Senin, Februari 18, 2008

Pengemis & Demokrasi

.: sebuah parodi

Di suatu sore, beberapa hari lalu, di salah satu konter fotokopi sekitar kampus almamaterku, ada seorang tua berumur sekira tujuhpuluhan tahun yang meminta uang kepada para pengunjung di sana. Saya awasi pengemis tua itu berpindah dari satu pengunjung ke pengunjung lain sambil berbicara yang tak begitu jelas suaranya. Lantas tiba gilirannya ia mendatangi saya yang saat itu sedang berdiri antri menunggu giliran fotokopi. Ia bicara lirih dan suaranya agak tertahan-tahan di tenggorokannya. Saya tak begitu paham apa maksud dari kata-katanya itu, karena ia bicara dalam bahasa madura sedangkan saya orang jawa yang tak menguasai bahasa orang-orang saudara sesuku Trunojoyo dan Pak Sakerah itu. Lantas saya ulurkan tanganku dengan menyodorkan dua kepeng duit recehan masing-masing bernominal duaratus perak. Tapi pengemis tua itu bukannya lekas beranjak pergi dari hadapanku, malahan ia kembali berkata-kata. Saya paksakan menyimak kata-katanya, yang selain tetap dituturkan dalam bahasa madura juga tetap dengan suara yang kabur. Akhirnya saya menyadari bahwa orang ini sedang komplain kepada saya. Saya dengar ia mengucapkan kata “sebu”, yang setahu saya berarti: seribu. Rupanya pak tua ini tak mau cuma saya kasih duit empat ratus perak, ia minta seribu. Saya turuti permintaannya. Kuraih dompet di dalam saku dan sejurus kemudian kuserahkan selembar uang ribuan kepadanya. Ia pun langsung bergegas pergi selepas menerima duit seribu dari tanganku itu. Dan yang membuat saya agak geli, duit empatratus rupiah yang kuberikan terdahulu tak dikembalikannya. Dan tak mungkinlah saya memintanya lagi, tak sebanding dengan malu yang musti kutanggung seandainya saya nekat memintanya kembali (emangnya bayar karcis, minta kembalian segala, he-he-he..). Rupanya seorang pengunjung di dekatku juga mengeluhkan sikap pengemis tua yang ngarani dalam meminta-minta itu. Nampaknya ia juga ‘ditarget’ uang seribu rupiah oleh pengemis tua tersebut.

Terus terang saya merasa iba bercampur jengkel kepada pengemis tua itu. Ada rasa kasihan dalam diri saya melihat orang seuzur itu harus menjual dan menggadaikan sisa-sisa hidup dan kehormatannya dengan menjadi peminta-minta. Barangkali memang hanya itulah jalan rezeki satu-satunya yang ia miliki. Namun begitu, harusnya sebagai pengemis ia bersikap “profesional”, begitu keluh saya dalam hati. (Aha, adakah pengemis yang kenal dengan konsep profesionalisme? Bahkan kaum “kerah putih” saja banyak yang tak profesional). Profesional yang saya maksudkan bagi pengemis adalah menerima dengan lapang hati berapa pun nominal duit yang diberikan kepadanya oleh si pemberi, dan juga ikhlas apabila sekali-dua ada orang yang tak mau memberinya barang serupiah pun. Bukannya malah meminta dengan nominal yang ia tentukan sendiri, dan memprotes jika si pemberi mengulurkan uang dengan nominal yang tak sesuai dengan yang ia minta. Kalau begitu, apa bedanya pengemis dengan preman di pasar dan terminal, ha? Soal kekerasan? Bahkan protes karena dorongan egoistik itu pun sudah merupakan bentuk kekerasan: silent violence, kekerasan tak bersuara—meminjam terminologi Rieke Diah Pitaloka.

Fenomena peminta-minta di lingkungan perkotaan memang sudah menjadi kelumrahan di negeri ini; sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tak hanya di kota saya yang kecil, di metro Surabaya apatah lagi Jakarta, pengemis muncul bak cendawan di musim penghujan. “Ada gula, ada semut,” begitu kata pepatah lama. Di mana ada kemakmuran, di sanalah orang berduyun-duyun untuk ikut mencecapi manisnya hasil pembangunan. Barangkali ini juga salah satu “efek rembesan ke bawah” (trickle-down effect) dalam rangka pemerataan kue pertumbuhan ekonomi—seperti yang digembar-gemborkan kaum liberal dan neoliberal di balik kedok pembangunan dan globalisasi. Hanya saja fenomena pegemis itu tentu saja luput—atau malah sengaja diluputkan—dari identifikasi mereka dalam teoritisasinya. (Tak mungkin lah kaum intelek pengusung dan pembela nekolim itu bersedia dengan legawa menyebutkan dalam teorinya: “mengemis adalah salah satu cara/metode pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi model pasar bebas.” Mustahil, sekalipun dalam pikiran mereka menyadarinya. Gengsi, tau! Begitu olok-olok seorang kawan tempo hari.)

Selain di pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya, pengemis juga banyak bergentayangan di area kampus. Bahkan saya kerap menemui pengemis berusia muda dan paruh baya. Mereka yang seharusnya sanggup untuk membanting tulang memeras keringat ternyata juga ikut-ikutan menjadi pengemis. Lantas apa sudah tak adakah kesempatan kerja atau jalan penghidupan lain buat mereka selain menjalani profesi nista itu, tanya saya dalam hati. Di sebuah negeri yang konon gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo dan bahkan “tongkat dan batu pun tumbuh jadi tanaman” (seperti dilagukan Koes Plus), kenapa orang musti menjadi peminta-minta untuk menyambung hidupnya? Bahkan pula, tak sedikit di antara para pengemis itu adalah anak-anak usia pra-sekolah dan sebagian berusia di bawah sepuluhan tahun, bahkan ada beberapa yang balita (Anda pernah melihatnya sendiri tentunya). Tunas-tunas bangsa yang duapuluh-tigapuluh-empatpuluh tahun lagi punya hak dan kewajiban untuk turut menahkodai perjalanan bangsa mengarungi peradaban, tak luput juga terjerembab dalam jurang nista. (cuihh!—kali ini saya kembali bicara soal bangsa, soal negara: sesuatu yang bagi saya amat muluk-muluk dan—tentu saja—absurd! Sumpah! Tapi sungguh terpaksa, ada yang ‘menggoda’ di sana untuk saya tuliskan di sini.)

Aih, bukankah saat ini pun bangsa kita sudah dipimpin oleh kalangan pengemis? Pengemis dalam wujud dan rupa yang lain tentu saja. Pengemis yang tak berpenampilan lusuh, bermuka kusut atau pun berpakaian compang-camping seperti laiknya pengemis pada umumnya. Melainkan pengemis dalam strata yang teramat tinggi dan dihormati—tentu saja karena titel dan posisinya. Pengemis yang bahkan kaum cendekia kritis macam Joseph Stiglitz dan Hernando De Soto pun sampai terheran-heran dengan prilaku dan jalan pikiran mereka. Konon kaum cendekia seperti Stiglitz dan De Soto itu tak habis pikir dengan perilaku sebagian pemimpin negara-negara Dunia Ketiga, apatah lagi Indonesia, yang kerap mengeluhkan minimnya modal finansial untuk melaksanakan agenda pembangunan (baca: modernisasi) di negaranya. Padahal, seperti kita tahu, Dunia Ketiga adalah gudangnya sumber daya alam (raw material) mulai dari rempah-rempah hingga minyak bumi. Mereka kerap meminta-minta dengan sangat kepada negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional untuk dikucuri dana segar dalam jumlah berlimpah. Tentu saja kucuran utang itu tidak gratis, “there is no free lunch”—sebuah satire tentang beratnya konsekuensi yang musti ditanggung oleh negara pengutang. Dan tentu saja imbalannya adalah menghambakan diri dengan serendah-rendahnya kepada sang pemberi utang, dengan cara melayani semua kepentingan mereka yang disodorkan kepada kita. Sementara mengemis utang, para pemimpin itu malah memiliki perilaku yang sungguh tidak mencerminkan bahwa mereka adalah pemimpin negara yang miskin finansial dan terbelakang dari peta percaturan ilmu pengetahuan dan teknologi. Anda sudah tahu sendiri tentunya, bagaimana glamournya kehidupan para pemimpin kita—seperti yang ‘kebetulan’ tertangkap sorot kamera media massa. Kalau Anda ingat kasus skandal seks/perselingkuhan salah seorang pentolan legislatif/DPR pusat, Yahya Zaeni, dengan artis dangdut Maria Eva, pada 2007 lalu, jangan lupa bahwa itu hanyalah sebuah “pucuk mungil” dari “gunung es” yang ‘kebetulan’ muncul ke permukaan. Di bawah pemukaan, tentu Anda bisa bayangkan sendiri seperti apa keadaannya. (Saya tak kuasa menuliskannya. Silahkan direka-reka sendiri...)

Kalau Singapura para pemimpinnya hidup sederhana dan bersahaja, sementara pada tahun lalu di Jepang dua orang menteri mati bunuh diri karena dituduh melakukan korupsi, maka di ”negara pancasila” ini justru orang bisa jadi pemimpin kalau ia gemar berfoya-foya, mengobral uangnya, dan—tentu saja—tak punya lagi deposit rasa malu. Orang yang masih punya rasa malu dan tak suka mengobral uangnya, jangan sekali-kali bermimpi bisa menjadi pemimpin di negeri ini, bahkan sekedar menjadi lurah atau kepala desa sekalipun tak bakalan kesampaian. Sumpah! Begitu kata seorang tetangga tempo hari saat ngerasani kejelekan nasibnya sendiri. Ia maju sebagai salah satu kandidat dalam kontestasi pemilihan kepala desa (pilkades) beberapa tahun lalu, dan tentu saja ia hanya menduduki posisi juru kunci karena modalnya “cuma” selembar ijazah sarjana tanpa menyediakan uang berlimpah-ruah. Dan ironisnya, ia dikalahkan oleh seorang kandidat yang hanya lulusan Kejar paket B (pendidikan setara SMP di masa Orba) namun punya modal sawah puluhan hektar luasnya.

Kalau pengemis berpakaian compang-camping, berpenampilan lusuh seperti yang sering kita lihat di jalan-jalan, di pasar, dan di area kampus, mungkin membuat kita merasa risih bahkan jijik, karena mereka mengganggu keyamanan dan pemandangan. Namun pernahkah kita menyadari bahwa substansi pengemis yang melekat dalam diri orang-orang di dalam gedung legislatif, eksekutif dan yudikatif di negeri ini sesungguhnya menyimpan bahaya yang tak kepalang tanggung besarnya bagi nasib dan masa depan orang-orang se-negara? Pernahkah kita menyadari bahwa seorang penjual gorengan di Jakarta yang mati gantung diri beberapa hari lalu, seperti yang diberitakan media itu, sesungguhnya ia adalah korban dari sebuah kebijakan negara (khususnya dalam bidang ekonomi) yang dicetuskan oleh para pemimpin yang bermental pengemis? Bahkan kalau suatu kali kita, Anda dan saya, merasa diri mendapati nasib buruk dalam upaya pemenuhan kebutuhan materi, padahal sudah merasa maksimal berbuat dalam segala hal, jangan lupa bahwa kita adalah juga seorang warga negara yang tak bisa lepas dari jerat kebijakan menghambakan diri kepada kapital(is) asing—kebijakan yang tentu saja hanya dicetuskan oleh para decision maker bermental pengemis. Orang yang merdeka dan masih punya harga diri, sudah barang tentu tak akan melahirkan kebijakan sehina itu.

Menyadari kondisi bangsa yang kian tersuruk pada titik nadir seperti saat ini, adakalanya saya merasa “iri hati” dengan bangsa Iran yang punya Ahmadinejad, Venezuela dengan Chavez-nya, juga Bolivia yang dipimpin Evo “el commandante” Morales. Anda tahu tentu saja, bahwa tiga negara tersebut adalah “setan kecil” (menurut pandangan Amerika Serikat dan sekutunya) yang selalu menentang “kewibawaan” negeri Paman Sam tersebut. Tiga negara itu adalah “ancaman” baru bagi AS, di samping ”ancaman” dua “setan besar”, yakni Rusia dan China. Tapi pasca runtuhnya Komunisme—dan tentu saja usainya Perang Dingin—saya tak lagi percaya bahwa apa yang dikatakan “buruk” oleh AS memang demikian adanya. Saya justru beranggapan sebaliknya. Bahwa yang dipandang buruk oleh AS sesungguhnya adalah baik, dan yang dikatakan baik oleh mulut Bush sesungguhnya adalah buruk. Logika yang sederhana namun cukup untuk menelanjangi kebusukan agenda kepentingan pemerintahan Bush terhadap negeri-negeri yang punya kelimpahan kekayaan alam macam negara-negara Timur Tengah, Amerika Latin, dan—tentu saja—Asia Tenggara (Indonesia di urutan teratas, tentunya!). Karena perkataan Bush, setahu saya, tak lain adalah retorika seorang penjajah—mewakili kaum penjajah, begitu lebih tepatnya. Adakah perkataan yang dilontarkan kaum penjajah itu punya nilai kebenaran bagi pihak yang dijajah? Dan tidakkah itu semua adalah retorika dan muslihat yang memperdaya—muslihat srigala kepada sekawanan domba?!

Saya, juga Anda barangkali, layak untuk berharap memiliki pemimpin yang masih punya muka dan sanggup menegakkan batang lehernya di hadapan (kepentingan) pihak asing. Kalau saat ini Iran, Venezuela dan Bolivia punya figur yang “garang” dalam menghadapi segala keculasan, kerakusan dan kedurjanaan “sang kaisar” (baca: pemerintahan Bush dan sekutu Eropanya), maka siapa yang saat ini dipunyai Indonesia? Barangkali kita masih bisa menghibur diri dengan masa lalu, karena kita pernah punya Soekarno yang “ksatria” dan “jantan” bahkan sanggup menggertak Barat dengan bentakannya yang terkenal: “go to hell with your aids!” Atau Soeharto yang, meski agak condong ke Barat, masih punya sedikit pendirian dan harga diri (ingat, ia pernah membubarkan IGGI—konsorsium negara-negara pemberi utang kepada Indonesia—karena dinilai terlalu mencampuri urusan domestik Indonesia).

Barangkali satu-satunya yang kita punyai saat ini—tak lain dan tak bukan—hanyalah demokrasi. Ya, itulah satu-satunya buah reformasi ‘98. Selebihnya tak ada. Malah, sayangnya, kita banyak kehilangan (terlalu banyak yang raib dari tanah kita, begitu maksud saya) pasca Reformasi ’98. Menjelang satu dasawarsa demokratisasi di negeri ini, apa saja buah yang telah kita petik selain privatisasi—istilah halus dari swastanisasi dan asingisasi—BUMN, liberalisasi (baca: kapitalisasi) pendidikan, kian menumpuknya hutang luar negeri akibat paket simalakama IMF, meratanya korupsi dari pusat ke daerah bahkan hingga ke pelosok desa (yang kini dilakukan “di atas meja”, bukan lagi hanya sekedar “di bawah meja” seperti di era Orba dulu. Bahkan tak jarang mejanya juga ikut diembat!), dan makin lemahnya pemerintah kita di hadapan kepentingan asing? Kebebasan berbicara, ya, tentu saja. Dan karena itulah saya bebas menulis yang pedas-pedas dan penuh kritik dan cemooh seperti ini, yang tentu tak akan mungkin saya lakukan seandainya rezim otoriter masih bertahta di negeri ini. Tapi dari hari ke hari, bukan simfoni indah yang dihasilkan oleh banyak mulut—terutama di panggung VVIP politik nasional—melainkan suara gaduh, riuh dan ribut. Dan saya berhak untuk merasa muak dengan itu semua. Kebanyakan rakyat kecil tak butuh berbicara, bahkan sebebas-bebasnya sekali pun, tapi perlu kebutuhan primer dan sekunder yang terjangkau oleh kemampuan dan daya belinya. Lantas kebebasan berekspresi, sudah barang tentu. Dan karena itu saya jadi punya hak untuk berekspresi seminor apapun dalam tulisan ini. Tapi sayangnya, dengan kebebasan itu pula, banyak ”jurnalis murahan” menerbitkan media massa yang memajang foto nyaris bugil wanita di majalah/koran/tabloid yang dijajakan di pinggir-pinggir jalan, hingga anak-anak kecil pun bebas melihat dan membelinya. (Anda yang mengaku sebagai pejuang feminisme dan kesetaraan gender, mohon rembug suara dalam masalah yang menimpa kaum hawa ini. Mohon tunjukkan suara kritis Anda dalam masalah eksploitasi seksualitas wanita oleh media). Inikah yang kita dambakan dari angin Reformasi sepuluh tahun silam? Rasa-rasanya, kian hari kita bukannya bangkit dari keterpurukan tapi justru makin jatuh tersungkur tanpa daya. Dan soal reformasi dan demokra(tisa)si, rasa-rasanya bukanlah kita yang menuai hasil dan manisnya. Kita hanya mendapati pahit dan jelaganya. Lantas siapa yang telah mencuri semua keuntungannya dari kita? Ah, siapa lagi kalau bukan pihak kapitalis asing dan para komprador domestiknya.

Ah, sudahlah, saya pusing menyadari bahwa kini para pengemis sudah bermetamorfosis menjadi bentuk dan rupa yang amat sangat sulit dikenali lagi. Dan demokrasi yang kita idam-idamkan sejak Reformasi ‘98 hingga kini buahnya tak lain adalah “demokrasi kosmetik”, demokrasi adu jotos dan jor-joran korupsi, demokrasi berbuah simalakama—democrazy, lebih tepatnya. Ah, saya pusing, pusing...

Saya butuh melihat laut... []

WPS, 14 Februari 2008

NB:“Hepi Va(k)lentin De...”



Tidak ada komentar: