Senin, Februari 18, 2008

Small is Beautiful...

Ada seorang penjual nasi pecel di sebuah pasar kecil di pinggiran kota yang juga dekat dengan kampus almamaterku. Ia biasa dipanggil Bu Mansur. Entah namanya sendiri siapa. Mansur adalah nama suaminya yang sejak tujuh tahun lalu telah almarhum. Tempatnya berjualan adalah sebuah petak warung berukuran 3x4 meter persegi. Pelanggannya adalah para abang becak dan anak-anak sekolah di sekitarnya, juga beberapa mahasiswa yang indekos di dekat pasar tersebut—saya salah satunya. Ia berjualan dari pukul 10 pagi hingga jam 3 sore. Saya dan kawan-kawan serumah kos biasa “sarapan siang” di sana. Harga sepiring nasi pecel plus segelas es teh cuma 2000-2500 perak. Dengan nominal sebesar itu—atau sekecil itu, lebih tepatnya, di tengah laju inflasi sembako yang melejit sejak akhir 2007—perut sudah bisa bertahan selama enam jam dari sergapan rasa lapar. Dari sepetak warung nasi pecelnya yang dijalankan sejak akhir tahun tujuhpuluhan itulah, Bu Mansur bertahan hidup dan membesarkan anak-anaknya. Tahun 2002 lalu, bahkan ia berangkat menunaikan ibadah haji.

Bu Mansur adalah potret kesederhanaan, kesabaran dan keuletan pelaku ekonomi negeri ini. Ia mewakili kesahajaan jutaan pedagang kaki lima, pengusaha warteg dan seluruh pelaku ekonomi mikro di seantero negeri kepulauan ini. Pernah sekali saya bertanya, kenapa tak memperbesar warungnya untuk meraih laba yang lebih besar. Ia jawab: dari warungnya yang kecil itu saja ia sudah merasa berkecukupan dalam hidup, kenapa harus menghendaki lebih. Tersirat dalam kata-katanya: ia ingin berbagi kesempatan dan rizki dengan sesama. Saya pun terheran-heran dan sekaligus kagum. Di tengah iklim persaingan usaha yang kian memanas akhir-akhir ini, Bu Mansur—juga para pelaku ekonomi kecil lainnya—dengan segenap kelegawaannya berani membatasi hasrat dan keinginannya sendiri. Kenyataan demikian tentu saja amat kontras dengan perilaku (pemilik) bisnis besar yang menghalalkan segala cara untuk menggelembungkan modal dan asetnya, tak terkecuali dengan menggusur semua pesaingnya lewat segala cara, yang sah maupun ilegal.

Saya mencoba berandai-andai. Kalau saja para pelaku bisnis besar di negeri ini, juga di seluruh dunia, punya kesadaran dan pola pikir seperti Bu Mansur, Pak Man, Bang Ucup, dan para pelaku usaha mikro lainnya, mungkin kondisi peradaban manusia tak akan sampai berada dalam jurang ketimpangan sosial-ekonomi yang tak terjembatani seperti saat ini. Lihatlah betapa kekayaan para (segelintir) konglomerat negeri ini dihasilkan lewat cara yang—kerapkali—sangat menyayat hati: eksploitasi alam dan (penyingkiran) manusia. Kita boleh bangga punya Aburizal Bakrie yang pengusaha terkaya di negeri ini—dengan aset lebih 50 Trilyun—dan sekaligus menteri sosial itu. Namun tidakkah hati kita teriris melihat betapa terlantarnya puluhan ribu manusia yang menjadi korban luapan lumpur di Sidoarjo, yang diakibatkan kecerobohan dan keserakahan salah satu unit usaha milik klan tuan Bakrie itu?

Kita bisa bayangkan, berapa jumlah manusia yang tergusur dan tersungkur oleh keberadaan bisnis-bisnis besar waralaba macam “mekdi”, “kentaki”, “danking donat”, indomart, dan aneka macam konglomerasi usaha lainnya. Kemunculan bisnis jaringan raksasa macam itu sekilas memang kita mafhumi sebagai bentuk pergerakan maju zaman (baca: tuntutan zaman) di tengah arus deras modernisasi gaya hidup, terutama yang melanda kaum perkotaan. Bahkan usaha macam itulah yang kerap menjadi lokomotif gerbong-gerbong peradaban modern kita saat ini. Di lain sisi, kita menganggap unit-unit usaha tradisional macam kaki lima dan aneka usaha mikro lainnya sebagai “sisa-sisa dunia lama” yang tak sanggup mengafirmasi dan mengikuti tren pergerakan zaman. Namun pernahkah kita menyadari, bahwa eksistensi usaha-usaha kecil—seperti warung nasi pecel Bu Mansur itu—sesungguhnya adalah sebuah oasis di tengah kelamnya peradaban materialistis-kapitalisme zaman ini? Ada nilai-nilai kearifan nan luhur yang tetap dipertahankan oleh para pelaku bisnis kecil tersebut: semangat kesederhanaan dan kesahajaan, serta semangat keberbagian (kesempatan dan rizki) dengan sesama. Ia adalah sebuah katarsis bagi peradaban kontemporer kita yang kusut masai dan dipenuhi ancaman disintegrasi kohesi masyarakat global. Ia adalah sebuah jalan lapang bagi terciptanya masyarakat egaliter yang terhindar dari jurang menganga kesenjangan sosio-ekonomi. Ia adalah praksis menuju tatanan masyarakat adil, makmur dan merata. Ia adalah sebuah metode sederhana namun manjur, yang tak perlu teoritisasi pelik dan rumit ala Marxisme, dan jauh dari nuansa kekerasan serta pertumpahan darah seperti dicitakan kaum komunis-marxis via revolusi proletarian.

Namun di dalam sebuah dunia bercorak kapitalistik saat ini, mengharapkan peran usaha kecil sebagai sokoguru perekonomian nasional, tidakkah itu sebuah bentuk utopia baru? Di tengah gempuran gelombang dahsyat kapitalisme global yang bersemayam dalam tubuh korporasi-korporasi multinasional (MNCs) dan lembaga-lembaga internasional hegemonik seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, mengharapkan kesederhanaan dan kesahajaan perilaku ekonomi, tidakkah itu sebentuk mimpi di siang bolong?

Sebagi bangsa yang “ber-pancasila” dan “ber-UUD ’45”, jelas-jelas digariskan dalam kedua “manuskrip” tersebut, bahwa bangunan kenegaraan kita—including ekonominya—dilandasi semangat kebersamaan dan keberbagian—dalam keberbagaian. Maka sudah selayaknyalah, usaha kecil-menengah di negeri ini diberi perhatian lebih dan serius agar kelak bisa menjadi pilar-pilar yang tangguh dalam menopang eksistensi bangsa dan negara. Dan ini bukanlah sebuah fatamorgana—paling tidak, ia adalah sebuah alternatif: sebuah jalan moderat di tengah ekstrimitas ekses negatif yang diakibatkan oleh membabi butanya laju modernisasi ala kapitalisme dewasa ini. Bagaimana? []

WPS, 04 Februari 2008.






Tidak ada komentar: