Kamis, Februari 21, 2008

Idealisme vs Pragmatisme

Dalam sebuah obrolan ringan di sebuah warung kopi bersama beberapa rekan kuliah beberapa malam lalu, saya mendapati keluh kesah sebagian rekan mengenai progresi ke depan selepas menanggalkan baju toga pasca acara wisuda nanti. Sebagian rekan itu bingung hendak bekerja apa dan di mana nantinya. Saya kira, sindrom pesimisme seperti yang diidap kawan-kawan saya itu bukanlah sesuatu yang aneh dan langka saat ini. Kita tentu sudah mafhum dan maklum bahwa kini ijazah sarjana bukan lagi sebuah “kartu garansi” bagi gilang gemilangnya hari depan sebagaimana puluhan tahun silam. Sudah menjadi pemandangan umum saat ini, begitu banyak sarjana yang keleleran tak kebagian kesempatan kerja. Jangankan bersikukuh dengan idealisme yang digenggam kuat-kuat tatkala masih berstatus mahasiswa, bersikap pragmatis pun belum tentu dapat mendatangkan kemudahan dalam memburu kesempatan memperoleh sandaran hidup yang layak.

Kenyataan tersebut tentulah amat menggiriskan bagi banyak mahasiswa yang saat ini sedang berkutat dengan wacana-wacana keilmuan di bangku kuliah. Sementara di bangku kuliah kita mempelajari wacana-wacana kritis (Marxisme, misalnya), di depan sana telah menunggu tantangan mahaberat yang tanpa belas kasihan akan menggilas dan menghempas siapa pun yang tak hendak berkompromi dengannya. Tak sedikit sarjana yang semasa kuliahnya begitu lantang meneriakkan pemberontakan terhadap kemapanan dan segala bentuk status quo, pada akhirnya mesti angkat tangan dan tunduk kepada kenyataan yang berkebalikan dengan obsesi dan idealismenya.

Ah, entahlah. Mungkin memang idealisme tak musti diharapkan bakal terwujud secara bulat-bulat. Paling tidak, ia sudah memberikan corak dan warna lain dalam diri kita: kesadaran kritis. Dengan idealisme, kita bukan lagi “zombie” yang hidup bergentayangan, yang memeluk erat pragmatisme dan kosong dari ide-ide kritis—sekalipun pada akhirnya ideal yang kita impikan itu harus terberai oleh ganasnya realitas yang kita hadapi. Bagi kita, yang cuma sebutir debu, yang tak punya cukup kuasa untuk melawan arus besar peradaban yang menerjang apa saja yang hendak melawannya, membangun ide(al) dan berusaha mewujudkannya semampu daya, saya kira sudah cukup. Tak perlu berharap berlebihan, tapi juga tak perlu pesimistis dengan ide(al) sendiri. Karena, bukankah sebagian realitas pada awalnya juga adalah sebuah ide(al)? [ ]

21 Februari 2008

Tidak ada komentar: