Rabu, Februari 13, 2008

Sepiring Bersama...

Sekedar Penghantar...

Sejak awal kemunculan gagasan untuk menata kata demi kata, membariskan kalimat demi kalimat, dan menyusun paragraf demi paragraf, hingga menguntai membentuk sebuah karya tulis, saya diliputi keraguan: untuk apa karya tulis itu dibikin, dan akan saya publikasikan di mana nantinya?

Pertanyaan dan keraguan seperti itu sangatlah wajar adanya, mengingat saya bukanlah seorang penulis profesional, apalagi tenar, di mana banyak penerbit yang berebut untuk membukukan karyanya, dan pembaca setianya pun sudah tak sabar menunggu buku itu di lempar ke pasar.

Akhirnya saya tersadar, bahwa saya berada dalam dimensi ruang dan waktu di abad 21: sebuah era di mana berkomunikasi dan berbagi informasi dengan segenap penghuni bumi bisa dilakukan hanya dalam hitungan detik. Ya, saya hidup di abad internet. Saya bisa berbagi informasi dengan siapa pun di seluruh penjuru dunia tanpa ada hambatan apa pun. Ya, saya akan publikasikan tulisan-tulisan ini di internet. Dan sebagai penulis yang masih amatiran, saya tak perlu lancang untuk meminta imbalan apa pun dari siapa pun. Sebagai penulis (atau orang yang sedang belajar menulis, tepatnya) yang memendam cita-cita untuk menjadi seorang penulis besar (wuih, nyombong nih ye...) saya sudah mendapatkan imbalan immaterial yang besar nilainya ketika karya ini dibaca oleh khalayak, yakni kepuasan bathin! Saya belum pantas menerima imbalan materi, juga saya belum layak. Toh saya masih bebas ngeriwuki kedua orangtua dengan meminta ‘jatah’ bulanan buat makan, jajan, bayar internet, beli buku, dan banyak lagi. Yang penting saya tak menggunakan uang jatah untuk berfoya-foya dan hal-hal yang nirfaedah.

Dan terkadang saya menanyai diri sendiri, kenapa harus menulis? Untuk apa menghabiskan sekian banyak waktu demi menciptakan tulisan demi tulisan? Saya dengan lantang menjawab: dengan menulis saya coba menyelami kedalaman bathin sendiri, mengasah kepekaan dan estetika jiwa. Menulis membuat saya harus melakukan permenungan, menarik refleksi dari alam realitas ke dalam alam pikiran. Menulis adalah aktifitas kontemplatif, di mana manusia berakrab-akrab dengan diri sendiri, menjelajahi alam pikiran dan kemudian mengalirkannya dengan bantuan sistem bahasa. Konon, orang yang tak pernah merenung akan merasa terasing dengan dirinya sendiri, karena ia tak pernah bergaul dengan pikiran dan hati/jiwanya sendiri. Untuk itulah saya memilih untuk menulis. Menulis adalah seni dan olah jiwa. Menulis adalah melukis dengan perantara bahasa. Saya ingin bermesraan dengan jiwa dan pikiran saya. Saya juga ingin berbagi keindahan melalui medium tulisan, sebagaimana saya telah banyak mendapatkan keindahan (dan juga ketercerahan) juga melalui medium tulisan.

Akhir kata, tak ada pretensi dan tendensi apa pun dalam publikasi kumpulan tulisan ini, kecuali sekedar berbagi banyak hal dengan banyak orang, siapa pun dan di mana pun. Kalau dijumpai adanya suatu kesalahan sekecil apa pun di dalam karya ini, saya mohon permaafan yang tulus dan ikhlas. Setiap kesalahan, disengaja ataupun tidak, merefleksikan sebuah ketidaksempurnaan sang penciptanya, karena bagaimanapun juga saya hanya seorang manusia biasa (manusia kebanyakan; bukan manusia luar biasa, maksudnya), yang masih belajar berjalan, dan sesekali tertatih, dalam hidup. Saya masih terlalu muda untuk terbebas dari banyak kesalahan, meski menjadi tua tak menjamin bakal berkurangnya kealpaan diri. Tapi kedewasaan setidaknya membuka peluang lebih besar untuk tumbuhnya benih-benih kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup.

Selamat menyimak...

Penulis,

Wahyu Puspito S.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

menulis, mencerahkan. paling tidak bagi diri sendiri hehe

Anonim mengatakan...

menulis, mencerahkan. paling tidak bagi diri sendiri hehe