
Suatu malam di sebuah kedai kopi di desa tempat tinggal saya, nampak olehku dua orang sedang berbincang. Sayup-sayup terdengar percakapan mereka, seorang di antaranya berkata kepada yang lain: “hidup ini buat dijalani, bukan dipikirkan.” Tak begitu jelas apa yang menjadi pokok perbincangan kedua orang tersebut. Namun kata-kata yang saya kutip di atas itulah yang menarik perhatian saya, selebihnya tak begitu.
Benarkah hidup tak butuh untuk dipikirkan? Sulit untuk memberi jawab tepat atas pertanyaan tersebut. Barangkali kondisi kehidupan saat ini yang memang penuh problematika pelik dan rumit amat susah untuk dipikirkan, apalagi hendak dicari penyelesaiannya secara tepat dan tuntas. Segala ragam problema datang silih berganti bertubi-tubi pada diri setiap orang dalam tingkat kompleksitas yang luar biasa sulit untuk dipahami, serasa tanpa ujung tanpa pangkal, seperti lingkaran. Hanya sedikit saja orang yang sanggup memikirkan dan memahami dinamika dan problematika hidup (secara komprehensif, tentunya), sedangkan kebanyakan manusia hidup dengan minim berpikir, miskin kesadaran kritis, mirip kereta api: bergerak dan bergerak menyusuri rel-nya.
Golongan manusia yang sedikit berpikir ini biasanya adalah orang-orang awam, orang yang tak banyak mengenyam pengajaran dari lembaga pendidikan formal. Kebanyakan mereka tak memiliki kesadaran kritis, hanya hidup berdasarkan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan. Hidup mereka sudah terpola sedemikian rupa, mengikuti jejak dan ajaran nenek moyang. Dalam pandangan mereka, mencari nafkah buat hidup layak saja sudah susah, jangan lagi ditambah beban memikirkan hidup yang hanya akan membuat kepala pening. Semua sudah ditentukan dari “sana” dan manusia cuma harus menjalaninya saja.
Tapi juga tak sedikit golongan terpelajar, yang berpuluh tahun menimba ilmu pengetahuan di bangku sekolah/kuliah, ternyata juga tertimpa ”penyakit” minim berpikir. Bedanya dengan orang awam, mereka memiliki titel mulai sarjana sampai doktor dan profesor, serta memiliki referensi wawasan yang lumayan banyak. Namun kalau mau jujur mengakui, tak banyak sebenarnya yang diajarkan sekolah kepada kita. Sistem persekolahan kita hanya mengajari anak didiknya kepatuhan dan ketundukan mutlak pada guru/dosen, kurikulum, dan aturan-aturan ini itu. Konon semua itu demi menghasilkan “sistematika berpikir yang runut dan ilmiah serta bisa dipertanggungjawabkan”. Lalu diajarkanlah kepada anak didik teori-teori, konsep, sistematika, metodologi, dsb, dsb… Maka anak didik dilarang untuk berpikir keluar dari hal-hal tetek bengek itu, semua harus mengikuti ketentuan tanpa kecuali, dan pokok permasalahan pun dibatasi konon agar terfokus dan mudah dipecahkan.
Di lembaga pendidikan mulai SD hingga universitas, kita hanya disuguhi dan ditunjukkan pada sebuah “dunia miniatur”, “kehidupan yang dibonsai”, “dunia simulasi”. Kita tak pernah diajari untuk memahami kehidupan nyata—dunia yang sesungguhnya: dunia di luar ruang kelas, di luar buku, kehidupan yang belum terjangkau oleh konsep-konsep serta teori-teori dan segala tetek bengeknya. Maka tak heran kalau orang-orang sekolahan, bahkan yang bergelar profesor pun, seringkali gagap dan gagal memahami realitas kehidupan di luar kelas, karena pikiran mereka telah terkerdilkan, terbonsai, terbiasa hidup dalam miniatur, dalam simulasi.
Mungkin dari sini kita bisa menarik benang merahnya, kenapa kondisi bangsa dan negara ini terus terpuruk, setiap problem di tengah masyarakat tak kunjung teratasi dengan baik malah justru kian runyam. Bisa jadi ini karena para pemimpin kita hanya “berpikir dalam tempurung” (think in a box), melihat permasalahan di tengah masyarakat hanya dari data di atas kertas yang kemudian berusaha diatasi dengan konsep-konsep dan teori-teori yang mereka hafal luar-kepala di bangku kuliah.
Orang-orang besar seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Soekarno, Thomas Edison, Saichiro Honda, Bill Gates, dan banyak lagi, bukan lahir dari bangku sekolah/kuliah. Mereka muncul dari tengah-tengah masyarakat, terdidik oleh problematika, belajar pada kehidupan nyata. Mereka adalah orang yang punya pemikiran merdeka dan bebas dari belenggu kaidah ini itu yang hanya mengerdilkan pola pikir.
Sistem pendidikan (formal) di negeri ini memang penuh dengan ironi dan paradoks. Sekolah yang mestinya memberikan inspirasi dan mengajari anak didiknya berpikir merdeka, ternyata malah menjadi lembaga pengerdilan yang membatasi cakrawala berpikir peserta didiknya dengan menyodori mereka sebuah “dunia yang dimampatkan”, “kehidupan yang disederhanakan”. Padahal lebih banyak dalam hidup ini hal-hal yang belum dapat dipahami dengan konsep-konsep, teori-teori, sistematika-sistematika, metodologi-metodologi, dsb, yang tersedia dalam pengajaran sekolah. Bahkan renik-renik kehidupan ini teramat banyak yang belum terjangkau oleh keterbatasan akal manusia, lebih-lebih yang telah terbonsai. Dan sistem pendidikan yang kita peluk dan ikuti justru memperparah keterbatasan kita dalam menjangkau dan memahami hidup ini. Tragis, bukan?
Mungkin memang sempitnya ruang kelas tak sanggup buat menampung kehadiran dunia dan kehidupan nyata yang rumit dan hypercomplex, sehingga dengan sangat terpaksa anak didik cukup ditunjukkan sebuah “penggalan-penggalan kehidupan”, yang disesuaikan dengan konsep, teori, dsb, yang tersedia, agar “permasalahan” yang ada di dalamnya bisa ‘dipecahkan’. Dan sekeluar dari sekolah, tak ada jaminan bahwa anak didik tak akan menjadi robot-robot yang kaku, bingung, gagap, dan akhirnya gagal memahami kehidupan sesungguhnya, karena horizon pemikirannya terbentur oleh dinding-dinding konsep, teori, sistematika, metodologi, dsb, dsb … mirip kereta api: akan berguncang dan akhirnya macet bila keluar dari lintasan rel-nya.
Karena itu, jangan berbangga diri dengan pengetahuanmu, hai orang-orang sekolahan! Karena bisa jadi mereka yang tak pernah sekolah sesungguhnya jauh lebih mumpuni dalam memahami hidup, karena mereka belajar pada kehidupan yang sesungguhnya, berguru pada kehidupan yang tak terkurung dalam ruang-ruang kelas yang pengap ... [*]
23 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar