Senin, Maret 03, 2008

Meler Seluler


Milenium ketiga ditandai adanya salah satu tren baru dalam rangka menghubungkan manusia melalui sebuah jalinan komunikasi instan dan realtime, yakni tren seluler(isme). Barangkali ini juga merupakan salah satu buah dari sebatang pohon kehidupan sekuler. Sebagaimana kita tahu, perkembangan yang lesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diawali dari benua putih Eropa sejak zaman renaissance dan segera disusul kemudian dengan enlightment era ratusan tahun silam, bisa dimungkinkan karena adanya pemisahan antara urusan agama dan perkara dunia, pembebasan nalar rasio dari ruang iman. Selama Abad Pertengahan—yang sering disebut sebagai darkness era—praktis akal manusia Eropa lumpuh terkungkung oleh dominasi buta iman/agama melalui tangan penguasa gereja. Singkat kalimat: tanpa sekulerisme, hampir nihil probabilitas dunia kita saat ini berada dalam era selulerisme.

Abad 21 adalah abad informasi dan komunikasi, slogan retoris bernada narsistis para pengusaha dan pakar Information Technology (IT). Dalam abad ini, setiap orang bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri suatu kejadian yang sedang berlangsung di belahan lain bola bumi. Di zaman ini pula, setiap orang dapat melakukan komunikasi dengan orang lain yang berada ribuan kilometer jauhnya semudah ia berbicara dengan rekan ngobrol di hadapannya. Maka aforisma klasik “dunia tak selebar daun kelor” baru menemukan bukti kebenarannya paling banyak justru di zaman ini, bukan di abad lampau. Di era IT inilah, dunia telah mengalami reduksi ruang dan waktu dalam tingkat amat menakjubkan (atau malah mengkhawatirkan, seperti kata para filsuf kontemporer macam Baudrillard cs?). Dan selulerisme adalah salah satu jalan dan metodenya—selain virtualisme (televisi dan internet).

Di abad seluler ini, nyaris semua orang tanpa kecuali (minus yang kere alias miskin mutlak) tenggelam dalam pusaran gelombang sinyal telepon genggam seluler alias ‘hape’. Bukan hanya orang kota saja yang saat ini dapat menikmati layanan seluler, karena menara BTS operator seluler juga sudah bertebaran di pelosok-pelosok desa bak jamur di musim hujan. Sedangkan harga sebiji ponsel kelas low end, kini tak lebih mahal dari harga sekarung 50 kg beras kualitas paling jelek. Maka tak heran bila di pasar desa saya, ada salah satu operator pendatang baru di negeri ini yang mendirikan stan untuk memajang paket dagangannya berupa ponsel cantik plus starter pack produknya dengan harga 199 ribu perak (bahasa angka eufimistis khas bisnis dari nominal 200 ribu). Stan promosi dan penjualan milik operator itu berada di kiri-kanan stan sayur mayur dan lauk pauk. Dan rupa-rupanya, barang dagangan itu laris manis diserbu pembeli. Orang membeli ponsel kini laiknya membeli sepasang sandal jepit saja, pikir saya.

Masih ada banyak lagi cerita menarik dan agak ganjil seputar gaya hidup berponsel di negeri ini (barangkali juga di seluruh dunia). Pernahkah Anda mengamati para abang becak yang kini juga tak sedikit di antara mereka telah membekali diri dengan piranti komunikasi ajaib itu? Saya sering melihat para abang becak sedang asik memijit-mijit keypad ponsel sambil tiduran di becaknya. Entah siapa yang sedang ia kirimi SMS. Mungkin bininya di rumah yang sedang memasak, dan isi SMS-nya barangkali juga berkutat seputar masakan itu. Atau bisa jadi ia sedang ber-SMS-an dengan salah satu pelanggan becaknya. Bukankah sangat masuk akal kalau saat ini armada becak bisa dihubungi oleh para pelanggannya melalui SMS atau telepon laiknya memanggil armada mobil taksi, atau semacam pemesanan tiket airline?

Di desa saya yang berada di tepian laut selatan Jawa, ada seorang kakek limapuluh tahunan yang juga tak luput dari wabah meler seluler. Jangan dibayangkan si kakek ini adalah orang kantoran, atau petani kaya paling tidak. Ia cuma seorang buruh tani alias kuli sawah, dan pekerjaan sampingannya adalah sebagai pencari rumput untuk makan ternak sapi milik orang kaya yang dititipkan kepadanya. Ia juga tak punya anak atau saudara di tanah seberang, atau relasi penting yang musti sering-sering dihubungi. Nampaknya wabah meler seluler membuat si kakek yang tak cukup punya antibodi memadai ini akhirnya harus membeli sebuah ponsel seharga 300 ribu perak. Dan saya pernah mendapati cerita menggelikan dari seorang rekan yang akrab sebagai sesama “Damarwulan” dengan si kakek separuh abad lebih itu. Cerita rekan saya: di tengah-tengah kerjanya mencari rumput, si kakek ini kerapkali menelepon rekan sesama pencari rumput yang masih berada satu desa hanya untuk bercanda dan menanyakan: “di mana kamu?”, “apakah di situ ada banyak rumput?”, “apakah kamu sudah memperoleh banyak rumput?”. Untuk ber-SMS tentu saja ia tak mau karena tak praktis dan bertele-tele. Dan bisa jadi ia memang tak paham bagaimana cara mengetik dan mengirimkan SMS. Masih menurut rekan saya: tak kurang 50 ribu perak yang dihabiskan oleh si kakek itu untuk belanja pulsa setiap bulannya.

Sedangkan di kota-kota, lebih-lebih di metropolitan, konon anak-anak SD juga sudah dibekali ponsel oleh orangtuanya. Entah di mana letak signifikansi sebuah ponsel di tangan anak-anak yang bahkan membuang ingusnya sendiri saja mungkin masih belum becus.

Berdasarkan data hingga akhir tahun lalu, jumlah nomor aktif ponsel di negeri ini saja sudah menembus angka seratus juta. Kalau diasumsikan bahwa satu orang memiliki satu buah ponsel (sekalipun ada beberapa orang yang punya ponsel lebih dari satu) maka itu berarti hampir setengah jumlah populasi bangsa ini sudah terkoneksi dalam selulerisme. Dan kalau melihat angka pertumbuhan pengguna yang konon mencapai 20 persen, maka dalam tempo lima tahun ke depan bisa jadi semua orang di negeri ini (minus balita) sudah memiliki minimal satu biji ponsel.

Kalau kita amati perkembangan ladang bisnis seluler selama dua-tiga tahun terakhir di negeri ini, ada banyak operator baru yang bermunculan. Bahkan ada salah satu klan bisnis terbesar di negeri ini yang sebelumnya bergerak di sektor usaha asap nikotin alias rokok, kini banting setir dengan mendirikan operator seluler setelah sebelumnya menjual aset perusahaan rokoknya kepada sebuah korporasi multinasional rokok terbesar sejagad raya dari negeri “Paman Bush”. Ialah Sampoerna Group yang menjual aset pabrik asap nikotinnya senilai hampir 20 Triliun kepada Phillip Morris dan kemudian menggeluti bisnis seluler dengan bendera perusahaan Sampoerna Telecom (tak perlu disebutkan nama produknya karena saya tak sudi berpromosi).

Bejibunnya jumlah operator seluler secara otomatis juga membuat perang memperebutkan konsumen juga menjadi kian seru dan panas. Ongkos jasa seluler yang ditawarkan tiap-tiap operator kepada pengguna dan calon pengguna menjadi amat kompetitif dan ramah-kantong. Tak satupun operator seluler di negeri ini yang tak ugal-ugalan dalam membanting tarif jasanya. Ongkos layanan seluler yang sepuluh tahun lalu masih setinggi langit, kini sudah menyentuh level desimal per menitnya (bahkan per panggilan). Sekalipun tarif bernominal desimal itu diikuti syarat dan ketentuan khusus (seperti “berlaku setelah menit pertama” misalnya), bagaimana pun juga itu sudah menandai sebuah revolusi harga yang sangat mencengangkan dan nyaris tak terbayangkan sebelumnya. (Jenis revolusi yang disambut penuh suka cita terutama oleh kalangan berduit pas-pasan, dan tingkat antusiasmenya melebihi hingar-bingar revolusi proletarian kaum kere Komunis-Marxis di abad lalu.)

Dengan revolusi tarif itu, kini siapapun bisa melakukan pembicaraan seluler sampai telinga panas dan mulut serak hanya dengan modal seribu-duaribu perak. Kian murahnya tarif layanan juga merupakan stimulus ampuh bagi pertumbuhan layanan seluler di negeri ini, sekalipun biasanya dipromosikan dengan cara “tipu-tipu” oleh divisi marketing operator (misalnya: menuliskan angka tarif nol koma sekian dengan ukuran raksasa, sementara keterangan syarat dan ketentuan berlaku-nya ditulis dalam ukuran abjad yang amat kecil dan sukar dilihat bahkan dengan dua mata melotot).

Kalau saja mbah Graham Bell, sang perintis jalan komunikasi telepon itu, sempat menyaksikan fenomena ini dari dalam liang kuburnya, mungkin ia akan berusaha bangkit ke dunia ini lagi untuk ikut berebut mencicipi manisnya kehidupan seluler, begitu kelakar seorang rekan tempo hari. Ya, betapa enak dan indahnya hidup di sebuah dunia di mana berbicara dengan orang-orang di tanah seberang semudah bercengkrama dengan tetangga sebelah rumah, mengirimkan sepucuk surat/pesan sejauh ribuan kilometer semudah melemparkan kulit kacang ke muka teman ngerumpi di hadapan kita. Semua itu bisa terjadi hanya dengan sebuah ponsel dalam genggaman tangan.

Sekalipun seluruh fragmen fenomena selulerisme (dan juga virtualisme) itu mengandung implikasi negatif di hampir segala aspek kehidupan manusia, seperti diurai panjang lebar oleh para filsuf kontemporer, namun indikasi umum menunjukkan bahwa selulerisme disambut dengan penuh suka cita oleh jutaan-miliaran orang di seantero planet ini. Tua-muda, kaum kaya maupun golongan marginal, warga kota dan juga masyarakat desa, kalangan berpendidikan maupun yang buta aksara (tapi tak buta angka), semuanya tak luput dari jangkitan epidemi meler seluler—sebuah epidemi yang nikmat dan dinikmati.

***

Itulah satu fragmen ”lukisan indah” (meski bertabur ironi) dunia selulerisme kita abad ini. Sebagaimana sekulerisme, selulerisme juga mampu dan telah memikat banyak orang untuk turut serta mencicipi cita-rasa dan ”keindahan” di dalamnya—sekalipun pada akhirnya juga tak sedikit yang musti terkubang ironi di sana. []

03/03/2008



Tidak ada komentar: