Senin, Februari 18, 2008

Let’s Be Narcist !

Jangan buru-buru terkecoh dengan judul di atas. Saya tak hendak mengajak orang lain untuk menjadi seorang pemuja diri. Saya tak ingin siapa pun menjadi seorang narsis.


Saya pernah melihat tulisan yang saya jadikan judul di atas itu terpampang di sebuah cermin di salah satu sekretariat UKM di kampusku. Saya tersenyum geli saat itu. Apa maksud dan tujuannya, pikirku kala itu. Saya tak tahu pasti apakah persuasi itu ditulis dengan serius atau sekedar dimaksudkan sebagai olok-olok, atau mungkin guyonan semata. Juga persuasi itu diberi tafsiran seperti apa oleh sang penulisnya, saya tak begitu paham. Apakah maksudnya mengajak orang untuk mencintai diri sendiri saja (sebagaimana makna harfiah narcism) atau mungkin mengajak orang untuk merias wajah serta rambut dan memperhatikan penampilan diri seindah mungkin, agar tidak memalukan di hadapan orang lain. Karena tulisan spidol hitam itu terpampang di salah satu sudut sebuah cermin rias yang tergantung di dinding sekretariat UKM, saya pikir tafsiran yang kedua itulah yang relevan untuk maksud tulisan tersebut (apalagi cermin itu kan bukan kepunyaannya si Narcissus). Dan saya tak berani membayangkan seandainya tafsiran yang pertama yang dimaksudkan si penulisnya. Ihh... ngeri, pikirku.


Narsisme sudah bukan lagi wabah baru saat ini. Ia telah menjadi endemis yang merajalela semenjak beberapa tahun lalu, terutama di kalangan remaja dan kawula muda. Vektor yang mengusung virus berbahaya itu tak lain adalah televisi dengan tayangan sinetron-sinetron remaja yang mulai populer semenjak pergantian milenium lalu. Dalam waktu sekejap, wabah narsisme melanda golongan remaja dan kawula muda. Televisi, lewat lakon-lakon sinetron picisan, memang menjadi media yang ampuh dalam memutar haluan moral belia-belia bangsa: membujuk mereka untuk lebih mengabdi pada egonya daripada mengutamakan kepentingan orang banyak; menghancurkan nilai-nilai budaya tradisional yang sarat dengan keluhuran moral; dan mengajari mereka cara hidup yang hanya berkutat pada masalah perut dan “bawah perut”.

Sebagaimana kita tahu, kisah-kisah di dalam sinema elektronik (sinetron) remaja hampir selalu berkutat pada soal-soal yang serba dangkal—dan nakal: “cinta monyet”, hura-hura pesta, dunia mistik dan klenik (yang murahan), dan banyak lagi yang lainnya. Seting tempat juga tak jauh-jauh dari mall, rumah mewah, dan segala sudut kota yang banyak membuai orang ke dalam mimpi-mimpi kosong. Bahkan ketika mengambil lokasi syuting di sekolah dan kampus, kehidupan yang ditampilkan bukanlah teguhnya semangat anak-anak muda yang menuntut ilmu, melainkan peristiwa yang sangat dangkal dan terkesan sangat murahan: “cinta monyet” antara siswa dan gurunya, perseteruan antar siswa karena memperebutkan pasangan, siswa yang mengusili gurunya, dan masih banyak lagi.


Beberapa tahun terakhir ini, stasiun televisi memang getol berebut menyajikan tayangan sinetron-sinetron ngepop dengan segmentasi remaja dan kawula muda, demi mendongkrak angka rating (dan otomatis juga pendapatan iklan). Pada akhirnya, insan-insan media hiburan itu mau tak mau musti menyerahkan diri menjadi “budak” pasar. Soal efek buruk yang diakibatkan oleh karya-karya tersebut, tak menjadi soal buat mereka. Seorang empu tak bisa dimintai pertanggungjawaban atas penyalahgunaan senjata yang dibuatnya oleh orang lain, begitu kira-kira kilah mereka membela diri. Kalau demikian maka kita juga tak punya hak untuk memintai pertanggungjawaban korporasi-korporasi raksasa (MNCs) seperti Monsanto dan Bayer, misalnya, atas bahan-bahan kimia berbahaya yang mereka produksi secara besar-besaran, yang telah memerosotkan kualitas lingkungan ekologis dan kesehatan manusia, karena toh yang menggunakannya adalah para petani (yang tak tahu apa-apa soal bahaya bahan-bahan kimia). Apa memang demikian harusnya, pikirku. (Ah, mungkin saya terlalu berlebihan. Apa hubungannya narsisme dengan pestisida?)


Saya jadi teringat kata-kata seorang teman yang sekarang telah mendahului saya menjadi sarjana. Ia pernah berkata: nanti kalau sudah punya anak, aku tak akan menaruh televisi di ruang keluarga, agar tak membahayakan pertumbuhan anakku. Si teman saya itu mungkin sudah paham betul betapa berbahayanya seorang anak bermain-main dengan “kotak ajaib” itu (malah ada yang bilang “kotak pandora” alias “kotak bencana” untuk menyebut televisi), apalagi bila tanpa pengawasan orang tua. Mungkin juga ia tak rela anak-anaknya nanti tumbuh menjadi “generasi sinetron” atau “generasi picisan”—seperti dalam kisah-kisah sinetron—karena bad influence televisi.


Dan mengingat-ingat kembali tulisan di kaca rias itu, saya kembali merasa geli tergelitik. Belakangan saya tahu kalau yang menulisnya ternyata adalah juga salah satu anggota UKM tersebut, dan saya kenal dia. Apa mungkin teman itu seorang penggemar berat sinetron, tanya saya dalam hati. Kenapa tak menulis Let’s be beauty atau Let’s be handsome saja di cermin itu, agar tak menimbulkan salah pengertian dan mis-interpretation bagi yang membacanya, pikirku. Ah, saya jadi makin merasa geli saja dengan perbuatannya itu. Ada-ada saja kawan sealmamater saya itu...


Let’s be (inner) beauty/handsome !


11 Januari 2008

Tidak ada komentar: