Minggu, Maret 29, 2009

nyanyi sunyi

Di suatu sore yang gelap, di mana langit tertutup oleh awan hitam yang mengandung berjuta-juta ton air dan siap tumpah ke bumi, seorang kakek tua berjalan pelan meyusuri lereng-lereng gunung dengan dua tumpuk kayu bakar diikat menggantung di kedua ujung sebatang kayu panjang yang ia pikul di pundak kanannya, dan sesekali dipindahkannya ke pundak kirinya ketika pundak kanan terasa letih. Kakek itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek warna hitam yang telah lusuh dan berlubang di sana sini karena usang diterjang usia. Nampak jelas kulitnya, dari kaki hingga wajahnya, berwarna coklat kehitaman—pertanda telah sekian hari bahkan sekian tahun terbakar terik matahari. Sesekali langkah kakek tua itu terhenti, bertetirah sejenak mengendapkan semua lelah di sekujur tubuhnya, juga letih di kedua pundaknya. Sebentar kemudian ia teruskan kembali ayunan langkah kakinya menyusuri jalan setapak menurun di lereng gunung itu. Sesampainya di sebuah kelokan, ia berhenti lagi. Kali ini diturunkannya beban yang menggelantung di pundaknya itu, kemudian ia mengambil posisi duduk bersandar pada sebatang pohon jati tua. Sejurus kemudian tangan kanannya mengulur meraih sebotol air yang ia selipkan di atas tumpukan kayu bakar di depannya itu. Air yang sengaja ia bawa sebagai bekal untuk mengusir haus yang kerap melilit dan mencekik tenggorokannya tatkala keringat mengucur deras keluar dari tubuhnya, baik karena terik matahari maupun oleh tenaga yang ia peras untuk memotong dahan-dahan pepohonan jati sebagai kayu bakar. Diteguknya air mentah yang diambil dari sumber mata air yang mengalir tak jauh dari gubugnya itu. Dua teguk air dirasa olehnya sudah cukup untuk membebaskan tenggorokannya dari rasa haus, toh saat itu hujan hendak turun sehingga cuaca tak terasa begitu panas. Kakek tua itu terdiam untuk sekian lama, duduk termangu—entah apa yang sedang ia pikirkan.
Menyadari ia yang sedang duduk tetirah bersandar pada sebatang pohon, aku yang berada tak jauh dari tempatnya segera beranjak menghampirinya. Kugendong di pundakku senapan angin yang sejak siang tadi kupergunakan untuk berburu burung di hutan jati itu. Lalu kuayunkan langkah kakiku ke arah kakek tua yang masih belum beranjak dari duduk tetirahnya itu. Kusapa ia:
“Selamat sore, Kek.”
Lantas aku segera mengambil posisi duduk di sampingnya, tanpa permisi kepadanya sebelumnya. Pikirku ini adalah hutan kepunyaan semua makhluk yang tak perlu aku meminta izin kepada siapa pun, termasuk kakek tua itu, untuk sekedar duduk bertetirah mengendapkan lelah di sekujur tubuhku.
“Selamat sore. Dari mana Kau, nak?” tanya kakek tua itu dengan tatap pandang lurus ke depan, seolah ia bicara pada kekosongan, atau bertegur kepada pepohonan di hadapannya, dan tiada nampak menaruh peduli pada keberadaanku di sampingnya.
“Tiada. Hanya sekedar berburu burung. Menghabiskan waktu senggang, mengusir penat yang menggelayuti pikiranku,” jawabku sesopan mungkin, sambil menolehkan pandanganku ke arah wajah kakek tua yang rambutnya telah dipenuhi uban itu.
“Kenapa kau habiskan waktu senggang untuk menghabisi nyawa-nyawa yang juga memiliki hak hidup sepertimu, dan semestinya kau taruh hormat kepada mereka?” dengan tenang ia lontarkan pertanyaannya itu. Sebuah tanya yang membuatku terkaget-kaget. Ada sebuah tamparan keras di dalam dadaku. Sejenak aku terdiam memikirkan pertanyaannya, juga jawaban yang hendak kuberikan. Lalu kulontarkan jawaban itu:
“Tapi binatang disediakan untuk kehidupan manusia. Malah sebagiannya disediakan untuk menjadi bahan santapan manusia. Sebagai sumber gizi dan tenaga agar manusia bertahan hidup tanpa harus memangsa sesama manusia seandainya tiada binatang yang boleh dimakan,” jawabku sambil menaruh senapan di tanganku ke atas rerumputan yang tumbuh liar di hutan itu. Lalu kembali kutolehkan pandanganku tepat ke wajah kakek tua di sampingku itu. Ada segurat senyum muncul di bibirnya. Senyum yang agaknya mengandung cibiran atas kata-kata yang baru saja kulontarkan kepadanya. Sejenak kemudian ia bereaksi, melemparkan tanggapan atas perkataanku yang ia dengar itu. Ujarnya:
“Tapi manusia tiada pernah kenyang dengan bahan makanan yang melimpah sekalipun. Perut manusia memiliki batas untuk menampung makanan, tapi keinginannya tidak. Kebutuhan manusia memiliki tapal batas yang jelas, namun hasratnya senantiasa menerawang jauh ke seberang lautan, juga melambung tinggi ke atas langit yang tak berbatas. Manusia dapat mencukupi kebutuhannya, namun tak kuasa menahan hasrat dan keinginan sendiri. Manusia senantiasa tetap butuh sesamanya untuk dimangsa agar ia tetap bertahan hidup. Dan tidakkah engkau saksikan, wahai anak muda, tiap hari darah manusia tumpah entah di banyak tempat, karena memperebutkan kesempatan hidup yang berlebih-lebihan, karena ia diperbudak oleh hasrat dan keinginannya, oleh nafsu berkuasanya dalam segala hal. Kalaulah itu tak dilakukan dengan menumpah darah, biasanya dengan cara menguras, menindas, memeras dan merampas, baik tenaga maupun hak-hak sesamanya. Sudah menjadi semacam kutukan alam ketika manusia hidup di antara manusia-manusia lainnya, maka di situlah terjadi saling mangsa memangsai, saling bunuh dan melukai, saling rampas dan peras—saling tumpas!.”
Kata-katanya itu disampaikan dengan suara yang bergeletar, laiknya sebuah gunung berapi memuntahkan lahar di perut bumi lewat lubang kepundannya. Sementara matanya menerawang jauh ke langit, seolah hanya di sanalah terdapat ketenangan, bukan di muka bumi yang dipenuhi angkara murka, penuh sesak oleh laku durjana manusia.
“Tapi bukankah ada serangkaian hukum, baik yang dicipta Tuhan maupun bikinan manusia sendiri, yang diperuntukkan mengatur hidup manusia agar tercapai kemaslahatan dan kedamaian di dunia? Agar kehidupan berada dalam keteraturan dan harmoni?”
Aku lemparkan pertanyaan bernada protes itu kepadanya. Kulihat ia masih menerawangkan pandangan ke langit yang mulai bergemuruh itu, pertanda hujan akan segera tumpah. Ia terdiam sekian detik lamanya, lantas mulai menanggapi:
“Hukum hanyalah rangkaian abjad yang tak memiliki kekuatan barang sedikit pun untuk mencegah apalagi menghukum kejahatan manusia. Ia adalah benda mati. Hukum membutuhkan manusia untuk menggerakkannya agar ia tak diam membisu serupa berhala. Sedangkan sasaran hukum tak lain adalah manusia itu sendiri. Lalu bagaimana bisa obyek hukum sekaligus menjadi pelaksana hukum, kecuali akan terdapat begitu banyak penyimpangan di dalamnya. Tak peduli itu hukum buatan Tuhan, lebih-lebih bikinan manusia sendiri.”
Kakek tua itu menolehkan muka kepadaku. Sementara aku hanya terdiam memikirkan kata-katanya yang sederhana namun menghentakkan kesadaranku akan segala apa yang selama ini kuyakini dan kupegang kuat-kuat. Serasa aku terlempar pada sebuah teritori asing yang tiada kukenali sejengkal pun. Aku merasa terasing oleh kata-kata yang baru saja dilontarkannya itu. Ujarannya yang sekelumit namun menggeletar, laiknya sesabet halilintar di petala angkasa yang sedang bermuram durja oleh awan hitam pekat.
“Tiadakah engkau saksikan hai anak muda, sejarah manusia sudah diwarnai pelanggaran hukum oleh Adam, sang manusia pertama itu. Yaitu ketika ia makan buah larangan di surga karena rayuan Hawa, isterinya sendiri, yang sebelumnya telah terbujuk oleh muslihat iblis. Tapi karena saat itu Tuhan masih memegang langsung kekuasaan atas hukum yang ia berlakukan bagi Adam dan seluruh anak cucunya kelak, maka Adam dan Hawa diusir-Nya dari surga dan diturunkan ke dunia dalam keadaan tercerai berai satu sama lain. Tatkala Adam dan Hawa berjumpa kembali dan kemudian beranak-pinak di dunia, kekuasaan atas hukum sudah tak lagi dipegang oleh Tuhan. Manusia dititahkan untuk mengurusi dunia dan dirinya sendiri, termasuk memegang kekuasaan atas hukum yang diberlakukan bagi dirinya sendiri. Sejak saat itu hukum tak lagi lurus. Ia menjadi bengkok karena sifat dasar manusia yang selalu mencari keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan hak orang banyak. Hukum bisa dijalankan secara lurus tatkala ia berada di tangan segelintir orang-orang terpilih, terutama para utusan Tuhan. Selebihnya, ia hanya menjadi alat penindasan pihak yang berkuasa terhadap orang banyak yang berada di dalam kekuasaannya. Sejarah manusia dipenuhi oleh penyimpangan hukum, tak peduli buatan Tuhan, pun bikinan manusia sendiri. Di sana darah tertumpah di mana-mana. Dan keadilan, juga kemaslahatan, yang dicita-citakan umat manusia tak kunjung terwujud, kecuali hanya sekejap mata tatkala datang para utusan Tuhan dan tampilnya segelintir orang-orang berjiwa mulia. Sebaik dan sesempurna apapun hukum, ia harus berhadapan dengan tabiat manusia yang cenderung gila kuasa. Kesempurnaan dan kemuliaan hukum akan menjadi naas di tangan kebanyakan manusia.”
Kakek tua terdiam, sejenak kemudian menoleh ke arahku. Tangannya mengambil sebotol air sisa yang telah diteguknya tadi, kemudian menawarkannya kepadaku. Berkata ia:
“Minumlah, barangkali engkau haus. Ini air yang mengalir dari sumber mata air di lereng, dan belum tersentuh oleh api.”
Kuulurkan tangan kananku mengambil sebotol air itu dari tangannya, lalu kuteguk sekali dua untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Ada kesejukan mengalir perlahan dari tenggorokan menuju rongga dadaku dan berakhir di dalam perutku—kesejukan siraman air bumi itu.
“Lalu apa guna manusia hidup di dunia ini kalau ia tak bisa keluar dari situasi kehidupan yang berdarah-darah, penuh penindasan dan perampasan, sementara hukum hanyalah benda mati yang butuh bantuan tangan manusia untuk menggerakkannya guna ditegakkan di tengah umat manusia sendiri? Tidakkah ini sebuah lelucon berlebihan yang Tuhan ciptakan di pentas dunia fana ini?” tanyaku sambil menyerahkan kembali sebotol air kehidupan itu. Ia ulurkan tangan kanannya menyambut botol air dari tangan kananku. Sejenak ia terdiam, menunduk menekuri tanah berumput hijau lebat yang ia duduki, kemudian berujar:
“Ya, ada benarnya kalau engkau mengatakan hidup ini adalah sebuah lelucon. Dan itu berarti Tuhan memiliki selera humor yang manusia tiada mampu menandinginya. Tapi sayangnya lelucon bikinan Tuhan adalah sebuah tragedi bagi umat manusia, karena di dalamnya manusia saling bunuh, saling tindas dan saling memangsa satu sama lain. Dan selera humor Tuhan tiada lain adalah jalan tragika bagi manusia, juga segala makhluk di muka bumi ini. Tapi aku tak menganggap hidup sesederhana itu. Tentunya dunia lebih dari sekedar panggung sandiwara. Dan Tuhan menciptakannya tak sekedar dengan selera humor semata.”
Suaranya mulai terdengar parau di telingaku. Mungkin karena menanggungkan beban letih di tubuhnya. Seolah ia sebuah perahu yang telah mengarungi ribuan mil perjalanan melanglang samudera, menderita pukulan berjuta gelombang dan mulai oleng oleh sapuan badai. Terlihat ia berjuang keras mengumpulkan tenaga dan pikirannya, kemudian menyambung kata-katanya:
“Dunia dicipta oleh-Nya dengan penuh kesungguhan, sekalipun mungkin nampak olehmu sebagai lelucon. Ada begitu banyak rahasia yang tersembunyi dan tetap tinggal sebagai misteri di balik tabir kehidupan ini. Sebagian telah dibukakan-Nya lewat sabda-Nya sebagaimana tertulis di Kitab Suci yang dibawa oleh utusan-Nya, yakni para nabi. Sebagian lagi diserahkan pada akal manusia untuk membukanya sendiri. Untuk itu manusia dibekali akal pikiran. Namun demikian, misteri itu tiada pernah tertuntaskan oleh akal manusia, sekalipun telah berusaha digali ribuan tahun lamanya. Dan soal ini janganlah engkau tanyakan lebih jauh kepadaku. Tiada sanggup aku menjawabnya.”
Aku diam terpaku mendengar dan memikirkan untai demi untai perkataannya itu. Kukumpulkan kesadaran pikiranku untuk menyimak kata demi kata yang terucap dari mulutnya itu. Kemudian aku bertanya:
“Lantas apa kiranya yang membuatmu menjauh dari keramaian manusia, menepi dari pagan kehidupan dan menjalani hari demi harimu seorang diri di tengah rimba pepohonan dan satwa ini?”
Aku melihat ia kembali tertegun setelah kulemparkan pertanyaan tersebut kepadanya. Nampak ia seperti menanggungkan perih di kedalaman dadanya, berjuang untuk bertahan dari hantaman gelombang yang menerjang dinding batinnya. Mungkin pertanyaanku itu telah menghempaskannya pada sebuah jengkal kehidupan yang dulu pernah dilaluinya, di mana ada kepahitan di sana, seperti yang kini nampak di raut mukanya. Ada ingatan yang sengaja ia pendam dan hendak dilupakan, namun tanpa ia duga mencuat kembali dalam kesadarannya oleh secuil pertanyaanku tadi. Sejenak kemudian ia menjawab:
“Panjang ceritanya. Tiada sesederhana yang kaubayangkan. Kalau engkau ingin mengetahui alasan-alasan kenapa aku memilih menjalani hidup jauh dari keramaian, dan bukan hidup berkumpul dengan anak dan istriku, memadu kasih dengan sanak keluarga, dan membaur dengan masyarakat—yang tentu sebelumnya aku mesti menaruh kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan hukum dalam mengatur perikehidupan manusia.”
Ia menelan ludah setelah mengucapkan kalimatnya itu. Seperti ada kegetiran yang hendak ia telan kembali ke dalam tubuhnya, bersama air ludahnya. Sedetik kemudian ia menyambung kalimatnya:
“Hujan akan segera ditumpahkan oleh langit yang kelihatannya sudah lelah menanggung beban air sekian bulan lamanya. Segeralah engkau pulang, anak muda. Dan lain waktu datanglah ke gubugku. Akan aku ceritakan kepadamu alasan-alasan kenapa aku memilih hidup jauh dari orang banyak.”
Kakek tua itu mengakhiri perkataannya sambil perlahan beranjak dari duduknya. Ia angkat pikulan kayu bakar itu, dan kemudian bergegas pergi meninggalkanku, meninggalkan rimba tempat ia mencari bahan nyala api kehidupan. Tak lama berselang, rintik hujan mulai turun mengguyur pepohonan di hutan yang sedari tadi setia menunggu sumber penghidupannya itu. Aku pun bergegas menuruni lereng menuju ke tempat di mana sepedaku berada, tak jauh dari tempat di mana aku dan kakek tua tadi bercengkrama. Sejurus kemudian segera kukayuh sepeda itu melesat meninggalkan hutan, menuju jalan raya sekilo meter dari sana, dan segera kupercepat lajunya di jalan raya agar lekas sampai di rumahku.
-februari 2008

Tidak ada komentar: