Sabtu, Februari 23, 2008

Republik yang (di)robek



Republik ini dirobek-robek bukan oleh kaum separatis Aceh dan Papua.

Republik ini dirobek-robek bukan oleh tindakan culas Malaysia ataupun Singapura.

Tetapi oleh orang-orang yang kita percaya dan kita amanati untuk mewakili kita dalam mengelola negara.


Hati saya terketuk untuk membikin tulisan (atau puisi, barangkali) di atas setelah membaca sebuah artikel di kolom opini harian Jawa Pos/Indo Pos terbitan hari ini (23/02) berjudul Sihir Lapindo yang ditulis oleh Agoes Ali Masyhuri. Paragraf pertama tulisan pengasuh Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Sidoarjo, itu saya kira cukup menyentuh hati. Bernada mirip sebuah puisi. Berikut saya kutipkan utuh paragraf pertama itu:


“Di tengah-tengah pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, carut marutnya perekonomian, kubaca tanda kedustaan, merobek republik ini. Keluhan dan jerit terdengar nyaring di segala sektor kehidupan masyarakat Porong, Jawa Timur, tentang adanya upaya sejumlah anggota DPR yang memutarbalikkan fakta sebenarnya semburan lumpur Lapindo.”


Sang penulis artikel tentu saja sedang mengungkapkan jerit penderitaan puluhan ribu masyarakat porong yang sedang ‘dianiaya’ oleh semburan lumpur panas dari tambang gas milik pengusaha terkaya republik ini, Aburizal Bakrie, yang punya duit dan aset lebih 50 Triliun rupiah. Jerit nestapa ribuan manusia itu rupanya masih kurang nyaring dan kurang menunjukkan nuansa duka di hati para pejabat republik ini, terutama para anggota dewan yang katanya terhormat itu, lebih-lebih di hati tuan Bakrie dan para anggota kartel bisnisnya.


Agar jerit nestapa itu terdengar lebih nyaring lagi, dan ekspresi kedukaan ribuan manusia—yang sesungguhnya sudah menyentuh titik nadir itu—bertambah muram lagi, maka dibikinlah serangkaian upaya—yang dalam hal ini dilaksanakan oleh tim BP2LS DPR yang diketuai oleh Soetardjo Soerjoguritno, salah satu wakil ketua dan tetuo parlemen kita. Dan rupanya, upaya yang dilakukan oleh tim pimpinan mbah Tarjo itu cukup jitu dan menunjukkan hasil memuaskan. Lewat serangkaian “pengamatan” dan “kajian ilmiah” di lapangan, tim yang berjumlah 29 orang itu mendapatkan “kesimpulan” yang cukup membuat rakyat, terutama puluhan ribu korban lumpur, merasakan pengalaman suspense dan surprise layaknya menonton sinema horor di bioskop. Apa lacur, dengan Pede-nya, tim pimpinan mbah Tarjo itu “berkesimpulan” bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah murni gejala alam, bukan akibat kesalahan Lapindo. Itu fakta “ilmiah”, kata mereka.


Dan mendengar kesimpulan yang dibacakan di gedung dewan itu, para tikus pun bersorak girang penuh kemenangan... di sawah-sawah, di gudang-gudang, dan terutama sekali yang di gedung-gedung, lebih-lebih di gedung dewan itu sendiri. Lantas bagaimana dengan kucing-kucing? Kucing-kucing tentu saja melongo, tersudut tanpa daya, sedih dan merana. Mereka tersungkur dalam putus asa melihat tikus-tikus memperoleh kemenangan gilang-gemilang.


Temuan “ilmiah” tim itulah yang sempat membuat para korban lumpur beberapa hari lalu sampai mengusung keranda mayat, seperti diliput pemberitaan media. Entah ditujukan kepada siapa keranda kematian itu sebenarnya. Tapi itu hanyalah acara teatrikal semata. Ekspresi paling dalam dari manusia-manusia yang secara sangat sistematis dan terencana dipinggirkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita tahu, kematian adalah puncak kedukaan bagi manusia, luruhnya semua harapan, lebih-lebih harapan yang paling akhir. Maka kita bisa memafhumi, seperti apa kira-kira duka nestapa yang sedang dipikul oleh puluhan ribu manusia warga Porong, Sidoarjo, itu. Nestapa yang dengan amat ‘cerdik’ dan ‘kreatif’ dikonstruksi oleh para “wakil rakyat” itu, tak terkecuali wakil puluhan ribu korban itu sendiri.


“Di tengah-tengah pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, carut marutnya perekonomian, kubaca tanda kedustaan, merobek republik ini....”


Agoes benar. Republik ini dirobek-robek bukan oleh kaum separatis Aceh dan Papua, tetapi justru oleh orang-orang yang kita percaya dan kita amanati untuk mewakili kita dalam mengelola negara. Republik ini dirobek-robek bukan oleh tindakan culas Malaysia ataupun Singapura, karena tindakan dua negara tetangga itu justeru menyadarkan kita semua betapa berharganya republik ini. Republik ini dirobek-robek justru oleh para cerdik cendekia, oleh orang-orang yang lebih lihai dari tupai dan lebih licin dari belut dalam bermanuver politik, namun telah tertular wabah perangai pemilik pes. Ya, republik ini telah dirobek-robek! Dan kita patut berduka untuk itu... [ ]


23 Februari 2008




Tidak ada komentar: