
Kotaku bukanlah kota besar macam Jakarta apalagi New York di mana rimba beton pencakar langit bertebaran saling berebut menggapai mega di angkasa, laiknya para pengemis berebut mengulurkan tangan kepada si kaya. Kotaku hanyalah sebuah kota kecil di sudut pulau yang tiga setengah abad lamanya pernah dijajah, dijamah dan dijarah orang-orang kulit putih dari benua para jenius, ribuan kilometer jauhnya di ujung barat dunia.
Di kotaku yang kecil, kini mulai berdiri bangunan-bangunan beton yang kukuh juga angkuh: mall dan perkantoran megah. Kotaku bersolek, kata orang-orang, agar di lirik para pelancong yang tentu akan datang membawa banyak uang. Kotaku berbenah dan giat membangun agar tak ketinggalan derap langkah pembangunan dan arus modernisasi, kata para pejabatnya.
Di suatu malam yang riuh di kotaku, di tepi jalan di depan sebuah gedung pertokoan, di bawah lampu merkuri yang terpasang di tiang menjulang, ada seorang gila bertubuh lusuh bermuka kusut berambut gimbal sedang asyik menikmati pikirannya yang kegirangan. Ia berjoget, berjingkrak dan meliuk-liukkan tubuhnya yang terbalut selembar pakaian kumal compang-camping, seolah ia sedang berada di dalam diskotik menikmati hentakan house music.
Orang gila yang entah datang dari mana dan punya nama siapa itu terus berjoget meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alunan musik di dalam pikirannya tanpa peduli pada orang-orang di sekitarnya. Orang gila hanya menikmati dunia liar yang bersemayam dalam pikirannya. Tak kenal ia akan derita para kaki lima yang berpetak umpet dengan polisi pamong praja. Tak kenal ia dengan ratapan pilu korban banjir dan tanah longsor. Yang ia tahu dan nikmati hanyalah keindahan yang melekat dalam dinding-dinding imajinya.
Suatu waktu datang segerombolan aparat pamong praja merazia. Orang-orang gila diburu dan ditangkapi dari sudut-sudut kota. Agar tak mengganggu pemandangan kota, kata para punggawa kota. Kota hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpenampilan necis, tak peduli bengis, yang penting banyak picis (uang). Kota tak sudi menampung orang-orang gila juga tuna wisma. Kota milik yang kaya, bukan yang papa apalagi sengsara.
Lalu dikemanakan orang-orang gila itu, pikirku. Dibuang kah? Di-RSJ-kan, kata para pejabat. Direhabilitasi jiwanya agar tak makin gila, sambung sang birokrat.
Cukupkah hanya di-RSJ-kan, pikirku. Apakah penyakit gila bisa disembuhkan laiknya bronkitis atau hepatitis? Atau dioperasi dengan aneka pisau bedah seperti halnya tumor dan usus buntu? Menurut para pekerja medis ya memang begitu harusnya. Dan RSJ dibangun memang untuk orang-orang gila, kata orang-orang yang tak gila. Untuk menyembuhkan mereka yang gila, sambung mereka yang waras.
Lantas darimana datangnya kegilaan yang menyergap orang waras hingga kemudian ia menjadi gila, pikirku penuh teka teki. Tidakkah beton-beton angkuh dan dingin yang bertebaran di kota itu yang melukai rasa keadilan dan membikin orang sakit pikiran hingga jatuh gila? Berhala-berhala modern yang ditegakkan menjulang ke angkasa di atas tanah gusuran gubug-gubug si papa dan kaki lima, bukankah itu biang kemerosotan pikiran banyak orang?
Tapi para punggawa kota dengan tegas menyangkalnya. Modernisasi adalah sebuah keniscayaan yang samasekali tak bisa ditangguhkan, kata mereka. Zaman bergerak ke depan dan tak bisa tidak harus dirayakan: dengan mendirikan lebih banyak lagi beton-beton menjulang, dan menghiasi setiap sudut kota dengan aksesoris-aksesoris bergaya, kalau perlu dikargokan dari Eropa atau Amerika.
Sekali lagi kota adalah milik yang berharta, tak peduli durjana. Orang boleh saja gila dan menjadi warga kota asalkan punya banyak harta untuk turut memutar roda ekonomi kota. Orang boleh gila di mall, di diskotik dan kantor-kantor, asal bukan di trotoar dan kolong-kolong jembatan.
Dan semenjak orang-orang gila diangkuti ke rumah sakit jiwa, kota hanya dipenuhi oleh orang-orang gila dalam rupa yang lain. Kota menjadi hanya berpenghuni mereka yang gila namun berada di mall, di diskotek, juga di kantor-kantor para praja maupun swasta.
Kotaku menjadi kota monobudaya: kota orang-orang gila berharta!
Tepian Bedadung, Januari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar