Selasa, Februari 10, 2009

Gio

Sejak kecil saya sering melihatnya di pasar desa. Ia lelaki malang yang terlahir dengan penglihatan yang sama sekali tak berfungsi, dan orang-orang di pasar juga menyebutnya “wong gendeng” (orang gila) karena akalnya yang kurang waras. Namanya Gio. Usianya terpaut beberapa tahun saja di atas saya.

Tiap pagi ia datang ke pasar dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping, lantas berkeliling dari satu ruko ke ruko lain, meminta sekedar uang seratus rupiah kepada para pedagang. Anehnya, meski dua matanya buta, ia selalu bisa mengenali uang logam yang diberikan kepadanya. Ia selalu menampik bila diberi uang yang bukan uang logam seratusan rupiah. Agak komikal mungkin kedengarannya, seperti halnya kisah Stevie Wonder yang juga seorang tunanetra. Suatu hari Stevie diperintahkan oleh gurunya untuk membantu kawan-kawannya yang tidak buta menangkap seekor tikus yang masuk ke ruang kelas. Dan siapa menyangka, Stevie-lah yang justru dapat menangkapnya, bukan kawan-kawannya yang berpenglihatan normal. Barangkali alam memang selalu memberikan kompensasi kepada orang-orang yang terlahir dengan tubuh tak sempurna seperti Gio dan Stevie.

Saat kecil dulu saya memang kerap diajak nenek berjualan di pasar. Nenek sendiri punya sebuah ruko yang terletak tak jauh dari pintu masuk pasar di sebelah timur. Setiap Gio datang, saya-lah biasanya yang diminta nenek untuk mengulurkan uang receh seratus rupiah. Dikumpulkannya uang-uang receh itu dengan telaten hingga terkumpul dalam jumlah ribuan. Bila mengingat itu terjadi belasan tahun silam, jumlah tersebut tentunya tidak kecil. Harga sekilo beras saat itu masih dikisaran limaratusan rupiah. Setelah berkeliling pasar, biasanya ia singgah di salah satu warung nasi yang ada di samping pintu masuk. Di sana ia membeli sepiring nasi dan segelas teh untuk sarapan. Satu lagi hal yang ganjil, meski pikirannya kurang waras, ia tak jarang menolak bila pemilik warung berkenan memberinya sarapan secara cuma-cuma. Ia bersikeras untuk membayar sarapannya itu. Ia hanya meminta duit dan bukan meminta sesuap nasi, begitu ia biasanya berkilah. Tak sedikit ibu-ibu di pasar yang menatapnya dengan pandangan iba, tapi ada juga yang memandangnya dengan jijik karena tubuhnya yang lusuh dan menebar bau tak sedap. Sejak merasa akrab dengan kehadirannya, kerap saya bertanya-tanya mengapa ia bernasib buruk seperti itu, terlahir dengan cacat tubuh dan sekaligus mental? Seperti apa rasanya menanggungkan hidup seperti yang dijalani oleh Gio itu? Dan kenapa hidup nampak berlaku begitu kejam pada seorang anak manusia?

*

Membicarakan problematika hidup sejatinya adalah seperti upaya mengurai benang kusut yang tak akan pernah tuntas sampai ajal keburu datang merenggut. Semenjak mitologi penciptaan Adam-Hawa diceritakan, sejak jabang bayi dilahirkan dari rahim seorang ibu, sejak itulah centang perenang benang-benang kehidupan mengulur dalam pola-pola tak beraturan yang dari hari ke hari akan kian kusut-masai.

(Tak salah kiranya bila Budha Gautama menyebut kehidupan sebagai “alam samsara”, juga Siti Jenar yang menyebutnya dengan terminologi “alam kematian”. Sementara Yesus mengatakan bahwa “kerajaannya tak berada di bumi”: sebuah ungkapan yang menyiratkan betapa kehidupan di muka bumi jauh dari kondisi yang diidealkan umat manusia.)

Maka bukan hal aneh bila seseorang tak pernah paham pada hal-ikhwal nasib yang menimpanya sebab memang kekusutan benang-benang kehidupannya berkembang melampaui kemampuan nalarnya untuk mengurainya. Tak ada satu pun manusia yang mampu memahami kehidupannya sendiri; selalu tersisa lubang hitam menganga yang tak pernah habis untuk dimengerti. Inilah barangkali yang disebut sebagai “Misteri Eksistensi”. Tapi untungnya, dalam menjalani kehidupan orang tak harus memahami hakikat eksistensinya –biarpun notabene ia dikaruniai kemampuan nalar oleh alam.

Dan sebab itulah, mungkin, orang seperti Gio tetap menjalani hari-harinya dengan tabah meski ia sendiri tak pernah bersentuhan dengan pemikiran eksistensial karena akalnya yang kurang waras, dan juga tak pernah menyaksikan riuhnya warna-warni kehidupan dengan matanya.

Atau jangan-jangan memikirkan hakikat eksistensi justru akan menggiring manusia pada kesenyapan hidup dan keterasingan akut seperti umumnya dialami para filsuf. Siapa tahu?!

Hidup untuk dijalani, bukan dipikirkan –sebuah ungkapan satir namun tak begitu salah kiranya...[]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

lam kenal bang...

bagus banget neh tulisannya...