Sabtu, Maret 01, 2008

Inisial H.U.H. [sekuntum (r)asa yang luruh]


Di sejengkal pagi yang cerah hari ini, secara ‘kebetulan’ aku berjumpa dengan seorang wanita rekan sekolahku di SD belasan tahun lalu. Saat itu aku mengayuh sepeda MTB-ku memasuki areal perpustakaan kampusku. Tanpa kunyana sebelumnya, ia yang punya inisial H.U.H. itu kulihat sedang memarkir sepeda motornya di lahan parkir perpustakaan tersebut. Aku menoleh beberapa detik ke arahnya sambil mereka-reka ingatanku demi memastikan bahwa aku tak sedang berhadapan dengan orang lain yang bukan rekan kumaksudkan itu. Sementara ia setahuku tiga kali melirak-lirik ke arahku, barangkali juga untuk memastikan siapa aku yang ia temui tanpa sengaja, pagi hari ini. Maklum, jarak antara aku dan dia saat itu terpaut kira-kira lima meter jauhnya. Aku memarkir sepeda MTB-ku lurus dengan titik koordinat Y tempat ia memarkir sepeda motornya, namun dengan koordinat X yang berbeda—terpaut sejauh lima meteran. Tak sempat aku mendekat ke arahnya, karena kulihat ia tergesa-gesa berjalan menuju ruang kuliah pasca-sarjana yang juga berada satu kompleks dengan bangunan gedung perpustakaan. Terakhir kalinya, sebelum bergegas masuk ke ruang kuliah pasca-sarjana itu, ia sempat melirik satu kali lagi ke arahku, dan aku hanya membalasnya dengan senyum kecil yang agak kupaksakan di bibirku—senyum hambar pertanda ‘kekalahan’ dan ‘kemenyesalan’.


Perlu kuceritakan sekelumit di sini, ia yang punya inisial H.U.H. itu punya paras ayu dengan citra dan nuansa ala Arabian face: postur hidung yang berkelok landai menikung ke depan alias mancung, gerak-gerik bola mata laksana sekuntum api lilin terhembus angin malam gurun Afrika, juga alis dan bulu matanya yang … (ah, aku tak kuasa menggambarkannya), dan kulit yang memendarkan cahaya seputih kapas laiknya fluorescent lamp. Pagi hari ini, ia mengenakan jilbab dengan warna yang seirama dengan warna pijar mentari pagi baju lengan panjang yang dikenakannya, dan dipadu dengan celana muslimah berwarna coklat tua. Setahuku dengan pasti, saat ini ia sedang menyelesaikan studi magisterial di prodi Agronomi di kampus almamaterku setelah lulus dari jenjang S-1 di prodi Biologi Fakultas MIPA di kampus ini juga, dua warsa silam.


Perlu Sampeyan sekalian ketahui, bahwa ia yang punya inisial H.U.H. itu pernah punya kedudukan penting dalam hidupku. Selain menjadi “rival” tak terkalahkan dalam perebutan posisi bergengsi numero uno ranking kelas di bangku SD belasan tahun silam, kepada ia jualah aku pernah “berhutang budi” untuk pertama kalinya dalam sebuah perkara: ia-lah yang mula pertama memperkenalkanku dengan sekuntum rasa penuh selubung misteri—sebuah rasa yang hingga detik ini tak kunjung tuntas kudefinisikan dalam ratusan bait puisi, tak lekas tandas kugambarkan dalam berpuluh-puluh sekuel cerita. Berhadapan dengan rasa itu, serasa aku masuk dalam sebuah misterium, gelap tanpa cahaya dan hanya bisa meraba-raba untuk memahaminya.


Di selembar pagi nan cerah hari ini, tatkala aku bersua kembali dengannya, serasa cakrawala di atas kepalaku tiba-tiba dipenuhi samudera warna biru namun lekas dalam sekejap mata diterjang oleh lautan mendung kelabu. Pada ia yang aku tak sempat mengejakan kepadanya sebutir kata-pun mengenai misterium rasa di benakku itu, aku merasa diri laksana sebatang lilin dalam dekapan beribu-ribu nyala api. Aku luruh dan lantak. Aku terberai dari kesatuan diriku sendiri, meleleh berhamburan tak tentu ruang dan waktu. Seumpama makhluk alien penghuni planet Mars yang diterjunkan dalam teritori asing bernama Bumi, aku disergap ketidakmengertian, kebingungan, dan terombang-ambing di dalamnya.


Pada ia yang tiada pernah sekalipun aku persembahkan sekuntum kembang kepadanya sebagai manifestasi misterium rasa yang pernah bergelayutan berat di benakku, aku merasa mendapati diriku tak lebih dari seorang pecundang yang pulang dari medan perang dengan muka tertekuk sembilan puluh derajat ke arah tanah, dengan baju seragam keprajuritan yang compang-camping tersayat ribuan senjata musuh. Karena dalam hal ini, aku adalah (dan hanyalah) salah seorang manusia yang tak pernah punya kuasa untuk menjangkau tiga perkara diri yang aku percaya hanya Tuhan semata menguasainya: jodoh, nasib dan ajal. Untuk satu misterium yang pertama itu, terbukti aku kalah. Ia yang kuimpikan akan Tuhan berikan kapadaku sebagai pasangan hidupku, ternyata telah menjadi milik lelaki lain. Ia yang tiga kata penyusun namanya diambil dari bahasa Arab, dan bila diterjemahkan ber-arti “kebaikan yang menjadi ibunda segala kebaikan” itu, tak mungkin lagi untuk aku harapkan menjadi ibunda dari anak-anakku kelak. Tertutup rapat sudah semua pintu harap dan segala asa diriku terhadapnya.


Dan tatkala kulukiskan dalam selembar kanvas virtual ini momen beberapa detik di sehelai pagi yang cerah hari ini, dengan sengaja kumainkan sebuah lagu sendu nan romantis milik ADA Band berjudul Nyawa Hidup dengan player MP3 di komputerku untuk mengiringi tarian limbung jemariku di tuts-tuts kibor. Dengan sengaja pula ku-repeat lagu itu berulang-ulang hingga aku menyelesaikan catatan ini. Suara syahdu Donny mendendangkan bait demi bait syair lagu Nyawa Hidup kian membuat kesadaranku tenggelam dalam pusaran kenangan indah bersama sang Aphrodite-ku itu, belasan tahun silam:


angin malam berhembus
lirih dingin menyapa
coba merasakan
semilir kehadiranmu

Tuhan kutanya cinta
kemana arah dan tujuannya
bila memang berpisah
mengapa maut yang pisahkan

aku memujimu hingga jauh
terdengar syahdu ke angkasa
rintihan hatiku memanggilmu
dapatkah kau mendengar
nyawa hidupku

runtuh jiwa ragaku
hancur berkeping-keping
tangan dan kaki tiada
berpijak di bumi lagi

kau menelanjangi diriku selalu
lewat indahnya peluk kasih
merangkul kalbu yang membelenggu
dan kini tinggalkanku

… … …


Tak begitu presisi memang motif syair itu dengan motif perasaanku saat ini. Syair itu mendendangkan kepedihan akibat maut yang memisahkan ikatan dua insan, sementara kepedihanku lebih disebabkan “mata dadu” yang ‘dilemparkan’ Sang Maha memunculkan jumlah noktah yang berbeda dari yang kudambakan selama ini. Aku kalah oleh lemparan dadu, bukan terpisahkan oleh maut seperti syair yang dilagukan Donny ADA Band itu. Tapi seberapa sesungguhnya tapal perbedaan antara berpisah karena maut dan berpisah karena lemparan dadu bernama takdir? Tipis sekali, bukan?! Tidakkah sebuah asa dengan probabilitas bernilai nol untuk diwujudkan, pada hakikatnya ia telah masuk ke liang kuburan pikiran bernama kenangan? Bagiku, ia yang menyandang inisial H.U.H. itu, sang “kebaikan yang menjadi ibunda segala kebaikan”, telah mati dalam makna yang lain—mati secara kiasan: ia telah mati dalam dunia pengharapanku, namun tetap hidup dalam ruang kenangan dan mimpi-mimpi bawah-sadarku.


Dan lewat catatan ini, aku hanya bisa menumpahkan segala rasa dan asa yang tiada mungkin lagi tergapai itu, sekaligus mengukuhkan diri bahwa aku, juga kebanyakan manusia, pada akhirnya meski menyisakan ruang untuk menampung harapan yang tak terwujudkan, untuk mewadahi asa yang berakhir sebatas sebagai mimpi… [*_*]


Tepian Bedadung, 01 Maret 2008




Tidak ada komentar: