Jumat, Februari 15, 2008

Merenda Harapan di Negeri Seribu Bencana

Beberapa tahun terakhir ini Bangsa Indonesia sedang diuji kesabaran sekaligus kesadarannya. Berbagai macam bencana datang silih berganti, dan menimbulkan korban jiwa serta harta benda yang sungguh tidak sedikit jumlahnya. Bencana tersebut dapat kita bagi kedalam dua macam, yaitu bencana yang murni gejala alam dan bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia (human error). Bencana yang murni gejala alam seperti misalnya, tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, topan badai, dan angin puting beliung. Sedangkan bencana yang diakibatkan oleh kesalahan manusia antara lain banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kecelakaan transportasi, dan luapan lumpur panas.


Bencana yang datang bertubu-tubi tersebut sudah pasti membawa penderitaan teramat berat bagi bangsa ini, lebih-lebih bagi rakyat kecil yang dalam sehari-harinya mereka sudah susah payah mencari nafkah untuk hidup yang layak. Apalagi jika ditambah dengan krisis multidimensi yang sedang kita hadapi, timbulnya beragam bencana tersebut kian menjadikan penderitaan yang ditanggung oleh bangsa ini menjadi semakin berat. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, negeri yang digelari “zamrud khatulistiwa” ini kian jatuh terpuruk di titik nadir. Seumpama bangsa ini adalah sebuah bahtera besar yang sedang mengarungi luasnya samudera, di satu sisi kita menghadapi amuk gelombang yang menerjang bertubi-tubi dan membuat bahtera oleng, di sisi lain kita dihadapkan pada persoalan serius yang muncul didalam bahtera---masalah sosial, politik, ekonomi, dan masalah-masalah kenegaraan lainnya. Bahtera besar bernama Indonesia inipun berjalan terhuyung-huyung dan terancam tenggelam di tengah lautan.


Dalam setiap bencana yang datang melanda hampir selalu kita tergopoh-gopoh menghadapinya. Kita tidak pernah siap untuk mengantisipasi datangnya musibah, seolah-olah musibah itu baru pertama kali datang menimpa kita. Ironisnya lagi, kita tak pernah belajar dari setiap musibah yang telah kita alami. Seolah kita adalah bangsa yang sedang hilang kesadaran, sedang terbuai oleh kenikmatan dan juga kepahitan hidup, hingga tak lagi menyadari terhadap apa yang telah dan sedang terjadi atas diri kita sendiri. Atau mungkin kita menyadarinya namun hanya sebatas kesadaran panca indera saja, dan tak sampai menjangkau pikiran kita. Kita hanya menyaksikan timbulnya bencana dan merasakan akibat-akibatnya dalam kehidupan, namun sama sekali tak pernah berpikir tentang hakekat bencana tersebut. Kita tak pernah berpikir tentang apa yang ada di balik bencana, bagaimana bencana itu bisa terjadi, serta bagaimana seharusnya bencana dihindari. Lebih dari itu, kita tak pernah berpikir introspektif mengenai segala apa yang telah kita perbuat, dimana di dalamnya terdapat begitu banyak kesalahan dan kekhilafan yang menjadi penyebab beragam problema yang melanda bangsa dan negara tercinta ini.


Kunci dari kebangkitan negeri ini adalah dengan terlebih dahulu menemukan kesadaran manusianya yang hilang. Bangsa ini harus sadar bahwasanya segala bencana dan ragam problema yang sedang kita hadapi adalah buah dari perbuatan kita sendiri, bahwa badai yang kita tuai hari ini berasal dari angin yang kita semai tempo hari. Selanjutnya kita harus melakukan serangkain koreksi atas perbuatan kita agar di masa mendatang tak terulang lagi kesalahan dan kekhilafan yang pernah kita lakukan. Langkah koreksi itu tentunya harus diwujudkan dengan perjuangan dan kerja keras, agar tidak berhenti sebatas kata-kata di ruang diskusi, dan program-program yang tertumpuk di atas meja kerja.


Sebagai bangsa yang besar sudah sepatutnya kita berpikir arif, dewasa, dan bijaksana. Tak ada permasalahan yang timbul tanpa solusi untuk mengatasinya. Tak ada bencana yang melanda kecuali terdapat hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita petik di baliknya. Kesabaran dan ketabahan amat diperlukan untuk bertahan dalam kesengsaraan dan penderitaan, namun hendaknya jangan sampai membuat kita terlena. Tak jarang kesabaran diidentikkan dengan sikap nrimo (menerima dengan penuh kepasrahan) atas segala kehendak Sang Maha Kuasa, karena segala musibah dianggap sebagai cobaan yang semata-mata ditujukan untuk menguji kesabaran dan keikhlasan hamba akan segala kehendak Sang Penciptanya. Semestinya kita sadar bahwa cobaan itu tak hanya dimaksudkan untuk menguji kesabaran dan keikhlasan semata, namun lebih dari itu adalah untuk menempa kesadaran kita, sebagai peringatan akan begitu banyaknya kesalahan dan kekhilafan yang kita perbuat dalam kehidupan, dan pada akhirnya kita dituntut untuk memperbaiki diri dan tak mengulangi lagi kesalahan di masa mendatang.


Pengelolaan Negara yang carut marut, manajemen perekonomian yang amburadul, serta kebijakan-kebijakan yang hanya pro-kapitalis dan menafikan keselamatan manusia dan alam secara keseluruhan sudah saatnya dikoreksi. Rakyat sudah muak dengan perilaku para pemimpinnya yang hanya tebar pesona, kesana kemari dengan mengumbar senyum plus janji-janji manis, namun semua itu hanya berhenti pada ucapan dan sama sekali berbeda dengan apa yang dipraktekkan. Para petinggi Negara dan elit politik negeri ini harus memulai perubahan dan koreksi diri dalam menjalankan kehidupan bernegara. Orientasi kebijakan yang hanya memihak Kapitalis-konglomerat---yang hanya mencari keuntungan materi jangka pendek semata---harus diubah menjadi kebijakan yang memihak seluruh lapisan masyarakat dan ramah terhadap ekologi sebagai pendukung utama kehidupan manusia di muka bumi. Sumber utama dari permasalahan yang melanda negeri ini adalah keserakahan dan kerakusan manusianya yang hanya mencari keuntungan materi sesaat dengan mengorbankan keseimbangan alam. Kalau kita masih menghendaki alam mau bersahabat, maka kita juga harus memperlakukan alam semesta dengan bijaksana.


Belajar pada Jepang

Jepang adalah sebuah negara yang mampu bangkit dari puing-puing kehancurannya dan akhirnya berhasil meraih kejayaan. Kekalahannya dari pihak sekutu dalam Perang Dunia kedua dan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, membuat Bangsa Jepang benar-benar hancur dan berada di titik nadir. Namun kesadaran dan kemauan untuk memperbaiki diri membuat bangsa ini bangkit dan berjuang untuk mengejar kembali kejayaan. Hasilnya Jepang berhasil menjadi penguasa ekonomi di kawasan Asia.


Jepang merupakan Negara Kepulauan yang juga rawan bencana alam. Posisi geografisnya membuat negeri sakura ini kerap diguncang gempa bumi, tsunami, dan badai. Namun bangsa ini benar-benar sadar akan posisi geografisnya yang selalu di kepung oleh ancaman bencana alam. Kesadaran itu membuat mereka berpikir keras bagaimana caranya agar bencana alam yang melanda tidak menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi yang besar. Singkatnya, mereka berpikir dan berusaha meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana alam.


Untuk bencana yang murni gejala alam, di mana memang manusia tidak mampu untuk mencegahnya, maka sudah selayaknya kita belajar mengantisipasi dan meminimalisir jumlah korban baik korban jiwa dan harta benda sekecil mungkin. Sebagai contoh, dalam kasus bencana gempa bumi, daerah rawan gempa harus memiliki tata dan model bangunan yang tahan gempa ataupun bangunan yang terbuat dari material ringan agar jika runtuh menimpa penghuni didalamnya maka tidak akan menimbulkan akibat yang fatal. Dalam kasus bencana yang diakibatkan oleh faktor human error, disini faktor manusia memegang peranan mutlak untuk mencegahnya. Jika kita mampu memperbaiki kesalahan maka otomatis dengan sendirinya musibah itu tidak akan terjadi. Sebagai contoh, bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi adalah akibat dari pembabatan hutan secara membabi-buta. Jika penggundulan hutan dapat dicegah, dan keberadaan hutan dapat kita lestarikan maka dipastikan tidak akan ada lagi musibah banjir bandang dan tanah longsor.


Bencana alam merupakan fenomena yang lumrah terjadi di dunia ini. Hampir semua bangsa didunia ini memiliki ancaman bencana di negerinya masing-masing. Kearifan dan kerja keras dalam menghadapi bencana itulah yang membuat suatu bangsa bisa eksis dan berjaya. Sekali lagi, kita Bangsa Indonesia ini harus yakin bahwa masih ada secercah harapan di tengah-tengah terpaan musibah yang terjadi. Asal kita bersungguh-sungguh memperbaiki diri dan berusaha keras untuk bangkit dari keterpurukan, dan tak lagi bersikap ogah-ogahan, mulai saat ini. Karena masa depan ditentukan hari ini, bukan esok hari. Yakinlah, habis gelap terbitlah terang. Habis bencana, saatnya berjaya. [ ]


Wahyu Puspito S

20 April 2007


Tidak ada komentar: