Senin, Maret 09, 2009

neraka

Sebelum mengenal cerita tentang surga, saya sudah mendengar ikhwal neraka. Saat berumur enam tahun, saya menyimak seorang guru ngaji bertutur cerita kepada para santrinya soal Hari Pembalasan. Neraka, kata sang guru, adalah tempat bagi manusia untuk menebus segala kesalahannya saat hidup di dunia. Sementara sorga adalah balasan bagi amal baik manusia. Di hari pembalasan, tiap orang akan ditimbang amalnya. Bila condong ke kanan, ia akan dimasukkan ke sorga. Sebaliknya, jika doyong ke kiri, ia akan dijebloskan ke neraka.

Dalam kobaran api yang panasnya sungguh tak terbandingkan, cerita sang guru dengan khidmat, tiap orang dihukum sesuai perbuatan buruknya. Para pencuri akan dipotong tangannya, lalu tangan itu kembali utuh hanya untuk ditebas kembali. Begitu seterusnya tanpa kesudahan. Sementara para pezina akan dipotong alat kelaminnya bagi yang lelaki, dan ditusuk besi runcing nan merah membara untuk yang perempuan. Juga ini berlangsung terus-menerus dalam kurun waktu yang entah sampai kapan. Para pembohong dan munafik akan dipotong lidahnya kemudian diguyur cairan timah panas persis di batok kepalanya hingga luruhlah semua daging tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dan tinggal menyisakan belulang. Ini pun berlangsung tanpa kesudahan di tengah-tengah jilatan sang api abadi. Sementara mereka yang gemar memakan barang haram akan dilemparkan ke dalam sungai nanah sembari dijaga sebuah cemeti yang siap melecut untuk menenggelamkan mereka kembali pabila ada yang berusaha menepi dan mentas. Dan ini pun berlangsung dalam kurun waktu yang tak terhitung lamanya. Neraka itu, masih dalam cerita sang guru, juga dihuni binatang-binatang buas macam kalajengking dan ular berbisa yang siap-sedia meneror tiap orang yang dijebloskan ke sana.

Betapa mengerikan bahkan untuk sekedar dibayangkan!

Belakangan hari, saat duduk di bangku kelas dua SD, saya mendapati buku stensilan lusuh di lemari bibiku. Judulnya tak lain adalah Siksa Neraka. Isi ceritanya kurang lebih sama dengan yang pertama kali saya dapati dari guru ngajiku. Hanya di sana dilengkapi ilustrasi agar lebih jelas bagi pembaca dalam menangkap paparan ceritanya. Saya pun makin begidik saat membaca dan menghayati tiap-tiap gambar yang ada di dalamnya. Berhari-hari lamanya pikiran saya tenggelam membayangkan betapa mengerikannya siksa neraka. Sejak saat itu saya pun, meski masih amat belia untuk berpikir banyak soal agama, dilanda ketakutan akut. Alih-alih membayangkan tuhan sebagai sosok yang pengasih dan penyayang bak seorang ibu, saya justru menghayati tuhan sebagai sosok patriark yang kejam dan semena-mena persis sang maharaja lalim.

James Joyce, novelis kenamaan Irlandia, turut menggambarkan siksa neraka dalam novel semi-otobiografisnya, A Portrait of the Artist as a Young Man. Di sana Joyce menggunakan bahasa yang seakan-akan hendak ditujukan untuk meneror pembacanya. Berikut saya petilkan sebagian:

Siksaan terakhir yang paling dahsyat dari segala siksaan di tempat yang mengerikan itu adalah keabadian neraka! Oh, sungguh kata yang mengerikan dan menakutkan. Keabadian! Pikiran manusia yang seperti apa yang dapat memahami ini semua? Meskipun rasa sakit di neraka dulu tidaklah begitu mengerikan jika dibandingkan dengan sekarang, tetapi rasa sakit akan benar-benar nyata saat siksaan itu ditakdirkan untuk berlangsung selamanya. Tetapi, di samping rasa sakit itu tiada pernah berhenti, pada saat itu juga, sebagaimana kalian ketahui, rasanya sangat kuat dan tak dapat ditanggulangi, terus bertambah hingga tak tertanggungkan. Menanggung rasa sakit karena sengatan serangga selama-lamanya saja sudah bisa menjadi siksaan yang mengerikan. Lalu bagaimana rasanya jika harus menerima siksaan yang berlipat-lipat sakitnya di neraka selamanya? Selamanya! Tidak setahun atau seabad, tapi selamanya. Coba bayangkan arti ucapan mengerikan ini. Kalian sering kali melihat pantai. Betapa bagusnya butir-butir pasir itu! Dan betapa banyak butir pasir yang dibutuhkan untuk menjadi segenggam pasir yang diambil anak kecil saat bermain. Kini, bayangkan segunung pasir satu juta mil tingginya, menjulang dari bumi hingga ke langit yang terjauh, dan satu juta mil lebarnya, membentang dari ruang yang terpencil, dan satu juta mil tebalnya: bayangkan gundukan besar partikel pasir yang tak terhitung jumlahnya dilipatgandakan dengan jumlah daun yang ada di hutan, tetes air di samudera luas, bulu-bulu pada burung, sisik-sisik pada ikan, bulu-bulu pada binatang, atom di udara bebas: dan bayangkan pada akhir setiap satu juta tahun seekor burung kecil datang ke gunung itu dan membawa pergi sebutr pasir dari sana dengan paruhnya. Berapa juta abad yang dibutuhkan burung itu untuk memindahkan, bahkan cuma satu kaki persegi pasir dari gunung itu, berapa banyak eon abad untuk memindahkan seluruh gunung itu. Namun pada akhir rentang tahun yang sangat panjang itu kita masih belum bisa menyebutnya sepersekian kejap dari keabadian. Saat berbilyun-bilyun dan bertrilyun-trilyun tahun itu telah berakhir, kita tahu bahwa itu masih belum dikatakan sebagai awal keabadian. Dan jika gunung itu muncul dan tenggelam sesering terbit dan tenggelamnya bintang di langit, atom di udara, tetes air di lautan, daun di pepohonan, bulu pada burung, sisik pada ikan, rambut pada binatang, pada akhir setiap kemunculan dan kesirnaan gunung yang luasnya tak terukur itu tak bisa dikatakan sekejap dari keabadian telah berakhir, bahkan pada saat itu, pada akhir setiap masa sepanjang itu, setelah eon waktu yang bisa membuat kita pusing meski hanya memikirkannya saja, kita belum bisa mengatakan bahwa keabadian telah dimulai!”

Siksa nan abadi – betapa mengerikannya bahkan untuk sekedar dibayangkan!
Sementara saya mendapati uraian panjang kisah neraka, cerita ikhwal sorga yang saya dengar tak lebih dari “negeri yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan dihuni para bidadari yang selalu dalam keadaan suci”. Betapa terasa banal dan binal imajinasi para patriark dalam menggubah kisah sorga tersebut.

Kini saya berpikir, apa gunanya agama turut menyertakan “ancaman” siksa neraka dan “iming-iming” kehidupan surga dalam paket ajarannya di dalam kitab suci. Banyak orang yang pada akhirnya membaca kisah-kisah itu secara harfiah. Dan tak sedikit pula dari mereka yang kemudian menjadi picik pikirannya sehingga terjebak dalam militansi dan fanatisme buta dogma agama. Dalam hal ini, fundamentalisme tumbuh subur dalam tiga agama Ibrahimiyah yang memang mendendangkan syair surga dan neraka dalam kredo-kredonya.

Mungkinkah manusia kelewat bengal dan bebal untuk diajar dengan kebijaksanaan, sehingga para nabi mesti menggubah kisah surga dan neraka untuk memberadabkan hidup? Tapi bila itu alasannya, alangkah absurd dan lancutnya ia karena betapa pun kisah itu kemudian diimani orang ramai, manusia tetap saja bebal, bengal, dan jagal...[]

Tidak ada komentar: