Senin, Maret 02, 2009

“angon”

- tut wuri handayani

Menyimak kisah bocah penggembala domba bernama Santiago dalam novel Sang Alkemis karya Paulo Coelho, juga hikayat John si Gila gubahan Kahlil Gibran, membuat ingatan saya terlempar pada petilasan masa belasan warsa silam.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar dulu saya berkawan akrab dengan Joni, Nurkholik, dan Edi. Joni adalah seorang penggembala kambing. Sepulang sekolah, ia langsung bergegas menggembalakan kambingnya yang berjumlah tujuh ekor di tanah persawahan tak jauh dari rumahnya. Tak jarang, sepulang sekolah, saya dan dua kawan lainnya ikut serta menemani Joni menggembalakan kambingnya seraya bermain layang-layang atau mandi di kali. Sebagai anak-anak desa, sungai dan layang-layang adalah dua hal yang sanggup memberikan keceriaan pada kami di siang hari. Apalagi saat itu keberadaan televisi masih amat terbatas, hanya segelintir orang kaya saja yang memilikinya. Masa itu juga belum ada permainan ala “Dunia Simulacra” seperti yang kini disuguhkan Sony dengan PlayStation-nya. Maka, hanya layang-layang dan sungai yang menjadi perekat persahabatan dan ajang mencari keceriaan.

Joni tipikal anak periang meski sedikit temperamental. Ia juga gemar membual dan membikin olok-olok yang membuat kami semua kagum pada keliaran imajinasinya. Tapi yang paling membuat kami berkesan adalah sifat “angon” yang ada dalam dirinya. Di sekolah ia adalah ketua kelas kami. Meski sosok yang sedikit temperamen, ia cukup toleran kepada keberagaman watak dan perilaku siswa-siswi sekelas. Ia hanya tegas dan bertanggungjawab, tak pernah memaksakan kehendak biarpun ia punya banyak inisiatif bagi kemajuan kelas kami. Mungkin bukan kebetulan bila ia adalah penggembala kambing dan seorang ketua kelas. Sifat “angon” mungkin menjadi benang merah di antara dua predikat yang disandangnya itu.

Pernah suatu hari seekor kambingnya memisahkan diri dari kawanannya. Hingga senja memerah di ufuk barat, kambing itu tak lekas kembali. Joni pun bingung mencarinya ke sana-kemari. Mestinya saat senja seperti itu, ia sudah bisa pulang ke rumah dan lekas memandikan badan untuk kemudian berangkat menimba ilmu agama di surau dekat rumahnya. Namun hingga suara adzan magrib bergema dari pengeras suara masjid di seberang areal persawahan, kambing itu tak kunjung ditemukannya. Baru setelah hari benar-benar gelap, kambing itu didapatinya kesasar di tengah ladang tebu, tak jauh dari areal persawahan. Lantas digiringnya sekawanan kambingnya itu pulang. Ia sendiri mengikuti sembari mengawasi dan membimbing mereka menyusuri jalan menuju rumah.

Menjadi penggembala mungkin sudah semestinya memiliki sifat “angon”. Tak salah kiranya bila semboyan lembaga pendidikan di negeri ini adalah: Tut Wuri Handayani. Semboyan itu diambil dari ucapan Ki Hajar Dewantara: “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya kurang-lebih demikian: di depan memberi suri tauladan, di tengah membangunkan kehendak, di belakang “angon” (membimbing dan mengawasi). Lembaga pendidikan (baca: para pendidik) haruslah memiliki jiwa “angon” kepada para anak didiknya. Mereka sejatinya adalah para penggembala yang mesti mengawasi dan membimbing anak didiknya dalam bertumbuh-kembang menjadi insan yang berharkat dan bermartabat. Lembaga pendidikan bukanlah “mesin cetak” yang berfungsi melakukan indoktrinasi nilai-nilai tertentu demi menghasilkan manusia yang seragam dalam berpikir dan bertindak. Indoktrinasi jelas tidak selaras dengan semboyan Tut Wuri Handayani; ia tak lain adalah fasisme pendidikan. Kita mafhum: fasisme hanya menganggap manusia tak ubahnya lempung yang bisa dicetak menurut satu selera tertentu para pemegang kuasa.

“Angon” juga bisa berarti menunjukkan jalan, bukan memaksakan jalan...[]

Tidak ada komentar: