Selasa, Juni 03, 2008

( Lagi-lagi soal ) Tuhan, Agama dan Kekerasan

Minggu, 01 Juni 2008, kembali tindak kekerasan bertopeng agama terjadi. Di Jakarta, dua kelompok massa yang menamakan dirinya Fron Pembela Islam (FPI) dan Komando Laskar Islam (KLI) melakukan tindak penganiayaan terhadap sekelompok massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Ironisnya, tindakan kriminal itu dilakukan di tengah momen peringatan hari kelahiran Pancasila. Aksi kekerasan ini dilakukan oleh dua kelompok pertama tersebut karena, menurut pengakuan mereka sendiri, di dalam barisan kelompok kedua terdapat para pengikut Ahmadiyah—sebuah aliran/kelompok keagamaan (Islam) yang telah dicap sesat oleh sebuah institusi bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dualisme (dalam tafsir) agama: antara dogma dan dialektika

Kita tak bisa pungkiri bahwa agama selalu hadir ibarat sebagai pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat namun juga petaka. Jika agama dipahami sebagai seperangkat dogma, yang muncul adalah pembakuan agama: Agama dianggap sebagai sebuah sabda yang final dan tak bisa diganggu gugat. Sebaliknya, bila agama dipahami sebagai sebuah media pendorong proses dialektika, ia akan menstimuli manusia untuk berpikir secara kritis, analitis, kreatif dan inovatif, yang pada akhirnya akan menghasilkan sintesa pemikiran yang mampu menghadirkan solusi bagi aneka permasalahan peradaban.

Dalam pemahaman pertama, agama tak ubahnya sebuah belenggu yang memasung akal-budi/nalar manusia dari proses berpikir kritis dan analitis. Agama menjadi tak ubahnya sebuah penjara pemikiran (the prison of thought). Sementara dalam pemahaman kedua, agama bisa menjadi sebuah mata air jernih yang menyejukkan dan menyegarkan pikiran manusia dan pada akhirnya akan membebaskan manusia dari segala bentuk tirani dan hegemoni yang mengungkung pemikiran.

Agama yang dipahami sebagai dogma cenderung membawa manusia pada pola-pikir yang menganggap segala sesuatu di dunia ini sebagai serba pasti adanya. Dunia dan kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang mekanistik dalam artian bahwa segala problematika yang ada di dalamnya bisa diselesaikan dengan menggunakan seperangkat solusi baku sebagaimana yang mereka (kaum fundamentalis-ekstremis) yakini dan klaim telah termaktub di dalam kitab suci. Dengan model pemahaman seperti ini, potensi berpikir yang sesungguhnya inheren dalam (ke)manusia(an) pada akhirnya diminimalisasi—dan bahkan dieleminir.

Sementara itu, bila agama dipahami sebagai sebuah pendorong proses dialektika, ia sebenarnya menegaskan kepada umat manusia akan ketiadaan kepastian di dunia ini; tiada yang baku dan final di dalam dunia dan kehidupan. Dunia dan kehidupan mirip organisme yang senantiasa tumbuh berkembang. Ini berarti, dunia dan kehidupan akan senantiasa mengalami perubahan secara terus-menerus dan tidak akan pernah berada dalam kondisi final. Dengan kata lain, perubahan adalah sesuatu yang niscaya dan tak terhindarkan di dunia dan kehidupan ini. Konsekuensinya, manusia diharuskan untuk senantiasa berpikir secara kritis dan analitis guna mencari solusi-solusi bagi segala problematika yang muncul sebagai implikasi dari perubahan-perubahan tersebut. Sementara perubahan adalah sesuatu yang niscaya dan tak terhindarkan, bisakah segala problematika yang muncul di dalamnya diselesaikan dengan metode-metode yang dogmatis (baca: baku)? Jawabnya adalah: tidak!

Psikologi fundamentalis-ekstremis

Dalam telaah ilmu psikologi, kaum fundamentalis-ekstremis diidentifikasi sebagai manusia yang terhambat perkembangan psike/jiwanya. Mereka senantiasa dibayangi oleh kerinduan obsesif akan “keindahan dunia” sebagaimana yang mereka rasakan di masa kanak-kanak. Dengan kata lain, pikiran dan jiwa mereka tak bertumbuh dewasa dan tak mampu untuk menjadi arif dan bijaksana. Mereka selalu mengidamkan kondisi ideal dan serba pasti, dan ironisnya mereka seolah-olah kehilangan pijakan terhadap realitas yang sedang mereka alami dan mereka diami saat ini; mereka menolak realitas dan senantiasa dikuasai kerinduan-kerinduan obsesifnya terhadap masa lampau.

Dalam konteks ini, kaum fundamentalis-ekstremis cenderung menganggap masa lampau (past) sebagai, meminjam bahasa Goenawan Mohammad, ”langit cerah bertabur bintang”. Mereka cenderung tak mau mengakui bahwa di masa lalu sebenarnya juga terdapat begitu banyak problematika peradaban yang mendera umat manusia. Paralel dengan kerinduan obsesifnya terhadap masa lalu tersebut, mereka menganggap dunia/zaman sekarang sebagai sebuah kemerosotan dan kemunduran yang tak bisa dimaafkan. Mereka cenderung memandang masa sekarang (present) dengan tatap-pandang yang neurotik (penuh cemas dan kebencian), dan masa depan (future) dilihat sebagai sebuah ancaman. Maka, sebagai konsekuensinya, mereka akan berusaha “mengembalikan” atau “membalikkan” peradaban ke masa lalu—dengan mengusung solusi-solusi dogmatis yang baku sebagaimana yang mereka yakini telah termaktub di dalam kitab suci itu. Alhasil, bagi mereka, sejarah tak boleh bergerak ke mana-mana (yang berarti: sejarah haruslah berakhir, atau diakhiri), dan segala bentuk perubahan atas dunia dan peradaban akan dipandang sebagai najis dan haram.

Tuhan: antara harapan dan ketakutan

Kaum fundamentalis-ekstremis cenderung memandang Tuhan bukan dengan sikap penuh (peng)harapan. Sebaliknya, Tuhan dipandang dengan penuh rasa (ke)takut(an). Sikap ini tentu saja sangat bertentangan dengan sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Dalam ajaran Islam, sifat-sifat Tuhan (Asma’ul Husna), sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat Al-quran, yang berjumlah sembilan puluh sembilan itu, kesemuanya menyebut sifat Tuhan dalam terma yang positif dan mulia. Ambil contoh: Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Memelihara, Maha Pemurah, dan sifat-sifat mulia lainnya. Dan sebaliknya, tidak satu pun sifat Tuhan yang termaktub di dalam Asma’ul Husna itu yang menyebut Tuhan dengan sifat-sifat yang negatif (buruk), seperti misalnya: Maha Penghukum, Maha Pendendam, atau Maha Pemarah.

Jika Tuhan samasekali tidak memiliki sifat negatif, lantas atas dasar apa orang-orang fundamentalis-ekstremis itu melakukan tindakan kriminal berupa penganiayaan terhadap orang/kelompok lain, lebih-lebih mereka mengklaim dirinya sebagai “pembela” Tuhan (dan agama)? Padahal, sesuai tuntunan ajaran Islam, setiap muslim selalu dituntut untuk menyempurnakan keimanannya dengan menghayati dan kemudian mengejawantahkan sifat-sifat Ketuhanan (Asma’ul Husna) yang mulia itu di dalam kehidupan dunia ini. Pribadi muslim dituntut untuk menumbuhkan di dalam dirinya sifat pengasih, penyayang, pemaaf, penyabar, dan sifat-sifat mulia lainnya untuk dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, orang-orang fundamentalis-ekstremis itu sesungguhnya bukanlah pribadi muslim yang baik dan ideal. Sebaliknya, mereka tidak lain adalah orang-orang yang telah terbelenggu dogma sempit agama dan telah kehilangan akal sehat serta telah mati-suri hati nuraninya, sehingga dengan amat cerobohnya mereka melakukan tindak kekerasan (baca: kriminal) dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama. Melalui tangan mereka, Tuhan dan agama bukan lagi menawarkan harapan kepada umat manusia tetapi justru menebarkan teror dan ketakutan. Oleh mereka, Tuhan dan agama hanya dijadikan legitimasi dan justifikasi bagi kecenderungan nafsu destruktif di dalam dirinya.

Spiritualitas sebagai esensi agama

Agama, sebagai jalan atau sarana menuju Tuhan, sudah barang tentu menyimpan secara inheren di dalamnya sebuah esensi spriritualitas. Agama bukan semata-mata seperangkat aturan dan hukum yang mengancam atau menakut-nakuti manusia dengan hukuman. Jika agama dipahami hanya sebagai hukum dan aturan-aturan belaka, ia justru akan kehilangan esensi dan ruhnya. Agama akan jatuh sakralitasnya menjadi serupa konstitusi negara ataupun undang-undang hukum pidana.

Manusia, sebagai makhluk yang memiliki dimensi spritualitas secara inheren di dalam dirinya, tentu membutuhkan jalan atau sarana untuk memenuhi dan juga mengekspresikan kebutuhannya akan nilai-nilai spiritual tersebut. Dan karena esensi spritualitas yang dikandungnya secara inheren itulah, agama sesungguhnya menjadi sesuatu yang amat sakral dan signifikan keberadaannya serta tak tergantikan kedudukan dan peranannya bagi eksistensi umat manusia.

Agama, dengan esensi spiritualitas yang dikandungnya, sangat dibutuhkan umat manusia sebagai oase yang menyediakan mata-air jernih dan suci guna mengobati dahaga jiwa manusia, lebih-lebih manusia yang hidup di zaman ultra-modern ini, yang jiwanya telah mengalami dekadensi dan kekeringan spiritual akibat kultur hidup yang hedonistik-materialistik-superfisialistik.

Dengan demikian, esensi spiritualitas inilah yang sesungguhnya layak dan perlu untuk dikedepankan dalam praksis keberagamaan guna mengatasi aneka problematika yang melanda umat manusia, dan bukan justru dogma-dogma yang hanya akan meredusir dan mengeleminir potensi-potensi umat manusia…[]


NB. untuk artikel terkait, silahkan klik --> Tuhan, Agama dan Kekerasan

Wahyu Puspito S. / 03 Juni 2008

4 komentar:

ika rahutami mengatakan...

tulisanmu asik Yu..
ketika spiritualitas menjadi esensi agama... maka ini terbentuk ketika bagaimana agama itu diajarkan.
nah masalahnya orang yang melakukan siar, kadang belum menangkap spiritualitas itu

Anonim mengatakan...

Bagus nih tulisannya mas

Ngatini mengatakan...

"Religion is the opium of the masses"
by. Karl Marx
and i am agree..

espito mengatakan...

>> ika: ya itu dia masalahnya. kebanyakan dai kita cuma bicara halal-haram, miskin teladan, dsb..

>>dhanie: thanks pujiannya

>>ngatini: "religion poisons everything," kata Christopher Hitchen. Yah, dalam tataran praksis saya kira tak ada sesuatu yang perfect di dunia ini. semua mengandung paradoks dan ironi dalam prakteknya. lak iya toh?? Thanks ya..