Sabtu, Maret 07, 2009

ponari

- coba memblejeti borok modernitas

Ponari adalah sebuah fenomena unik. Namanya menjadi pemberitaan media massa nasional semenjak puluhan ribu orang berbondong-bondong mendatanginya guna mencari kesembuhan bagi aneka rupa penyakit yang mereka derita. Tak ayal lagi, bocah kelas tiga SD di sebuah pelosok desa di kabupaten Jombang ini seperti menjadi “juru selamat” dadakan. Rangkaian kisahnya berawal dari petir yang menyambarnya di suatu sore saat ia bermain-main di tengah guyuran hujan; namun nyawanya selamat. Setelah selamat dari sambaran petir, ia justru menuai tuah. Konon, sebuah batu keramat ia dapatkan persis setelah petir menyambar tubuhnya.

Dari berbagai kesaksian para pasien, kisah penyembuhan oleh Ponari bukanlah isapan jempol belaka. Tiga orang tetangga saya memberikan testimoni ikhwal kesembuhan berbagai penyakit yang semula di deritanya. Seorang tetangga menderita reumatik dan asam urat, seorang menderita hernia, seorang lagi mengidap kanker kandungan. Mereka mengaku sembuh setelah meminum air yang dicelupi batu keramat Ponari. Sekilas terdengar mengada-ada, memang. Namun menganggap kesaksian para pasien sebagai kebohongan dan kenaifan hanya karena terdengar tak masuk akal adalah sebuah ketidakarifan. Kita tahu, modernitas dengan rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologinya bukanlah satu-satunya jawaban bagi segala problematika umat manusia.

Paradoks modernitas
Adalah sekelompok ilmuwan lintas disiplin yang tergabung dalam Madzhab Frankfurt yang mula-mula berusaha membeberkan paradoks modernitas. Horkheimer, Marcuse dan Adorno adalah yang paling masyhur dalam kelompok ini. Pokok pemikiran mereka kurang lebih demikian: Janji kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dibawa oleh modernitas adalah sebuah mitos. Ilmu pengetahuan, yang bercorak positivistis/mekanistis semenjak Newton dan Descartes di abad enambelas, alih-alih menyelamatkan peradaban manusia justru menjerumuskan umat manusia ke dalam kubangan penderitaan. Ilmu pengetahuan membawa watak totaliter yang inheren di dalam dirinya. Setidaknya kolonialisasi Eropa atas Asia, Afrika, dan Amerika, serta dua perang besar di abad ke duapuluh adalah contoh gamblang watak totaliter ilmu pengetahuan positivistis yang menjadi motor penggerak modernitas. Ilmu pengetahuan telah menjelma seperti tiran; ia hendak meniadakan liyan di luar dirinya sembari menahbiskan diri sebagai “satu-satunya yang patut bagi umat manusia”. Ia menjelma sebuah metanarasi yang menganggap narasi-narasi lain sebagai inferior.

Jean Francois Lyotard, pemikir posmodern Perancis, juga turut mengumandangkan peruntuhan metanarasi demi memberi jalan bagi narasi-narasi kecil untuk turut ambil bagian dalam membangun peradaban manusia. Hal yang sama juga didendangkan Jacques Derrida yang mengajak kita untuk menertawakan dan membongkar arogansi logosentrisme Pengetahuan Barat melalui pementasan Dekonstruksi. Logosentrisme, ujar Derrida, telah menutup kesempatan bagi para liyan (the others) untuk turut bersuara.

Teoretisi Madzhab Frankfurt menilai ilmu pengetahuan positivistis bersifat ahistoris. Ia mengabaikan sejarah/pengalaman umat manusia yang telah berlangsung ribuan tahun lamanya. (Karena bersifat ahistoris inilah ilmu pengetahuan menjadi totaliter dan tiranik serta “durhaka”.) Maka modernitas pun tak ayal lagi menggiring manusia pada keterasingan akut; manusia terisolasi dari hakikat kemanusiaannya, teralienasi dari pengalaman sejarah kemanusiaannya.

Erich Fromm, seorang psikoanalis yang juga bergabung dalam Madzhab Frankfurt, menyebut modernitas sebagai biang segala penyakit sosial dan politik dewasa ini. Masyarakat modern, kata Fromm, adalah masyarakat yang atomistis (teralienasi dari lingkungannya) yang membuat jiwanya kesepian dan rentan. Interaksi sosialnya hanya dibangun terbatas pada kesamaan kepentingan: perjumpaan di tempat kerja, di jalan, di mall, dsb. Ini menjadikan interaksi manusia modern minim kedekatan emosional. Manusia modern merasa hidup sendirian meski berada di tengah-tengah orang lain, sementara pikirannya terfokus mengejar karir dan kerap dilanda kekhawatiran akan hari depan.

Dengan demikian, sudah selayaknya kita tidak menjadikan kisah batu keramat Ponari sebagai bahan olok-olok. Di kalangan masyarakat Barat yang notabene lebih maju dalam berbagai aspek kehidupan, mistisisme dari Timur seperti Yoga, Meditasi, Budhisme dan Sufisme, telah menjadi tren dalam beberapa dekade belakangan ini. Di sana orang berusaha mencari ketenangan batin, kebahagiaan, dan penyembuhan bagi penyakitnya yang tak tertangani oleh pengobatan medis. Sekedar contoh lain, tiap tahun jutaan orang Eropa berziarah ke makam Jalaludin Rumi di Turki dan para mistikus besar lainnya di India dan Tibet guna menggali pengalaman spiritual yang tak mereka dapati dalam cara beragama yang konvensional.

Mistisisme bukanlah lawan rasionalisme; ia adalah sebuah jalan lain bagi manusia untuk memeluk hakikat eksistensinya...[]

3 komentar:

Anonim mengatakan...

mblejeti itu apa ya???

espito mengatakan...

mblejeti itu menguliti atau membuka kedok atau memaparkan...

Anonim mengatakan...

mblejeti..haha..pilihan kata yg keren bro...membumi

Kebangkita spiritualisme sepertinya memang reaksi atas agama konvensional yang seringkali statis dan 'kering' dan jika dia terus saja bertumbuh saya pribadi belum tau 'efek samping' negatifnya dan jangan2 memang gak ada.

Mantap,kapan ya kira2 juga bisa menulis panjang dan kontinyu?