Jumat, Februari 15, 2008

Merayakan Alpa

Malam pergantian tahun beberapa hari yang lalu samasekali tak saya rayakan dengan acara apa pun. Mulanya saya hendak melewatkannya dengan nongkrong di alun-alun kota Ambulu bersama beberapa orang teman, sembari menikmati wedhang kopi di warung kaki lima. Namun tak dinyana, sekitar pukul 20.00 hujan turun mendadak dengan lebatnya disertai angin yang bertiup kencang. Saya yang saat itu sedang berada di tengah perjalanan menuju alun-alun, tak ayal lagi langsung basah kuyub oleh tumpahan air dari langit itu.

Sial, pikirku. Dengan pakaian yang basah kuyub, tak ada lagi pilihan lain kecuali putar haluan: pulang. Mau tak mau saya akan melewatkan malam pergantian tahun di rumah saja, toh sebetulnya saya tak punya hasrat untuk merayakannya kalau saja tak ada ajakan dari teman.

Sesampainya di rumah saya segera menanggalkan seluruh helai pakaian yang telah basah kuyub itu dari tubuhku, dan menggantinya dengan pakaian yang kering di lemari pakaian. Selanjutnya, saya segera bergegas menuju kamar, mengambil sebuah novel di rak buku dan kemudian berbaring di kasur sambil membaca novel berjudul City of Love and Ashes karangan Yusuf Idris itu. Sementara di luar, hujan masih tumpah dengan ganasnya disertai angin yang menderu-deru, melabraki pepohonan yang menjulang ke langit.

Saya membuka helai demi helai novel yang baru saya beli beberapa hari sebelumnya itu. Membacai tiap-tiap halamannya sembari menikmati suasana malam yang dingin oleh hujan dan angin. Novel itu berlatarbelakang kehidupan Mesir awal 1950-an, masa revolusi kemerdekaan dalam mengusir kekuatan kolonial Inggris yang masih bercokol di bumi Pharao tersebut. Episentrum cerita novel tersebut adalah kisah percintaan Hamza dan Fawziya yang sama-sama mengabdikan diri dalam perjuangan kemerdekaan negerinya. Cinta adalah sesuatu yang niscaya bagi sepasang anak manusia, bahkan di tengah ganasnya pertempuran di medan perang sekalipun. Begitu pesan yang saya tangkap dari kisah dalam novel itu.

Tak terasa tiga jam telah berlalu dalam pembaringan, dan 200-an halaman novel di tanganku telah kulewatkan. Tinggal seratusan halaman lagi tamat. Namun mataku sudah terasa lelah. Dan kulihat jarum panjang mesin penghitung waktu di atas meja kamarku telah menunjuk angka sepuluh, sementara jarum pendeknya hampir menyentuh titik 12. Ini berarti sepuluh menit lagi saya akan terlempar ke tahun 2008, dan meninggalakan 2007 beserta segala manis, pahit dan getirnya di belakang. Saya menunggu detik-detik countdown menuju 2008 dengan perasaan yang tawar. Tiada gembira maupun sedih. Tak ada yang terasa istimewa samasekali pada momen yang disambut oleh jutaan orang dengan pesta pora itu.

Tepat saat dua buah jarum jam bertemu di angka 12, saya berpikir, “inilah momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang di seluruh dunia. Pergantian tahun. Apanya yang istimewa? Ah, barangkali karena saya berada di dalam kamar seorang diri, bukan di tengah kota berbaur bersama ribuan orang yang menggelar aneka macam pesta.”

Tapi saya tak merasa mendapati nasib buntung dengan hanya melewati titik pergantian tahun di dalam kamar seorang diri, hanya bertemankan tumpukan dan serakan buku-buku. Saya tak merasa tak beruntung karena tak bisa melewatkan momen “istimewa” itu di tengah-tengah banyak orang dengan gegap gempita pesta. Saya coba menghibur diri, menawarkan perasaan sendiri dengan mengingat-ingat tayangan berita TV mengenai peristiwa banjir yang melanda puluhan kota dan ribuan desa di seantero negeri ini, tak terkecuali kota pusat segalanya: Jakarta. Ah, ternyata saya masih jauh lebih beruntung dibandingkan jutaan orang yang sedang meratapi nasib karena harta benda dan sanak keluarganya dirampas oleh banjir itu.

2008. Tahun Tikus Tanah, menurut perlambangan orang Tionghoa. Entah apa maksudnya dan apa saja peruntungan yang ada di tahun tersebut saya tak tahu.

Mungkin “tikus tanah” akan semakin bergandengan erat, berkolaborasi dengan “tikus kantor” dalam menggerogoti kekayaan alam negeri ini, begitu pikirku dalam hati. Itu berarti di 2008 nanti korupsi akan kian tak teratasi, tanah longsor dan banjir akan semakin meluas di seluruh pelosok negeri, dan rakyat akan kian sekarat menanggungkan itu semua. Entahlah. Menatap masa depan kehidupan bangsa ini, tak bisa tidak saya dibayangi kabut pesimisme yang begitu tebal dan pekat. Seolah sudah tiada lagi harapan tersisa untuk kita menjadi bangsa yang besar, kukuh dan tangguh. Ah, Indonesia. Sebuah negeri yang sarat akan alpa dan kebebalan para pemimpinnya. Sebuah bangsa yang besar namun seperti buih: tak memiliki bobot. Sebuah negara di mana para begundal dan pencoleng mendapatkan kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat, sementara orang-orang jujur disingkirkan dan diasingkan.

Uh, kenapa saya jadi tenggelam meratapi nasib negeri ini. Terlalu berlebihan, kukira. Rasanya tak perlu bagi orang-orang kecil sepertiku untuk ikut-ikutan dibuat pusing memikirkan kondisi negara: sebuah “makhluk” yang tak jelas untuk apa ia didirikan dan dilestarikan, kecuali sebatas di atas kertas dan samasekali terlihat kabur dalam kenyataan hidup sehari-hari. Negara, ya, sebentuk lembaga yang peran dan fungsinya terlampau dibesar-besarkan di dalam teori, padahal kenyataannya ia kerdil dan lemah dalam menjalankan fungsi dan peran tersebut.

“Jangan tanyakan apa yang akan diberikan negara kepadamu. Tanyai diri sendiri apa yang mampu engkau berikan kepada negara!” Ungkapan klasik JFK yang kian menemukan kebenarannya di tengah impotensi akut yang sedang diderita negara.

Selamat Menapaki 2008 ... [*]












Tidak ada komentar: