
Kulihat seorang gila di keremangan senja di sudut kota. Ia berjalan meniti trotoar jalan raya. Berjalan lenggak lenggok seolah menangkap suara musik di telinganya. Tubuh dekilnya tak berbalut sehelai benang pun. Hanya aneka sampah plastik ia kenakan melingkar di pinggangnya. Menutupi kemaluan dan separuh pahanya.
Orang gila ada di mana-mana. Di sudut-sudut kota juga di pelosok-pelosok desa. Kenapa mereka menjadi gila? Sebuah pertanyaan yang tak bisa terjawab tuntas. Ada yang bilang karena kutukan. Yang lain mengatakan karena keturunan. Ada juga yang menjawab karena derita yang tak tertanggungkan, yang mengguncangkan keseimbangan pikiran. Seperti halnya pertanyaan di mana nyawa bersemayam? Di perut kah? Di leher atau jantung kah? Atau di urat nadi?
Orang gila terus melenggak lenggok tak peduli ia dilihati banyak pasang mata. Seolah ia seorang selebriti yang sedang dikagumi banyak orang. Tak sadar ia banyak pasang mata menatapinya dengan pandangan jijik, sebagian dengan tatapan iba. Ia tak hiraukan orang-orang kadang mencibir dan mengolokinya. Cercaan ia jawab dengan gelak tawa. Seolah hatinya tak menyisakan tempat buat duka lara.
Di desaku sana, orang gila selalu menjadi sasaran keusilan anak-anak kecil. Anak-anak senang menggoda orang gila yang ia temui di jalan-jalan. Anak-anak itu sering melemparinya dengan kerikil. Dan mereka akan berlari terbirit-birit saat si gila mengejarnya. Lalu melemparinya lagi jika si gila sudah berhenti mengejarnya. Anak-anak senang mempermainkan orang gila. Dan si gila juga terlihat menikmati keusilan anak-anak. Mungkin karena keduanya sama-sama polos. Tak mengenal tabu. Tak terbelenggu aturan ini itu.
Pernah aku mendapati jawaban kenapa orang menjadi gila: karena ia tak sanggup menghadapi pertentangan antara realita dan cita-cita, antara kenyataan dan angan-angan. Lain waktu aku mendapati jawaban yang menggelikan: Masyarakat (pos)modern-lah yang sebenarnya gila. Ya, masyarakat telah menderita sakit pikiran. Mereka melakoni kejahatan namun menganggap diri sebagai pahlawan. Memproduksi dosa-dosa sosial namun menyangka diri sedang menebar kebajikan. Lantas kenapa malah orang-orang lugu dan polos itu yang disebut gila? Karena rumah sakit jiwa tak sanggup menampung luapan pasien kalau sampai definisi gila dibalik, kata jawaban itu.
Ah, mungkin orang menjadi gila karena ia terlalu kudus untuk larut dalam dunia yang berserak noda dan dusta. Jiwanya terlalu berharga untuk bersekutu dengan kemunafikan yang telah menjadi nafas kehidupan, dan keangkuhan yang menjadi darahnya.
Orang gila itu terus berjalan melenggak lenggok menyusuri trotoar jejalanan kota. Tak peduli dengan orang-orang yang memandanginya, yang bisa jadi jauh lebih gila daripada dirinya...
Tepian Bedadung, Mula 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar