Kamis, Februari 21, 2008

The Work Aholics

“Orang yang terlalu sibuk sangat jarang bisa mengubah pendapatnya,” demikian ujar Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan ungkapan kiasannya, “Tuhan telah mati”.


Mungkin ada benarnya juga ungkapan sang filsuf tersebut. Orang yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas tak akan lagi memiliki waktu untuk merenungkan jengkal demi jengkal, detik demi detik, kehidupan yang telah dilewatinya. Seorang pecandu kerja (work aholic) amat jarang memiliki kesempatan untuk berpikir introspektif, menelusuri dunia pikiran dan bathinnya sendiri guna menemukan apa yang sekiranya masih salah atau sekedar kurang tepat dalam hidupnya untuk kemudian diubah dan diperbaiki. Orang yang terjebak dalam rutinitas dan aktivitas mekanistis—yang teramat sedikit memberikan ruang bagi ide dan pemikiran kreatif-inovatif—tak ubahnya sebuah mesin. Ia bergerak dan terus bergerak semakin kencang tanpa memiliki kesadaran kritis atas segala yang telah ia kerjakan. Ia hanya menjalani kewajiban, tanpa dapat menikmati setiap detik aktivitasnya dengan pikiran dan kesadaran yang terbuka dan kritis. Kehendaknya sudah tak lagi berpangkal pada pertimbangan nalar akal sehat, melainkan telah berpindah ke dalam ruang naluriah yang sulit untuk dikendalikan. Ia tak lagi punya otoritas atas sikap perbuatannya, karena ia telah menjadi sub-ordinat dari instingnya sendiri. Dan bukankah sisi paling gelap dan misterius pada diri manusia yang sulit untuk dipahami dan dikendalikan—sebagaimana didiagnosa oleh Freud—tak lain adalah naluri/pikiran bawah-sadar? Singkatnya, manusia yang hanya sibuk dengan rutinitas dan hilang kemampuan kritisnya untuk mempertanyakan pada diri sendiri atas segala sikap perbuatannya, pada dasarnya ia telah masuk dalam dunia gelap, ruang misterius, yakni alam naluriahnya sendiri. Di situ ia akan menjadi ’budak’ dari pikiran bawah-sadarnya sendiri.


Seandainya dibuat perumpamaan, orang yang terjebak dalam rutinitas ibarat orang yang masuk ke supermarket dengan membawa segepok uang tunai. Ia comot setiap barang yang terlihat menarik tanpa mempertimbangkan asas kemanfaatan (utility) dari barang tersebut. Asalkan kelihatan menarik maka diambil saja, toh ia membawa uang dalam jumlah berlimpah. Sampai suatu ketika, saat ia tak lagi memiliki uang, baru akan ia sadari bahwa di antara barang-barang yang dibelinya, terdapat barang yang tak bermanfaat dan tak dibutuhkan. Sementara itu, barang yang memiliki manfaat sudah tak bersisa lagi saat masih dibutuhkan, sementara uang sudah habis untuk dapat membelinya lagi. Muncullah sesal yang sesungguhnya bisa dihindari seandainya ia mau berpikir kritis di sela-sela aktivitas yang dijalaninya.


Semasa duduk di bangku SMA dulu, saya punya teman wanita yang tergolong seorang pecandu kerja. Ia aktif di berbagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Saya sampai berpikiran begitu hebatnya teman satu ini. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan aktivitas-aktivitas di sekolah. Mulai dari OSIS, PMR, Pramuka, sampai olah raga bela diri ia ikuti dengan sangat antusias. Pada awalnya saya kagum dengan ketangguhan dia, apalagi ia adalah seorang wanita, suatu fenomena yang tak biasa dan langka dalam masyarakat kita. Meski semua itu membutuhkan banyak pengorbanan, termasuk dengan menelantarkan prestasi akademisnya, namun kawan ini begitu menikmati segala aktivitasnya yang menurut saya amat melelahkan—dan mungkin juga menjenuhkan. Dan barangkali karena kekaguman itu akhirnya saya berusaha mendekati dia, bermaksud mengenal lebih dekat pribadinya, karena sebenarnya saya juga penasaran dengan dia, penasaran dengan kehebatan dan spiritnya yang meluap-luap dalam menjalani rutinitasnya sehari-hari.


Sampai pada titik tertentu saya mendapati kenyataan bahwa kawan tersebut bisa dikatakan seorang yang keras kepala. Ia selalu bersikukuh dengan pendapat dan sikapnya sendiri, dan sulit untuk menerima kritik dan saran dari orang lain. Setiap kali ada orang yang mengritik, ia tanggapi dengan antipati, kejengkelan, dan tak jarang juga ngambek. Kalau dikatakan bahwa wanita itu berasal dari tulang rusuk Adam, yang apabila bengkok maka harus diluruskan dengan cara halus dan lembut, saya jadi berpikir apakah itu juga berlaku bagi kawan satu ini. Kalau orang yang keras hati itu di lain sisi juga memiliki kelembutan hati, setahu saya orang yang keras kepala samasekali sulit untuk bisa tersentuh oleh suatu kritik yang datang dari orang lain. Orang keras kepala senantiasa bertahan dengan pendapatnya sendiri yang melekat kuat-kuat dalam alam bawah sadarnya (sub-consciousness), dan tak memiliki “jarak pandang” yang cukup untuk dapat mengamati segala tingkah lakunya sendiri secara obyektif. Saat nasi sudah menjadi bubur, barangkali ia baru akan sadar bahwa ia sedang menanak nasi. Dan lucunya lagi, biasanya bubur itu akan dibuang begitu saja, bukannya dimanfaatkan agar bisa menggantikan fungsi nasi untuk mengisi kekosongan perutnya.


Akhirnya, bukan maksud saya untuk mengusik apalagi menyindir Anda semua yang termasuk dalam kategori work aholic. Saya sekedar mengungkapkan unek-unek dan pemikiran saya pribadi yang samasekali tak bebas dari khilaf dan kesalahan. Toh kebenaran mutlak, saya yakin, tak ada di dunia ini. Yang ada hanyalah kebenaran nisbi, dan itupun tak ada orang yang memegang “hak paten” dan “lisensi”nya. Setiap orang punya hak dan peluang yang sama untuk mendapatkan, memiliki, meyakini dan mengungkapkan kebenaran (yang nisbi) itu. [ ]


07 September 2007

Tidak ada komentar: