Senin, Februari 18, 2008

Dara Jelita di Sebuah Kedai Kopi

Sebut saja Mawar untuk nama gadis itu. Umurnya kini duapuluhan tahun. Saya taksir tinggi dan berat badannya 160/50. Kulitnya sawo matang dan rambut hitam lurus sepunggung. Wajahnya lumayan cantik jelita, kira-kira mirip dengan milik Luna Maya. Kalau ia kalah cantik dengan Luna si gadis Bali itu, mungkin karena kosmetik dan perawatan wajah yang digunakannya tak semahal dan semewah yang dipakai Luna. Pembawaanya kalem dan samasekali jauh dari kesan binal. Mungkin karena ia anak desa. Lugu dan santun, sebagaimana polos dan tenangnya alam pedesaan.


Saya mengenalnya sejak sekira lima tahun yang lalu. Kala itu ia masih duduk di kelas 1 SMEA di kotaku, Ambulu. Ibunya membuka kedai kopi, dan setiap malam ia membantu sang ibu meladeni para pembeli. Tapi di sana ia tak sekedar seorang pelayan atau penjual wedhang kopi. Ia adalah magnet bagi setiap pengunjung warung, kebanyakan anak muda belasan dan likuran tahun. Saya adalah salah satunya. Hampir tiap malam saya sempatkan berkunjung ke warungnya bersama beberapa orang teman. Tujuanku—dan semua pengunjung kukira--tak lain membuang penat di kepala dengan meneguk kopi hitam yang nikmat, dan sesekali mencuri-curi kesempatan berdekatan dengan dara cantik jelita putri pemilik kedai itu. Dara yang menjadi idaman dan impian banyak lelaki.


Setiap malam kedai kopi itu dipenuhi oleh pengunjung. Bukan semata karena kopi yang nikmat atau harganya yang tak lebih sepersepuluh dari harga secangkir kopi di kafe-kafe. Mawarlah kembang yang mengundang selera dan keinginan pengunjung untuk rela duduk berdesakan di kursi-kursi panjang di kedai itu. Saya pernah iseng menanyakan berapa rupiah yang diraup dalam sehari semalam. Tiga hingga empat ratus ribuan, kata sang empunya. Berarti sebulan bisa sembilan hingga dua belas juta uang yang berputar di warung itu.


Sempat beredar selentingan kabar burung dari para pengunjung tentang si Mawar. Katanya ia bisa dipakai--istilah untuk layanan bawah perut. Seratus ribu semalam, kata beberapa mulut yang saya dengar. Tapi saya sendiri belum tahu pasti kebenaran isu-isu klasik itu. Entahlah. Saya sendiri tak ingin berburuk sangka. Untuk apa pikirku memercayai gosip-gosip, toh saya bukan hidung belang yang haus akan buruan pemuas syahwat.


Kira-kira dua tahun lewat saya tak lagi pernah berkunjung ke warungnya. Ia sendiri sudah jarang ikut meladeni pengunjung warung karena harus tinggal di kota Jember untuk menempuhi jenjang perguruan tinggi. Suatu malam saya lewat melintas di depan kedai kopinya dan kudapati suasana yang sepi, hanya terlihat beberapa orang pengunjung saja. Kontras sekali dengan keadaan tatkala Mawar masih menjadi ikon di kedai itu.


Kini saya sering melihat Mawar berdiri di stan penjualan rokok di acara-acara musik yang sering digelar di kota Jember. Rupanya ia menjadi SPG di perusahaan rokok asal kudus itu. Ada gosip lagi yang beredar bahwa ia sering ‘dipakai’ om-om berduit. Tentu tarifnya tak lagi seratus ribu semalam, melainkan naik berlipat-lipat. Lagi-lagi isu klasik yang kudapati dari banyak mulut. Tapi saya sendiri tak pernah mendapati bukti kebenarannya. Seandainya kabar itu benar, apa urusanku, bathinku. Seandainya gosip itu meleset, ya syukurlah. Terlalu berharga seorang dara jelita desa yang bersahaja itu jatuh ke dalam pelukan banyak hidung belang, pikirku.


Ah, Mawar. Kembang menawan dan sedang bermekaran yang menggelayuti pikiran banyak kumbang untuk datang menghinggapinya. Teruslah menebarkan wangi di tengah gersang dan pengapnya hawa kehidupan kota. [*]


WPS,

Tepian Bedadung, Mula 2008.

Tidak ada komentar: