Senin, Februari 18, 2008

Peradaban Angka

(cermin retak kehidupan)

“Kenapa angka-angka yang kau peroleh dalam Unas hanya enam koma sekian, tak ada satupun yang mencapai tujuh?” Pak Subondho dengan nada kesal menanyai Arief, anak bungsunya yang baru saja dinyatakan lulus SMA. Tergurat kekecewaan di wajah lelaki enampuluhan tahun tersebut.


“Kau terlalu sibuk dengan tetek bengek kegiatan ektra kurikulermu, dan lupa pada tugasmu untuk belajar. Padahal bapakmu ini susah payah menyekolahkanmu agar kau pintar dan punya prestasi gemilang seperti dua kakakmu dulu yang menjadi bintang sekolah. Harusnya kau teladani mereka, bukannya malah teledor dan asik dengan kegiatan-kegiatan mubazir macam pramuka-lah, PMR-lah, sepak bola-lah... Harusnya kau bikin bangga orang tuamu ini dengan prestasi akademis, dengan nilai yang bukan enam, tapi delapan, sembilan, atau sepuluh!” Pak Subondho makin menjadi-jadi marahnya, sementara Arief hanya tertunduk lesu, diam seribu bahasa tak sanggup bahkan untuk sekedar menegakkan muka di hadapan kemarahan ayahnya itu.


“Sudahlah pak, toh Arief dinyatakan lulus. Mestinya Bapak mengapresiasi keberhasilannya itu, bukan malah memarahinya. Coba lihat si Tejo, anak Pak Karyo tetangga sebelah itu, ia tidak lulus gara-gara nilainya kurang dari lima,” sela Bu Subondho bermaksud membela anaknya yang masih tertunduk lesu itu.


“Tapi Tejo itu kerjaannya sepulang sekolah hanya mencari rumput, dan Pak Karyo cuma seorang buruh tani, jadi wajar kalau ia tak lulus. Lha, Arief kan anaknya Subondho, kepala sekolah SMP favorit di kota ini, yang sebentar lagi pensiun dan akan mendapatkan bintang jasa berkat kerja kerasnya memajukan sekolah yang dipimpinnya. Malu dong kalau anaknya tak mampu menjadi bintang sekolah,” Pak Subondho membela diri sambil membusungkan dada, membanggakan dirinya di depan istri dan anak bungsunya itu.


“Tapi prestasi ‘kan tak harus di ukur dengan nilai di atas kertas tho Pak. Berkali-kali Arief turut mengharumkan nama sekolahnya lewat kegiatan-kegiatan ekskul yang diikutinya. Bukankah itu juga prestasi Pak, dan seharusnya Bapak bangga dengan itu semua,” dengan mimik dan raut muka yang tenang Bu Subondho mengingatkan suaminya yang masih juga belum reda marahnya itu.


“Maafkan Arief, Bapak. Seharusnya Arief memang tak mengesampingkan tugas untuk belajar di sekolah. Hanya saja, tuntutan untuk berperan aktif di organisasi ekskul yang Arief ikuti membuat waktu belajar Arief banyak tersita. Sekali lagi, Arief mohon maaf Pak…” dengan suara yang berat, dan tanpa berani mengangkat muka, Arief memohon maaf kepada Ayahnya.


“Maaf, maaf… kau sudah bikin malu Bapakmu ini, kini hanya maaf yang kau ajukan sebagai gantinya, dasar tak tau diri kau. Coba kau pikir, apa jadinya kalau seandainya di bangku kuliah nanti nilai akademismu juga pas-pasan seperti ini, mau kau kemanakan masa depanmu nanti, heh?” Pak Subondho bukannya cooling down, malah ia makin geram dengan apologi yang disampaikan anaknya itu.


“Pak, harusnya bapak sadar diri, masa depan tak melulu ditentukan lewat angka-angka yang dijadikan tolok ukur kemampuan. Tak sadarkah Bapak, betapa mudah di negeri ini orang memanipulasi angka-angka. Karena ia hanya simbol, hanya benda mati, yang tak kuasa melawan ketika orang-orang yang culas dan serakah berkehendak untuk memanipulasinya. Dan… Pak, betapa nistanya jika manusia dengan segenap potensinya hanya dan sekedar diukur lewat angka-angka yang bisu dan kaku seperti berhala itu. Hidup tentu tak bisa direduksi begitu saja kedalam coretan-coretan, goresan-goresan, angka-angka di atas kertas. Jika manusia dihargai hanya sebatas pada angka, yang terjadi adalah peradaban angka, bukan peradaban manusia. Peradaban angka hanya melahirkan penindasan, penjarahan, eksploitasi segolongan manusia terhadap alam dan segolongan manusia lainnya. Golongan pertama menjadi kuat karena ia menguasai nominal angka yang jumlahnya beratus, berribu, bahkan berjuta kali lipat dibandingkan golongan kedua. Dan ia bebas menindas dan menjarah karena peradaban angka tak mampu berbuat apa-apa buat menghentikannya. Seharusnya manusia membangun peradaban manusia, yang menilai dan menghargai manusia dari laku perbuatannya, dari sikap budi pekertinya, dari keluhuran akhlak moralitasnya, bukannya membangun peradaban angka yang hanya mereduksi kemampuan dan potensi manusia menjadi serupa mesin atau komputer,” tak dinyana, Bu Subondho yang punya nama Sugihati itu berkomentar panjang lebar, mirip ceramah, di hadapan suaminya.


koe iki ngomong opo ae tho Bu[1]. Mentang-mentang kamu dosen filsafat, bisa seenaknya saja menceramahi aku, suamimu sendiri, kepala keluarga di rumah ini. Harusnya kamu menghormati aku, memuliakan aku, meski koe dosen, dan aku hanya kepala sekolah SMP. Apalagi aku ora mudheng[2] dengan apa yang kamu bicarakan barusan.”


“Heh, Rif, pokoknya Bapak tidak mau tahu, kamu harus lulus SPMB tahun ini, dan bisa kuliah di Fakultas ISIPOL UGM. Pokoknya nanti kamu harus bisa jadi politisi terkenal, jadi tokoh ternama, mengikuti jejak kakakmu yang sekarang sudah aktif di Jakarta sana, mengurusi partai politik kebanggaan Bapakmu ini. Kalau tidak, mending kamu cari kerja dan nggak usah merepotkan Bapak lagi, cari hidup sendiri sana.” Sambil berkacak pinggang, Pak Subondho membentak-bentak Arief yang tak juga berhenti menundukkan mukanya, seperti tenggelam dalam kepasrahan, larut dalam kesedihan, tak habis mengerti dengan sikap Bapaknya yang arogan dan apriori itu.


Pak Subondho bergegas menuju kamarnya. Namun karena orang yang terbakar amarah jarang bisa mengendalikan gerak organ tubuhnya sendiri sekalipun, tangan Pak Subondho pun menyenggol vas bunga di atas buffet. Vas dari keramik seukuran buah pepaya itupun jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping, seperti hati Arief malam itu barangkali. Dan malam, dan juga hari, terus berlalu diantar oleh segala suasana bathin manusia: sedih, senang, marah, bahagia, kesal, bahkan yang tak berasa apapun karena beku, yang bercampur baur, melebur, dan menyublim ke angkasa… Dan Peradaban Angka tetap kokoh dan angkuh berdiri di atas muka bumi. Sedangkan Peradaban Manusia, tak tahu, entah, kapan akan terjadi, di Cosmos, di Gaia, di Planet Manusia satu-satunya ini... [ ]


Wahyu Puspito S.

Tepian Bedadung, Awal Oktober 2007.



[1] Kamu ini bicara apa saja tho Bu (bhs. Jawa)

[2] Tidak paham (bhs. Jawa)

Tidak ada komentar: