaknya. Selebihnya, hanyalah kisah yang tak perlu diabadikan dalam catatan.

Namun sejak saat itu, ia sadar bahwa ia sebenarnya tak pernah sanggup menarik garis-batas antara yang-sakral dan yang-profan, antara jiwa dan tubuh, antara cinta dan nafsu...[]

-februari 2009

nb. happy fucklentine day, hahaha...


Selasa, Februari 10, 2009

Gio

Sejak kecil saya sering melihatnya di pasar desa. Ia lelaki malang yang terlahir dengan penglihatan yang sama sekali tak berfungsi, dan orang-orang di pasar juga menyebutnya “wong gendeng” (orang gila) karena akalnya yang kurang waras. Namanya Gio. Usianya terpaut beberapa tahun saja di atas saya.

Tiap pagi ia datang ke pasar dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping, lantas berkeliling dari satu ruko ke ruko lain, meminta sekedar uang seratus rupiah kepada para pedagang. Anehnya, meski dua matanya buta, ia selalu bisa mengenali uang logam yang diberikan kepadanya. Ia selalu menampik bila diberi uang yang bukan uang logam seratusan rupiah. Agak komikal mungkin kedengarannya, seperti halnya kisah Stevie Wonder yang juga seorang tunanetra. Suatu hari Stevie diperintahkan oleh gurunya untuk membantu kawan-kawannya yang tidak buta menangkap seekor tikus yang masuk ke ruang kelas. Dan siapa menyangka, Stevie-lah yang justru dapat menangkapnya, bukan kawan-kawannya yang berpenglihatan normal. Barangkali alam memang selalu memberikan kompensasi kepada orang-orang yang terlahir dengan tubuh tak sempurna seperti Gio dan Stevie.

Saat kecil dulu saya memang kerap diajak nenek berjualan di pasar. Nenek sendiri punya sebuah ruko yang terletak tak jauh dari pintu masuk pasar di sebelah timur. Setiap Gio datang, saya-lah biasanya yang diminta nenek untuk mengulurkan uang receh seratus rupiah. Dikumpulkannya uang-uang receh itu dengan telaten hingga terkumpul dalam jumlah ribuan. Bila mengingat itu terjadi belasan tahun silam, jumlah tersebut tentunya tidak kecil. Harga sekilo beras saat itu masih dikisaran limaratusan rupiah. Setelah berkeliling pasar, biasanya ia singgah di salah satu warung nasi yang ada di samping pintu masuk. Di sana ia membeli sepiring nasi dan segelas teh untuk sarapan. Satu lagi hal yang ganjil, meski pikirannya kurang waras, ia tak jarang menolak bila pemilik warung berkenan memberinya sarapan secara cuma-cuma. Ia bersikeras untuk membayar sarapannya itu. Ia hanya meminta duit dan bukan meminta sesuap nasi, begitu ia biasanya berkilah. Tak sedikit ibu-ibu di pasar yang menatapnya dengan pandangan iba, tapi ada juga yang memandangnya dengan jijik karena tubuhnya yang lusuh dan menebar bau tak sedap. Sejak merasa akrab dengan kehadirannya, kerap saya bertanya-tanya mengapa ia bernasib buruk seperti itu, terlahir dengan cacat tubuh dan sekaligus mental? Seperti apa rasanya menanggungkan hidup seperti yang dijalani oleh Gio itu? Dan kenapa hidup nampak berlaku begitu kejam pada seorang anak manusia?

*

Membicarakan problematika hidup sejatinya adalah seperti upaya mengurai benang kusut yang tak akan pernah tuntas sampai ajal keburu datang merenggut. Semenjak mitologi penciptaan Adam-Hawa diceritakan, sejak jabang bayi dilahirkan dari rahim seorang ibu, sejak itulah centang perenang benang-benang kehidupan mengulur dalam pola-pola tak beraturan yang dari hari ke hari akan kian kusut-masai.

(Tak salah kiranya bila Budha Gautama menyebut kehidupan sebagai “alam samsara”, juga Siti Jenar yang menyebutnya dengan terminologi “alam kematian”. Sementara Yesus mengatakan bahwa “kerajaannya tak berada di bumi”: sebuah ungkapan yang menyiratkan betapa kehidupan di muka bumi jauh dari kondisi yang diidealkan umat manusia.)

Maka bukan hal aneh bila seseorang tak pernah paham pada hal-ikhwal nasib yang menimpanya sebab memang kekusutan benang-benang kehidupannya berkembang melampaui kemampuan nalarnya untuk mengurainya. Tak ada satu pun manusia yang mampu memahami kehidupannya sendiri; selalu tersisa lubang hitam menganga yang tak pernah habis untuk dimengerti. Inilah barangkali yang disebut sebagai “Misteri Eksistensi”. Tapi untungnya, dalam menjalani kehidupan orang tak harus memahami hakikat eksistensinya –biarpun notabene ia dikaruniai kemampuan nalar oleh alam.

Dan sebab itulah, mungkin, orang seperti Gio tetap menjalani hari-harinya dengan tabah meski ia sendiri tak pernah bersentuhan dengan pemikiran eksistensial karena akalnya yang kurang waras, dan juga tak pernah menyaksikan riuhnya warna-warni kehidupan dengan matanya.

Atau jangan-jangan memikirkan hakikat eksistensi justru akan menggiring manusia pada kesenyapan hidup dan keterasingan akut seperti umumnya dialami para filsuf. Siapa tahu?!

Hidup untuk dijalani, bukan dipikirkan –sebuah ungkapan satir namun tak begitu salah kiranya...[]

Selasa, Februari 03, 2009

TBA

Kau masih juga tersuruk, terpuruk, melata di atas tanah. Meresapi hari, mengeja sepi, menyecapi mimpi-mimpi, sendiri. Tak ada kawan berbagi, hanya kicau burung-burung yang perlahan punah ditelan arus jaman. Kau rindu pada masa kecilmu saat kau bermain lelayang di sawah, atau mandi di kali bersama kawan-kawan sepermainan. Kini hanya sunyi yang kau punya, hanya pahit dan getirnya hidup yang kau dapati, di mana pun kakimu berpijak: di kota, di desa, sama tiada beda. Hanya satu buah yang kau petik dari semua ini: kau berhasil membuka mata dan pengetahuanmu bahwa tuhan adalah sebuah berhala dan agama tak lain perpanjangan mitologi belaka. Ya, kau lulus menjadi seorang ateis. Kau tak lagi membutuhkan figur tuhan sebagai tempat sandaran dan pelarian atas segala ketakmampuan diri, saat kau telah sadar bahwa hidup adalah serangkaian “proses-menjadi-nan-tak-berkesudahan”, tak ada awal tiada akhir; semua di bumi dan di langit bersatu padu menjalani evolusi nirmasa. Kau tak perlu lagi dihantui ilusi-ilusi dosa dan neraka, dan tak perlu lagi menyibuki diri dengan perhitungan pahala-surga. Kau hanya perlu tersenyum pada segenap kehadiran di hadapanmu, coba membangun kerendahan hati sebagai syarat mutlak mengarungi hidup-fana ini, tersenyum di hadapan sesama manusia, hewan, tetumbuhan, bebatuan, dan bahkan bila perlu juga pada nasibmu sendiri. Kau juga telah sadar: tak lebih tinggi dan tak lebih rendah derajatmu dibanding hewan, tetumbuhan, dan segala kehadiran yang ada di jagat ini; hanya sebagai sebuah kelanjutan proses evolusi semata kau terlahir sebagai seorang manusia dan berinduk pada dua orangtuamu.

Dan kau lega terbebas dari fantasi ketuhanan yang telah menjeratmu bertahun-tahun, biarpun hidupmu kini tetap melata dalam keterpurukan—anggap itu harga yang harus kau bayar sebagai penebusan!

Tak ada salahnya menjadi ateis, gumammu...[]