Rabu, Maret 26, 2008

kecoa & (poli)tikus

HAMPIR setiap pagi, tatkala hendak membuang residu metabolisme di dalam perut, saya selalu dibuat jengkel oleh ulah puluhan ekor kecoa yang ‘berpesta-pora’ di dalam kakus. Mereka, para kecoa itu, mungkin memang sudah ditakdirkan untuk hidup di tempat-tempat nan jorok (dan jujur saja, WC di rumah kos saya memang agak sedikit kumuh—walaupun tak sejorok WC-WC umum seperti yang ada di terminal, stasiun dan tempat-tempat umum lainnya).

Kejengkelan saya pada kecoa-kecoa itu, nyaris sebanding dengan kejengkelan saya terhadap para pemimpin dan politisi-politisi kita yang gemar melakukan akrobat politik murahan. Tiap kali mendapati berita di media massa yang memuat riuh-rendah dan kegaduhan di pentas politik nasional, pikiran saya langsung ngeres—teringat pada ulah gerombolan kecoa di dalam WC rumah kos saya itu.

Malah ada yang bilang, panggung politik itu persis kakus, terutama WC umum. Keduanya sama-sama jorok dan menebarkan aroma tak sedap. Karena itu, tak mengherankan bila dulu ada seorang tokoh nasional yang coba-coba masuk gelanggang politik, dan setelah satu-dua tahun berselang ia keluar dari sana dengan citra diri yang belepotan aneka kotoran: tuduhan Bulog-gate, Brunei-gate, Aryanti-gate dan banyak gate yang lain lagi.

Pendapat (atau olok-olok, tepatnya) lain mengatakan bahwa politikus itu mirip popok bayi. Makin sering diganti, makin baik. Karena itu, dulu presiden pertama kita pada awalnya didukung oleh semua elemen bangsa karena kecemerlangan gagasan-gagasannya, terutama saat ia masih menjadi tokoh pergerakan nasional. Tapi, lantaran terlampau lama duduk di kursi kepresidenan, ia pun jadi lupa diri. Dari pribadi yang dikagumi oleh banyak tokoh-tokoh bangsa lainnya, ia berubah menjadi pribadi yang banyak menuai kritik dan bahkan antipati dari mantan rekan-rekan seperjuangannya. Ia berubah menjadi megalomania alias gila-kuasa. Kala itu, wapres-nya pun sampai mengundurkan diri karena ia dinilai telah melenceng jauh dari cita-cita awal berbangsa dan bernegara. Puncaknya, sang presiden itu dijatuhkan melalui serangkaian “kudeta gelap”—kudeta yang hingga kini masih belum jelas siapa sebenarnya otak/aktor-intelektual yang mendalanginya.

Demikian pula yang terjadi dengan presiden kedua kita, yang naik-tahta lantaran pintar dan lincah mendulang untung dari peristiwa “kudeta gelap” itu, nasibnya ternyata juga tak jauh berbeda dengan pendahulunya itu—kalau tidak justru lebih tragis. Setelah 32 tahun duduk manis di singgasana republik ini, ia pun dilengserkan dengan iringan suara caci-maki rakyatnya di seantero negeri.

Mungkin saja, dua presiden terdahulu kita itu memang tak begitu menyadari bahwa pemimpin/politisi memang tak ubahnya popok bayi: semakin lama tak diganti, akan kian jorok dan belepotan kotoran—menjijikkan!

Ah, saya terlampau ngelantur, barangkali ... (?)


26/03/2008

Tidak ada komentar: