Selasa, Februari 03, 2009

TBA

Kau masih juga tersuruk, terpuruk, melata di atas tanah. Meresapi hari, mengeja sepi, menyecapi mimpi-mimpi, sendiri. Tak ada kawan berbagi, hanya kicau burung-burung yang perlahan punah ditelan arus jaman. Kau rindu pada masa kecilmu saat kau bermain lelayang di sawah, atau mandi di kali bersama kawan-kawan sepermainan. Kini hanya sunyi yang kau punya, hanya pahit dan getirnya hidup yang kau dapati, di mana pun kakimu berpijak: di kota, di desa, sama tiada beda. Hanya satu buah yang kau petik dari semua ini: kau berhasil membuka mata dan pengetahuanmu bahwa tuhan adalah sebuah berhala dan agama tak lain perpanjangan mitologi belaka. Ya, kau lulus menjadi seorang ateis. Kau tak lagi membutuhkan figur tuhan sebagai tempat sandaran dan pelarian atas segala ketakmampuan diri, saat kau telah sadar bahwa hidup adalah serangkaian “proses-menjadi-nan-tak-berkesudahan”, tak ada awal tiada akhir; semua di bumi dan di langit bersatu padu menjalani evolusi nirmasa. Kau tak perlu lagi dihantui ilusi-ilusi dosa dan neraka, dan tak perlu lagi menyibuki diri dengan perhitungan pahala-surga. Kau hanya perlu tersenyum pada segenap kehadiran di hadapanmu, coba membangun kerendahan hati sebagai syarat mutlak mengarungi hidup-fana ini, tersenyum di hadapan sesama manusia, hewan, tetumbuhan, bebatuan, dan bahkan bila perlu juga pada nasibmu sendiri. Kau juga telah sadar: tak lebih tinggi dan tak lebih rendah derajatmu dibanding hewan, tetumbuhan, dan segala kehadiran yang ada di jagat ini; hanya sebagai sebuah kelanjutan proses evolusi semata kau terlahir sebagai seorang manusia dan berinduk pada dua orangtuamu.

Dan kau lega terbebas dari fantasi ketuhanan yang telah menjeratmu bertahun-tahun, biarpun hidupmu kini tetap melata dalam keterpurukan—anggap itu harga yang harus kau bayar sebagai penebusan!

Tak ada salahnya menjadi ateis, gumammu...[]

1 komentar:

ASP mengatakan...

Wishing you a very Happy day and smile for you .. Bali needs to do something! http://gladyaregita.blogspot.com/ :)