Sabtu, Maret 22, 2008

Misteri Sebuah Kunci


Kemarin, seorang rekan dibikin pusing oleh sebuah kunci. Begini ceritanya:

Rekan itu datang ke rumah kos saya pada sore hari, kira-kira pukul 15.00 WIB. Nah, satu jam berselang, ia berniat untuk pulang. Tapi alangkah sialnya bagi dia, kunci sepedamotornya tiba-tiba raib entah ke mana. Dicarinya kunci itu di seluruh sudut rumah kos, tapi tak kunjung ditemukannya juga. Akhirnya saya pun ikut turun-tangan membantu mencarinya. Kami cari dengan teliti di setiap jengkal rumah, di kamar mandi, di setiap sudut kamar, di bawah karpet ruang tamu, di halaman depan, di bawah buku-buku, bahkan di seluruh saku baju yang dikenakannya. Hampir setiap benda yang ada di dalam rumah tak luput kami geledah satu per satu, tapi kunci itu tak kunjung ditemukan. Lebih empat jam lamanya kami mencari-cari kunci itu, laiknya bermain petak-umpet, tapi kunci tetap tak diketemukan. Saya pun berhenti mencari, sedikit prustasi dan juga geli. Rekan saya pun nampaknya juga merasa putus asa dan dilanda kejengkelan yang tak terperikan akibat kelalaiannya sendiri. Bayangkan, lebih empat jam lamanya dihabiskan untuk mencari sebuah kunci yang raib tak jelas rimbanya, dan hasilnya nihil. Kunci itu seolah-olah menjelma gaib dan misteri.

Dan inilah kisah yang menjadi inti dari misteri kunci itu:

Setelah lebih empat jam ikut mencari kunci yang raib itu, saya berniat untuk pergi membeli nasi di warung kaki-lima. Tapi karena melihat rekan saya itu sedang tergolek tak berdaya di ruang tamu (mungkin meratapi nasib yang menimpanya), saya jadi tak tega untuk meninggalkannya. Saya pun bergegas masuk kembali ke dalam kamar saya. Di dalam kamar, saya melihat ada satu buku yang tergeletak di atas kasur. Buku itu pun saya ambil untuk saya taruh di tempatnya semula. Dan alangkah terkejutnya saya, kunci itu ternyata ada di bawah buku tersebut. Padahal saya ingat dengan pasti, selama lebih empat jam pencarian, seluruh isi dan sudut kamar saya juga tak luput dari penggeledahan. Bahkan seluruh buku yang ada di dalam kamar itu seingat saya juga sudah digeledah satu persatu dan kemudian saya tata rapi di tempatnya semula. Setiap jengkal kasur juga tak luput saya geledah. Bagaimana bisa kunci itu tertindih sebuah buku yang cuma setebal 150-an halaman di atas kasur dan luput dari penggeledahan?! Saya jadi berpikir-pikir, apakah satu buku itu tadi memang benar-benar luput dari penggeledahan selama empat jam lebih, atau mungkin ada misterium yang menyertai raibnya sebuah kunci itu?

Begitu saya beritahu, rekan saya itu pun juga terkejut bukan main. Sepanjang waktu pencarian, ia juga sudah bolak-balik masuk ke dalam kamar saya dan turut menggeledah segala benda yang ada di dalamnya. “Ada yang gak beres ini, pasti!” katanya dengan penuh yakin, membuat bulu kuduk saya jadi berdiri. Apalagi saat itu adalah Jum’at malam. “Ah, paling-paling ya memang buku itu tadi luput dari perhatian kita,” saya coba meyakinkan dia dan juga diri saya sendiri, sekalipun sebenarnya saya tetap berpikiran bahwa ini semua memang benar-benar unbelieveable. “Tidak masuk akal samasekali !” sekali lagi rekan saya itu protes, entah kepada siapa. Dan saya hanya tersenyum geli sambil merenung-renung, memikirkan kisah sebuah kunci yang telah membikin akal-sehat manusia (akal-sehat saya dan rekan saya, khususnya) perlu dan layak untuk ditertawakan—karena ketololan yang bersemayam di antara kejeniusan di dalamnya. (Anda juga sudah tahu, mungkin, bahwa si Einstein itu selain manusia super-jenius ternyata juga orang yang super-pikun dan kadang malah nampak bak orang gila. Seringkali ia pulang dari kampusnya menuju arah yang berlawanan dengan letak rumahnya, sementara sepeda-onthelnya tanpa disadarinya kerap ia tuntun—bukan dinaiki.)

Ah, saya kini sadar, manusia memang seringkali dibuat tak berdaya oleh hal-hal kecil yang—dengan sengaja—dianggapnya sepele. Sesuatu yang kita anggap remeh-temeh acapkali justru menyembunyikan dan menyimpan sesuatu yang besar di dalamnya. Seperti-halnya seekor kuman yang bersemayam di dalam tubuh, ia bisa bikin kita lebih menderita dibandingkan seekor gajah yang mengamuk di pekarangan rumah kita (ha ha... mungkin saya terlampau mengada-ada...).

Tapi soal kisah kunci itu, bisa jadi tengarai rekan saya itu benar. “Ada yang coba membalikkan penglihatan indera kita,” katanya. Ada stranger yang terlibat, begitu mungkin maksudnya. Ah, entahlah... []


23/03/2008

Tidak ada komentar: