Senin, Februari 18, 2008

Narasi Mall

- elegi sebuah negeri

Siang itu saya berjalan memasuki halaman gedung Malang Town Square (Matos)—salah satu pusat perbelanjaan megah yang berdiri gagah di tengah-tengah zona pendidikan di pinggiran barat kota Malang. Sengaja saya sempatkan untuk sekedar mampir menengok mall itu tatkala saya berkunjung ke kota Malang bersama seorang rekan, dua hari lalu. Dulu, lima tahun lalu, saat saya masih tinggal dan menempuhi jenjang pendidikan tinggi di kota dingin tersebut, bangunan itu belum ada. Dulu, sebelum berdiri Matos, di atas tanah itu terdapat bangunan masjid sederhana. Di sebelah barat masjid ada sepetak tanah kosong yang biasa digunakan bermain bola oleh anak-anak muda: para mahasiswa dan pemuda kampung setempat. Di sebelah timur bangunan masjid, terdapat kompleks Taman Makam Pahlawan (TMP) kota Malang: tempat bersemayamnya jasad para anak bangsa nan gagah berani mempertaruhkan darah dan nyawanya untuk membela kehormatan bangsanya, jengkal demi jengkal tanahnya, juga masa depan anak cucunya, dari kedurjanaan dan keserakahan bangsa asing, berpuluh tahun lalu. Kini, masjid dan tanah lapang itu raib berganti bangunan beton menjulang Matos. Dan kompleks pekuburan para pahlawan itu menjadi tersudut tanpa daya.

Memasuki pelataran Matos, saya berhenti sejenak. Saya pandangi wujud bangunan megah yang baru pertama kali saya lihat dengan mata kepala sendiri itu. Jujur saya terkesima bercampur duka. Takjub sekaligus ngeri. Kagum oleh kemegahannya yang dibangun dengan hasil perasan otak dan tubuh ratusan manusia. Miris oleh keberadaannya yang menggusur apa saja, tak terkecuali perasaan ribuan manusia.

Saya lanjutkan ayunan kakiku memasuki bangunan mall itu. Terlihat oleh pandangan mataku ratusan, mungkin ribuan, manusia berjubelan di setiap petak ruangan gedung lima lantai itu: di kafe, gerai fast food/junk food, gerai fesyen dan ponsel serta komputer, dan yang lainnya. Sekali lagi saya terkesima bercampur duka menatap pemandangan di dalam bangunan megah itu. Terbersit dalam pikiran, betapa kian makmur bangsa ini, karena dari hari ke hari semakin banyak saja mall didirikan di negeri ini, dan kian banyak pula manusianya yang bisa mencicipi dan mencandui segala yang terserak dan tertata di setiap sudutnya. Tapi buru-buru saya interupsi pikiran itu. Benarkah bangsa ini kian makmur? Saya jadi ragu.

Mall—juga hypermarket dan supermarket—adalah ajang perlombaan konsumsi (bukan aktifitas produksi sebagaimana di pabrik). Segala kesenangan dan kenikmatan ditawarkan di dalamnya. Mall adalah rimba perburuan jasa dan benda-benda luks, juga makanan mewah. Yang bernyali masuk ke dalamnya adalah mereka yang berkantong tebal. Yang tak berduit jangan coba-coba memasukinya kalau tak ingin keluar dari sana dengan pikiran kusut masai dan perasaan penuh sesal—kecuali kalau punya imunitas terhadap segala godaan kemewahan yang ada di dalamnya. (Saya mungkin salah satunya. Kantongku memang tebal, tapi bukan karena banyaknya lembaran rupiah bernominal besar. Melainkan karena banyaknya kartu identitas dan aneka surat bermanfaat yang ada di dalam dompet: KTP, KTM, SIM, STNK, kartu ATM—yang isinya kembang kempis, juga berlembar-lembar duit “recehan”. Saya masuk Matos siang itu karena saya tahu pasti bahwa saya tak bakal kecanduan dengan segala isi di dalamnya. Tak ada daya dukung memadai pada diri saya untuk menjadi habitus mall. Saya hanya sekedar menengok—dan sedikit mencicipinya saja. Selebihnya, semoga saja tidak bakalan.)

Muncul sebersit tanya pada diriku: apakah kemakmuran suatu masyarakat dan bangsa bisa diukur dengan jumlah mall yang ada di negerinya? Semakin banyak jumlah mall, akan kian makmurkah sebuah bangsa? Saya pernah mendapati berita di harian Jawa Pos, bahwa jumlah mall yang ada di Jakarta saja masih lebih banyak dibandingkan jumlah mall yang ada di seantero Jerman. Apakah dengan demikian Jakarta jauh lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibanding Berlin, Muenchen, Bonn, atau Stuttgart? Apakah masyarakat Indonesia jauh lebih makmur dan lebih maju dibandingkan bangsa Jerman? Anak yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar saya kira sudah bisa mengetahui jawabannya dengan benar.

Di dalam bangunan Matos, saya berjalan berkeliling memandangi panorama artifisial di setiap sudutnya. Kemudian saya bergegas menuju lift untuk naik ke lantai atas. Di dalam lift berukuran kira-kira 2x2 meter itu saya harus berjubelan dengan sekitar sepuluh orang pengunjung lainnya. Setelah gerak naik lift berhenti dan kedua daun pintunya bergeser membuka, saya keluar bersama seluruh pengunjung tersebut. Saya tak tahu ada di lantai berapa pada waktu itu. Saya tak sempat melihat angka berapa yang tertera di display lift itu tatkala gerak naiknya terhenti. Juga saya tak begitu peduli saya ada di lantai berapa saat itu, karena saya datang hanya untuk melihat-lihat saja, dan tak punya niatan dan tujuan khusus.

Rupanya ada sebuah ruang yang disewa Gramedia untuk menjual aneka buku, masih di lantai itu juga. Dalam hati saya agak sedikit bergembira, karena di dalam mall masih ada ruang untuk menjajakan aneka bacaan pengetahuan. Meski ruang itu tak berada di lantai dasar agar mudah dijangkau semua pengunjung, melainkan di lantai atas yang tentu tak semua pengunjung bisa melihat dan menjangkaunya tatkala pertama kali menginjakkan kaki di mall. Bagaimanapun juga, itu masih lebih baik daripada tak ada samasekali, begitu pikirku. Dengan menempati lantai atas, terkesan gerai buku itu hendak disembunyikan dari para pengunjung. Lebih-lebih saya lihat di dalamnya tak begitu banyak pengunjung, tak lebih dari tigapuluh orang saja—kontras sekali dengan jumlah pengunjung di ruang-ruang lainnya di dalam gedung Matos itu. Mungkin memang sudah menjadi karakter bangsa ini, bahwa membaca samasekali tak lebih penting daripada menonton, mendengarkan, bersolek dan mengunyah/melahap. Bagi masyarakat Indonesia, membeli TV, VCD/DVD, aneka pakaian, kosmetik, ponsel terbaru dan beragam jenis makanan jauh lebih penting daripada mengeluarkan uang untuk sebiji buku. Hiburan dan penampilan—juga ragam selera makan—jauh lebih mendesak untuk dipenuhi daripada pengetahuan. Urusan perut/mulut dan seluruh tubuh bagian luar jauh lebih utama dibanding urusan otak. Tak masalah meski pengetahuan dan wawasan sempit, asalkan penampilan/tubuh dan selera mulut/perut bisa dimanjakan semaksimal mungkin, begitulah falsafah hidup sebagian besar bangsaku. Maka saya sungguh takjub dan terharu, ketika teringat pemandangan di suatu pagi di pinggir jalan sekitar kampus almamaterku. Saat itu saya melihat beberapa abang becak berkerumun membaca sebuah surat kabar dengan mimik muka cukup serius. Sementara di Matos, juga di mall lain, saya temui perilaku kebanyakan kaum menengah ke atas bangsaku adalah memburu hiburan dan kenikmatan, dengan mengobral jutaan rupiah kelimpahan uangnya.

Di dalam gerai buku itu saya berjalan hilir mudik, mencari dua biji buku yang dipesankan oleh Bapakku. Kususuri lorong-lorong di antara deretan puluhan rak yang memajang ribuan buku beratus judul itu. Hingga separoh jam lamanya buku itu tak kunjung kudapati. Baru saya tersadar ada sebuah komputer database di salah satu sudut ruangan itu, yang memuat daftar seluruh buku yang tersedia di sana. Saya cek dua buku yang kucari dengan mesin itu, dan ternyata memang nihil. Sebenarnya ada beberapa buah buku yang menarik minatku untuk membelinya, namun segera saya sadari bahwa dompetku sudah cukup terkuras untuk membeli enam biji buku di toko lain sebelum mampir berkunjung ke Matos, siang itu. Anggaran duaratus ribu untuk belanja buku di bulan ini sudah habis tak bersisa, bahkan defisit sekian ribu. Kalau hendak membeli buku lagi, mau tak mau saya harus bersabar menunggu datangnya bulan depan, agar tak melanggar terlampau jauh aturan yang saya bikin sendiri itu. Akhirnya saya batalkan niatku membeli buku-buku tersebut, dan segera saya ajak rekanku keluar ruangan untuk lekas meninggalkan mall. Setelah turun dari lantai atas, kamipun segera bergegas menuju sepeda motor dan langsung melesat meninggalkan Matos. Siang sudah beranjak menuju sore, dan mendung hitam terlihat menggelayuti langit di atas kota Malang, pertanda hujan akan segera tumpah.

Mall. Sebuah bangunan penuh kemewahan yang di Indonesia dijadikan salah satu mesin pertumbuhan ekonomi. Di negeri ini, dari hari ke hari jumlah mall kian bertambah banyak, berkembang biak secara masif laiknya jamur di musim penghujan. Semakin banyak mall, akan makin banyak uang yang dihamburkan untuk memutar roda ekonomi, dan kian beranjak naik angka pertumbuhan ekonomi negeri ini. Angka-angka statistik ekonomi makro seperti itulah yang dijadikan “rapor” oleh para pemimpin negara untuk ditunjukkan dan dibangga-banggakan di hadapan rakyatnya. Kita, rakyat yang notabene sempit wawasan dan dangkal pikiran, akan dengan mudahnya melontarkan pujian pada mereka. Dan akan memilih mereka kembali, atau orang-orang seperti mereka, sebagai pemimpin saat pemilu digelar di tahun-tahun mendatang.

Di salah satu sudut kota Malang itu, di zona pendidikan yang terletak di pinggiran kota, Matos dibangun dengan seluruh arogansi dan kebebalan para pemimpin kotanya. Bayangkan, ia berdiri angkuh di tengah keberadaan gedung-gedung pendidikan. Di sekelilingnya ada berpuluh-puluh lembaga pendidikan, dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi—dengan ratusan ribu peserta didik di dalamnya. Sebagai misal, Universitas Brawijaya (UB) yang merupakan perguruan tinggi tertua dan terbesar di kota Malang, yang kini menampung lebih tigapuluh ribu mahasiswa di dalamnya, yang didirikan sejak lebih dari empatpuluh tahun silam, tiba-tiba harus menjadi kerdil tatkala persis di sampingnya berdiri gedung Matos yang dibangun dalam waktu tak lebih dua tahun. Secara fisik mungkin UB masih bisa menandingi bangunan Matos, karena ia punya deretan gedung megah dan mewah lengkap dengan fasilitas mahal di dalamnya—bahkan kini sedang dibangun gedung perkuliahan berlantai tujuh nan prestisius. Namun secara minat, sanggupkah UB menandingi daya hipnotis bangunan baru di sampingnya itu? Apakah ada jaminan, bahwa puluhan ribu mahasiswanya tak akan menyepelekan urusan menuntut ilmu ketika tepat di jantung daerah tempat tinggal mereka berdiri mesin penyedot energi dan uang dengan segenap kemewahan dan hura-hura di dalamnya?

Di sisi timur Matos yang penuh riuh, kompleks TMP nampak lengang, sunyi dan merana. Ribuan manusia hilir mudik dan keluar masuk bangunan Matos setiap harinya. Adakah mereka menyadari dan ingat pada perjuangan dan pengorbanan yang puluhan tahun silam pernah dilakoni ratusan jasad moyang bangsanya yang kini terbaring dalam kompleks pekuburan tepat di samping bangunan tempat mereka mengumbar hasrat itu? TMP itu terkesan dilecehkan keberadaannya. Entah bagaimana para petinggi kota Malang itu dalam menghargai jasa para leluhurnya. Yang telah mati memang tak perlu dibangunkan pusara indah dan megah. Mereka tulus ikhlas dalam berkorban, dan samasekali tak meminta imbalan apapun dari kita—anak cucunya yang menikmati hasil perjuangan mereka: kemerdekaan! Tapi menyandingkan pusara mereka dengan bangunan penuh kemewahan dan hura-hura di dalamnya, tidakkah itu suatu bentuk penistaan dan penghinaan? Seolah-olah dahulu mereka, para patriot bangsa itu, bermandi darah bercucur air mata hanya agar anak cucunya bisa menjilati aneka kemewahan (yang melenakan diri) di dalam mall. Kemewahan materi yang kebanyakan adalah produk bangsa Barat: bangsa yang dahulu mereka perangi karena keculasan, keserakahan dan kedurjanaannya! Tentu yang para pahlawan bangsa kehendaki dari anak cucunya waktu itu adalah agar kelak mereka bisa menyamai dan menandingi segala prestasi dan kedigdayaan bangsa Barat, bukan malah menjadi ekor belakang dan obyek tak berdaya dari hasil kreasinya seperti yang terjadi saat ini. Kemerdekaan harusnya diisi dengan upaya dan semangat menguasai pengetahuan dan teknologi Barat, bukan justeru menjilati dengan rakus setiap produk dan budaya yang dimuntahkannya. Dan saya menjadi kehabisan akal, tatkala mengetahui bahwa di Jerman, negeri para jenius dan biang iptek serta salah satu bangsa paling maju dan makmur di dunia, mall adalah sesuatu yang langka di sana. Sedangkan di Indonesia, negeri yang berlimpah kekayaan alam namun masyarakatnya terbelakang dan banyak menjadi kuli di negeri orang, mall berdiri penuh sesak, dan telah menjadi habitat keseharian untuk mengisi waktu senggang dan menghamburkan uang masyarakatnya.

Sejak digulirkan awal tahun 2000-an, rencana pembangunan Matos memang sudah mengundang beragam kontroversi dan penolakan dari segenap lapisan masyarakat. Sudah berpuluh-beratus kali para tokoh masyarakat dan kalangan aktivis mahasiswa—yang belum terbeli idealismenya—menyampaikan suara keberatan. Demonstrasi pun sudah berpuluh kali digelar di depan muka para petinggi kota dan legislatif setempat. Tapi mereka, sebagaimana tipikal kebanyakan pemimpin bangsa kita, tak cukup punya pikiran jernih dan nalar sehat. Mata dan telinga mereka memang masih sehat bugar, namun harga diri dan jiwa mereka—sungguh—tak lebih baik dari (maaf) para pengemis dan preman. Alhasil, kepentingan kaum pemilik modal raksasa jauh lebih penting untuk mereka layani dengan sepenuh hati, dibanding bagaimana menjaga kehormatan dan masa depan anak bangsanya. Matos lebih riil karena keberadaannya akan menggenjot pemasukan APBD dan menambah geliat ekonomi setempat, daripada memikirkan kehormatan dan membayangkan masa depan bangsa—yang nampak abstrak.

Di Matos itu pula, saya sempat berpikir, berapa ratus ribu watt energi listrik yang dipergunakan untuk menghidupkan ribuan lampu dan sound system, menyalakan ratusan komputer, memutar bilah-bilah puluhan mesin Air Conditioner (AC) berukuran raksasa, dan aneka piranti elektronik lainnya. Saya yakin, jumlahnya lebih besar dari yang dipergunakan oleh duapuluh enam ribu penduduk di kampung saya yang seluas seribu hektar lebih. Di Matos, seperti halnya di semua mall, listrik mengalir 24 jam perhari setiap hari sepanjang tahun. Sementara di kampung saya, sebagaimana yang terjadi di seluruh pelosok desa di negeri ini, hampir tiap hari, selama dua hingga lima jam, listrik dipadamkan oleh PLN setempat dengan aneka macam alasan. Masihkah layak dipercaya, anggapan bahwa kue (pertumbuhan) ekonomi akan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat secara adil dan merata melalui mekanisme “rembesan ke bawah” (trickle down effect)?* Sementara angka pertumbuhan ekonomi makro merangkak naik, yang terjadi adalah melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antara golongan miskin dan marjinal dengan kaum kaya. Di satu sisi, lebih dari 20 persen anak bangsa hidup dalam jerat kemiskinan, dengan kondisi yang sub-human di pelosok desa maupun pinggiran kota. Di lain sisi, segelintir kaum kaya kian menggelembungkan jumlah kekayaannya berlipat-lipat—dengan memutar uangnya melalui segala cara. Awal masa pembangunan yang digulirkan oleh rezim Orba sendiri ditandai oleh munculnya segelintir orang kaya baru (OKB): para elit birokrat dan kroni ekonominya (baca: konglomerat). Sementara jutaan rakyat digusur dan dimarjinalkan dengan dalih demi pembangunan. Dan situasi tersebut terus berlanjut hingga saat ini. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi negeri ini berjalan dengan sejumlah paradoks dan ironi: melebarnya jurang sosial dan keadilan di tengah masyarakat, yang pada akhirnya melejitkan angka kriminalitas.

Mall sendiri adalah sebuah paradoks dan ironi. Ia mencipta lapangan kerja, namun dengan cara menggusur sandaran nafkah milik orang lain dalam jumlah yang lebih banyak. Ia turut meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro negara, namun dengan cara memerosotkan kesejahteraan orang banyak. Pebisnis kecil di pertokoan dan pasar-pasar tradisional tentu tak akan sanggup bersaing dengan mall. Omset para pedagang kecil tentu akan merosot dengan kehadiran mall di dekatnya. Tabungan (saving) masyarakat juga dipastikan menurun karena meningkatnya—tuntutan—konsumsi terhadap benda dan jasa-jasa pemuas hasrat. Itu berarti sumber investasi dalam negeri/PMDN akan berkurang. Dan sebagai kompensasinya, pemerintah akan getol menarik investor asing/PMA dan menambah jumlah hutang luar negeri untuk tetap menggerakkan roda pembangunan dan mengerek angka pertumbuhan ekonomi. Dan setiap dolar modal yang ditanamkan oleh pihak asing, akan mendatangkan keuntungan berlipat ganda yang akhirnya akan mereka bawa pulang kembali ke negerinya. Juga hutang luar negeri itu bukanlah pinjaman tanpa bunga, dan di belakangnya selalu terbonceng serangkaian kepentingan politik pihak negara kreditur untuk merecoki kedaulatan nasional kita—dalam segala bidang. Lantas bagaimana dan kapan kita hendak menjadi bangsa yang berdikari, seperti yang dahulu dicitakan dan diupayakan oleh para pendiri negeri ini?

Melalui pembangunan mall, anak bangsa, termasuk generasi muda, didorong untuk menjadi konsumen (yang rakus) atas segala produk budaya modern dan posmodern, yang kebanyakan adalah hasil kreasi otak bangsa Barat. Tak jadi soal, bagi para pembesar negeri, bagaimana masa depan bangsa ini nantinya. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana menggenjot angka pertumbuhan ekonomi—yang tragisnya bukan dengan cara mendorong proses kreatif, inovatif dan produktif masyarakatnya sebagaimana dilakukan bangsa Barat, melainkan melalui metode mengembangbiakkan kultur konsumtif secara masif.

Di Matos pula, siang itu, sempat terlintas tanya nan cemas dalam benakku: hendak dibawa kemana bangsa ini nantinya, jika banyak kaum mudanya kini telah menjadi habitus mall? Tolong jawab wahai Puan dan Tuan-Tuan penguasa... ! [ ]

-----------------------

*) Doktrin ini dikumandangkan dengan nyaring oleh kaum liberal dan neoliberal, yakni para ekonom yang menganjurkan diberlakukannya ekonomi pasar bebas (free-market economic), pengurangan campur tangan pemerintah dalam segala kegiatan ekonomi, penghapusan subsidi publik, penerapan rezim moneter bebas/mengambang (floating rate exchange), dan swastanisasi BUMN. Mereka inilah yang mengendalikan IMF, WTO, dan World Bank—dan secara otomatis juga mengendalikan perekonomian global. Di Indonesia, kaum ini diwakili oleh “Mafia Berkeley”, geng ekonom jebolan University of California at Barkeley yang mengarsiteki bangunan perekonomian negeri ini sejak era Orde Baru hingga kini. Para pionirnya di antaranya adalah Soemitro Joyohadikusumo dan Wijoyo Nitisastro.

Wahyu Puspito S, Pungkasan Januari 2008.

Tidak ada komentar: