Minggu, Februari 24, 2008

Tuhan, Agama & Kekerasan

Ada sepasang kakek-nenek yang hidup di sebuah rumah kecil di tengah ladang di tepian sungai Bedadung, di kampung kelahiranku. Mereka masih ada hubungan kekerabatan denganku. Sang kakek, yang punya nama Jamal, adalah saudara kandung nenekku. Saya kerap datang mengunjunginya tatkala ada waktu senggang. Mbah Jamal, begitu saya biasa memanggilnya, adalah orang yang masih menganut kepercayaan Jawa kuno, sekalipun ia juga mengenal dan mengamalkan beberapa ajaran Islam. Barangkali ia bisa disebut sebagai “kaum abangan”—meminjam istilah Clifford Geertz—yaitu orang yang mengenal agama (Islam) namun masih mengamalkan tradisi dan ajaran-ajaran kuno Jawa. Setahu saya, ia tak pernah bersembahyang lima waktu, meski ia mengikuti tradisi-tradisi Islam yang lain, seperti puasa Ramadhan dan merayakan Lebaran.

Pernah saya bertanya, kenapa ia tak mau menunaikan salat. Tapi saya tak mendapatkan jawaban yang jelas darinya, kecuali: “belum ada keinginan,” begitu jawabnya singkat. Tapi di lain sisi, mbah Jamal adalah orang yang rendah hati dan sangat perhatian kepada orang lain, lebih-lebih kepada sanak keluarganya. Setiap kali saya datang mengunjunginya, ia selalu berwejang kepadaku mengenai nilai-nilai luhur yang mesti dijunjung tinggi dalam hidup ini. Kerendah-hatian, kehati-hatian, hampir selalu ia pesankan kepadaku untuk senantiasa diamalkan dalam mengarungi hidup ini. Mbah Jamal juga selalu mengajarkan kepadaku lafal do’a-do’a dalam bahasa Jawa kuno. Ia selalu mengingatkan saya untuk tak lupa melafalkan do’a-do’a itu setiap hendak melakukan aktifitas apapun. Agar tidak tergelincir dalam hidup, agar terhindar dari marabahaya, dan selalu dalam lindungan Sang Mahakuasa, begitu pesannya pada saya—menekankan arti penting do’a-do’a itu. Tapi karena mungkin saya adalah tipikal manusia yang nyaris sepenuhnya bercorak pikiran modern, maka saya merasa amat kesulitan untuk melaksanakan petuah-petuah yang diberikannya itu.

Anti-agama

“Agama adalah candu,” kata Marx. “Kalau satu orang mengalami delusi (waham) maka ia adalah gila. Tapi delusi yang diidap banyak orang, itulah agama,” sindir para pengikutnya. Barangkali itu adalah luapan kemuakan mereka terhadap praksis agama yang justru melanggengkan penindasan dan ketimpangan di tengah-tengah masyarakat, bukan mencerahkan dan membebaskan manusia dari segala penyakit sosial yang menderanya. Tentu saja banyak orang tak setuju dengan keyakinan kaum atheis-komunis itu. Kalau praksis agama menyimpang, maka yang patut dipersalahkan adalah manusianya, dan bukan agamanya yang mesti dilucuti. Manusia butuh agama sebagaimana ia butuh makan dan minum. Agama adalah kebutuhan naluriah dan mendasar dalam diri manusia. Sebagaimana hasil riset Danah Zohar dan Ian Marshall, yang menemukan adanya “God Spot” di dalam otak manusia, spiritualitas adalah kecenderungan dasariah manusia—yang mustahil untuk diingkari. Manusia adalah makhluk yang senantiasa rindu akan nilai-nilai transendental, yang akan menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang tak kasat mata: sesuatu yang ilahiah. Dan manusia akan selalu berusaha menggapainya melalui berbagai cara.

Memang, pada dasarnya spiritualitas berbeda dengan agama. Spiritualitas bersifat abstrak. Ia adalah pengalaman rasa di dalam diri manusia. Sedangkan agama adalah salah satu perwujudan dari spiritualitas. Ia nyata dan memiliki seperangkat nilai-nilai tertentu, dan biasanya melembaga. Namun demikian, dalam pengekspresiannya, spritualitas membutuhkan agama sebagai wadah dan metodenya. Tanpa agama, manusia tentu akan kebingungan mengekspresikan spiritualitasnya tersebut. Dalam peradaban masa lampau, di mana banyak masyarakat belum mengenal agama, tidak jarang spiritualitas diekspresikan melalui cara-cara yang justru menistakan (ke)manusia(an), seperti misalnya: mengorbankan nyawa manusia sebagai persembahan/tumbal bagi para dewa. Untuk itulah, agama dibutuhkan sebagai sarana dan petunjuk bagi manusia dalam mengekspresikan kerinduannya terhadap sesuatu yang transendental dan tak kasat mata itu (spiritualitas).

Citra paradoksal agama

Namun begitu, ada fenomena lain yang menyimpang dari tujuan awal manusia dalam beragama (dalam mengekspresikan spiritualitasnya). Jika tujuan awal manusia dalam beragama adalah karena ingin menyalurkan kerinduannya terhadap nilai-nilai spiritual yang luhur dan abadi, maka dalam praksisnya tak selamanya hal itu berhasil dicapai oleh setiap orang. Dalam sejarah peradaban manusia, tak selamanya agama (di)tampil(kan) sebagai nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Adakalanya agama justru adalah sesuatu yang garang dan mengancam. Di tangan para ekstremis dan fundamentalis, agama berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Agama diusung dengan langkah penuh marah. Asma Tuhan diteriakkan dengan nada penuh kebencian. Kebesaran Tuhan disebut-sebut dengan tangan yang mengepal, dengan mulut yang mengobarkan api kemarahan. Agama hendak diperjuangkan, bukan didakwahkan. Berjuang tentu sulit untuk meninggalkan cara-cara kekerasan, baik dengan tangan maupun lisan, dan juga senjata. Sementara berdakwah lebih—dan hanya—mengutamakan pendekatan kemanusiaan, pendekatan hati, yang santun dan mulia. Sementara agama adalah nilai-nilai luhur yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan spiritual di dalam diri manusia, pantaskah ia diperjuangkan (baca: dipaksakan)?

Di tangan para ekstremis dan fundamentalis, dari agama mana pun, citra agama bukan lagi sebagai mata air jernih dan menyejukkan sebagaimana disuri-tauladankan oleh para Nabi, puluhan abad silam. Sebaliknya, ia berubah menjadi api yang membakar, menjadi senjata yang menggilas dan membunuh. Dalam keimanan para ekstremis, agama tak hendak diletakkan di dalam diri manusia, melainkan di atasnya. Agama hendak ditampilkan sebagai tiran, sekalipun ia diteriakkan sebagai “tuhan”.

Saya jadi teringat ungkapan kontroversial Gus Dur. “Tuhan tak perlu dibela,” katanya. Kalangan fanatis pun sempat ‘kebakaran jenggot’ oleh statemen itu. Barangkali Gus Dur, seperti juga kita, tak habis pikir dengan sikap agresif kalangan fanatis yang menempuh cara-cara destruktif untuk “membela” Tuhan (dan agama). Kita bisa melihat contoh kasus yang terjadi belum lama ini perihal keberadaan aliran Al-Qiyadah, juga Ahmadiyah, yang dianggap sesat oleh MUI. Dalam pemberitaan media, kita bisa saksikan bagaimana reaksi orang-orang fanatis terhadap para pengikut kedua aliran tersebut. Mereka dipukuli hingga babak belur dan berdarah-darah, rumah dan tempat ibadahnya pun ada yang dibakar. Beginikah cara orang “membela” Tuhan dan agama? Dengan memukuli dan menyakiti, tanpa perikemanusiaan, mereka yang dianggap menodai agama dan menentang Tuhan? Kalau demikian, benar kata Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela. Karena “tuhan” telah menjelma jadi tiran, yang menindas dan menggilas, lewat tangan para ekstremis dan fanatis.

Kalau memang sulit untuk meneladani akhlak mulia para Nabi, karena terpaut jarak waktu yang terlampau jauh, barangkali para ekstremis, fanatis dan fundamentalis itu perlu berkaca kepada orang-orang seperti mbah Jamal di atas, yang tak pernah meneriakkan kata “agama” dan “Tuhan” tapi sesungguhnya menyimpan erat keduanya di dalam dirinya, dan diterjemahkannya lewat tindak laku rendah hati dan penuh kasih kepada sesama makhluk. Ya, Tuhan (dan agama) tak perlu ‘dibela’, tapi diejawantahkan, dalam laku mulia dan terpuji... [ ]

Wahyu Puspito S. / 23 Februari 2008

4 komentar:

Insaf Albert Tarigan mengatakan...

Aku sudah lama ingin berkomentar tentang tulisanmu yang ini, tapi sayang sekali baru kali ada waktu luang.
Aku sependapat denganmu. Aku sering bertanya dalam hati, bisakah kita beragama dengan damai tanpa setetes darahpun? tapi mungkin aku terlalu naif karena faktanya dunia tak seindah itu. Aku ingat cover tempo kemarin waktu Suharto meninggal dimana lukisan perjamuan terakhir da vinci diganti gambar suharto dan anak-anaknya. Sejumlah orang mengatasnamakan umat Katholik kemudian mendatangi tempo untuk menyatakan keberatannya. Di satu sisi aku kagum dengan cara mereka yang beradab, yaitu dengan dialog dan musyawarah. Lalu kita kembali heboh dengan pemuatan kartun nabi Muhammad oleh koran Denmark, Osama Bin Laden mengancam Eropa, di sini ratusan orang juga melakukan hal yang sama. Yang sering menjadi tanda tanya bagiku adalah, apakah harus ada pertumpahan darah untuk membela mereka yang kita sebut sebagai Tuhan kita, Allah kita, Agama kita, Nabi yang sangat kita cintai. Tentu kamu benar, kalau kita tanya Gus Dur dia akan menjawab Tak perlu! tapi alangkah susahnya membuat semua orang setuju dengan Gus Dur. Sebab, mereka justru yakin dengan Memerangi 'Kafir" atau bahkan meledakkan diri di tempat "kafir" mereka akan memasukit tempat terhormat di Janna alias surga. Kamu ingat video pelaku bom bali 2?
Sayang juga, aku bukan ahli kitab suci, jadi aku tak bisa mengerti apakah memang cinta pada agama, nabi dan Tuhan itu harus dijalankan seekstrim itu?
Yang sering aku dengar dan sangat aku kagumi adalah dua hukum utama Yesus Kristus yang kurang lebihnya demikian pertama "Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap akal budimu. Yang kedua yang sama dengan itu adalah "kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri".
Mungkin salah satu perkataan yang paling terkenal juga adalah "Jika orang menampar pipi kirimu berikanlah juga pipi kananmu"
Lama sekali aku nggak ngerti apa maksud kalimat sederhana itu. Tapi melihat tingkah laku orang yang sedikit-sedikit angkat pedang, sedikit-sedikit mengepalkan tangan, sedikit-sedikit teriak "Allahu Akbar sambil menyerbu tempat hiburan", aku jadi mengerti ke mana arah perkataan itu. Sebab seandainya Yesus berkata, kalau orang menampar pipi kananmu, potonglah salah satu telinganya, atau paling tidak ia mengatakan tamparlah juga ia dengan setimpal, bayangkan apa yang akan terjadi di dunia ini.
Tapi terus terang, kadangkala aku juga muak dengan lembaga agama seperti gereje di kota-kota besar ini. Dalam hati aku sering berkata ini pastor tampak sehat-sehat dan segar-segar, sementara di depan gereja ini setiap selesai beribadah sudah menunggu pengemis yang mungkin belum makan. Aku muak jika mereka hanya khotbah surga neraka, berteriak-teriak pertobatan tapi aku tak melihat realisasinya secara kelembagaan. Namun, aku masih berpikiran positif, mungkin aku aja yang nggak tahu mereka telah membantu banyak orang.
Ah udah dulu ya..jadi kepanjangan nggak karu-karuan begini.

espito mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

kekerasan harus dihapuskan aku sepakat..tapi kekerasan juga menjadi cara 'khusus' imperalisme..bukankah 'jeritan' anak atas ayahnya yang ditembak di depan mata tanpa ada satu alasan pun yang terlontar (Palestina/05/04) dan itu berjuta bahkan bermilyar anak yang meratapi nasib malangnya..itu bukan kekerasan? saya katakan itu 'organized crime'..so, kita letakkan kawan dan lawan secara adil..

espito mengatakan...

yah, saya paham empati dan simpati mas jaya buat saudara2 kita di manapun (sesama umat manusia) yang mjd korban kebejatan tindak-tanduk sebuah imperium adidaya (baca: AS-Israel dan sekutunya) yang hendak mengangkangi dunia seisinya ini.

tapi jika kekerasan dibalas dengan kekerasan, bukankah kesumat dendam akan makin membesar, berkobar, dan pada akhirnya dunia akan jatuh pada spiral kekerasan.

saya punya impian: alangkah damai dan indahnya dunia ini bila negara2 adidaya mengerahkan segenap sumberdayanya untuk mencipta tata dunia yg berkeadilan bagi semua manusia, tanpa ada dasar apa pun untuk mendiskriminasi.. indah dan surgawi, tentunya..

trims komennya..