Rabu, September 03, 2008

Rekuiyem si Utopus

Kau tahu deoksiribo-nucleic acid, kawanku? Seumur hidup aku dikutuk oleh si dobel heliks itu. Terlaknatlah anasir keparat itu, kawan! -- begitu kesahnya padaku, dulu, bertahun silam.


selama ini, maksudku mula-mula di sepanjang hidupnya, ia pandai merangkai mimpi. Ia lihai menulusupi lorong-lorong imajinya. Ia mahir mengutak-atik pikirannya. Tapi apa lacur, bahkan tiap bagian diri kita kerap berkhianat—mengkhianati diri kita sendiri, tuannya. Persis uang dan teknologi yang pada mulanya dicipta buat melayani kehidupan manusia, mempermudah hidup kita, apa lacur di kemudian hari, saat ini, justru menjelma tu(h)an bagi umat manusia sendiri. Kita dikhianati, diperbudak, oleh hasil kreasi kita sendiri. Ya, begitulah. Ia yang semula mahir dan lihai mengutak-atik imajinya, selanjutnya justru dikhianati, diperbudak, oleh imajinya sendiri. Bedebah hidupnya! Ia muak.

Tapi berhentilah sampai di sini menyimak ceritaku ini. Kecuali bila kau sanggup menahankan ngeri di hatimu, jika kau mampu menanggung miris pada kisah yang kutuliskan ini, tak mengapa; kau boleh terus simak catatan ini sampai butir kata paripurna.

Ya, malam itu, tepat saat purnama utuh di warsa kelimabelas bulan Suro, ia bergegas ke luar rumah menuju kompleks pekuburan di kampungnya. Di tangannya tergenggam sebilah belati dari baja hitam legam namun di tepian salah satu sisinya nampak putih mengkilat tersinari cahaya purnama—pertanda tajam sangat. Aku buntuti persis di belakangnya, sejarak tak kurang sepuluh meteran. Sesampai di pekuburan itu, yang senyap dan menebar aura magis lebih-lebih karena saat itu adalah malam Jumat, aku tak berani mengikutinya lebih jauh. Aku berhenti di luar pagar yang setinggi dada orang dewasa. Sambil berdebar-debar dadaku, aku tunggu-tunggu apa yang hendak diperbuatnya di dalam kompleks pekuburan. Beruntung ia tak tahu aku sedang memata-matainya, sehingga ia bisa bebas berbuat sekehendak hatinya. Oh, ia berhenti di bawah sebatang pohon kamboja, persis di atas nisan tua. Ya, aku ingat persis, nisan itu adalah milik si mayat yang dikubur tak kurang duapuluh warsa silam karena digerogoti usia dan dikhianati lambung dan jantungnya: tetanggaku, mbah Rewok namanya. Aku ingat jelas, karena dulu aku ikut mengantarkan jenazah itu. Usiaku saat itu lima tahunan. Ya, saat itulah aku mendapatkan pengalaman magisku, atau pengalaman aneh, untuk pertama kalinya. Perlu kuceritakan sedikit: Saat itu aku merasakan sensasi tenggelamnya kesadaran; pikiranku seperti mati rasa; dalam alam sadarku kudapati kenyataan yang gelap, hitam, persis keadaan di lorong gua tanpa setitik pun cahaya. Aku sempat mengira bahwa aku akan lekas—atau memang telah—mati, menyusul mbah Rewok yang kuantarkan jenazahnya pagi hari sebelumnya. Pengalaman aneh itulah yang kemudian mencetuskan kedekatanku dengan sesuatu yang tak terjangkau nalar-rasioku: ya, sebut saja “Tuhan”. Tapi kedekatan tak selalu melahirkan kemesraan hubungan. Sering aku mengumpat dan mencaciNya tatkala aku merasa tak berdaya menghadapi kejam dan kelamnya kehidupan. Ya, aku menjadi sedemikian tergantung pada Tuhan; dan marah lalu mencaciNya kala aku merasa tersakiti oleh dunia. Baiklah, kembali pada ceritaku tadi. Ia berdiri di atas nisan mbah Rewok. Pisau hitam yang mengkilap di salah satu sisinya itu ia angkat persis setinggi keningnya. Tegak lalu ia rubah pegang dalam posisi miring, segaris dengan keningnya. Sejurus kemudian, tanpa ritual apa pun, ia sayatkan sisi belati yang mengkilap itu tepat di tengah keningnya. Melingkar sayatan itu, mengeliling di tengah batok kepalanya. Darah pun mengucur deras, merah kehitaman dan kental. Aku tak kuasa menahankan kengerianku saat itu, dan celakanya aku juga tak cukup nyali buat merintangi tindakannya malam itu. Maka aku memandanginya dengan tatapan nanar sambil tanpa sadar menggigiti jemari tangan kananku. Kulihat darah masih mengucur deras tak kunjung tandas dari luka sayatan. Dan selanjutnya ia tarik irisan kulit kepala bagian atasnya. Ia singkap kulit kepalanya saat darah masih belum kunjung tuntas juga. Ia mungkin tak sabar menunggu hingga tetes terakhir darahnya. Atau ia takut keburu lepas nyawa dari genggaman badannya. Sejurus kemudian, setelah berhasil mengelupas kulit separuh bagian atas kepalanya, ia merunduk. Ia mencabut batu nisan dengan sekuat tenaga. Jebollah batu nisan itu akhirnya. Lalu ia pegang dan angkat batu itu dengan tangan kanannya. Ia angkat setinggi kepalanya. Oh, sekerjap kemudian ia keprukkan batu itu menghantam batok kepala yang telah ia kuliti dan masih meneteskan darah merah kehitaman kental itu. Ia keprukkan bertubi-tubi hingga batok kepala bagian atas itu pecah dan otaknya menghambur hancur terkena hantaman batu nisan. Lalu ia punguti sebagian serpihan otaknya yang jatuh ke tanah. Ia lemparkan remah-remah otaknya yang hitam kemerahan dan masih berbalut darah segar itu ke segerombolan burung pemakan bangkai yang sedari tadi menyaksikan perbuatannya dari dahan kamboja sepelemparan batu dari tempatnya berdiri. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, kenapa ia tak kunjung mati. Dan tak perihkah luka-luka di kepalanya itu. Tapi tak terlalu lama kemudian, tak terlampau lama berselang setelah tanya penasaranku tadi, tubuh itu pun lunglai dan lantas roboh ke tanah, meringkuk tepat di atas nisan kuburan mbah Rewok. Dan tak pelak lagi, burung-burung pemakan bangkai itu, yang sedari tadi sudah tak sabar menunggu momen ini, akhirnya menghambur dari persembunyiaannya dan merayakan pesta atas mayat yang masih segar itu. Tak berminat menyaksikan pesta-pora sekawanan burung itu, aku pun bergegas pulang. Di sepanjang jalan pulang, sembari masih terngiang dalam lapis-lapis ingatanku pada momen kematian seorang yang merasa telah dikhianati oleh keliaran pikiran dan imajinya sendiri itu, aku bertanya-tanya dalam hati: kenapa Tuhan bisa sedemikian dingin dan tega dalam menuliskan takdir kematian seorang hamba—jalan kematian yang sedemikian sadis dan tragis itu...

Dan di sepanjang jalan pulang itu pula, airmataku memburai tanpa dapat kutanggungkan lagi; airmata ratap atas kejam dan kelamnya dunia dan kehidupan ini...

dalam titimangsa mana pun dan kapan pun,

dunia dan hidup tak pernah jeda dari paradoks dan ironi;

tak pernah koma dari utopia yang direka-reka umat manusia

dan tragedi yang datang melantakkannya...

dan tuhan pun terendap dalam duka-lara manusia

--dalam lakon sandiwara dunia...

Requiem!!!

.

..

...

3 komentar:

Unknown mengatakan...

{Dunia Barat dan Penguasa di Negeri Muslim Harus Malu terkait Kasus Dr. Aafia Siddiqui}
Kasus Dr. Aafia Siddiqui benar-benar membuat hati serasa terkoyak, perut terlilit, dan kemarahan terbangkit bagi siapapun yang masih memiliki harga diri. Pengalaman buruk yang dialami ibu dari tiga orang anak kembali menjadi catatan tragedi “Perang melawan Teror” (“War on Terror”), atau “Perang terhadap Islam”. Kasus ini harus membuat siapapun atau pemerintah manapun yang menganggap diri mereka sebagai pejuang hak asasi manusia di dunia untuk menjadi malu.

Dr. Aafia Siddiqui adalah ilmuwan biologi jaringan saraf dan dididik sebagai ahli genetik. Setelah belajar 10 tahun di Amerika Serikat (AS) dan menyabet gelar Doktor di bidang Neurosains Kognitif, Dr. Siddiqui yang berwarganegara Pakistan lalu pulang ke negeri asalnya. Lima tahun lalu pada bulan Maret 2003 ia menghilang bersama 3 anaknya yang berumur 7 tahun, 5 tahun, dan 6 bulan ketika ia berkunjung ke rumah ibunya di Karachi. Banyak yang menduga bahwa ia telah dijemput dalam perjalanannya menuju ke airport oleh dinas rahasia Pakistan, yang lalu menyerahkannya ke FBI atas instruksi pemerintahan Musharraf yang menerima imbalan uang atas dukungannya terhadap AS. Penahanan Dr. Siddiqui dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian dalam negeri Paksistan dan dua orang pejabat AS yang tidak disebut namanya dalam media massa Pakistan berbahasa Urdu. Anehnya, hanya berselang beberapa hari saja, rezim Pakistan dan AS menarik pernyataan mereka dan menyangkal memiliki pengetahuan perihal penahanan dan letak penahanan Dr. Siddiqui.

Selama 5 tahun, keberadaan Dr. Siddiqui dan tiga anaknya tidak diketahui hingga perwira kepoliisian Afghanistan di propinsi Ghazni menyatakan di bulan Juli 2008 bahwa Dr Siddiqui ditangkap dengan tuduhan terorisme. Ia sekang disekap di penjara di Brooklyn, New York– Dr Siddiqui yang memiliki dual kewarganegaraan AS dan Pakistan kini menghadapi pengadilan AS dengan tuduhan usaha pembunuhan terhadap personil angkatan bersenjata AS di Afghanistan. Keberadaan tiga anaknya hingga kini belum diketahui.

Pengacaranya dan berbagai organisasi HAM (hak asasi manusia) meyakini bahwa setelah menghilang, Dr. Siddiqui disekap di pangkalan militer AS Bagram di Afghanistan. Organisasi tersebut dan keluarganya mengklaim bahwa selama itu dia telah disiksa hingga kehilangan pikiran. Mereka percaya bahwa dia adalah ‘Tahanan 650′ di Bagram, sebagaimana diceritakan oleh tahanan lainnya yang berhasil melarikan diri dari atau dilepaskan dari penjara, sebagai wanita yang disekap dalam tahanan secara sendirian, jeritan dan teriakannya kerap menghantui tahanan lainnya. Anggota parlemen Lord Nazir Ahmed yang mengangkat isu tentang kondisi Tahanan 650 di House of Lord, saat identitas tahanan 650 itu belum diketahui, berkata bahwa dia telah disiksa dan kerap diperkosa oleh sipir penjara. Lord Nazir juga mengatakan bahwa Tahanan 650 tidak diberikan toilet yang terpisah bahkan tahanan yang lain pun bisa melihat tubuhnya ketika mandi.

Penistaan terhadap saudara perempuan kita ini tidak berhenti di Bagram. Kini ia ditahan di Pusat Penahanan Metropolitan Brooklyn, dan dipaksa untuk diperiksa dengan melepaskan seluruh pakaiannya setiap kali ia hendak bertemu dengan pengacaranya, diplomat Pakistan, dan anggota keluarganya. Ini semua dilakukan bahkan ketika kantor penjara sudah melarang adanya kontak fisik antara dia dengan siapapun. Saudara perempuan kita ini menolak penistaan semacam ini dan akibatnya harus melepaskan haknya untuk bertemu dengan pengacaranya dalam banyak kesempatan.

Kini Aafia Siddiqui menghadapi prosesi “Pengadilan Kanguru” dan “Pengadilan Politik” di AS, suatu prosesi untuk menghindarkan malu bagi AS, bukan tentang terorisme. Pengacaranya, Elaine Whitfield Sharp berkomentar bahwa kliennya ditahan karena alasan politik dan semua tuduhan padanya ‘terbukti salah dan tidak bermakna’. Sangatlah aneh bahwa seorang perempuan yang digambarkan FBI selama 5 tahun sebagai wanita yang paling dicari dalam Perang melawan Teror dan diduga ditahan oleh pemerintah Afghan dengan tuduhan membawa instruksi membuat bom dalam tasnya dan menyimpan bahan kimia berbahaya dalam botol, kini akan menghadapi pengadilan dengan tuduhan kriminal biasa (percobaan pembunuhan dan penyerangan), yang tidak berhubungan dengan terorisme.

Tuduhan kriminal tersebut berasal dari cerita pemerintah AS bahwa selama diinterogasi di Afganistan, Dr. Siddiqui merebut senapan interogatornya dan menembaki perwira AS. Ia lalu ditembak di dada dan dilumpuhkan, namun sempat menendang tentara AS yang berusaha untuk menahannya. Kalau terbukti, Dr. Siddiqui akan menghadapi 20 tahun penjara untuk setiap tuduhan. Namun ada banyak ketidacocokan terhadap cerita ini dan polisi Afganistan yang hadir dalam peristiwa interogasi tersebut memberi versi lain. Beberapa diantaranya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara AS memaksa supaya Dr. Siddiqui ditransfer ke AS dan ketika polisi Afghan menolak, mereka dilucuti senjatanya. Mereka juga mengklaim bahwa tentara AS-lah yang menembak Dr. Siddiqui dengan alasan bahwa ia adalah pembom bunuh diri.

Ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang perempuan yang memiliki berat badan sekitar 45 kg, ditembak di dada dan digambarkan sebagai lemah dan renta hingga harus dituntun untuk masuk ke ruang pengadilan di AS mampu meronta dan menyerang sekelompok perwira AS yang menahannya. Pengacara Dr. Siddiqui, Elizabeth Fink menyatakan bahwa anggapan terhadap ‘perempuan 45 kg’ yang diduga mampu menimbulkan kekerasan sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah AS sangatlah ‘absurd’. IA Rehman, direktur Hak Asasi Manusia Pakistan, organisasi independen berkata bahwa cerita pemerintah AS adalah “kebohongan terbesar di abad 21.”

Tanggapan pemerintah dunia Barat dan penguasa Muslim, terutama pemerintah Pakistan terhadap peristiwa yang menimpa Dr. Siddiqui yang sangat memilukan ini sungguh memalukan. Banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa terjawab– Siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap penculikannya? Kenapa dia ditahan dalam waktu yang sangat lama di Bagram tanpa tuduhan dan tanpa pengacara? Kenapa dia diekstradiksi ke AS tanpa prosedur? Dimana 3 anak-anaknya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang pemerintah Barat, AS, dan Pakistan terkesan tidak peduli untuk mencari tahu jawabannya.

Ketidakpedulian dan penggunaan standar ganda oleh Barat, yang mengklaim sebagai penyeru hak asasi manusia diseluruh dunia, ternyata menutup mata terhadap perlakuan keji dan pelanggaran secara serius terhadap hak Dr. Siddiqui sebagai individu. Maka nampaklah bahwa slogan-slogan dunia Barat tentang hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, transparansi keadilan, prosedur hukum hanyalah sekedar alat yang digunakan pemerintah Barat — yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan begitu saja– demi kepentingan politik dan penaikan pamor di dunia internasional. Berani-beraninya pemerintah barat berlagak suci, padahal pada saat yang sama bau busuk mulai menyebar dari wilayah mereka sendiri? Maka sangat kurang ajar pemerintah semacam itu yang dengan seenaknya merendahkan perlakuan Islam terhadap wanita, padahal kasus Dr. Siddiqui justru menunjukkan tradisi abad pertengahan dalam sejarah mereka saat memburu dan menyiksa wanita penyihir masih melekat dalam diri mereka dan nampak di dalam perilaku mereka sendiri? Lalu siapa sebenarnya yang masih sangat kuno dalam perilakunya?

Keterlibatan pemerintah Pakistan dan ketidakpeduliannya terhadap perlakuan keji yang menimpa saudara perempuan seiman ini adalah suatu tindakan kriminal. Sangatlah memalukan bahwa pemerintah Pakistan telah menyerahkan kedaulatan dan warga negaranya sendiri ke Amerika. Sangatlah memalukan bahwa mereka telah menukar kehormatan saudara kita demi seonggok kertas dolar. Sungguh memalukan bahwa mereka telah menjual putri umat ini kepada mereka yang telah menebar kebencian terhadap Islam.

Pengkhianatan para penguasa muslim pun tidak mengenal batas. Mereka telah mengenyampingkan kebutuhan dan perlindungan hak-hak umat dengan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Bagaimana pemerintah rezim Musharaf bisa menerima fakta bahwa warganegaranya sendiri dilarikan ke Amerika dan menghadapi persidangan di sana tanpa mempertanyakan keabsahannya sama sekali? Pemerintah semacam ini hanya peduli bagaimana mempertahankan kedudukan mereka saja.

Mereka sudah kebal terhadap penderitaan, air mata dan jerit kesakitan umatnya, dan lebih menyibukkan diri mereka dalam urusan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Pemerintahan macam apa yang membiarkan anak-anak perempuannya untuk disiksa hingga kehilangan nalar? Pemerintah macam apa yang membiarkan tiga anak kecil untuk kehilangan ibunya –satu diantaranya baru berumur 1 bulan yang hanya tahu kehangatan dari pelukan ibunya? Sungguh, kisah pengkhianatan dan sifat pengecut para penguasa muslim tidak akan pernah terlupakan.

Kasus Aafia Siddiqui menunjukkan urgensi yang semakin genting untuk mengembalikan kembali institusi negara Khilafah. Para wanita umat telah merindukan kepemimpinan Islam yang akan melindungi kehormatannya, mengembalikan hak-haknya, menghilangkan perasaan takut dan menegakkan keamanan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Mereka menginginkan negara yang akan menghapus kesengsaraan, penderitaan, dan air mata dari penghinaan, menuju ke era baru yang penuh dengan harapan, kekuatan, dan keadilan bagi umat ini. Benar-benar, apabila terjadi, akan membuka era baru yang menghantarkan dunia kepada makna sejati kehidupan manusia, perlindungan terhadap martabat dan hak-haknya.

Anak-anak perempuan Umat ini sedang menunggu untuk memba’iat seorang Khalifah yang benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka dan melindungi yang lemah diantara mereka– seorang Khalifah yang akan mengirim anak-anak muda pemberani dari Umat ini untuk membebaskan wanita muslim dari penjara penindasan– pemimpin anak muda seperti Muhammed ibn Qasim yang di abad ke-8 diutus Khalifah dengan memimpin 6 ribu pasukan kavaleri untuk membebaskan wanita muslim yang dipenjara oleh Raja Delhi India. Dalam perjalanannya, ia dan pasukannya harus menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat dari mereka namun ia masih mampu untuk menundukkannya.

Maka, wahai para hamba Allah, mari tiap-tiap kita bekerja secara sungguh-sungguh, sebarkan seruan kita, dan berikan segala daya upaya untuk mengembalikan keberadaan negara Khilafah yang akan menghilangkan penderitaan saudara-saudara perempuan kita menuju harapan, menghilangkan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Allah Swt. berfirman:

“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Dia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang durhaka.” [TQS An-Nuur (24): 55]

apakah ini takdir dia (perempuan)?? apakah HAM dirugikan atas kasus ini??

Unknown mengatakan...

{Dunia Barat dan Penguasa di Negeri Muslim Harus Malu terkait Kasus Dr. Aafia Siddiqui}
Kasus Dr. Aafia Siddiqui benar-benar membuat hati serasa terkoyak, perut terlilit, dan kemarahan terbangkit bagi siapapun yang masih memiliki harga diri. Pengalaman buruk yang dialami ibu dari tiga orang anak kembali menjadi catatan tragedi “Perang melawan Teror” (“War on Terror”), atau “Perang terhadap Islam”. Kasus ini harus membuat siapapun atau pemerintah manapun yang menganggap diri mereka sebagai pejuang hak asasi manusia di dunia untuk menjadi malu.

Dr. Aafia Siddiqui adalah ilmuwan biologi jaringan saraf dan dididik sebagai ahli genetik. Setelah belajar 10 tahun di Amerika Serikat (AS) dan menyabet gelar Doktor di bidang Neurosains Kognitif, Dr. Siddiqui yang berwarganegara Pakistan lalu pulang ke negeri asalnya. Lima tahun lalu pada bulan Maret 2003 ia menghilang bersama 3 anaknya yang berumur 7 tahun, 5 tahun, dan 6 bulan ketika ia berkunjung ke rumah ibunya di Karachi. Banyak yang menduga bahwa ia telah dijemput dalam perjalanannya menuju ke airport oleh dinas rahasia Pakistan, yang lalu menyerahkannya ke FBI atas instruksi pemerintahan Musharraf yang menerima imbalan uang atas dukungannya terhadap AS. Penahanan Dr. Siddiqui dikonfirmasi oleh juru bicara kementerian dalam negeri Paksistan dan dua orang pejabat AS yang tidak disebut namanya dalam media massa Pakistan berbahasa Urdu. Anehnya, hanya berselang beberapa hari saja, rezim Pakistan dan AS menarik pernyataan mereka dan menyangkal memiliki pengetahuan perihal penahanan dan letak penahanan Dr. Siddiqui.

Selama 5 tahun, keberadaan Dr. Siddiqui dan tiga anaknya tidak diketahui hingga perwira kepoliisian Afghanistan di propinsi Ghazni menyatakan di bulan Juli 2008 bahwa Dr Siddiqui ditangkap dengan tuduhan terorisme. Ia sekang disekap di penjara di Brooklyn, New York– Dr Siddiqui yang memiliki dual kewarganegaraan AS dan Pakistan kini menghadapi pengadilan AS dengan tuduhan usaha pembunuhan terhadap personil angkatan bersenjata AS di Afghanistan. Keberadaan tiga anaknya hingga kini belum diketahui.

Pengacaranya dan berbagai organisasi HAM (hak asasi manusia) meyakini bahwa setelah menghilang, Dr. Siddiqui disekap di pangkalan militer AS Bagram di Afghanistan. Organisasi tersebut dan keluarganya mengklaim bahwa selama itu dia telah disiksa hingga kehilangan pikiran. Mereka percaya bahwa dia adalah ‘Tahanan 650′ di Bagram, sebagaimana diceritakan oleh tahanan lainnya yang berhasil melarikan diri dari atau dilepaskan dari penjara, sebagai wanita yang disekap dalam tahanan secara sendirian, jeritan dan teriakannya kerap menghantui tahanan lainnya. Anggota parlemen Lord Nazir Ahmed yang mengangkat isu tentang kondisi Tahanan 650 di House of Lord, saat identitas tahanan 650 itu belum diketahui, berkata bahwa dia telah disiksa dan kerap diperkosa oleh sipir penjara. Lord Nazir juga mengatakan bahwa Tahanan 650 tidak diberikan toilet yang terpisah bahkan tahanan yang lain pun bisa melihat tubuhnya ketika mandi.

Penistaan terhadap saudara perempuan kita ini tidak berhenti di Bagram. Kini ia ditahan di Pusat Penahanan Metropolitan Brooklyn, dan dipaksa untuk diperiksa dengan melepaskan seluruh pakaiannya setiap kali ia hendak bertemu dengan pengacaranya, diplomat Pakistan, dan anggota keluarganya. Ini semua dilakukan bahkan ketika kantor penjara sudah melarang adanya kontak fisik antara dia dengan siapapun. Saudara perempuan kita ini menolak penistaan semacam ini dan akibatnya harus melepaskan haknya untuk bertemu dengan pengacaranya dalam banyak kesempatan.

Kini Aafia Siddiqui menghadapi prosesi “Pengadilan Kanguru” dan “Pengadilan Politik” di AS, suatu prosesi untuk menghindarkan malu bagi AS, bukan tentang terorisme. Pengacaranya, Elaine Whitfield Sharp berkomentar bahwa kliennya ditahan karena alasan politik dan semua tuduhan padanya ‘terbukti salah dan tidak bermakna’. Sangatlah aneh bahwa seorang perempuan yang digambarkan FBI selama 5 tahun sebagai wanita yang paling dicari dalam Perang melawan Teror dan diduga ditahan oleh pemerintah Afghan dengan tuduhan membawa instruksi membuat bom dalam tasnya dan menyimpan bahan kimia berbahaya dalam botol, kini akan menghadapi pengadilan dengan tuduhan kriminal biasa (percobaan pembunuhan dan penyerangan), yang tidak berhubungan dengan terorisme.

Tuduhan kriminal tersebut berasal dari cerita pemerintah AS bahwa selama diinterogasi di Afganistan, Dr. Siddiqui merebut senapan interogatornya dan menembaki perwira AS. Ia lalu ditembak di dada dan dilumpuhkan, namun sempat menendang tentara AS yang berusaha untuk menahannya. Kalau terbukti, Dr. Siddiqui akan menghadapi 20 tahun penjara untuk setiap tuduhan. Namun ada banyak ketidacocokan terhadap cerita ini dan polisi Afganistan yang hadir dalam peristiwa interogasi tersebut memberi versi lain. Beberapa diantaranya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara AS memaksa supaya Dr. Siddiqui ditransfer ke AS dan ketika polisi Afghan menolak, mereka dilucuti senjatanya. Mereka juga mengklaim bahwa tentara AS-lah yang menembak Dr. Siddiqui dengan alasan bahwa ia adalah pembom bunuh diri.

Ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang perempuan yang memiliki berat badan sekitar 45 kg, ditembak di dada dan digambarkan sebagai lemah dan renta hingga harus dituntun untuk masuk ke ruang pengadilan di AS mampu meronta dan menyerang sekelompok perwira AS yang menahannya. Pengacara Dr. Siddiqui, Elizabeth Fink menyatakan bahwa anggapan terhadap ‘perempuan 45 kg’ yang diduga mampu menimbulkan kekerasan sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah AS sangatlah ‘absurd’. IA Rehman, direktur Hak Asasi Manusia Pakistan, organisasi independen berkata bahwa cerita pemerintah AS adalah “kebohongan terbesar di abad 21.”

Tanggapan pemerintah dunia Barat dan penguasa Muslim, terutama pemerintah Pakistan terhadap peristiwa yang menimpa Dr. Siddiqui yang sangat memilukan ini sungguh memalukan. Banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa terjawab– Siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap penculikannya? Kenapa dia ditahan dalam waktu yang sangat lama di Bagram tanpa tuduhan dan tanpa pengacara? Kenapa dia diekstradiksi ke AS tanpa prosedur? Dimana 3 anak-anaknya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang pemerintah Barat, AS, dan Pakistan terkesan tidak peduli untuk mencari tahu jawabannya.

Ketidakpedulian dan penggunaan standar ganda oleh Barat, yang mengklaim sebagai penyeru hak asasi manusia diseluruh dunia, ternyata menutup mata terhadap perlakuan keji dan pelanggaran secara serius terhadap hak Dr. Siddiqui sebagai individu. Maka nampaklah bahwa slogan-slogan dunia Barat tentang hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, transparansi keadilan, prosedur hukum hanyalah sekedar alat yang digunakan pemerintah Barat — yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan begitu saja– demi kepentingan politik dan penaikan pamor di dunia internasional. Berani-beraninya pemerintah barat berlagak suci, padahal pada saat yang sama bau busuk mulai menyebar dari wilayah mereka sendiri? Maka sangat kurang ajar pemerintah semacam itu yang dengan seenaknya merendahkan perlakuan Islam terhadap wanita, padahal kasus Dr. Siddiqui justru menunjukkan tradisi abad pertengahan dalam sejarah mereka saat memburu dan menyiksa wanita penyihir masih melekat dalam diri mereka dan nampak di dalam perilaku mereka sendiri? Lalu siapa sebenarnya yang masih sangat kuno dalam perilakunya?

Keterlibatan pemerintah Pakistan dan ketidakpeduliannya terhadap perlakuan keji yang menimpa saudara perempuan seiman ini adalah suatu tindakan kriminal. Sangatlah memalukan bahwa pemerintah Pakistan telah menyerahkan kedaulatan dan warga negaranya sendiri ke Amerika. Sangatlah memalukan bahwa mereka telah menukar kehormatan saudara kita demi seonggok kertas dolar. Sungguh memalukan bahwa mereka telah menjual putri umat ini kepada mereka yang telah menebar kebencian terhadap Islam.

Pengkhianatan para penguasa muslim pun tidak mengenal batas. Mereka telah mengenyampingkan kebutuhan dan perlindungan hak-hak umat dengan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Bagaimana pemerintah rezim Musharaf bisa menerima fakta bahwa warganegaranya sendiri dilarikan ke Amerika dan menghadapi persidangan di sana tanpa mempertanyakan keabsahannya sama sekali? Pemerintah semacam ini hanya peduli bagaimana mempertahankan kedudukan mereka saja.

Mereka sudah kebal terhadap penderitaan, air mata dan jerit kesakitan umatnya, dan lebih menyibukkan diri mereka dalam urusan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Pemerintahan macam apa yang membiarkan anak-anak perempuannya untuk disiksa hingga kehilangan nalar? Pemerintah macam apa yang membiarkan tiga anak kecil untuk kehilangan ibunya –satu diantaranya baru berumur 1 bulan yang hanya tahu kehangatan dari pelukan ibunya? Sungguh, kisah pengkhianatan dan sifat pengecut para penguasa muslim tidak akan pernah terlupakan.

Kasus Aafia Siddiqui menunjukkan urgensi yang semakin genting untuk mengembalikan kembali institusi negara Khilafah. Para wanita umat telah merindukan kepemimpinan Islam yang akan melindungi kehormatannya, mengembalikan hak-haknya, menghilangkan perasaan takut dan menegakkan keamanan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Mereka menginginkan negara yang akan menghapus kesengsaraan, penderitaan, dan air mata dari penghinaan, menuju ke era baru yang penuh dengan harapan, kekuatan, dan keadilan bagi umat ini. Benar-benar, apabila terjadi, akan membuka era baru yang menghantarkan dunia kepada makna sejati kehidupan manusia, perlindungan terhadap martabat dan hak-haknya.

Anak-anak perempuan Umat ini sedang menunggu untuk memba’iat seorang Khalifah yang benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka dan melindungi yang lemah diantara mereka– seorang Khalifah yang akan mengirim anak-anak muda pemberani dari Umat ini untuk membebaskan wanita muslim dari penjara penindasan– pemimpin anak muda seperti Muhammed ibn Qasim yang di abad ke-8 diutus Khalifah dengan memimpin 6 ribu pasukan kavaleri untuk membebaskan wanita muslim yang dipenjara oleh Raja Delhi India. Dalam perjalanannya, ia dan pasukannya harus menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat dari mereka namun ia masih mampu untuk menundukkannya.

Maka, wahai para hamba Allah, mari tiap-tiap kita bekerja secara sungguh-sungguh, sebarkan seruan kita, dan berikan segala daya upaya untuk mengembalikan keberadaan negara Khilafah yang akan menghilangkan penderitaan saudara-saudara perempuan kita menuju harapan, menghilangkan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Allah Swt. berfirman:

“Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: Khalifah-khalifah yang berkuasa dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah diredhaiNya untuk mereka; dan Dia juga akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepadaKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu yang lain denganKu dan (ingatlah) sesiapa yang kufur ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang durhaka.” [TQS An-Nuur (24): 55]

apakah ini takdir dia (perempuan)?? apakah HAM dirugikan atas kasus ini??

espito mengatakan...

singkat saja mungkin: Saya kira di semua zaman, dlm periode mana pun juga, tragedi senantiasa hadir menyergap umat manusia - krn keburukan/sifat jahat, erat lekat dlm diri manusia, tak peduli ras, suku, dan agama. So, saya lebih ingin melihat segalanya dlm perspektif yg universal (dlm konteks Kemanusiaan), bukan dgn perspektif yg dikotomis ala Islam-NonIslam, Barat-Timur, dsb..
Kemuliaan, spt halnya keburukan, adlh milik umat manusia, bukan monopoli satu umat saja. sekian, trims..