Rabu, Maret 26, 2008

Bush & 4.000 Tumbal

MINGGU malam waktu Irak, empat serdadu Amerika menjemput ajal lewat ledakan bom, menggenapi jumlah mayat rekan-rekannya (yang meregang nyawa di Irak) yang sebelumnya “cuma” 3.996 menjadi genap 4.000—tak kurang, tak lebih. Sedangkan yang cedera—ringan dan berat—tak kurang dari 29.000 serdadu (KOMPAS 25/03). Sementara dari pihak rakyat Irak, hingga saat ini, konon lebih sejuta jiwa telah menjadi korban pertikaian sektarian semenjak invasi AS digelar di negeri 1001 malam itu, lima tahun silam—20 Maret 2003, tepatnya.

Di negeri Uncle Sam sendiri, suara rakyat menuntut diakhirinya penjajahan kian menguat. Barack Obama, kandidat capres dari Partai Demokrat, kini berada di atas angin karena salah satu program yang ia tawarkan dalam kampanyenya adalah mengakhiri invasi negaranya di Irak.

Sementara itu, di White House, mungkin saja Paman Bush sedang merenungi nasibnya sambil menggigiti kuku-kuku jemarinya karena harus menelan pil pahit berupa caci-maki rakyatnya yang telah mafhum dengan kebohongan telanjangnya; kebohongan yang dikreasi dengan amat ceroboh oleh dinas intelejennya (CIA) dan diotaki oleh “kartel kekuasaan”nya (yakni kaum hawkish)—yang dulu menyatakan adanya kepemilikan senjata pemusnah massal oleh rezim Saddam Hussein dan kemudian ditindak-lanjuti dengan invasi bertopengkan Operation Iraqi Freedom ke negeri yang sebenarnya sudah sekarat akibat kekalahan telak dalam Perang Teluk 1991 silam itu.

Tapi, bisa jadi, bagi Bush dan kaum hawkish di lingkaran kekuasaannya, jumlah 4.000 mayat serdadunya—yang meregang nyawa di Irak itu—bukanlah angka yang luarbiasa—dan tak perlu diinsafi ketragisannya. Karena Bush tahu, bahwa dulu ketika menggelar perang di Vietnam (1964-1973) jumlah serdadu negaranya yang tewas mencapai angka 58.000 jiwa—jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan jumlah serdadu yang menjadi tumbal kekuasaan Bush saat ini. Kehilangan serdadu sebesar itu, yang pada akhirnya memaksa para Yankee itu angkat kaki dan membiarkan kaum komunis Vietnam Utara menguasai seluruh daratan Vietnam, rupanya tak membuat Bangsa Hollywood itu kehilangan muka di pentas dunia. Dengan amat cerdiknya, ditutupilah kekalahan itu dengan dongeng tokoh Rambo; dongeng hasil kreasi para pekerja Hollywood, yang akhirnya berhasil menggalang opini publik dunia—lewat layar film—untuk tetap mengagumi kedigdayaan Amerika.

Barangkali pula, bagi Bush dan para kolega-kuasanya, angka 4.000 mayat Yankee itu masih teramat kecil bila dibandingkan keuntungan materi dan prestis yang telah dan masih akan ditangguknya dari bumi Irak dan juga seluruh belahan dunia. Minyak Irak, tentunya, sudah berada dalam kuasa para saudagar dari negeri Bush. Kontrak untuk rekonstruksi Irak ke depan, juga telah ditandatangani oleh perusahaan-perusahaan konstruksi AS. Tapi benarkah AS akan mengeruk keuntungan materi berlimpah-ruah sebagai buah dari invasi itu? Joseph Stiglitz, ekonom terkemuka AS peraih Nobel Ekonomi tahun 2001, mengalkulasi biaya invasi ke Irak itu akan mencapai tiga triliun dolar, seperti ia beberkan dalam buku terbarunya yang berjudul The Three Trillions Dollar War.

Maka, dengan cara seperti apa—dan dengan kompensasi berbentuk apa—biaya sebesar itu akan diganti (dari bumi Irak)? Cukupkah dari minyak dan kontrak rekonstruksi saja? Entahlah. Yang jelas, rakyat AS-lah yang kini mesti memikul beban biaya invasi yang samasekali tak kecil itu. Biaya tiga triliun dolar ditambah 4.000 mayat serdadunya sendiri yang sudah hampir pasti akan terus bertambah itu, ternyata tak kunjung membuat Bush dan kaum hawkish jera, sekalipun rakyat AS telah nyaris frustasi.

Akhirnya, saya hanya ingin melayangkan simpati dan empati baik bagi rakyat Irak maupun kepada rakyat AS yang telah menjadi korban kebijakan agresif dan destruktif rezim paranoid dan gila-perang George Walker Bush. Tumbal 4.000 nyawa serdadu AS dan lebih sejuta nyawa rakyat Irak itu adalah bukti dan sekaligus “saksi abadi” keculasan dan kerakusan rezim Bush. [ ]

25/03/2008

Tidak ada komentar: