Sabtu, Februari 23, 2008

Nostalgia Hujan

dan kisah buku yang membikin bodoh


Abjad pertama dari ribuan butir huruf dan tanda dalam tulisan ini kutatahkan bersamaan dengan butiran-butiran hujan yang mulai turun mengguyur kotaku.
Sebelumnya, saya berdiri di atas balkon lantai dua rumah kosku yang menghadap ke pekarangan belakang rumah. Di sana saya menatap ke arah timur. Seratusan meter dari tempatku berdiri ada sungai Bedadung yang berkelok dari utara ke barat. Di seberangnya sana, berderet rumah-rumah penduduk dan rumah-rumah kos para mahasiswa/i. Dan di seberang sana pula-lah berdiri bagunan beton kampusku, lengkap dengan segenap gairah dan problematika sivitasnya.

Hujan makin mengganas hingga tempiasnya menerpa tubuh dan wajahku. Saya bergegas masuk ke dalam kamar. Segera kuambil posisi duduk di depan komputer dan mulai menari-narikan jemari tanganku di tuts-tuts kibor. Dalam ruang dan waktu tersebut, pikiranku juga menari-nari, meliuk-liuk untuk menemukan segala apa yang hendak kutuliskan di sini. Saya bingung hendak menuliskan apa-apa saja kali ini. Ada banyak gagasan dan kegalauan yang berseliweran di dalam benakku, saling berebutan dan memaksaku untuk menuliskannya satu per satu. Tapi saya hanya punya dua tangan dengan sepuluh batang jari, jadi mana mungkin saya sanggup menumpahkan semua ide dan galau itu ke dalam ruang putih tak beratap ini, secara lengkap dan tuntas.

Seringkali saya mendapati perasaan diri yang makin limbung dan linglung setiapkali menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Setiap buku yang saya lahap lembar demi lembarnya, juga setiapkali menghabiskan satu dua jam untuk membuat satu tulisan di dalam helai-helai kertas virtual komputer ini, saya mendapati diri malah merasa semakin bodoh dan tak tahu apa-apa. Setiap pengetahuan baru yang kudapati di dalam buku, dan setiap gagasan juga kegalauan yang berhasil kutumpahkan dalam catatan ‘membosankan’ seperti ini, malah membuat saya merasa makin banyak saja hal-hal yang tak dan belum kuketahui. Tak pernah saya mendapati diri merasa makin pintar dan berilmu tatkala mengkatamkan satu atau dua buku dalam waktu dua kali duapuluh empat jam. Sebaliknya, buku-buku itu malah menunjukkan pada saya hal-hal baru yang samasekali belum kuketahui, dan acapkali terasa jauh dari jangkauan kemampuan saya. Juga setiap tulisan yang berhasil saya pahatkan di dalam ruang global tak bersekat ini, semakin mengembangbiakkan lebih banyak lagi gagasan dan kegalauan di dalam benak dan isi kepalaku. Ahh, saya makin merasa bodoh dan pusing saja jadinya...

Saya memandang ke sekeliling ruangan kamarku. Ada puluhan buku yang kutata rapi berderetan di lantai dan kusandarkan di dinding kamar. Ada sekira lima puluhan buku berbagai bidang kajian, termasuk beberapa novel, yang berbaris rapi layaknya para serdadu sedang berupacara itu. Di rumahku (rumah ibu-bapakku tepatnya) masih ada seratusan judul buku lagi yang kubariskan rapi di rak, dan sebagian besarnya sudah kukatamkan. Total, hingga saat ini, saya pernah membeli sekitar seratus lima puluhan buku, sebagiannya ada yang dipinjam teman dan belum pernah kembali hingga detik ini. Seingatku, lebih dari seratus judul buku yang pernah kupinjam dari teman dan juga dari perpustakaan. Jadi kalau dijumlah, ada sekitar 250-300 biji buku yang pernah kubaca, tapi itu belum termasuk buku-buku yang pernah saya baca saat masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. Saya tak ingat lagi secara detil buku-buku apa saja dan berapa jumlahnya yang pernah saya baca saat masih menjadi anggota komunitas berseragam itu. Yang jelas, dari sekian ratus buku yang pernah saya baca itu, saya tak merasa mendapati diri yang makin pintar dan konfiden. Sebaliknya, saya justru terdampar pada “teritori asing” di mana saya merasa tak banyak tahu tentang apa-apa yang semestinya saya ketahui dan kuasai. Ahh, mungkin benar ungkapan “semakin banyak yang kau ketahui, akan menunjukkan kepadamu lebih banyak lagi yang tak kau ketahui.” Dan karena itulah saya menjadi semakin bodoh saja rasanya.

Saya teringat kurun waktu enam tahun yang lewat, tatkala saya menjadi siswa (yang tak maha) di jurusan kimia Unibraw—PTN paling terkemuka di kota dingin Malang. Ada seorang dosen yang mengampu mata kuliah Biologi Dasar—saya lupa namanya. Ia bertubuh ceking dan selalu berpenampilan sederhana, malah terkesan mirip seorang seniman. Baju dan celananya jauh dari kesan necis, lusuh malahan menurutku. Kalau orang yang tak mengenal dia, mungkin akan mengiranya sebagai pegawai administrasi kampus. Setahuku, dia ke kampus mengendarai mobil Willy’s bikinan tahun tujuhpuluhan. Di ruang kuliah, ia bicara sekedarnya saja, terkadang juga bercerita tentang pahit manisnya menjadi tenaga pengajar di Indonesia seperti yang ia alami. Namun siapa sangka kalau ternyata dosen satu ini menyandang titel Doktor dari universitas Bonn di Jerman sana. Saya segan dan tak berani bertanya buku apa saja dan berapa banyak yang sudah dilahapnya. Pada waktu itu saya menganggapnya sebagai dosen aneh, karena jebolan doktoral Jerman namun penampilannya malah mirip tukang kebun. Padahal saya lihat dosen-dosen lain yang cuma lulusan Magisteral dari perguruan-perguruan tinggi kampungan di Indonesia saja berpenampilan necis dan punya mobil lumayan mentereng. Di depan mahasiswanya pun master-master kampungan ini selalu menepuk dada dan bicaranya bergemuruh (belakangan saya anggap gaduh, malah). Saya enggan untuk menanyakan kepada dosen-dosen saya itu berapa banyak dan buku apa saja yang sudah dituntaskannya. Cukup saya ingat-ingat peribahasa lama, “Air beriak tanda tak dalam. Air tenang menghanyutkan.”

Rasanya saya mesti segera mengakhiri tulisan ini sebelum hujan di luar sana berhenti tumpah. Saya ingin bernostalgia dengannya, mengangkat kembali kenangan akan hujan: “dulu sekali, semasa kecil, saya selalu tumpah ruah bersama teman-teman sebaya, di jejalanan desa, membentangkan kedua tangan, menengadahkan wajah ke langit, membuka-nutup mulut, mencumbui hujan...”

WPS,

Tepi Kali Bedadung, Januari 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah,wah... gawat juga... saya termasuk cerewet nih bung..emang sih, orang2 pintar pasti bicara seperlunya,hehe..