Senin, Desember 22, 2008

cruel world

  • buat Ann

Tak ada lain hal yang terpikir olehku saat harus menulis dengan melibatkan namamu, kecuali ini: begitu lancang dan kelewat kurang ajar-nya diriku. Tapi tak ada hal lain yang dapat kuperbuat dalam kesendirian untuk tak menuliskan catatan ini; pikiranku terlampau lekat pada bayang-bayangmu.

Ya, Ann, aku membayangkanmu sedang dicekam kesendirian, biarpun kau katakan hujan membawa suara keindahan (betapa syahdu, ujarmu). Tapi tak dapat kita bohongi diri sendiri: Kesendirian, buatmu dan buatku, terasa amat menakutkan, seolah kita hanyalah jenis manusia terbuang yang mesti rela menelan pahitnya diabaikan oleh kehidupan. Kau tahu, betapa bertahun-tahun kupendam dendam dalam-dalam pada hidup, seolah ia adalah genderuwo yang telah menculik indukku. Bertahun-tahun kuhiburi kesakitanku sendiri, tak seorang pun ambil peduli, tak juga ibu dan bapakku, sembari kubohongi diriku sendiri untuk tetap percaya pada mahakasih tuhan, sembari tetap kupaksa diriku untuk jadi manusia yang penuh takwa. Tapi dunia nampaknya tetap tak hendak berdamai denganku, pun demikian pula aku terhadapnya meski telah kuhabiskan bertahun-tahun mengulurkan tangan untuk sebuah perdamaian abadi. Sekujur hidupku penuh luka menganga, tapi kehidupan seolah tak pernah ambil peduli, juga tuhan yang dipuja-puja setinggi langit tujuh itu. Kini tanganku yang mengulur bertahun-tahun, dan beribu-ribu kali ditampik kehidupan itu, telah kutarik. Tak ada lagi harapan buat adanya perdamaian saat kusadari bahwa tuhan dan dewa-dewa itu tak lebih dari ilusi massal umat manusia yang terkubang derita namun pura-pura mengerti akan hakikat hidupnya sembari masih mengais-ngais makna bagi keberadaannya di dunia yang bagiku tak ubahnya keranjang sampah ini.

Seorang serdadu Nazi-Jerman di medan Stalingrad menulis dengan perih kepada bapaknya, “telah kucari Tuhan di tiap celah dan jurang, di segala rumah yang dihancurkan, di setiap sudut, dalam diri setiap teman, di lobang persembunyianku, dan di langit. Tuhan tidak menunjukkan diri, meskipun hatiku menjerit-jerit memanggil. Rumah-rumah dimusnahkan, para lelaki itu sama gagah berani dan sama pengecutnya dengan aku sendiri, di bumi berkecamuk kelaparan dan pembunuhan; hanya Tuhan saja yang tidak ada. Tidak bapak, tidak ada Tuhan..” Tentu yang diharap si serdadu malang itu adalah munculnya keajaiban, sebagai bukti mahakasih tuhan. Tapi ia kecewa dalam luka yang menganga; pemujaan pada tuhan tak lebih dari sebuah waham bagi umat manusia. Perang tetap berkecamuk, dunia tetap dihelat dengan penuh derita dan sengsara, dan di tiap-tiap lembar sejarah peradaban selalu tertoreh amis bau darah dan busuknya bangkai manusia…

Manusia butuh sandaran dan pelarian bagi ketidakberdayaan yang melingkupinya, maka diciptakanlah berhala-berhala baik di hadapan tubuhnya maupun di dalam pikirannya; dan ia panggil berhala itu “dewa” atau “tuhan”. Tapi, ah, kenapa mesti membincangkan sesuatu yang absurd macam itu. Aku hanya ingin membagi sedikit sakitku padamu, Ann, dan mengambil sebagian sakitmu untuk turut kutanggung di punggungku.

Aku tak tahu kenapa kita mesti meng-ada di dunia ini dengan keadaan jiwa yang mengaus dan nampaknya ditampik oleh kehidupan. Orang akan mengatakan pada kita: rubahlah sudut pandangmu pada dunia dan kau akan dapati betapa indahnya hidup. Mereka tentu tak pernah tahu, telah kuhabiskan waktu bertahun-tahun mengamati dunia dari segala sisinya, tapi ia tak nampak berbeda dari sebelumnya. Sakitku makin perih, lukaku makin memborok, dan dunia makin terasa kabur dalam pandanganku kecuali sisi bengis dan sadisnya yang masih terlihat cukup jelas bahkan dalam mata yang terpejam. Kutahu, kau juga pernah, atau mungkin malah tengah, merasakan hal demikian. Tapi apa yang dapat kuperbuat untuk turut menanggungkan perihmu selain menceritakan padamu bahwa aku juga merasakan apa yang selama ini kau alami. Dengan begitu kuharapkan kau akan sedikit lega: tahu bahwa kau tak sendirian menghadapi kejamnya kehidupan yang tak kenal kata “damai” kecuali kita telah diuruk tanah – menjadi jenasah dan kemudian berubah jadi tanah pula.

Kadang aku berkhayal, andaikan saja nyawa dapat dileburkan satu sama lain dan membentuk kesatuan dengan kekuatan berlebih, mungkin akan kulepas nyawaku untuk melebur dengan nyawamu agar kau menjadi lebih kuat menghadapi hidup; aku sendiri biarlah musnah jadi debu dan terlupakan oleh kehidupan.

Di saat sepi begini, dalam kesendirian, tentu kau teringat akan mimpi-mimpimu di masa lalu: saat kita masih belajar berjalan tertatih-tatih, belajar berujar kata lewat lisan, dan belajar mengasup makanan dengan tangan sendiri, dan saat kita habiskan masa kanak-kanak dan kemudian beranjak remaja. Betapa indah mengenangkan apa-apa yang masih belum mampu kita lakukan. Tapi sayangnya, mimpi-mimpiku kini telah hancur berantakan, berserakan di sekujur masa dewasaku. Dan kau tahu, kupungut satu persatu serakan mimpi-mimpi itu dan kemudian kubakar menjadi abu, menjadi debu. Kini, tak satu pun impian bersisa di kepalaku; hanya serpihan-serpihan berhala yang masih melekat kukuh dan belum kuasa untuk kubersihkan tanpa sisa.

Tapi kuharap nasib mujur masih berpihak kepadamu, Ann, hingga kau tak kehilangan mimpi-mimpimu, juga sesembahan tempatmu menumpahkan segala kesah dan resah jiwa. Ya, kuharap peruntunganmu masih jauh lebih baik daripada aku, Ann. Dan kau masih bisa berjalan meniti kehidupan biarpun dengan langkah tertatih-tatih; aku sendiri telah berhenti melangkah, dan hanya ingin mengawasi langkahmu semata karena kaulah mungkin salah satu alasan aku masih bertahan dalam kehidupan. Bukan, bukan karena aku masih mengharapkan kau datang mengulur tangan padaku; ketika aku telah berhenti meniti langkah maka tak layak lagi aku mengharapkanmu. Kau bisa menjadi milik yang-lain, tapi apa salahnya bila aku menikmati kebersamaan dengan bayang-bayangmu, dalam sepi dan kesendirian di mana aku meringkuk tak berdaya.

Ya, Ann, aku masih belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayangmu, dan biarlah ia kunikmati sebagai penawar sepi, biarlah ia menjelma berhala yang akan kupuja dalam kesendirianku...

Ann, aku masih merindukanmu, dengan segala kefakiranku...

liangkubur, 21 desember 2008

- suatu saat kan kudekap rapat jiwamu, Ann…

Tidak ada komentar: