Kamis, Februari 21, 2008

Menulislah !

If You want to keep Your sanity, You’ll teach yourself to write. Kalimat tersebut saya temukan dalam kata pengantar novel Surat Cinta Dari Kairo karangan Luna Syahrazade. Jika ingin menjaga kesegaran pikiran dan mentalmu maka menulislah, begitu saya mengartikan kalimat itu. Saya sangat mengamininya, terlebih saya telah membuktikannya sendiri bahwa kalimat itu bukanlah omong kosong ataupun sekedar kata-kata mutiara usang. Saya telah membuktikan sendiri, betapa besar pengaruh positif yang diberikan pada kesegaran pikiran dan mental oleh aktivitas menulis. Menulis dan membaca adalah dua aktivitas yang saling berkorelasi positif. Semakin banyak membaca akan membuat kita semakin mahir dalam menulis. Sebaliknya, semakin banyak menulis akan mendorong kita untuk semakin banyak lagi membaca.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, menulis bisa jadi adalah sesuatu yang sangat rumit dan sulit untuk dilakukan. Hal ini dapat dipahami mengingat bagi masyarakat kita, aktivitas membaca terlanjur dianggap membosankan dan nirfaedah. Membaca diidentikkan dengan kemalasan, karena saat membaca, orang hanya duduk diam, kadang juga sambil tidur-tiduran. Membaca dianggap sebagai prilaku asosial (orang yang gemar membaca dianggap sebagai orang yang enggan bersosialisasi). Bagaimana pun juga, kebanyakan masyarakat kita sampai saat ini memang masih miskin apresiasi terhadap tradisi aksara, dan lebih antusias pada tradisi wicara. Jangankan masyarakat awam yang hanya menamatkan pendidikan dasar, orang yang pernah mencicipi bangku perguruan tinggi saja masih banyak yang belum memiliki apresisi memadai terhadap budaya baca.

Sebagai bagian dari masyarakat yang berkarakter seperti saya sebutkan di atas itu, kegemaran membaca dan menulis pada diri saya kadang membuat saya malah merasa tertekan. Seolah-olah saya mendapati diri menjadi makhluk asing, yang menyimpang dari karakter dan budaya umum masyarakat. Saya menjadi seperti teralienasi, karena terlampau berbeda dengan kecenderungan umum. Namun demikian, saya paksakan diri untuk tetap bertahan dan tidak meninggalkan kegemaran membaca dan menulis. Bagaimana pun juga, saya menemukan dari aktivitas menulis yang saya lakukan, sebuah energi positip yang diserap oleh pikiran dan menjadi semacam ”unsur hara” yang menyuburkan kreatifitas pikiran dan meyegarkan mental. Dan sungguh teramat disayangkan kalau saya sampai menyerah begitu saja pada kecenderungan umum masyarakat yang menomorbututkan aktivitas dan budaya baca.

Sebenarnya kegandrungan saya untuk menulis merupakan hal yang wajar mengingat sejak kecil saya termasuk book aholic atau philobiblic alias pecandu/pecinta buku. Sejak masih duduk di bangku SD, saya sudah keranjingan dengan aktivitas membaca, dan hingga saat saya kuliah S1 sekarang ini saya semakin keranjingan dengan hampir semua tema bacaan. Kecanduan membaca itulah yang pada akhirnya mendorong saya untuk menggoreskan tinta di atas kertas (dan kini mengetuk-ngetukkan jemari tangan pada papan kibor komputer). Mula-mula menulis catatan harian di buku diari, kemudian berlanjut menulis puisi. Dan kini, saya kecanduan untuk menuliskan segala hal—apapun yang terlintas di benak dan pikiran saya. Selagi ada kesempatan dan cukup energi, saya tak segan-segan menuliskan apa saja, sepanjang tidak melanggar norma-norma dan tata susila yang berlaku di masyarakat.

Pernah ada seorang kawan yang mengeluh, “Kenapa skripsi itu harus ditulis, sebenarnya langsung saja dipresentasikan secara lisan kan lebih enak, tidak membuang-buang kertas dan lebih meringankan beban mahasiswa?” Saya kurang tahu persis apakah kawan saya itu memang tak punya cukup waktu untuk menuliskan skripsinya, sehingga ia sangat menginginkan skripsi yang cukup disampaikan secara lisan. Tapi yang jelas, saya kurang setuju kalau kita dijauhkan dari pengenalan keterampilan menulis. Ini bukan karena saya punya kemampuan untuk menulis dan sekaligus punya banyak waktu untuk melakukannya. Namun ada hal yang lebih penting dari sekedar ‘mencorat-coret’ kertas dalam aktivitas menulis. Menulis, sebagaimana melukis, pada dasarnya adalah mengalirkan pikiran kita, menuangnya ke dalam lembaran demi lembaran. Kita tahu bahwa air yang sehat adalah air yang senantiasa mengalir, sedangkan air yang tak bergerak akan menjadi sarang penyakit, kotor dan berbau tak sedap. Demikian pula dengan pikiran. Ketika ia diam tak bergerak maka ia akan dipenuhi oleh aneka macam penyakit yang mengancam kesehatan mental. Pikiran butuh dialirkan, dituangkan. Dan via tulisan, pikiran akan mengalir secara lebih baik dibandingkan menuangkannya lewat wicara. ”Saat menulis, aku bisa berpikir lebih baik daripada saat berbicara,” ungkap Jostein Gaarder dalam novelet Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.

Saya yakin, pada dasarnya semua orang bisa menulis, asalkan ia pernah dan suka membaca. Memang, menulis, sebagaimana juga kemampuan lain, terkait erat dengan talenta yang notabene bersifat terberi (given). Tapi itu tidak berarti bahwa seseorang yang merasa ataupun dianggap tak memiliki kecenderungan bakat menulis maka ia tak akan pernah bisa menulis. Bakat itu pun juga menuntut untuk diasah lewat latihan secara kontinyu. Dan saya yakin bahwa setiap orang memendam bakat apapun, termasuk menulis, di dalam dirinya—sekecil apapun itu. Asalkan punya kemampuan untuk mengeja kata (membaca), saya yakin menulis bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan.

Dan mengingat-ingat kembali ucapan kawan saya di atas, saya jadi berpikir, bagaimana seandainya sejarah dan pengetahuan cukup disampaikan secara lisan, dan tak usah diabadikan dalam bentuk tulisan? Ah, bisa jadi saat ini kita akan tetap berada dalam masa pra-sejarah—masa yang sering diidentikkan dengan periode uncivilized society—kalau saja tak ada satu manusia pun yang menggoreskan penanya (atau apapun jenis alat tulis lainnya) di dinding-dinding goa, di atas serpihan kayu dan batu, di helai-helai kulit binatang, di lembaran-lembaran daun lontar, di halaman-halaman buku, serta di ruang-ruang lapang dunia maya ini. Karena itu, menulislah... [*]



Tidak ada komentar: