Senin, Maret 10, 2008

Republik Bilbor


Dalam rentang waktu satu-dua tahun terakhir ini, sepengamatan saya, di kota saya yang kecil, Jember, bermunculan proyek pembangunan papan iklan berukuran raksasa yang melintang di jejalanan utama di dalam—dan sebagian lagi di periferi—kota. Ada tidak kurang dari sepuluh buah papan iklan super jumbo yang kini telah terpasang di ruas-ruas jejalanan utama kota. Untuk ukuran kota Jember yang skala luas dan tingkat keriuhannya tak sampai seperseratus ukuran Megapolitan Jakarta, tak lebih dari sepersepuluh ukuran Metropolitan Surabaya, saya kira jumlah papan iklan berukuran gigantik itu sudah luarbiasa.

Fenomena keberadaan papan iklan gigantik yang kian menjamur itu tak bisa terlepas dari makin menggeliatnya nafsu pertumbuhan ekonomi yang nyaris sepenuhnya bertumpu pada sektor industri yang umumnya juga berskala ukuran super besar—lebih-lebih dari segi kapitalnya. Pemasang iklan paling banyak adalah perusahaan rokok besar dan operator seluler. Dan memang dua sektor bisnis itulah yang kelihatannya paling menggeliat pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir ini, karena mencakup segmen yang teramat luas dan produknya telah menjelma menjadi kebutuhan primer hampir sebagian terbesar populasi bangsa ini.

Saya lantas bertanya-tanya, kalau di kota kecil macam Jember saja papan iklan berukuran super jumbo telah mencapai jumlah lebih dari sepuluh buah, lantas berapa jumlah papan iklan berukuran serupa dan yang berukuran jauh lebih besar lagi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya? Dan maklum karena saya belum pernah berkeliling Jakarta dan Surabaya, saya hanya bisa membayangkan bahwa jumlahnya sangat bisa jadi puluhan-ratusan kali lipat dibanding yang ada di Jember ini. Mungkin sekali wajah mega/metropolitan itu, seperti kerap terlihat dalam tayangan televisi, hampir sepenuhnya bercorak bilbor—kota bilbor.

Lantas apa kiranya yang menjadi motif utama pemerintah kota memberikan izin pembangunan papan iklan raksasa itu? Saya yakin semua orang sudah paham, bahwa satu-satunya alasan itu tiada lain adalah ekonomi, dalam rupa penerimaan pajak—salah satu tumpuan dan pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah. Berhadapan dengan uang, pemerintah kita, yang notabene lemah finansial (di samping rapuh kualitas SDM-nya) akibat maraknya korupsi dan kolusi di semua strata jabatan, sudah barang tentu tak mampu lagi untuk mengelak. Aspek keindahan pemandangan kota adalah urusan nomor belakangan, apalagi aspek keamanan dan kenyamanan para pengguna jalan—sudah barang tentu menjadi pertimbangan kesekian. Maka, tak perlu heran bila saja nanti, lima-sepuluh tahun menjelang, wajah kota-kota di Indonesia telah sepenuhnya bercorak bilbor—menjadi kota bilbor. Ruang-ruang publik (public spheres) di dalam kota akan berganti sepenuhnya menjadi ruang promosi dan ruang pamer. Dan ke manapun mata memandang, yang akan kita jumpai adalah rimba bilbor berisi mega-stimuli hasrat (meng)konsumsi. [ ]

10/03/2008

Tidak ada komentar: