Selasa, Maret 18, 2008

rokok, korupsi, ‘em-en-si’

Semalam, saya tersedak oleh seremah tembakau yang menghambur ke tenggorokan dari pangkal sebatang rokok yang saya sedot lewat mulut. Saya jengkel seketika pada rokok kretek tak berfilter itu, sejengkel saya pada diri sendiri yang tak kunjung bertobat dari adiksi fisis dan psikis terhadap batangan nikotin jahanam itu. Saya tahu dengan pasti (lewat berita di koran, tentunya), di negeri ini tahun 2007 lalu saja lebih seratus triliun rupiah (sekali lagi: lebih Rp. 100.000.000.000.000,-) dibelanjakan masyarakat untuk beli rokok. Ya, untuk: R-O-K-O-K !!! Masyarakat itu tentu saja termasuk saya di dalamnya, sekalipun budjet rokok tiap bulan—dengan amat terpaksa dan berat hati—saya batasi agar tak lebih dari seratus ribu rupiah (Rp. 100.000,-). Tapi angka seratus ribu itu bukanlah nominal yang kecil bagi anak muda, yang belum becus cari duit sendiri, seperti saya. Apalagi saya bukan anak pejabat ataupun “putra mahkota” konglomerat, tentu duit senilai itu bukan main manfaatnya andai saja saya bisa mengonversinya untuk kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih penting dan berguna (significant others need, begitu kira-kira bahasa kerennya). Sekali lagi: seratus ribu per bulan. Itu adalah garis demarkasi yang saya bikin sendiri, dan haram hukumnya untuk saya langkahi—kecuali saya sedang ketiban rejeki dari langit.


Kalau saya tak salah ingat, bangsa kita ini adalah “pembakar duit” nomor tiga sedunia, setelah China dan Amerika. Ini adalah sebuah “prestasi” besar tentunya, karena India yang penduduknya empat kali lebih banyak dari kita ternyata masih kalah, masih di bawah kita. India juga kalah sama Amrik, tapi itu wajar mengingat bangsa sedulur Uncle Bush itu memang kaya raya—bahkan paling tajir sejagad raya. Lah, bangsa kita yang PDB perkapita-nya saja masih di bawah India, bisa mengalahkan negeri Bollywood itu apa bukan prestasi besar namanya? Kita adalah the great champion! Itulah prestasi agung yang layak kita pamer dan banggakan di forum-forum dunia selain prestasi agung lainnya, yakni jawara korupsi—nomor dua setelah Bangladesh. Dalam pertandingan di cabang korupsi, bisa jadi tahun ini kita akan merengsek dari posisi runner up ke tahta tertinggi; kita akan jadi juara sejati! The real champion !!! Kita akan permalukan negeri pecahan Pakistan itu, dan kita buat berdecak kagum dunia internasional dengan prestasi bertabur gengsi itu—kampiun korupsi! Itu semua tentu akan membawa manfaat buat kita, bagi bangsa ini, karena nama Indonesia akan dikenal dan dikenang oleh bangsa-bangsa di seluruh Planet Bumi.


Kembali ke soal rokok. Angka seratus triliun rupiah konsumsi rokok nasional itu sudah barang tentu akan digenjot habis-habisan oleh para juragan rokok dan juga pemerintah. Karena, dari angka seraksasa itu pemerintah juga ikut mendulang untung yang tak kepalang tanggung besarnya. Dari omset sebesar itu (lebih seratus triliun), para konglomerat penjaja batangan racun itu telah menyetor hampir empat puluh triliun rupiah ke kas APBN 2007. Sekali lagi: hampir Rp. 40.000.000.000.000,- !!! Sekalipun angka itu tak sampai separuh dari nilai cicilan utang luar negeri kita di tahun yang sama, yakni sebesar sembilan puluh triliun rupiah, bagaimanapun juga nilai itu sudah jauh berlipat-lipat besarnya bila dibandingkan total setoran pajak plus royalti dari Freeport dan Newmont bila digabungkan. Soal efek negatif, baik perusahaan rokok dan perusahaan tambang asing (MNC), keduanya sama-sama merugikan. Kedua sektor itu sama-sama membunuh secara perlahan-lahan—sekalipun dalam jangka pendek keduanya juga dirasa amat menolong keuangan negara yang kembang-kempis akibat manajemen pemerintahan yang amburadul plus maraknya epidemi “tikus” di seantero negeri. Asal tahu saja, perusahaan rokok kita sampai saat ini masih menjadi raja di negeri sendiri—maharaja, malahan. Saat ini, dua dari lima orang terkaya di negeri ini adalah juragan rokok—satu dari Kediri, satunya lagi dari Kudus. Layak-lah kita berharap, suatu ketika nanti bangsa kita akan menghuni posisi numero uno sejagad dalam tingkat konsumsi rokok. Kita akan libas Bangsa Hollywood dan juga Negeri Tirai Bambu (yang tirai bambu-nya kini mulai lapuk itu) seperti halnya dalam waktu dekat ini kita akan bikin Knock Out negeri miskin Bangladesh dari posisi juara I Korupsi. Yakinlah, we’re the champion !


Anjritt, kini mulut saya mulai meradang lagi minta rokok. Saya jengkel, saya jengkel... [siapa kiranya di antara rekan-rekan peselancar samudera maya yang punya tips-tips ampuh untuk membebaskan seorang perokok dari adiksi akut batangan jahanam itu, mohon sumbang sarannya, ya, please... saya tunggu, sungguh!] Saya jengkel, swear, saya tak membual ...

18/03/2008


3 komentar:

Lovely Dee mengatakan...

Berhenti ngrokok itu bisa diawali niat kuat dari dalam diri. Motivasi sekuat apapun dari siapapun klo dari dalam diri belum mau secara sadar dan konsisten berhnti tetep aja susah. Pertama, mungkin bisa mencamkan dalam pikiran ttg bahaya rokok dari A-Z. Yang kedua, rubah mindsetmu selama ini ttg rokok, ganti dengan yang dokter2 bilang. Yang ketiga, jaga niat, konsisten dan jangan tergoda. Cepet2 alihkan pikiranklo godaan merokok datang. Hehhehe, itu teorinya. Aq juga gak tau seberapa sulitnya, coz gak ngalamin sndiri. But, selamat mencoba.. Good luck!!

Okky Madasari mengatakan...

itulah kenapa pemerintah juga ga pernah berpikir utk melarang rokok...pendapatan negara gede banget! jadi kalaupun akhirnya tetep ga bisa berhenti ngerokok, anggap aja itu kontribusi mu untuk membangun negara...huahahaha

espito mengatakan...

ya itu diya masalahnya... serbasalah, serbasusah. merokok bisa merugikan kesehatan; tak merokok merugikan pemerintah. benar-benar simalakama...