Sabtu, Februari 14, 2009

roman picisan

- karena cinta, konon, sebagaimana segala sensasi rasa, tak lebih dari tipuan kimiawi tubuh!

Seorang muda sedang duduk di sebuah bangku stasiun kereta sembari mengisap sebatang rokok kretek dengan khusyuk. Disedotnya asap beracun nan memabukkan itu pelan-perlahan, lalu dikeluarkannya lewat hidung, dan sesekali juga melalui mulut. Tatapan matanya lurus menyebrangi centang perenang rel-rel kereta di seberang peron dan terbentur pada bangunan gudang lusuh di dalam kompleks stasiun tua itu. Pikirannya seolah kedap dari riuh suara para calon penumpang yang bersliweran di sekitarnya. Ia nampak tak begitu peduli di mana saat itu dirinya berada. Juga ia nampak tak ambil pusing dengan pemandangan langit di pagi itu yang makin menghitam, pertanda hujan hendak tumpah dengan lebat. Mungkin pula rokok itu sesungguhnya tak begitu dinikmatinya biarpun ia nampak khusyuk bak orang sembahyang saat menghisap dan memuntahkan asapnya. Ia hanya sedang muak pada nasib yang melilitnya. Tersungging senyum getir di bibirnya saat bayangan sesosok gadis yang pernah dicintainya melintas dalam benaknya –setingkat di bawah senyum yang dipaksakan orang-orang yang saling kenal saat satu sama lain berjumpa tanpa sengaja di sebuah pasar tradisional.

*

Tak kurang setahun lalu, ia jatuh hati pada seorang gadis yang sebenarnya tak begitu dikenalnya. Tapi dalam soal cinta, hal demikian itu sama sekali tak aneh, apalagi ajaib. Orang saling jatuh cinta saat baru satu jam berselang mereka pertama kali saling bersitemu muka, sudah lazim terjadi. Orang bisa saja saling jatuh cinta saat mereka baru pertama kali bertemu di sebuah acara resepsi pernikahan kerabatnya, di mall, di terminal bus, di stasiun kereta, bahkan di atas kereta dan bus yang mereka tumpangi. Cinta pada pandangan pertama, begitu orang-orang bilang. Banyak yang hanya jadi “cinta sesaat”, tapi banyak pula yang berlanjut ke tahap pacaran dan jenjang pernikahan.

Tapi bukan jenis “cinta pada pandangan pertama” yang pernah dialaminya itu. Tak terhitung sudah puluhan-ratusan kali ia bertemu muka dengan gadis yang dijatuhcintainya. Hanya entah karena bersebab apa ia baru – atau justru tiba-tiba – jatuh hati pada si gadis. Kenapa tak sejak dari dulu, atau mengapa ia mesti jatuh cinta segala, begitu ia kerap bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Aneh ia merasakannya. Orang jatuh cinta pada siapa pun dan kapan pun bukanlah sesuatu yang aneh, tapi cinta itu sendiri tetaplah sesuatu yang aneh. Begitu ia dulu menganggapnya. Dan ia tak pernah bertanya pada siapa pun, apa sebenarnya yang disebut cinta itu. Juga, bila cinta dianggap sebagai prasyarat sebuah perkawinan, ia tak pernah bertanya pada kedua orangtuanya hal-ikhwal cinta. Ia hanya mengenal kisah-kisahnya, terutama yang disebut orang sebagai “kisah cinta yang tragis”, lewat guratan tinta para pujangga dan juga taburan cahaya sinematografi. Mulai kisah Layla dan Kais “majnun” gubahan Syeikh Nizami, Romeo dan Juliet karya Shakespeare, hingga Siti Nurbaya yang ditulis Marah Roesli. Juga kebanyakan novel dan film yang memang selalu dan selalu berkisah, atau paling tidak diselipi, soal cinta. Ia sadar betul, kisah hidup keseharian bukanlah cerita yang mendayu-dayu ala roman rekaan para pujangga, juga bukan kisah yang filmis. Tapi apa salahnya mempelajari kisah cinta melalui cerita-cerita rekaan, pikirnya. Toh imaji selalu berangkat dari realitas; rekaan adalah kelanjutan – atau anak kandung – kenyataan.

Gadis yang dicintainya bukanlah gadis ideal yang menjadi “idaman setiap pria” bila yang disebut ideal adalah seperti apa yang digambarkan iklan-iklan kosmetik atau kisah-kisah sinetron di televisi. Tapi gadis itu adalah gadis ideal baginya meski ia sendiri tak tahu apa yang ia jadikan tolok-ukur untuk menyebutnya ideal. Yang ia yakini adalah bahwa siapa pun perempuan yang membuatnya jatuh cinta, dia-lah yang ideal baginya –paling tidak, ideal baginya untuk saat itu meski ia sendiri sempat dengan naifnya mempercayai ikhwal “keabadian cinta”. Maka ia mulai mengguratkan pena, mengungkapkan sayup-sayup suara hatinya ke dalam tulisan-tulisan yang belakangan hari, setelah cinta di hatinya mulai pudar, ia baca kembali dengan pikiran terheran-heran. Cinta memang selalu menggoreskan kegilaan dalam pikiran, setidaknya bagi dirinya, begitu ia bergumam. Bahkan kala itu impiannya melambung setinggi awan. Ia bayangkan betapa akan bahagianya sisa hidupnya apabila ia bersanding dengan si gadis. Karena cinta duri menjadi mawar; karena cinta cuka menjelma anggur segar; karena cinta penjara tampak bagai kedai mawar; karena cinta setan berubah jadi bidadari; karena cinta batu cadas jadi lembut bak mentega, tulis Rumi. Karena cinta pula, ia nyaris kehilangan akal sehatnya dan jatuh gila.

Sesungguhnyalah ia tak banyak menghabiskan waktu bersama si gadis. Sepuluh jari di kedua tangannya sudah cukup untuk menghitung berapa kali ia bersidekat tubuh dengan perempuan itu setelah ia jatuh hati kepadanya. Tapi itu semua rupanya tak sanggup menghalangi rasa cinta untuk tak membiakkan kegilaan dalam pikirannya. Dan makin membiak kegilaan dalam alam pikirannya, makin dalam ia jatuh ke dalam “kegelapan cinta” yang membutakannya dari “alam kenyataan”. Perkara cinta memang tak beda jauh dengan perkara agama: makin dalam orang tenggelam di dalamnya, makin hilanglah pijakannya pada realitas. Maka baik cinta maupun agama memang tak ubahnya candu: nikmat, melenakan, melalaikan, dan – perlahan-lahan – membinasakan! Dan persis kebinasaan oleh candu, binasa atas nama cinta ataupun agama adalah cara binasa paling indah karena di sana terbentang cita-rasa surgawi yang menegasi segala kesengsaraan hidup. Sebagaimana ia pernah berkali-kali nyaris binasa oleh cinta, ia pun pernah sekali hampir binasa oleh agama.

Meski sadar kegilaan makin menyergap pikirannya, ia tak kunjung menghindar dari jerat cinta perempuan itu. Ia masih ingin menyintainya, masih ingin menenggelamkan dirinya dalam khayalan kebahagiaan hidup bersamanya. Hingga datanglah hari di mana pikirannya memberontak, sanubarinya meronta. Ia sadar, ia tak lagi kuat bertahan untuk menyintai seorang perempuan yang coba membagi cintanya entah kepada berapa lelaki. Bukan ia tak setuju dengan gagasan semacam poliandri; ia hanya tak sanggup lagi mencoba bertahan di dalamnya walau ia telah memaksa diri mencobanya, sebab sedari awal ia sebenarnya telah tahu bahwa perempuan itu sudah punyai kekasih.

Bangun dari kegelapan menuju arah di mana cahaya berada selalu menimbulkan ketegangan pada saraf-saraf di kepala karena retina mata yang butuh waktu untuk beradaptasi dengan keadaan. Maka demikianlah bangun dari kegilaan cinta menuju alam realita di mana rasa cinta mesti ditanggalkan, akan muncul tegangan psikis yang bagi sebagian orang terlampau berat untuk ditanggungkan. Sebuah gejala yang disebut orang sebagai 'patah-hati'. Dan memang, sebuah bandul yang diayunkan ke satu arah akan membutuhkan waktu untuk berayun ke arah di seberangnya – guna menegasi gaya-awal yang mengganggunya dari titik stabil – sebelum kembali mencapai titik stabilnya. Patah-hati adalah ayunan bandul ke arah kuadran di seberang kuadran cinta.

Rasa sakit berlebih yang nyaris tak tertanggungkan, bagi sebagian orang, harus dicarikan obat penawar. Florentino Ariza, lelaki dalam cerita Love in the Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez, barangkali akan menjadi contoh paling buruk bagi sebagian orang, dan menjadi suri-tauladan bagi sebagian lainnya, ikhwal mengatasi penderitaan akibat patah-hati. Lelaki pekerja rendahan di kantor syahbandar sebuah pelabuhan di Kolombia itu jatuh cinta kepada seorang wanita dari keluarga kelas menengah-atas, Femina Daza. Setelah melalui ikhtiar yang sungguh-sungguh, akhirnya gayung pun bersambut. Kedua insan itu pun saling berkirim surat-cinta. Namun, petaka datang saat ayah Femina mengetahui ikhwal hubungan mereka. Ia tak ingin anak perempuannya menjalin cinta dengan lelaki yang dianggapnya miskin itu. Hingga suatu hari, Femina Daza dinikahkan dengan seorang dokter yang pernah mengobatinya dan juga menyelamatkan kotanya dari wabah kolera. Bertahun-tahun menanggungkan sakitnya mencintai gadis yang tak diperkenankan menjadi kekasihnya, Florentino hidup diambang gila dan waras. Hingga suatu malam di atas kapal yang ditumpanginya, dalam cahaya lorong yang temaram, seorang wanita menyeretnya masuk ke dalam ruang kabin tempat ia menginap. Dalam kondisi setengah gila itu, Florentino diperkosa. Dan betapa akhirnya ia sadar, bahwa nikmatnya bersetubuh dengan perempuan membuat penderitaannya serasa lenyap. Ia pun akhirnya menjadi “petualang birahi”. Tak kurang tujuh ratus wanita berbeda ia jadikan 'obat penawar' sepanjang sisa hidupnya sebelum ia bisa bersatu kembali dengan Femina Daza di usia senja ketika suami perempuan itu meninggal.

Tapi kali ini ia tak ingin ikut-ikutan bertualang dalam imaji Marquez. Ia tak punya kesempatan ataupun bakat kepribadian seperti Florentino Ariza (atau jangan-jangan hanya belum saja?). Maka ia berusaha menempuh cara lain. Dan sekali seumur hidupnya, saat buku-buku tak lagi sanggup melupakannya dari sakit di hatinya, juga tatkala keheningan jalanan kota di malam hari tak kuasa lagi membuat senyap rusuh di benaknya, dan riap-riap air laut tak mampu lagi menghibur kesedihannya, suatu malam ia coba menenggak sebotol anggur. Mengendurlah saraf-saraf otaknya, lantas mengaburlah kesadarannya. Dan, yang terpenting, lenyaplah sakit di benaknya meski hanya berlangsung beberapa saat sebab ketika pengaruh alkohol dalam tubuhnya itu mulai memudar, kambuh kembalilah rasa sakit di benaknya. Tapi setidaknya ia sadar, dan coba sedikit berteori, bahwa sebagaimana segala sensasi rasa, nikmat-cinta dan sakitnya patah-hati tak lebih dari permainan kimiawi tubuh –yang berpusat di otak– semata.

*

Seorang gadis belia seumuran akhir belasan tiba-tiba mengambil posisi berdiri persis di samping tiang bangunan peron, terpaut hanya semeteran dari tempatnya duduk. Ia takkan sepenuhnya tersadar dari bayangan-bayangan hari silamnya yang berhamburan di kepalanya andai tak tercium bau parfum yang menyengat rongga hidungnya. Lalu sambil menandaskan batang kretek ketiganya pagi itu, ia pun sedikit mencuri-curi pandang pada gadis di depannya itu. Gadis belia itu mengenakan kaus ketat warna pink dengan dua bukit di dadanya yang tampak munjung serasa tak tertampung kuncung beha dan balutan kausnya. Sementara bagian bawah tubuh terbungkus celana jins selutut yang juga ketat hingga menampakkan postur paha hingga pinggang dan pantatnya. Kulitnya nampak halus dan hampir seputih umumnya orang tionghoa. Di betis dan lengannya nampak tumbuh bulu-bulu halus. Rambutnya hitam lurus sebahu. Bibirnya tipis berbalut lipgloss. Meski parasnya tak secantik wajah selebriti-selebriti papan atas, namun lekuk-lekuk tubuh dan keseluruhan posturnya yang nyaris sempurna tak urung bakal membangkitkan amuk-syahwat siapa pun yang tak sanggup membendung imaji pada kenikmatan onggokan-onggokan daging di balik busana pembungkus tubuh itu.

Saat kereta yang ditunggu-tunggu tiba, ia pun bergegas bersama puluhan calon penumpang lainnya. Dan entah kebetulan atau sengaja, entah naas atau sebuah keberuntungan, ia duduk persis berhadap-hadapan dengan gadis itu. Bayangan lekuk-lekuk tubuh serta lengan dan betis berkulit putih ditumbuhi bulu-bulu halus itu pun mengoyak-moyak ketenangan pikirannya. Telah ia usahakan untuk menggenggam kuat-kuat kesadarannya, namun tak urung ia kecolongan di sepanjang perjalanan di atas kereta itu. Khayalannya terbang bertualang, meninggalkan tubuhnya dan seluruh penumpang yang teronggok di gerbong paling belakang itu. Ia bayangkan andai saja saat itu ia berada di atas pelayaran laut, dan gadis muda itu menggodanya dengan isyarat-isyarat syahwat, ah... akan ia ajak masuk gadis itu ke dalam kabinnya, menguliti tubuhnya yang molek dan mencumbuinya dari ujung kaki hingga ujung rambut, membaringkannya di atas ranjang dan kemudian menyetubuhinya hingga tetes nafsu penghabisan. Dan tatkala kesadarannya kembali dari petualangan mesum itu, ada perasaan lain yang meyeruap di benaknya setelah amukan syahwatnya mereda.

“Turun mana, mbak?” ia bertanya pada gadis itu, berusaha membuka percakapan untuk melelehkan kebekuan di benaknya. “Kota S. Mas sendiri turun mana?” gadis itu balik bertanya. Dari raut muka dan nada suaranya, pertanyaannya terasa sungguh-sungguh, bukan sekedar basa-basi. “Turun kota J.”

Hening sejenak. Di luar, hujan perlahan mulai turun dengan deras. Kereta pun nampak sedikit berkurang kecepatannya, entah karena hujan atau lanskap tanah yang menanjak.

Gadis itu lalu mengeluarkan sebuah buku dari tas-punggungnya, sementara lelaki muda itu meliriknya. Nampak sekilas olehnya tulisan di sampul buku itu, sebuah novel berjudul Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Lagi-lagi kisah cinta, ia bergumam, kenapa orang-orang suka pada kisah cinta yang melankolis dan seringkali berakhir menyedihkan. Ia tahu pasti karena pernah membacanya. Novel itu berkisah tentang seorang perempuan Bali yang memberontak untuk keluar dari kungkungan sistem kasta agar bisa menikah dengan lelaki yang dicintainya dari kasta yang lebih rendah dari dirinya. Ia memang berhasil keluar dari belenggu adat-budaya moyangnya, menikah dengan lelaki pilihannya sendiri, namun harus merelakan namanya dicoret dari daftar keluarga besarnya di puri. Ia dan seluruh keturunannya juga dilarang menginjak tanah leluhurnya. Sebuah konsekuensi yang pahit, tentu saja.

“Suka novel, ya?” tanya lelaki muda itu. Gadis muda itu hanya tersenyum kecil. “Mas sendiri suka novel?” timpalnya. Ada desir-desir perasaan aneh di benaknya mendapati gadis muda itu menanggapi setiap pertanyaannya dengan sungguh-sungguh, juga sikapnya yang santun dan lembut yang mungkin sedikit kontras dengan gaya pakaiannya yang nampak seronok. Kemudian menjawab, “sedikit suka.” Entah bagaimana ia merumuskan makna kata “sedikit” padahal sejak dua-tiga tahun terakhir, semenjak bangkit dari "kematian eksistensial"-nya dan bersentuhan dengan karya-karya Amin Tohari, Pram, Ayu Utami, Tolstoy, dan terakhir Coelho, lelaki muda itu lebih banyak membaca novel daripada jenis bacaan apa pun yang bisa dijangkaunya. “Suka novel-novel cinta, ya?” kembali ia bertanya pada si gadis dan lagi-lagi hanya mendapati senyuman sebagai sebuah jawaban yang ditingkahi tempias air hujan di kaca jendela gerbong dan derit roda kereta yang berjalan terengah-engah. Dan rasanya makin tak karuan saja desir-desir aneh di dalam dadanya karena gadis itu.

Sejurus kemudian ia raih sebuah buku tipis dari saku tas-punggungnya. Panduan Merakit Radio Citizen Band (CB), begitu judul buku yang kini dibacanya dengan khusyuk itu. Sekali ini ia tak ingin menyimak kisah-kisah dalam novel. Juga ia bukannya hendak merakit sebuah Radio CB karena ia tahu betul kehadiran teknologi selular telah membuyarkan sebentuk impiannya di masa remaja itu sebelum sempat ia wujudkan. Ia hanya ingin menertawakan nasib, nampaknya. Atau mungkin bernostalgia dengan kenangan-kenangannya sebelum mengenal apa yang disebut orang sebagai “cinta”. Semasa duduk di bangku SMP bertahun-tahun silam, ia begitu getol belajar elektronika secara otodidak. Hari-harinya dihabiskan untuk berkawan dengan solder dan serakan papan PCB, transistor, resistor, kondensator, integrated circuit (IC), dan komponen-komponen elektonik berukuran mungil lainnya. Kini ia serasa ingin tertawa mengingat itu semua. Betapa lucu gurat-gurat takdir dalam hidupnya: dari seorang penggila elektronika di masa remaja berubah menjadi penggila novel di masa awal dewasanya –betapa ganjil, rasanya.

Kereta telah bergerak tak kurang lima jam lamanya, melintasi persawahan yang menghijau di musim hujan, pekarangan rumah-rumah penduduk di desa-desa, bagian belakang gedung-gedung pertokoan dan perkantoran serta gubug-gubug liar di perkotaan, dan tempat-tempat lain di sepanjang jalur yang dilaluinya. Dan setibanya di stasiun kota S, gadis itu beranjak bangkit dari duduknya dan menatap sekilas ke arah lelaki muda di depannya yang nampak tersipu itu sambil menyunggingkan senyum kecil tanpa berkata-kata. Lelaki muda itu pun hanya membalasnya dengan balik tersenyum sambil menatap lekat-lekat wajah gadis yang segera berbalik dan berjalan menuju pintu. Makin tak karuan saja desir-desir aneh di dalam benaknya. Bayangan sosok gadis muda dengan postur tubuh yang molek serta sikapnya yang nampak santun dan malu-malu, juga khayalan yang sempat membawanya mencumbui dan menggauli dengan penuh nafsu sekujur tubuh gadis itu, membuatnya tak urung terheran-heran pada dirinya sendiri. Dan perasaan aneh itu masih terbawa pada keesokan harinya saat ia bangun tidur di kamar kosnya yang terpampang poster ukuran jumbo bergambar pose sensual Dian Sastro dan Lindsay Lohan di dinding-dindingnya. Entah keberuntungan ataukah kemalangan mendapati perasaan seperti itu pada seorang gadis yang hanya ia kenal di atas kereta tanpa ia sempat – atau mungkin memang tak berani – bertanya nama, alamat, dan nomor ponselnya. Demikian ia bertanya-tanya. Hanya senyum dan suara si gadis yang keluar dalam beberapa patah kata percakapan serasa masih mengguratkan kesan mendalam di dadanya, serta bayangan bersetubuh dengannya dalam petualangan liar di alam khayali yang terus berkelebat di benaknya. Selebihnya, hanyalah kisah yang tak perlu diabadikan dalam catatan.

Namun sejak saat itu, ia sadar bahwa ia sebenarnya tak pernah sanggup menarik garis-batas antara yang-sakral dan yang-profan, antara jiwa dan tubuh, antara cinta dan nafsu...[]

-februari 2009

nb. happy fucklentine day, hahaha...


3 komentar:

Anonim mengatakan...

itu sebabnya, penderitaan, ketidakwarasan, kegilaan, bahkan kematian pun, karena cinta, bukanlah tragedi kali ya...

Anonim mengatakan...

om, hijrah-o ning facebook...

Anonim mengatakan...

itu sebabnya, penderitaan, ketidakwarasan, kegilaan, bahkan kematian pun, karena cinta, bukanlah tragedi kali ya...