Senin, Agustus 25, 2008

asimetris

Cinta, sebagaimana iman, bukan buah dari proses penalaran. Kita jatuh cinta, persis saat kita beragama, bukan lantaran kita melakukan serangkaian telaah logis atas sejumlah fakta.

Begitulah. Gerak hati adalah spontanitas naluriah, tanpa alasan ini-itu. Dan mustilah engkau tahu, ia jatuhhati kepadamu tanpa ia sendiri tahu persis alasan-alasan dibaliknya, kecuali bahwa kau adalah lain jenisnya. Ia tak mungkin jatuhhati kepada sesama lelaki karena ia tak punya secuil pun disorientasi seksual. Maka ia jatuhhati kepadamu tanpa alasan-alasan.

Tapi manusia bukanlah binatang yang hidup hanya bertolak dari impulsi-impulsi naluri belaka. Manusia punya nalar-rasio. Maka ketika harus dimanifeskan (baca: dimiliki dan memiliki), acapkali cinta perlu ditopang oleh alasan-alasan rasional. Yang-naluriah pada akhirnya memang seringkali harus tunduk pada yang-nalariah. Spontanitas diambil-alih oleh metode-metode teknikal. Tapi tak selalu harus dan tak selalu perlu bila yang ‘dikehendaki’ adalah kisah serupa lakon Romeo&Juliet, Tristan&Isolde, Layla&Majnun, atau Valentine. Di sini, manifestasi cinta tak lagi mengikuti atau berada pada lajur nalar-rasio. Dan kita, manusia modern penghamba rasionalitas, tak pelak menggelarinya dengan label ”kisah cinta yang tragis dan naif serta konyol”. (Tapi ini bukan berarti kisah cinta hewaniah, ‘kan? Karena sesungguhnya kemurnian perasaan itu justru kerap melahirkan kisah-kisah yang menggetarkan; otak modern yang instrumentalistik/mekanistik sajalah yang mendakwanya sebagai ”kisah tragis-naif-konyol”.)

Untuk kisah-kisah cinta di atas, kita bisa menyebutnya ”cinta asimetris”, yakni cinta di mana perbedaan-perbedaan yang membentang (dan mungkin tak bakal terjembatani) tak dijadikan penghalang bagi manifestasi cinta. Cinta asimetris adalah murni gerak hati dan tak dilandas-dasari bangunan nalar-rasio. Seorang kota-kaya-intelek-tampan/cantik, misalnya, menyintai dan dicintai seorang desa-miskin-bodoh-burukrupa. Tak rasional tentunya, ‘kan? Dan mungkinkah pasangan seperti ini bisa saling memiliki-dimiliki atas nama cinta belaka? (sungguh, aku tak tahu jawabannya)

Tak ingin mengikuti kisah tragis-naif-konyol, ia pun berupaya mencari-cari sejumlah alasan untuk memanifeskan jatuhhatinya kepadamu itu. Atas dasar apa saja kiranya ia ingin dimiliki dan memilikimu, begitulah yang ia cari-cari selama ini. Tapi ia tak kunjung menemukan alasan. Atau jangan-jangan yang terjadi selama ini memang terlampau banyak perbedaan yang membentang di antara ia dan kau. Cintanya padamu (dan cintamu padanya, bila kau benar-benar menyintainya) adalah cinta asimetris, begitulah mungkin yang terjadi. (tapi sampai seberapa derajat asimetrisnya, aku tak tahu). Tragis-naif-konyol, tapi itu awalnya dan sebagian prosesnya; kelanjutan dan endingnya tak selalu demikian (meski peluangnya mungkin amat tipis). Maka, bila benar demikian yang terjadi, masih sudikah engkau kiranya dicintai dan menyintainya, (untuk akan) dimiliki dan memilikinya? (cinta adalah anak kandung kecocokan jiwa. cinta memberi kekuatan, mengubah yang-imposibel menjadi posibel. begitu kata aforisma klasik. Tapi mungkinkah otak modern masih memercayainya – atau setidaknya menghargainya, bukan malah mencemoohnya?).


NB. aku dapati sedikit-banyak ”pencerahan” dari Bilangan Fu. Terimakasih...


Tidak ada komentar: