Sabtu, Maret 08, 2008

Siti Jenar

Siti Jenar adalah sosok yang eksis di antara dua alam: sejarah dan legenda; kenyataan dan rekaan. Ia adalah putra semata-wayang Resi Bungsu, sang pemangku takhta kerajaan Cirebon Girang. Sebagai putra mahkota pewaris tahkta, Jenar justru tumbuh sebagai pribadi yang melawan tata aturan dan istiadat kerajaan. Ia jengah dan bosan tinggal di dalam keraton, dan lebih suka menghabiskan hari-harinya berkelana ke hutan-hutan dan ke pelosok-pelosok kampung untuk bergaul dengan sebayanya dan berdiskusi tentang pokok-pokok Ketuhanan dan kemanusiaan—inti ajaran agama. Maka sang ayahanda pun muntab pada tingkah polah anak satu-satunya itu. Ia marah besar. Jenar muda dianggap telah membangkang. Hingga pada suatu ketika, Jenar muda dipanggil menghadap sang ayahanda, dan kemarahan Resi Bungsu ditumpahkan dalam sebuah kata-kata kelam bertuah: kutukan. Jenar muda dikutuk menjadi seekor cacing.

Bertahun-tahun lamanya cacing jelmaan Siti Jenar hidup di tepian sebuah telaga, hingga datanglah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga—sepasang guru-murid yang juga merupakan para Waliyullah penyebar Agama Islam di tanah Jawa. Melalui tangan kedua orang itu, cacing jelmaan Siti Jenar dikembalikan menjadi sosok manusia utuh kembali. Jenar-pun kemudian diangkat menjadi murid dan diperkenalkan kepada pokok-pokok ajaran Islam.

Tapi Jenar adalah sosok “pemberontak” sejati, mirip Socrates. Ia selalu bertanya dan mempertanyakan aturan-aturan dan pokok ajaran baku agama, dan tak pernah puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan guru-gurunya, para Wali itu. Hingga pada titik kulminasi ‘pemberontakan’nya, ia mendeklarasikan sebuah paham agama yang disebutnya “Manunggaling Kawula Gusti”—serupa dengan “Ana Al-haq”-nya Al-Hallaj, sufi persia yang dihukum mati karena keyakinannya yang dianggap menabrak tradisi dan ajaran-ajaran baku dan mapan Agama Islam.

Serupa dengan nasib Socrates yang dipaksa minum racun oleh penguasa Athena, juga Al-hallaj yang musti mengakhiri hidup di tiang gantungan penguasa Dinasti Abbasiyyah, Jenar juga diancam hukuman mati oleh penguasa Demak Bintoro—pusat penyebaran Islam di tanah Jawa. Raden Patah, sultan penguasa kerajaan Demak, mengutus para Wali dan beberapa punggawa keraton untuk mendatangi dan ‘menginsyafkan’ si pelaku “subversif” itu—Siti Jenar. Bahkan mereka diperintahkan untuk membunuhnya apabila Jenar dinilai tidak mau bersikap kooperatif. Sebelum solusi final, yakni hukuman mati, ditempuh, para Wali sempat terlibat perdebatan panjang mengenai pokok-pokok ajaran yang saling berlainan pemahaman itu. Di akhir cerita, Siti Jenar bersedia menerima final solution para Wali, tapi ia tak ingin mati di tangan siapa pun. Maka ia pun menempuh jalan kematiannya sendiri. Dengan duduk bersila sembari memejamkan mata, ia melakukan ritual gaib yang dalam sedetik kemudian membuat nyawanya terlepas dari raga. Siti Jenar pun menggapai ajalnya tanpa perantara tangan siapa pun juga. Ia menjemput ajal dengan caranya sendiri. Konon, jenazahnya memancarkan cahaya putih berkilauan dan membuat para Wali akhirnya mafhum akan keyakinan yang ditempuh Siti Jenar selama ini.

#

Manunggaling Kawula Gusti” atau paham kemenyatuan manusia sebagai hamba dengan Tuhan Sang Penciptanya, dalam kacamata ajaran Islam yang baku dan konvensional dianggap sebagai sebuah puncak kedurhakaan manusia. Paham itu dianggap menyalahi dan keluar dari bingkai hukum syariat, dan melecehkan ke-Maha-an Tuhan yang samasekali mustahil untuk disamai oleh makhluk-Nya.

Tapi benarkah Tuhan yang dimaksudkan oleh manusia, juga Tuhan yang dimaksudkan oleh Jenar dan para Wali yang berbeda pendapat dengannya, adalah Tuhan dalam Entitas yang sesungguhnya—Tuhan dalam artian yang utuh dan sepenuhnya terpahami oleh akal-budi manusia? Di sinilah sebetulnya pokok yang terluputkan oleh pihak Jenar dan juga oleh para Wali yang berseberangan pendapat dengannya dan pada akhirnya berkehendak menghukumnya. Tuhan dalam jangkauan pemahaman nalar/akal budi/rasio manusia sudah barang tentu tak sama dengan Tuhan yang sesungguhnya. Pikiran manusia memiliki keterbatasan yang amat sangat dalam menjangkau wilayah ke-Tuhan-an. Pikiran dan pemahaman manusia hanya mampu menjangkau sedikit sekali sifat-sifat dan Entitas Tuhan. Sembilan puluh sembilan sifat Tuhan yang terjangkau oleh pemahaman manusia, sebagaimana termaktub dalam Asma’ul Husna di dalam Ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, hanyalah sebagian kecil dari sifat-sifat Tuhan. Itu berarti, Tuhan dalam pikiran dan pemahaman manusia tak lain dan tak bukan hanyalah setitik teramat kecil dari hakekat Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan dalam ke-Esa-an dan ke-Utuh-anNya sudah barang tentu tak terjangkau dan tak terpahami oleh pikiran manusia. Dengan demikian, Tuhan tak dapat dan tak akan pernah bisa ‘dilecehkan’ oleh siapa pun juga, termasuk oleh paham “Manunggaling Kawula Gusti” Siti Jenar.

Maka Tuhan yang dimaksudkan Jenar, juga Tuhan yang dipahami oleh orang-orang yang berseberangan paham dengannya, pada dasarnya adalah dan hanyalah Tuhan “yang tak utuh”. Tuhan yang sesungguhnya, yang Utuh dan Total, adalah Tuhan yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia—dan samasekali tak terdefinisikan. Dan paham “Manunggaling Kawula Gusti” sesungguhnya adalah sesuatu yang amat absurd dan mustahil, sebagaimana juga penghukuman terhadap Jenar juga adalah sesuatu yang absurd, karena Tuhan samasekali tak tergapai oleh manusia... []


08/03/2008


Tidak ada komentar: