
Malam nanti, tepat saat tiga batang jarum penghitung waktu bertemu di titik 12.00, hitungan tahun akan bertambah satu angka: 2008. Seperti lazimnya momen-momen istimewa lainnya, pergantian tahun akan menarik minat banyak orang untuk menggelar aneka macam ritual sebagai bentuk selebrasi guna meluapkan—entah—kegembiraan atau ke(s/p)edihan.
Tepat saat tiga jarum penghitung waktu berada pada posisi segaris di titik 12.00, malam nanti, orang-orang akan larut dalam aneka bentuk seremoni: meniup terompet, membakar kembang api, dst.. Saya sendiri tak tahu akan melewatkan malam pergantian tahun dengan cara seperti apa, juga saya tak berhasrat apalagi memikirkannya sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Bagiku, momen-momen yang dianggap istimewa oleh banyak orang tak memiliki nilai pun kesan yang berbeda dibanding hari-hari yang lain. Sama saja. Entah itu hari ulang tahun, valentine’s day, tahun baru, dsb. Kecuali untuk sebuah momen di mana diriku mengalami hal-hal menyenangkan dan mengesankan, tentu tak ‘kan saya melupakannya, walaupun juga belum pasti saya akan memperingatinya dengan membikin seremoni ataupun selebrasi ini itu.
Menggelar sebuah selebrasi untuk momen-momen tertentu memang memberikan sebuah kesenangan tersendiri. Di sana kita bisa berkumpul dengan teman atau saudara untuk bersama-sama merayakannya. Pendek kata, sebuah selebrasi akan menjadi titik pertemuan bagi orang-orang yang sebelumnya berada terpisah. Pada hari lebaran, sebagai misal, orang-orang yang berada di tanah rantau mau tak mau akan mudik ke kampung halaman. Dalam momen tersebut, orang akan bersua dan melepaskan segala rindu kepada sanak keluarga yang setahun lamanya ditinggalkannya.
Tapi ada hal yang sebenarnya tidak kalah penting dalam setiap selebrasi yang digelar untuk merayakan momen apapun, yakni pesan atau substansi yang ada di dalam momen tersebut. Sudahkah kita berhasil menangkap, menghayati dan mengejawantahkan pesan ataupun substansinya melebihi hingar bingar selebrasi yang kita gelar untuk sebuah momen—yang dilabeli—istimewa?
* * *
Saya pribadi tak begitu tertarik untuk turut dalam hingar bingar pesta atau seremoni apapun dalam melewatkan malam pergantian tahun. Bukan berarti saya antipati terhadap hal tersebut. Saya hanya berpikir, kenapa meninggalkan satu lembaran yang telah kita lewati dan sekaligus memasuki gerbang menuju lembaran baru yang akan kita lalui harus dirayakan dengan pesta? Tak lebih baikkah kalau momen istimewa tersebut kita lalui dengan melakukan evaluasi diri, membuka kembali lembar-lembar catatan 2007, memeriksa apa-apa yang masih kurang lalu diperbaiki di 2008 nanti? Kupikir hal-hal demikian akan lebih bermanfaat daripada membuang-buang energi, waktu dan uang untuk menggelar ritual malam pergantian tahun dengan tumpah ruah di sudut-sudut kota. Tapi entah kalau memang kita betul-betul butuh hiburan untuk mengusir kejenuhan dan stress yang mendera seharian.
Namun apa pun yang akan (dan tak akan) kita lakukan saat tengah malam nanti, tahun akan berganti dengan sendirinya. Hitungan nominal atas perputaran waktu takkan berhenti. 2007 akan tertinggal di belakang, dan suka tak suka kita semua akan merajut hidup di 2008.
Bagi yang menganggap 2007 sebagai tahun keberuntungan, memasuki 2008 tak berarti keberuntungan juga akan tanggal dengan serta merta. Pun demikian sebaliknya. Yang mengalami banyak kesialan di 2007, memasuki 2008 tak berarti secara otomatis meninggalkan nasib buruk di belakang. Semua tergantung kepada diri kita sendiri. Akankah kita mengisi lembar demi lembar di 2008 dengan hal-hal yang lebih baik dari sebelumnya, atau malah justeru sebaliknya. Dan hasil yang akan kita petik samasekali tak ada hubungannya dengan bentuk angka yang tertulis di kalender, karena (hitungan) tahun hanyalah simbol dan benda mati. Maka menjadi irrasional kalau kita mendamba keberuntungan (hanya) pada sebuah angka, seolah hidup adalah sebuah lotre (?)
Selamat Tinggal 2007 ... [*]
WPS
Tepian Bedadung, Pungkasan 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar